Siti tidak menyangka bila pria arogan di sampingnya ini, ternyata berani bersikap kurang ajar pada dirinya. Menggendong dirinya tanpa minta ijin lebih dulu. Mata Siti menatap Rayhan dengan penuh dendam.
"Kenapa? Dirimu kesal karena aku menggendongmu tanpa ijin dulu, begitu?" tanya Rayhan menebak dengan benar apa yang menjadi kekesalan Siti saat ini.
"Kalau aku minta ijin dulu belum tentu juga kamu akan memberiku ijin, yang ada justru tendangan mautmu yang akan melayang ke wajahku yang tampan ini," sahut Rayhan sambil mengelus-elus wajahnya. Bersikap narsis biar Siti semakin menjadi sebal.
"Hoeeek!! Tampan dilihat darimana,hah? Dilihat dari puncak gunung lawu pake sedotan, masuk akal itu," jawab Siti sarkas sambil matanya menerawang lalu terbahak-bahak sendiri.
Rayhan menjadi kesal sendiri. Maksud hati ingin membuat Siti kesal justru dia yang kena batunya. Dia menambah kecepatan mobilnya, membuat Siti tanpa sadar mencengkeram lengan Rayhan dengan kencang.
"Eh, yaaa... Gua belum mau mati. Gua belum merit. Gua juga belum pernah ciuman. Gua masih pengen ngerasain ena-ena dulu. Gua ogah mati pokoknya. Setop-setop," teriak Siti kian heboh.
Huahahahaha. Rayhan ngakak sengakak-ngakaknya di dalam hatinya. Sumpah. Ini cewek geblek juga ya, serunya dalam hati sambil melirik ke arah Siti yang belum juga melepaskan tangannya dari lengannya.
Mendadak Rayhan menginjak rem, sehingga kening Siti sukses mencium dashboard mobil mewah itu. Cengkraman tangan Siti terlepas dari lengan Rayhan, namun sayang dahinya harus menjadi korban.
"Niat banget ya buat orang terluka. Central lock opened," seru Siti sambil mengelus-elus keningnya yang mulai agak membesar setengah bulatan bakso. Rayhan terkejut. Bagaimana bisa gadis aneh ini tahu kata perintah yang ia buat untuk membuka pintu mobilnya. Padahal baru kali ini gadis ini naik mobil mewahnya.
Siti melenggang keluar dengan santainya sambil mengelus keningnya yang membesar lebih dari sebelumnya, tanpa menanggapi tatap keheranan Rayhan gegara ia mengucapkan kata ajaib untuk membuka pintu mobil mewah pria arogan itu.
"Hei, memang ini jalan ke rumah kamu?" tanya Rayhan setengah berteriak. Siti tetap saja berjalan tanpa mengindahkan teriakan Rayhan. Rayhan segera menyusul Siti sambil membawa kresek berisi martabak yang tadi dibelinya.
Tiba-tiba terdengar suara cempreng khas emak-emak tatkala memergoki anak gadisnya pulang terlalu malam bersama laki-laki asing yang tidak ia kenal.
"Siti Zulaikah!! Kenapa baru pulang sekarang? Emak tadikan sudah bilang jangan pulang malam-malam dan jangan mampir kemana-mana.. pesanan emak mana? Martabak yang emak pesan mana??" omel sang emak panjang dengan ujung-ujungnya menagih pesanannya.
Martabak! Martabaknya mana?? Siti mendadak bingung. Ia segera memutar tubuhnya mencari sosok pria arogan yang tadi berteriak-teriak memanggilnya. Ia berlari kembali menuju ke mobil mewah yang ia lihat masih terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri. Siti menarik nafas lega. Si arogan masih di sana, ia langsung berjalan cepat menghampiri Rayhan yang pura-pura sibuk menelpon seseorang.
Rayhan tersenyum licik. Tidak segampang itu kamu mengambil martabak ini, batinnya sambil menyunggingkan senyuman licik di wajah tampannya. Tidak ada yang gratis di dunia ini
"Hey, mana martabaknya tadi?" tanya Siti tanpa adab sopan santun samasekali. Tanpa memanggil nama dan main perintah saja.
"Ngomong sama siapa?" tanya Rayhan acuh sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku celananya.
"Ya situlah masakan aku ngomong sama si gagah Optimus Prime," jawab Siti sedikit ketus.
"Dua ratus ribu," Rayhan menagih uang yang sudah ia keluarkan untuk mendapatkan martabak itu.
"Haah, mahal beeng, biasanya juga cuma habis 20 ribu," protes Siti.
"Ogah gue. Mending beli sendiri, genjot sepeda mini gua," jawab Siti lantang. Ia lupa bila sepeda mini miliknya masih berada di samping toko.
" Ya udah, sana ambil sepedanya sana," jawab Rayhan acuh. Ia langsung membuka pintu mobilnya sambil kembali membawa kresek yang berisi martabak masuk ke dalam mobil bersamanya.
"Eeee, tunggu..tunggu dulu," cegah Siti.
"Ya, udah ya udah...mana martabaknya. Ni 50 ribu dulu sisanya bulan depan. Uangku tinggal segitu.. udah cepetan mana martabaknya..." ujar Siti terus memaksa Rayhan untuk menyerahkan kresek itu.
"Kamu nggak perlu bayar ini martabak, asalkan kamu mau menuruti permintaanku," jawab Rayhan memberikan syarat kepada Siti.
"Ya amplop, pake syarat segala, ya udah apa syaratnya, keburu emak nyusul ke sini lagi," ucap Siti gusar.
"Datang ke rumahku besok malam minggu untuk makan malam bersama kedua orang tuaku. Tidak menerima penolakan," ujar Rayhan. Siti mendadak terdiam. Ini pasti akibat kejadian kemarin, karena pria arogan ini mengakui dirinya sebagai calon istrinya. Siti masih terdiam, sibuk dengan tebakannya sendiri.
"Ayo, biar aku antar kamu ke rumah, biar ibu kamu itu tidak lagi jadi tarzan kemalaman," ujar Rayhan dengan nada memaksa lalu meraih tangan Siti kemudian menggenggamnya. Siti hanya diam saja. Rasa malas untuk membantah Rayhan tiba-tiba datang menyergapnya. Rayhanpun dengan tanpa penolakan yang berarti dari Siti, berjalan dengan menggenggam tangan Siti dengan tangan kanannya, sedang tangan kirinya membawa kresek berisikan martabak telur.
Sesampainya di depan rumah, Siti melepaskan genggaman tangan Rayhan dan mulai memanggil emaknya.
"Mak, pesanannya udah datang nih," seru Siti seraya hendak menghempaskan tubuhnya di kursi yang tersedia di teras rumahnya, sambil meletakkan kresek yang berisi martabak itu di atas
Rayhan tidak membiarkan Siti untuk duduk. Ditariknya lagi tubuh Siti, untuk kembali berdiri di sampingnya. Tak lama kemudian, kedua orang tuanya datang menghampiri mereka.
Lina, sang emak memandang penuh curiga ke arah Rayhan, mengapa anak perempuan satu-satunya bisa bersama dengan pria dewasa nan tampan yang saat ini berdiri di samping sang putri sambil saling bergenggaman tangan. Lantas ini, mengapa ada banyak sekali martabak di dalam kresek hitam.
Menangkap kebingungan di wajah wanita paruh baya itu, Rayhan langsung membuka bibirnya, menjelaskan apa yang tengah terjadi. Akhirnya, setelah mendengar penjelasana dari Rayhan, Lina kemudian mempersilahkan Rayhan duduk di samping kursi yang diduduki Siti.
"Jadi, kedatangan saya kesini untuk meminta ijin pada bapak dan Ibu, Apakah saya di perbolehkan untuk mengajak Siti makan malam bersama keluarga saya besok malam minggu?" ucap Rayhan hati-hati, mencoba menjadi pria baik-baik di depan calon besan pura-puranya. Dia terpaksa bersikap begini agar usahanya menggagalkan perjodohan orangtuanya berhasil meski hanya untuk beberapa waktu saja. Sangat jauh dari sifatnya yang angkuh, dingin dan tidak mau dibantah siapapun.
"Boleh-boleh saja, tapi anak emak jangan di suruh berangkat sendiri. Kamu jemput dia besok," jawan Lina dengan memberi satu syarat itu tadi.
"Siap, Bu. Besok saya akan jemput Siti satu jam lebih awal," jawab Rayhan semangat empat lima.
" Trus, kapan kamu akan melamar Siti?" tanya Lina langsung berhasil membuat Rayhan dan Siti tersedak seketika. Siti langsung mencak-mencak tidak karuan mendengar pertanyaan emaknya yang menghancurkan kredibilitas dirinya sebagai gadis yang anti mengemis cinta.
"Emaaakk! Ngomong apaan sih? Malu lah mak nodong-nodong orang buat ngajakin anaknya nikah," keluh Siti menahan malu. Rayhan tersenyum dalam hati. Kenapa gadis ini makin diliat makin lucu, batinnya.
"Secepatnya, Mak.. Terserah Sizu saja mau minta dilamar kapan?" ujar Rayhan menambah keruh suasana dan membuat sang emak semakin salah paham. Siti langsung memukul keras lengan Rayhan disertai tatapan galaknya.
"Kamu tidak sedang mempermainkan anak saya kan?" sentil emak dengan kata-kata yang berubah menjadi serius, sambil menatap tajam Rayhan.
"Awas kalau sampai kamu mempermainkan anak gadisku ini. Meski wajahnya datar, nggak ada cantik-cantiknya, tapi kalau dia sampai kamu sakitin, emak akan menyunatimu puluhan kali!" Ancaman Lina membuat Rayhan bergidik ngeri.
Sudah dua hari ini, sejak dirinya bertemu dengan si pria arogan, hidup Siti menjadi kacau dan galau. Setiap hari dirinya harus mendengarkan ceramah pagi ala sang emak mengenai bagaimana cara menjadi istri yang baik bagi suaminya. Seperti pagi ini. Siti yang masih bersembunyi dibalik selimut, semakin enggan meninggalkan kasurnya karena mendengar ocehan emaknya sedari subuh. Pria arogan menyebalkan itu sudah merusak semua tatanan kehidupan yang sudah susah-susah Siti bangun. Siti semakin membenci laki-laki itu. Meski tampan tapi menyebalkan, Siti ogah berhubungan lebih lama lagi. Ia harus menghindari laki-laki itu. Gedoran di pintu kamarnya terdengar untuk kesekian kalinya. Dengan rasa malas, Siti beranjak bangun dari balutan selimut tebalnya. Setelah merapikan kamarnya, Siti meraih handuk barunya dari dalam lemari, lalu membuka pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa mengindahkan sang emak yang masih saj
Siti membanting tas ranselnya ke atas kasur. Lagi, pria itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan idolanya. Untuk kesekian kalinya, Tuan Arken meninggalkan toko roti itu dengan wajah masam. Sebenarnya, Siti agak bingung juga dengan sikap Tuan Arken yang tiba-tiba ngambek karena kehadiran si manusia arogan yang Siti benci bukan kepalang. Laki-laki tampan itu pergi begtu saja dengan wajah kesal, setelah Rayhan meminta ijin untuk berbicara dengan Siti sambil menarik pergi gadis itu.Teringat percakapannya dengan pria angkuh yang ia benci sampai sumsum tulang belakangnya. Mengancam akan menghancurkan segala usaha yang sedang dirintis kedua orang tuanya, bila dirinya mangkir dari acara makan malam bersama dengan orangtua pria angkuh itu nanti malam.Ketika ia hendak menumpahkan kekesalannya, dengan cara meneriaki nama orang yang membuatnya kesal, Siti baru ingat bahwa ia tidak tahu nama calon suami pura-puranya itu. Ia hanya memberi nama Rayha
Rayhan membawa Siti ke sebuah toko baju yang terkenal di kota itu. Ia memilihkan sendiri pakaian yang harus dikenakan Siti. Bisa dibayangkan Rayhan yang berjalan bolak-balik dari satu rak ke rak yang lain mengambil baju dan menempelkannya ke badan Siti yang berada di belakangnya. Siti hanya mengikutinya dari belakang. Ingin rasanya ia duduk saja di kursi tunggu dan membiarkan calon suaminya itu berjalan kesana kemari sendiri tapi harapannya itu sia-sia karena tangan Rayhan tidak lepas dari pergelangan tangannya.Siti tidak berani banyak protes karena ia takut akan diancam harus membayar semua baju yang dipilihkan Rayhan nantinya. Ia ikuti terus langkah tubuh tegap di depannya. Andai kau benar-benar pria yang aku cintai dan kita benar-benar saling mencintai, aku sangat ingin memelukmu dari belakang, khayal Siti melihat punggung tegap Rayhan dari belakang. Ditengah keasyikannya mengkhayal, Siti terpaksa harus merelakan hidungnya yang setengah mancung itu mencium punggung
Setelah menjadikan foto dirinya sendiri sebagai wallpaper ponselnya, barulah Siti duduk tenang sembari bersenandung kecil, tapi masih bisa terdengar oleh Rayhan. Rayhan kembali mengingat sudah berapa kali dirinya dan Siti berdiri berdekatan dan tak jarang sampai bersentuhan kulit, namun rasa tidak nyaman dan panik seperti biasanya, tidak pernah ia rasakan. Anak kecil ini justru dengan bebasnya berada di sekeliling dirinya dan itupun tidak mendapat penolakan dari tubuhnya. Dirinya malah merasa nyaman seperti bila ia berdekatan dengan sang mama. Mobil Rayhan berhenti setelah membelok ke kanan dan berhenti tepat di sebuah rumah besar, sangat besar menurut Siti. Tak berapa lama, gerbang putih yang tinggi menjulang itu terbuka dan masuklah mobil Rayhan dengan perlahan. Ia kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Siti. Tatkala Siti menjejakkan kakinya ke tanah, Siti menjerit. Rayhan langsung mendelik kaget. "Ada apa?" tanya Rayhan menatap Siti bingung.&n
"Minggu depan,Pa. Minggu depan tolong lamarkan Siti untuk Rayhan," ucap Rayhan lantang membuat Siti membulatkan mata dengan sempurna. Mama Ray terkejut. "Tuan... maksudnya apa ya?" Siti mendekatkan dirinya ke Rayhan menanyakan maksud perkataannya dengan nada ditekan menahan kesal. Ini jelas melenceng jauh dari rencana awal, dan mengandung bahaya yang sangat mengancam dirinya. "Maksudnya aku mau ngajak kamu menikah," jawab Rayhan menatap serius Siti. "No way! Jangan ngarang!" Siti menggumam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Papa Ardan dan Mama Ray menyaksikan percakapan keduanya dalam diam. "Permisi Om, Tante.. Siti ijin pamit pulang dulu." Siti sudah tidak bisa mentolerir sikap semena-mena Rayhan. Ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan meski belum mendapat persetujuan tuan rumah. Melihat Siti yang melangkahkan kakinya dengan tergesa d
Siti akhirnya bisa melepaskan dirinya dari kejaran anjing penjaga rumah yang tiba-tiba muncul menggonggongi dirinya layaknya seorang maling. Ia mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Di sampingnya duduk Rayhan yang mengemudikan mobil dalam diam. Diamnya Rayhan bukanlah diam biasa. Diamnya Rayhan karena memikirkan persyaratan yang ia berikan pada Siti saat gadis itu memintanya untuk segera menjalankan mobil, meninggalkan anjing penjaga yang mengejar gadis labil itu. Siti mengambil air mineral yang ada di dashboard tanpa ijin si pemilik. Diminumnya sampai habis sambil menghela kerigat yang membasahi keningnya. Rayhan menatap gadis di sebelahnya yang wajahnya bersemu merah karena kelelahan setelah berlarian ke sana kemari. Buliran keringat masih keluar dari sela-sela poni Siti dan mengalir turun membasahi kening, pelipis dan alis Siti. Rayhan mendadak gerah, ia dengan cepat mengambil satu kotak tisu yang ada di depannya dan mengangsurkannya
I hate monday. Ternyata berlaku juga dalam kamus kehidupan Siti. Bukan karena pekerjaan yang membuatnya merasa uring-uringan, melainkan bibir nyiniyir Asih yang sudah membuat moodnya memburuk,ketika kaki kanannya menapak di lantai toko sedang tangan kirinya mendorong kuat pintu masuk yang terbuat dari kaca bening yang tebal. "Nah, yang baru saja jadi topik pembicaraan sudah datang. Tanya langsung aja sama si Julaekah.." ujar Asih ketus dengan mata mengerling menjengkelkan dan bibir tebalnya yang mincap mincep, ke depan dan ke belakang. Siti yang baru saja memasuki toko melangkah dengan langkah bingung. Ada apa nih, pagi-pagi kok hawanya nggak enak begini, gumamnya terus mendekati meja kasir. Udin si driver antaran berjalan mendekati Siti sambil menyerahkan sebuah amplop putih. "Ada yang menitipkan ini untukmu. Seseorang dengan jas mahal melekat di tubuhnya. Siapa?" Udin mencoba menghilangkan rasa penasarannya. "Ya mana tau, fans ku kan ban
Siti menatap Asih dengan tatapan ingin menelannya bulat-bulat. Arya masih setia menunggu jawaban Siti. "Ka... Kamu udah nikah?" tanyanya lagi. Siti mengangkat ke sepuluh jarinya. "Ada cincin nggak?" Siti mendekatkan ke sepuluh jari ke wajah Arya. Arya tersenyum lega. Diturunkannya kedua tangannya dan membawa kedua nampan yang sudah penuh dengan roti pilihan Arya. Arya mengambil salah satu nampan dari tangan Siti dan berjalan mendahului Siti ke meja kasir. Siti kembali ke meja kasir, menghitung semua roti lalu menatanya dalam kotak roti, terakhir memasukkannya ke dalam paperbag. "Totalnya 230 ribu, Tuan." Arya mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan memberinya 3 lembaran uang kertas berwarna merah. "Terimakasih." Siti menyerahkan struk pembelian beserta kembaliannya. "Buatmu saja." Arya hanya mengambil struk pembelian dan meninggalkan uang kembaliannya. Arya mengambil paperbag dar
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b