Sudah dua hari ini, sejak dirinya bertemu dengan si pria arogan, hidup Siti menjadi kacau dan galau. Setiap hari dirinya harus mendengarkan ceramah pagi ala sang emak mengenai bagaimana cara menjadi istri yang baik bagi suaminya.
Seperti pagi ini. Siti yang masih bersembunyi dibalik selimut, semakin enggan meninggalkan kasurnya karena mendengar ocehan emaknya sedari subuh. Pria arogan menyebalkan itu sudah merusak semua tatanan kehidupan yang sudah susah-susah Siti bangun. Siti semakin membenci laki-laki itu. Meski tampan tapi menyebalkan, Siti ogah berhubungan lebih lama lagi. Ia harus menghindari laki-laki itu.
Gedoran di pintu kamarnya terdengar untuk kesekian kalinya. Dengan rasa malas, Siti beranjak bangun dari balutan selimut tebalnya. Setelah merapikan kamarnya, Siti meraih handuk barunya dari dalam lemari, lalu membuka pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa mengindahkan sang emak yang masih saja nyerocos meski tanpa pendengar.
Siti mencuci rambutnya dengan shampoo beraroma stroberi kesukaannya, berniat membuang sial yang beberapa hari ini menyertainya. Ia membersihkan badannya sebersih-bersihnya. Pokoknya ia harus berubah sekarang. Dirinya akan menganggap pria arogan itu tidak ada dihadapannya bila pria itu nanti secara tiba-tiba datang ke toko rotinya. Gara-gara pria itu juga, Tuan Arken berubah menjadi dingin padanya. Tidak lagi menampilkan senyum manisnya ketika Siti menyapa dirinya.
Siti sudah siap menaiki sepeda mininya ketika dering ponselnya terdengar. Tanpa melihat siapa yang menelpon, Siti menggeser tombol berwarna hijau ke arah kanan.
"Yes, halo.."
"Tunggu di depan rumah, Yuda sedang dalam perjalanan menjemputmu," suara di ujung sana memerintah Siti sekehendak hatinya.
Siti menatap layar ponselnya. Tsk. Bodoh. Mengapa ia tidak melihat nama si penelpon lebih dulu sebelum ia angkat. Siti diam. Ia sudah berkomitmen untuk kembali menjadi dirinya sendiri. Masa bodoh dengan si pria arogan, masa bodoh dengan statusnya sebagai calon istri putra tunggal pemilik grup Angkasa itu. Toh itu juga hanya pura-pura. Masa bodoh dengan semuanya.
Siti menarik nafas dan membulatkan tekadnya. Lalu ia mengayuh sepeda mininya dengan semangat empat lima, berharap hari ini kembali seperti hari sebelum ia bertemu dengan Rayhan, pria angkuh yang menjadikan dirinya sebagai calon istri secara sepihak. Tampan memang, tinggi dan berkulit putih pula, dengan hidung mancung dan bibir sedang yang berwarna merah, secara penampilan fisik tidak bercela. Namun, Siti justru merasa kesal. Sifat semena-mena Rayhan dan mau menang sendiri itulah yang membuat Siti kesal sendiri.
Tidak sampai sepuluh menit, kini Siti sudah selesai memarkirkan sepedanya di tempat parkir biasanya. Maman yang sedari tadi sudah duduk manis di kursi jaga, melambaikan tangan selamat pagi pada Siti. Siti hanya menganggukkan kepalanya, membuat Maman heran. Biasanya anak itu sudah berteriak-teriak heboh.
"Selamat Pagi.." sapa Siti berusaha mengembalikan semangatnya.
"Halo cintaku, sayangku. Sizuka..." sapa Asih dengan hebohnya. Tumben anak ini menyapa dirinya lebih dulu, gumam Siti keheranan sambil berjalan masuk ke meja kasir, dan meletakkan tas selempangnya di bawah meja.
"Barusan Tuan Arken ke sini... dan dirinya mencari akyu bukan dirimu..hahahaha.." cerita Asih dengan semangat memamerkan keberuntungannya yang baru kali ini berkesampatan melayani Tuan Arken yang tampan.
Aah, semangat yang tadi dipompanya sepanjang jalan menuju tempat kerjanya,menguap sudah. Siti kembali tidak bersemangat. Ia kemudian meraih tasnya dan mencari uang pecahan 10 ribuan, lalu berjalan keluar dengan paperbag di tangannya. Ia celingukan mencari sosok pria renta yang biasanya mencari botol bekas di tempat sampah di dekat tempat Maman duduk. Maman yang sudah hafal dengan kebiasaan Siti langsung memanggil nama Siti dan menunjuk ke arah seberang jalan. Siti melihat arah jari telunjuk Maman. Wajahnya langsung sumringah dan dengan berjalan agak cepat, Siti menyebrang jalan dan menghampiri pria yang tadi ia cari. Ia memberikan satu paperbag yang berisi satu bungkus roti tawar dan 1 cup selai nanas sembari menyelipkan selembar uang 10 ribu. Siti kemudian berbalik arah, kembali ke toko dengan hati yang lebih ringan, senyum tak lepas dari wajah imutnya. Memang benar kata pak ustads, hilangkanlah kesedihanmu meski hanya dengan seulas senyum.
Siti tidak menyadari bila ada dua pasang mata yang mengawasinya dari dua mobil yang berbeda. Ya, Arken atau lebih sering dipanggil Siti sebagai Tuan Arken, belum beranjak pergi dari parkir mobil di seberang jalan. Ia sengaja menunggu Siti meski ia tadi sudah membeli roti di toko itu. Melihat Siti keluar dari toko itu dengan menenteng paperbag, mengundang rasa penasarannya. Arken memutuskan untuk keluar dari mobilnya dan berjalan menuju ke toko roti itu lagi.
Di arah lain, Rayhan yang duduk dibelakang kemudi memperhatikan dari jauh sejak kedatangan Siti di tempat itu. Saat ia mendapat telpon dari asistennya, Yuda, Rayhan memutuskan untuk datang ke toko roti itu sendiri. Melihat betapa suntuk wajah calon istri pura-puranya itu, membuat dirinya penasaran. Rayhan keluar dari mobilnya dan berjalan menyusuri trotoar di depannya hingga dirinya tiba di depan pintu masuk.
Kedua pria tampan itu berjalan mengarah pada tempat yang sama. Para pejalan kaki yang kebetulan berada di sekitar toko roti itu, terpukau dengan kedatangan dua pria tampan tanpa cela tersebut. Dua pria itu tak mengindahkan sedikitpun jeritan beberapa wanita yang berpapasan dengan mereka.
"Selamat datang, Tuan.." sapa Siti ketika mendengar suara bel kedatangan yang akan berbunyi otomatis ketika ada pengunjung yang datang.
Siti terkesima melihat pengunjung yang datang. Tuan Arken. Bukannya ia tadi sudah kemari? tanyanya dalam hati. Saat Siti hendak menyambut Arken, terdengar lagi suara bel kedatangan. Belum sempat ia mengucapkan ucapan selamat datang, lagi, dirinya dibuat terkejut dengan sosok yang datang di toko roti itu.
Teringat dengan tekad yang tadi pagi ia ucapkan sebelum berangkat. Siti kemudian mengabaikan kedatangan pengunjung kedua.
"Selamat datang, Tuan Arken," sapa Siti dengan senyum lebar dan wajah berseri sumringah.
Arken menanggukkan kepalanya sebagai balasan sapaan yang diucapkan Siti.
"Ingin membeli apa, Tuan?" tanya Siti menatap intens Arken yang sibuk memandangi puding yang kali ini bernuansa cerah penuh dengan taburan buah-buahan di atasnya.
"Ini susu asli atau hanya kremer saja?" tanyanya.
" Ada yang asli ada yang kremer, Tuan cari yang mana? " jawab Siti masih dengan tersenyum ramah
"Yang stroberi ini?" tanyanya lebih lanjut. Arken sengaja berlama-lama.
"Permisi..Saya ada perlu dengan Sizuka," Rayhan tiba-tiba datang menyerobot, lalu menarik tangan Siti menjauh dari Arken. Sizuka mendelikkan matanya tanda tidak setuju. Namun dirinya terlambat, Rayhan sudah menarik tangannya lebih dulu sebelum Siti menyadarinya.
"Tuan, sebenarnya ada masalah apa? Kenapa Tuan selalu mengganggu saya?" protes Siti akhirnya.
"Tidak ada apa-apa. Aku ingin menculikmu. Ingat, kau sudah berjanji untuk datang memenuhi undangan kedua orang tuaku. Jangan mencoba untuk melarikan diri. Membayangkanpun jangan atau segala usaha yang tengah dijalankan kedua orang tuamu tidak akan dapat tempat di kota ini," ancam Rayhan. Dirinya heran, mengapa gadis ini suka sekali diancam.
"Iya, percayalah, aku tidak akan lupa pada janjiku. Tapi sekarang aku sedang bekerja. Baru saja absen, masa iya langsung cabut lagi." Siti berusaha memberi penjelasan dengan sabar sekali. Asal tahu, jauh dilubuk hatinya, ingin sekali dirinya menjadikan lelaki angkuh itu santapan ikan lelenya di rumah. Merasa kesal sekali hingga di pucuk ubun-ubun kepalanya. Baru kali ini ia membenci hari sabtu. Sabtu kali ini menjadi hari Sabtu yang paling menyebalkan seumur hidupnya.
Siti membanting tas ranselnya ke atas kasur. Lagi, pria itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan idolanya. Untuk kesekian kalinya, Tuan Arken meninggalkan toko roti itu dengan wajah masam. Sebenarnya, Siti agak bingung juga dengan sikap Tuan Arken yang tiba-tiba ngambek karena kehadiran si manusia arogan yang Siti benci bukan kepalang. Laki-laki tampan itu pergi begtu saja dengan wajah kesal, setelah Rayhan meminta ijin untuk berbicara dengan Siti sambil menarik pergi gadis itu.Teringat percakapannya dengan pria angkuh yang ia benci sampai sumsum tulang belakangnya. Mengancam akan menghancurkan segala usaha yang sedang dirintis kedua orang tuanya, bila dirinya mangkir dari acara makan malam bersama dengan orangtua pria angkuh itu nanti malam.Ketika ia hendak menumpahkan kekesalannya, dengan cara meneriaki nama orang yang membuatnya kesal, Siti baru ingat bahwa ia tidak tahu nama calon suami pura-puranya itu. Ia hanya memberi nama Rayha
Rayhan membawa Siti ke sebuah toko baju yang terkenal di kota itu. Ia memilihkan sendiri pakaian yang harus dikenakan Siti. Bisa dibayangkan Rayhan yang berjalan bolak-balik dari satu rak ke rak yang lain mengambil baju dan menempelkannya ke badan Siti yang berada di belakangnya. Siti hanya mengikutinya dari belakang. Ingin rasanya ia duduk saja di kursi tunggu dan membiarkan calon suaminya itu berjalan kesana kemari sendiri tapi harapannya itu sia-sia karena tangan Rayhan tidak lepas dari pergelangan tangannya.Siti tidak berani banyak protes karena ia takut akan diancam harus membayar semua baju yang dipilihkan Rayhan nantinya. Ia ikuti terus langkah tubuh tegap di depannya. Andai kau benar-benar pria yang aku cintai dan kita benar-benar saling mencintai, aku sangat ingin memelukmu dari belakang, khayal Siti melihat punggung tegap Rayhan dari belakang. Ditengah keasyikannya mengkhayal, Siti terpaksa harus merelakan hidungnya yang setengah mancung itu mencium punggung
Setelah menjadikan foto dirinya sendiri sebagai wallpaper ponselnya, barulah Siti duduk tenang sembari bersenandung kecil, tapi masih bisa terdengar oleh Rayhan. Rayhan kembali mengingat sudah berapa kali dirinya dan Siti berdiri berdekatan dan tak jarang sampai bersentuhan kulit, namun rasa tidak nyaman dan panik seperti biasanya, tidak pernah ia rasakan. Anak kecil ini justru dengan bebasnya berada di sekeliling dirinya dan itupun tidak mendapat penolakan dari tubuhnya. Dirinya malah merasa nyaman seperti bila ia berdekatan dengan sang mama. Mobil Rayhan berhenti setelah membelok ke kanan dan berhenti tepat di sebuah rumah besar, sangat besar menurut Siti. Tak berapa lama, gerbang putih yang tinggi menjulang itu terbuka dan masuklah mobil Rayhan dengan perlahan. Ia kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Siti. Tatkala Siti menjejakkan kakinya ke tanah, Siti menjerit. Rayhan langsung mendelik kaget. "Ada apa?" tanya Rayhan menatap Siti bingung.&n
"Minggu depan,Pa. Minggu depan tolong lamarkan Siti untuk Rayhan," ucap Rayhan lantang membuat Siti membulatkan mata dengan sempurna. Mama Ray terkejut. "Tuan... maksudnya apa ya?" Siti mendekatkan dirinya ke Rayhan menanyakan maksud perkataannya dengan nada ditekan menahan kesal. Ini jelas melenceng jauh dari rencana awal, dan mengandung bahaya yang sangat mengancam dirinya. "Maksudnya aku mau ngajak kamu menikah," jawab Rayhan menatap serius Siti. "No way! Jangan ngarang!" Siti menggumam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Papa Ardan dan Mama Ray menyaksikan percakapan keduanya dalam diam. "Permisi Om, Tante.. Siti ijin pamit pulang dulu." Siti sudah tidak bisa mentolerir sikap semena-mena Rayhan. Ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan meski belum mendapat persetujuan tuan rumah. Melihat Siti yang melangkahkan kakinya dengan tergesa d
Siti akhirnya bisa melepaskan dirinya dari kejaran anjing penjaga rumah yang tiba-tiba muncul menggonggongi dirinya layaknya seorang maling. Ia mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Di sampingnya duduk Rayhan yang mengemudikan mobil dalam diam. Diamnya Rayhan bukanlah diam biasa. Diamnya Rayhan karena memikirkan persyaratan yang ia berikan pada Siti saat gadis itu memintanya untuk segera menjalankan mobil, meninggalkan anjing penjaga yang mengejar gadis labil itu. Siti mengambil air mineral yang ada di dashboard tanpa ijin si pemilik. Diminumnya sampai habis sambil menghela kerigat yang membasahi keningnya. Rayhan menatap gadis di sebelahnya yang wajahnya bersemu merah karena kelelahan setelah berlarian ke sana kemari. Buliran keringat masih keluar dari sela-sela poni Siti dan mengalir turun membasahi kening, pelipis dan alis Siti. Rayhan mendadak gerah, ia dengan cepat mengambil satu kotak tisu yang ada di depannya dan mengangsurkannya
I hate monday. Ternyata berlaku juga dalam kamus kehidupan Siti. Bukan karena pekerjaan yang membuatnya merasa uring-uringan, melainkan bibir nyiniyir Asih yang sudah membuat moodnya memburuk,ketika kaki kanannya menapak di lantai toko sedang tangan kirinya mendorong kuat pintu masuk yang terbuat dari kaca bening yang tebal. "Nah, yang baru saja jadi topik pembicaraan sudah datang. Tanya langsung aja sama si Julaekah.." ujar Asih ketus dengan mata mengerling menjengkelkan dan bibir tebalnya yang mincap mincep, ke depan dan ke belakang. Siti yang baru saja memasuki toko melangkah dengan langkah bingung. Ada apa nih, pagi-pagi kok hawanya nggak enak begini, gumamnya terus mendekati meja kasir. Udin si driver antaran berjalan mendekati Siti sambil menyerahkan sebuah amplop putih. "Ada yang menitipkan ini untukmu. Seseorang dengan jas mahal melekat di tubuhnya. Siapa?" Udin mencoba menghilangkan rasa penasarannya. "Ya mana tau, fans ku kan ban
Siti menatap Asih dengan tatapan ingin menelannya bulat-bulat. Arya masih setia menunggu jawaban Siti. "Ka... Kamu udah nikah?" tanyanya lagi. Siti mengangkat ke sepuluh jarinya. "Ada cincin nggak?" Siti mendekatkan ke sepuluh jari ke wajah Arya. Arya tersenyum lega. Diturunkannya kedua tangannya dan membawa kedua nampan yang sudah penuh dengan roti pilihan Arya. Arya mengambil salah satu nampan dari tangan Siti dan berjalan mendahului Siti ke meja kasir. Siti kembali ke meja kasir, menghitung semua roti lalu menatanya dalam kotak roti, terakhir memasukkannya ke dalam paperbag. "Totalnya 230 ribu, Tuan." Arya mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan memberinya 3 lembaran uang kertas berwarna merah. "Terimakasih." Siti menyerahkan struk pembelian beserta kembaliannya. "Buatmu saja." Arya hanya mengambil struk pembelian dan meninggalkan uang kembaliannya. Arya mengambil paperbag dar
Rayhan dan Arya akhirnya meninggalkan toko roti itu setelah acara sarapan pagi mereka selesai. Siti akhirnya dapat bernapas lega karena ia terlepas dari tatapan cemburu Rayhan dan tatapan curiga Arya. Tinggal satu teror yang masih mengintainya. Sosok itu sedang berjuang mendorong rak susun lima tingkat. Sungguh, bila mengingat betapa menyebalkan orang yang sedang mendorong rak itu dengan sekuat tenaga, ia sangat ingin menelannya bulat-bulat. Namun, bila bukan karenanya Siti tidak akan pernah bekerja dan mengenal begitu banyak kalangan-kalangan atas dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka. Asih. Ya, sosok itu adalah Asih. Terkadang ia bisa menjadi sosok yang sangat menyebalkan tapi di saat yang lain ia akan dengan cepat berubah menjadi sosok yang begitu perhatian dan menyenangkan. Tuhan Maha Adil. Ia begitu sempurna menciptakan manusia dengan berbagai sifat uniknya, yang tidak akan sama satu dengan yang lain, meski mereka kembar sekalipun. Siti berjal
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b