Zara menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meski hatinya terasa pedih. “Apa kamu tidak lelah, Ronan? Blue adalah putramu satu-satunya, dan kamu tidak pernah bisa akur dengannya,” ucapnya pelan. Suaranya bergetar, mencerminkan campuran antara rasa sedih dan kecewa. “Setiap keputusan yang Blue ambil selalu salah di matamu ...,” lanjut wanita itu. Namun, belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Ronan memotong dengan nada tinggi. “Jelas itu salah!” seru pria itu. Matanya memelotot penuh amarah. “Dia meninggalkan keluarga ini selama bertahun-tahun hanya untuk bekerja dengan orang lain? Dia adalah seorang Sinclair! Putra mahkota! Dia adalah pewaris keluarga ini! Tidakkah kau mengerti, Zara?” Ronan berdiri, menatap istrinya dengan intens. “Dan, lihatlah apa yang dia lakukan selama ini! Dia mengotori nama Sinclair dengan bergabung bersama mafia? Hah! Anak itu benar-benar bodoh!” “Blue sudah berhenti, Ronan, bahkan dia sudah mengambil alih perusahaa
“Blue, are you okay?” Suara Emely terdengar lembut, berbeda dari biasanya. Wanita itu sedikit memiringkan tubuh sehingga wajahnya ikut condong ke arah pria yang tengah fokus mengendalikan kemudi. Blue melirik sekilas ke arahnya lalu mengulas senyum tipis. “Aku baik-baik saja,” jawab pria itu tenang sebelum kembali memusatkan perhatian pada jalan raya yang membentang di depannya. Namun, Emely tidak puas. Ia tetap menatap Blue dengan intens. Keningnya berkerut kecil dan bibirnya sedikit tergigit, menandakan bahwa ia tengah memikirkan sesuatu. Setelah beberapa detik, wanita itu akhirnya bersuara lagi. “Aku kepikiran sama yang tadi, Blue,” katanya, hati-hati. “Lupakan saja, itu tidak penting,” balas Blue datar, tanpa menoleh. Emely mengerucutkan bibir, tanda tak setuju. “Dan, tidak perlu mencari tahu apa pun,” lanjut pria itu, seolah-olah tahu apa yang ada di pikiran wanita di sebelahnya. Emely menghela napas. “Mana bisa
Blue mengangkat sebelah alis, tidak sepenuhnya yakin dengan jawaban wanita itu. Beberapa detik berlalu sebelum Emely kembali bersuara. “Nanti malam bantu aku kerjakan tugas,” katanya dengan suara yang lebih ringan. “Kamu pasti bisa, kan? Soalnya jurusan yang aku ambil itu bisnis.” Blue melirik sekilas sambil tersenyum tipis. “Hem, oke. Tapi, setelah itu, apakah ada imbalan untukku?” tanyanya dengan nada menggoda. Senyum nakal tercetak di bibirnya. Emely memutar mata dengan malas. “Iya, ada,” jawabnya tanpa ragu. “Apa?” tanya Blue antusias. Ekspresinya tiba-tiba berubah penuh harap. “Semangkuk mi,” jawab Emely santai, tanpa sedikit pun memedulikan nada nakal dalam suara Blue sebelumnya. “What?” Blue spontan memprotes. Ia menoleh sekilas ke arah Emely, matanya melebar seperti tidak percaya dengan jawaban itu. Emely hanya mendengkus kecil sambil menyilangkan tangan di dada. Ia sengaja tidak memberikan tanggapan
Mereka bertiga akhirnya duduk di sofa. Amara duduk di tengah, diapit oleh Emely di satu sisi dan Blue di sisi lain. Percakapan pun mengalir meskipun hanya antara Emely dan Amara. Blue memilih diam, mendengarkan keduanya sambil sesekali melirik putri kecilnya yang tampak ceria. “Mommy, nanti malam tidur di kamar aku saja, ya? Aku mau tidur bareng Mommy. Boleh, kan? Mommy mau, kan?” pinta Amara dengan mata berbinar penuh harap. Namun, sebelum Emely sempat menjawab, Blue langsung menyela, “Ranjangmu kecil, Nak, tidak muat. Tidur di kamar Daddy saja.” Ia berujar dengan santai, hanya melirik sekilas pada Amara sebelum kembali fokus ke layar TV. Emely sontak menoleh ke arah Blue, memandang pria itu dengan tatapan tajam penuh arti. Sementara itu, Amara terlihat begitu senang mendengar ucapan ayahnya. “Kita akan tidur bertiga, ya, Daddy? Daddy juga ikut, kan?” tanya Amara polos. “Tentu, Nak,” jawab Blue tanpa ragu. Suaranya terdengar ri
Kepalang kesal, Emely menoleh tajam ke belakang, menatap Blue dengan sorot mata penuh peringatan. “Kamu bisa diam tidak?” geramnya dengan nada rendah. Hampir berbisik, tetapi jelas mengandung nada protes yang tidak bisa disembunyikan. Tangannya refleks mencengkeram pergelangan tangan Blue yang berada di dadanya, berusaha menghentikan sentuhan pria itu yang mulai terasa makin lancang. Meremas-remas buah dadanya hingga membuat tubuhnya meremang. Blue, bukannya merasa bersalah, malah menyeringai kecil. Ia menarik wajahnya sedikit ke belakang, cukup untuk bisa menangkap ekspresi Emely dengan jelas. Senyuman tipis muncul di sudut bibirnya—menggoda—ketika ia melihat kemarahan sekaligus kekalutan dalam tatapan wanita itu. “Aku nggak tahu caranya diam. Kalau kau bisa, coba ajarkan aku,” balas pria tersebut santai. Suaranya rendah tetapi penuh ironi. Emely mendengkus kesal. “Kamu, ya, tua-tua tapi kelakuannya menyebalkan!” desisnya tajam. Blue ter
Tatapan pria itu kini terfokus sepenuhnya pada pemandangan di hadapannya. Lekuk indah tubuh Emely terlihat begitu memikat dalam cahaya redup kamar. Matanya menyala penuh kekaguman menatap squishy bulat dan kenyal itu. Ia menelan ludah berulang kali, berusaha menenangkan diri dari gairah yang makin memuncak. “Blue, kamu gila,” bisik Emely. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang mulai merambat. Tangannya refleks menarik selimut, berusaha menutupi dirinya. Namun, Blue dengan tegas menghentikan gerakan Emely. Tangan kokohnya memegang tangan wanita itu, menariknya lebih dekat. Wajahnya mendekat, ia mengalihkan perhatian Emely dari segala sesuatu di sekeliling mereka. Tanpa banyak bicara, Blue membawa pucuk dada wanita itu ke dalam mulutnya yang hangat. Menciptakan sensasi yang menggigilkan sekujur tubuhnya. Tubuh Emely seketika menggelinjang, merasakan aliran rasa yang begitu hangat dan menggelitik. Matanya terpejam rapat, seolah-olah berusaha menyerap s
Sejenak, waktu seakan-akan berhenti. Mata Emely terbuka lebar, menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang temaram. Sensasi asing yang menyusup ke dalam dirinya membuat tubuhnya menegang sesaat sebelum kembali lemas. Di sisi lain, Blue juga terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan yang menyelimuti jari tengahnya. Untuk beberapa detik, keduanya terjebak dalam momen tanpa kata, hanya dihiasi oleh tarikan napas yang berat dan suasana kamar yang sunyi. Beberapa saat kemudian, Blue menjauhkan wajahnya dari dada Emely, mengangkat kepala perlahan hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang penuh gairah. Sementara itu, tangannya yang berada di dalam liang kenikmatan Emely tetap bergerak lembut. Jari-jarinya menusuk masuk dan keluar dengan irama yang menggoda, menciptakan gelombang sensasi yang terus menghantam tubuh Emely tanpa henti. “Shhh ....” Emely mendesah pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru napasnya sendiri.
Cahaya matahari pagi menerobos tirai jendela, memancarkan sinar lembut yang menerangi kamar Blue. Udara segar yang mengalir melalui celah-celah jendela menciptakan suasana yang tenang. Di atas ranjang besar berseprai putih bersih, Blue, Emely, dan Amara terlelap dalam kehangatan. Amara menggeliat pelan di tempat tidurnya. Matanya masih terpejam, tetapi tubuh kecilnya mulai bergerak, seolah-olah ingin membangunkan diri dari mimpi indahnya. Dengan gerakan lucu, gadis kecil berusia empat tahun itu memutar posisi tubuh hingga menghadap Emely. Ketika ia membuka matanya perlahan, senyum kecil terukir di wajah polosnya saat melihat sang mommy tertidur nyenyak dalam pelukan daddy-nya. “Mommy,” panggil Amara dengan suara serak. Tangannya yang mungil terulur lembut menyentuh bahu Emely, mencoba membangunkan wanita itu dengan hati-hati. Emely yang berada dalam pelukan Blue mulai menggeliat ketika merasakan sentuhan kecil itu. Dengan perlahan, ia membuka matanya d
Di sana, berdiri Zara, dengan senyum sumringah menyambut kedatangan mereka.Amara menoleh ke arah teras dan melihat sang Nenek melambaikan tangan lembut ke arahnya. Gadis kecil itu mengangguk pelan sambil membuka pintu mobil dengan hati-hati. “Mommy, tidak apa-apa ‘kan kalau aku bawa boneka ini?” tanyanya polos sambil merapikan boneka yang masih digenggam erat.“Iya, tidak apa-apa, sayang. Bawa saja,” jawab Emely lembut sambil keluar dari mobil dan menutup pintunya. Ia meraih tangan kecil Amara, menggenggamnya erat, lalu membawa gadis kecil itu melangkah bersamanya menuju teras Mansion.Saat mereka mendekat, Zara yang telah menunggu di teras utama menyambut dengan antusias. Wajahnya tampak sumringah.“Selamat siang, Mom,” sapa Emely ramah.Mom. Sebuah panggilan yang awalnya terasa canggung kini mulai terdengar natural. Setelah beberapa kali pertemuan, panggilan "Aunty" yang semula Emely gunakan untuk Zara perlahan berubah menjadi "Mom." P
New York, USA…Emely fokus mengemudi. Kedua tangannya menggenggam setir dengan erat, sementara matanya menatap lurus ke jalan yang terbentang di depannya. Di kursi belakang, Amara duduk terdiam. Gadis kecil itu terlihat tenang, namun dari raut wajahnya, jelas ia sedang memperhatikan Ibunya.Biasanya, perjalanan bersama Amara dipenuhi dengan tawa atau percakapan ringan. Namun, hari ini berbeda. Amara tidak berani mengajak Ibunya berbicara. Ekspresi Emely tampak dingin, penuh beban yang tidak biasa.Ddrrttt…Ponsel Emely yang tergeletak di konsol tengah mobil tiba-tiba bergetar. Ia melirik sekilas pada layar yang menyala.“Biru Tua is calling…”Nama kontak itu jelas tertulis di layar. Ternyata pria itu yang sedang menelepon. Namun, Emely tidak berniat mengangkatnya. Ia mendengus pelan, matanya kembali fokus ke jalan. Perasaan jengkel kembali menyeruak di hatinya.‘Dasar Blue jelek! Tua! Brengsek!’ maki Emely dalam hati. ‘K
Rahang Erlan langsung mengetat mendengar jawaban itu. Matanya menyipit penuh kecurigaan. Pikiran di kepalanya mulai berputar cepat. Jadi, selama satu bulan penuh ini, Emely telah membohonginya? Selama itu juga Blue diam-diam mendekati putrinya tanpa sepengetahuannya?Kemarahan Erlan semakin membuncah, membuat napasnya terdengar memburu panas. Kedua tangannya yang menggantung di sisi tubuh terkepal begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih.‘Keparat…’ geramnya dalam hati. Namun Erlan belum selesai. Ia masih memiliki banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan. Selang beberapa detik, ia kembali bertanya, “Apakah Blue sering mendatangi apartemen Emely?”Ketiga pria itu kembali saling melirik, ragu-ragu untuk menjawab. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membuat emosi Erlan semakin meledak. Ia menggebrak meja keras dengan kedua tangannya, membuat mereka semua terlonjak.“Jawab pertanyaanku!” bentaknya, suaranya menggema di ruangan besar itu
Milan, ItaliaSelama beberapa minggu terakhir, Erlan merasa ada sesuatu yang tidak biasa pada putrinya, Emely. Biasanya, gadis itu selalu menghubungi Ibunya, Lucia, setiap pagi tanpa absen. Namun, belakangan ini, kebiasaan itu mulai berubah. Kadang-kadang, Emely tidak menelepon, atau ketika Lucia menghubunginya lebih dahulu, panggilannya tidak langsung dijawab. Hal itu menimbulkan pertanyaan besar di benak Erlan: Ada apa dengan Emely?Namun, rasa curiga Erlan semakin kuat setelah pertemuannya dengan Han Jae-Min, seorang pria yang merupakan mitra bisnisnya sekaligus ingin diperkenalkan pada Emely. Saat berbicara dengan Erlan waktu itu, Han Jae-Min mengungkapkan kejadian saat di acara seminar, sehingga tak ayal membuat Erlan terkejut.“Paman Erlan, saya harus jujur,” ujar pria asal Korea itu. “Emely tampaknya sudah memiliki kekasih. Saya tidak ingin menyinggung lebih jauh, jadi saya memutuskan untuk menjaga jarak.”Ucapan itu membuat Erlan tertegun.
"Aku mau bahas soal Lidya," ujar Blue langsung tanpa basa-basi."Aku rasa tidak ada yang perlu kamu jelaskan, dan mantan istrimu itu tidak ada urusannya denganku. Itu urusanmu, dan kamu urus saja sendiri," ucap Emely dengan nada sarkastik, suaranya dingin saat menatap tajam ke arah Blue. Setelah melontarkan kalimat itu, ia memutar tubuh, berniat melangkah menuju pintu.Namun, Blue dengan sigap menahan pinggang rampingnya, menarik tubuh Emely kembali menghadap padanya. Dengan satu hentakan lembut, ia membuat Emely tetap berada di tempat. "Kemarin dia menelponku hanya untuk menanyakan Amara. Tidak lebih dari itu," ujar Blue, mencoba menjelaskan.Emely mendengus kecil, ekspresinya datar dan sinis. "Kalaupun lebih, juga tidak masalah," balasnya cepat.Blue terdiam, merasa terjebak. Ia tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati si Kucing Liar-nya ini yang sudah terlihat begitu murka. Kecewa oleh perlakuannya."Aku tidak akan melarangm
Selang beberapa menit kemudian, lamunannya buyar saat terdengar suara ceria Amara dari belakang. "Mommy, aku sudah selesai!" seru gadis kecil itu sambil melangkah mendekat.Emely tersentak kecil, lalu menoleh. Senyum kecil terulas di wajahnya saat ia melihat Amara berdiri di samping sofa dengan ekspresi penuh semangat."Sudah rapi, ya?" tanyanya sambil memerhatikan penampilan gadis kecil itu. Amara mengangguk antusias. "Iya, Mommy. Aku sudah siap. Ayo, kita berangkat sekarang!" ucapnya.Emely tersenyum sembari mengangguk pelan. "Ayo," ucapnya lembut, lalu mengulurkan tangan. Amara segera menyambutnya, menggenggam tangan ibunya.Namun, sebelum mereka sempat melangkah, Gina, pengasuh Amara. "Nona, apakah saya akan ikut ke Mansion?"Emely menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Gina. "Tidak perlu. Kamu istirahat saja dirumah. Mungkin kami akan pulang agak malam," jawabnya tenang.Gina mengangguk patuh, tetapi ia tidak
Sinclair Ocean TechnologiesDi dalam ruang kerjanya yang luas dan mewah, Blue duduk dengan raut wajah tegang. Porter, asisten pribadinya, baru saja melaporkan sebuah kabar yang membuat pria itu terkejut. Lidya, mantan istrinya, diketahui mendatangi sekolah Amara dan, lebih buruknya lagi, bertemu dengan Emely di sana.Blue mengangkat pandangan tajam, menatap Porter. “Bagaimana ceritanya Lidya bisa tahu alamat sekolah Amara, Porter?!” sergahnya dengan nada tegas, matanya menyiratkan kemarahan.Porter, yang berdiri di depan meja kerja Blue, tampak canggung. Ia menggeser kakinya sedikit, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab. Namun, sebelum ia sempat berkata apa pun, Blue mendesah kasar, mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar di belakang meja. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya tampak lebih frustrasi.‘Sial!’ desisnya dalam hati. Pikiran Blue berputar cepat, membayangkan apa yang mungkin telah terja
Disisi lain, Emely akhirnya tiba di sekolah Amara. Setelah memarkirkan mobilnya di tempat biasa, ia keluar dengan tergesa-gesa, langkah kakinya cepat menuju meja resepsionis. Sesaat, ia menyibakkan rambut yang jatuh di wajahnya, berusaha mengatur napas."Selamat siang, Mrs. Emely," sapaan ramah dari resepsionis langsung menyambut kedatangannya. Wanita itu mengenali Emely sebagai ibu dari Amara.Emely tersenyum kecil, meskipun ia tampak sedikit tergesa. "Selamat siang," balasnya sopan. "Amara masih menunggu di ruang biasa, kan?" tanyanya langsung.Resepsionis itu mengangguk, tetapi ragu-ragu sejenak. "Benar, Mrs. Emely. Amara sedang menunggu di ruang lounge siswa. Tapi barusan ada seorang wanita yang meminta izin untuk bertemu dengannya. Saya sudah memastikan, namanya Lidya."Deg!Mendengar nama itu, tubuh Emely seolah membeku sesaat, tetapi hanya sebentar. Ekspresi terkejut yang sempat terlintas di wajahnya segera digantikan dengan ketenangan. Ia mengangguk cepat
The Sterling AcademySetelah berhari-hari mencari informasi, akhirnya Lidya menemukan alamat sekolah Amara. Tempat itu bernama The Sterling Academy, sebuah institusi elit yang terletak di kawasan mewah Upper East Side, New York. Bangunan sekolah tampak megah dengan arsitektur klasik bergaya kolonial. Pilar-pilar putih menjulang tinggi menghiasi fasad bangunan, membuatnya lebih menyerupai Mansion pribadi daripada sebuah sekolah.Halaman depannya yang luas dihiasi taman-taman rapi dengan bunga berwarna-warni, sementara sebuah air mancur besar berdiri megah di tengah. Anak-anak dengan seragam rapi mulai keluar dari gedung, diantar oleh guru atau asisten pribadi mereka. Di depan gerbang, deretan mobil-mobil mewah berjejer menunggu untuk menjemput mereka pulang.Di tengah hiruk-pikuk siang itu, Lidya berdiri canggung di dekat pintu masuk utama. Tangannya mencengkeram ponsel dalam genggamannya dengan erat, berusaha mengumpulkan keberanian. Setelah menarik napas panjang, i