Rayhan membawa Siti ke sebuah toko baju yang terkenal di kota itu. Ia memilihkan sendiri pakaian yang harus dikenakan Siti. Bisa dibayangkan Rayhan yang berjalan bolak-balik dari satu rak ke rak yang lain mengambil baju dan menempelkannya ke badan Siti yang berada di belakangnya. Siti hanya mengikutinya dari belakang. Ingin rasanya ia duduk saja di kursi tunggu dan membiarkan calon suaminya itu berjalan kesana kemari sendiri tapi harapannya itu sia-sia karena tangan Rayhan tidak lepas dari pergelangan tangannya.
Siti tidak berani banyak protes karena ia takut akan diancam harus membayar semua baju yang dipilihkan Rayhan nantinya. Ia ikuti terus langkah tubuh tegap di depannya. Andai kau benar-benar pria yang aku cintai dan kita benar-benar saling mencintai, aku sangat ingin memelukmu dari belakang, khayal Siti melihat punggung tegap Rayhan dari belakang. Ditengah keasyikannya mengkhayal, Siti terpaksa harus merelakan hidungnya yang setengah mancung itu mencium punggung keras pria di depannya itu.
"Yaa, kalau mau berhenti bilang-bilang gitu. Kan kasian hidung imut ini, udah tumbuhnya nanggung nabrak pula, gagal mancung ke depan malah mancung ke dalam," rutuk Siti mengelus ujung hidungnya yang kini sukses berwarna merah.
"Pakai ini dan jangan kebanyakan protes." Rayhan memberi perintah agar Siti segera memakai gaun pilihannya dan berjalan menuju kursi tunggu yang berhadapan langsung dengan ruang ganti pakaian. Dengan menggerutu dan masih mengelus ujung hidungnya yang merah dan terasa sakit, Siti mengikuti perintah Rayhan. Ia melihat gaun itu sekias lalu segera mengganti pakaiannya dengan gaun tersebut, sebuah gaun berwarna navy dengan desain sederhana, panjang hingga lutut, bentuk leher dengan model kerah sabrina yang sedikit menampakkan pundak dan leher Siti yang mulus dan putih. Siti memandangi dirinya pada cerimin yang terletak di hadapannya. Cantik, pujinya sendiri. Dirinya terkekeh sendiri. Kapan lagi mengagumi diri sendiri dengan gaun yang harganya bikit dirinya makan hati. Ia abaikan harga yang masih menggantung di belakang tepat di samping telinganya dan mulai membuka pintu ruang ganti, melangkah keluar untuk melaporkan keadaan dirinya setelah menggunakan gaun hasil pilihan Rayhan.
Rayhan mengalihkan tatapan matanya dari layar ponselnya setelah mendengar derit pintu yang terbuka di hadapannya. Tsk. Kenapa gadis ini malah jadi tambah imut begini, batinnya memandang gemas Siti. Siti bergaya ala fotomodel memutar-mutar badannya, mengangkat tangannya dan meletakkan keduanya di pinggangnya, sesekali meletakkan salah satunya di dagunya dengan memajukan bibirnya meniru-niru gaya para fotomodel saat acara fashion show yang disiarkan di tipi. Rayhan mendengus kesal, padahal jauh di lubuk hatinya Siti berhasil membuatnya tertawa terpingkal-pingkal karena aksinya itu. Pria itu menahan diri sekuat mungkin agar tidak tertawa melihat aneka gaya Siti yang mampu membuat mulas perutnya.
Secepat kilat ia menarik tangan Siti, melangkah keluar dari toko itu dan berjalan menuju tempat lain yang berada dua blok tempat mereka berada sekarang. Siti sekali ini pasrah karena ia tidak ingin mendengar ancaman Rayhan yang ujungnya menyuruh dirinya membayar semua yang dirinya pilihkan untuk Siti.
Salon? Mengapa kesini, tanyanya dalam hati menatap ke arah Rayhan dengan pandangan heran. Bukankah wajahnya sudah cukup cantik? Ia tadi sudah memoleskan lipstik, eyeshadow dan sedikit blush on di pipi cabinya, dan hasilnya juga cukup bagus menurutnya. Rayhan menatap Siti dengan tatapan memerintah. Siti kali ini tidak mau kalah.
"Kan sudah cantik saya? Ini nih sudah warna-warni mukanya, masa iya mau dibikin lagi seperti pelangi?" sungutnya tidak terima, tidak rela hasil kerja keras merias wajahnya dihapus digantikan dengan riasan tangan orang lain.
"Kamu memang sudah cantik, sekarang dibikin lebih cantik lagi, biar bisa jadi istri beneran untuk Rayhan." Jawaban Rayhan membuat jantung Siti melompat-lompat. Istri beneran? Wow, wow, wow,.... Siapa yang mau, tanyanya pada diri sendiri. Tangannya lalu ditarik mua salon itu.
"Make it simple," ujar Rayhan pada si mbak lalu duduk di kursi tunggu. Siti akhirnya merelakan hasil riasannya di hapus dan digantikan dengan make up dari si mbak. Ia terus saja mengikuti instruksi dari mua itu. Rasa malas mengelilinginya karena masih tidak terima hasta karyanya berdandan untuk pertama kalinya di hapus. Siti baru membuka lagi matanya setelah mendengar si mbak mengatakan finish dan meminta Siti membuka mamtanya.
"Woooow, ini aku?" tanya Siti dibuat terkagum-kagum dengan hasil riasan si mbak, yang jelas berbeda jauuh dengan riasannya yang tidak ada cocoknya dengan gaun yang ia pakai. Rayhan menolehkan wajahnya begitu mendengar teriakan heboh Siti. Ia lalu bangkit dan berjalan mendekati Siti yang masih terpana dengan riasan di wajahnya. Rayhan memberikan kartu kepada si mbak dan menikmati kehebohan Siti. Terselip senyum tipis melihat semua tingkah Siti.
Rayhan kembali menarik tangan Siti untuk kesekian kalinya. Namun, tarikannya kali ini lebih membutuhkan tenaga karena Siti enggan meninggalkan meja rias karena masih ingin mengagumi wajahnya lebih lama. Dengan sangat terpaksa, Siti mengikuti Rayhan meninggalkan salon itu, bergegas memasuki mobil mewahnya.
Rayhan menggelengkan kepalanya saat Siti masih asyik berselfi dengan kameranya. Disaat tengah asyik memotret dirinya sendiri, ponselnya mati dan kini ia sedang berusaha meminjam ponsel mahal Rayhan.
"Tuan, pinjam ponselnya ya..jarang-jarang nih bisa cantik kayak begini, seperti artis-artis yang di tipi itu," rayu Siti pada Rayhan yang fokus menyetir. Rayhan masih diam, tidak mengindahkan rayuan Siti sedikitpun. Serentetan kata rayuan sudah keluar dari bibir mungilnya, sayang Rayhan masih tidak bergeming.
"Katanya biar bisa jadi istri beneran, kalau memang begitu harus ada dokumentasi yang bisa meyakinkan tuan besar bahwa saya memang benar calon istri tuan meski cuma kita berdua yang tahu kebenarannya." Rayhan termenung mencerna perkataan Siti barusan. Betul juga. Siapa tahu nanti mama membuka ponsel terus mencari-cari foto Siti di sana, gumamnya dalam hati.
Rayhan lalu menepikan mobilnya. Siti menjerit kesenangan dalam hati, yess. Akan ada princess di ponselnya nanti, serunya dalam hati, merencanakan berbagai pose yang akan ia ambil. Rayhan lalu mengeluarkan ponsel miliknya dari saku celananya. Ia menarik Siti agar mendekat kearahnya. Krek. Krek.Krek. Krek. Krek. Entah sudah berapa banyak foto yang sudah mereka ambil. Rayhan terlihat menikmati pose demi pose yang mereka buat. Pose terakhir adalah saat Siti meletakkan dagunya di atas pundak kiri Rayhan, mereka terlihat sangat serasi.
Rayhan hendak memasukkan kembali ponselnya namun tangan Siti mendadak mencekal tangannya.
"Berhenti, Tuan. Sekarang yang harus Tuan lakukan adalah mengirimkan semua foto-foto itu ke nomor saya," pinta Siti sedikit memaksa. Rayhan kali ini mengabulkan permintaan Siti tanpa banyak pertanyaan dan perlawanan.
Ting. Notifikasi tanda pesan masuk berbunyi di ponsel Siti. Siti buru-buru membuka ponselnya. Ia tersenyum puas dan tidak berhenti-henti memuji dirinya sendiri.
"Anak emak ini memang cantik. Ini tanpa make up sudah begini geulisnya. Yang ini waktu mau berangkat tadi, udah lumayan banget nambah, dan yang ini, huhuhu... cantiknya nggak kalah sama pemain sinetron di tipi jempol itu." Siti terus mengoceh tanpa mengindahkan tatapan Rayhan yang sesekali melirik ke arahnya.
Keliatannya mama bakalan suka sama anak ini, nih, batin Rayhan setelah berulang kali mencuri pandang ke arah Siti. Mama Rayhan tipikal perempuan yang tidak bisa diam. Semua hal tidak luput dari komentarnya. Rayhan tidak bisa membayangkan apa jadinya dirinya dan sang papa saat makan malam nanti.
Setelah menjadikan foto dirinya sendiri sebagai wallpaper ponselnya, barulah Siti duduk tenang sembari bersenandung kecil, tapi masih bisa terdengar oleh Rayhan. Rayhan kembali mengingat sudah berapa kali dirinya dan Siti berdiri berdekatan dan tak jarang sampai bersentuhan kulit, namun rasa tidak nyaman dan panik seperti biasanya, tidak pernah ia rasakan. Anak kecil ini justru dengan bebasnya berada di sekeliling dirinya dan itupun tidak mendapat penolakan dari tubuhnya. Dirinya malah merasa nyaman seperti bila ia berdekatan dengan sang mama. Mobil Rayhan berhenti setelah membelok ke kanan dan berhenti tepat di sebuah rumah besar, sangat besar menurut Siti. Tak berapa lama, gerbang putih yang tinggi menjulang itu terbuka dan masuklah mobil Rayhan dengan perlahan. Ia kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Siti. Tatkala Siti menjejakkan kakinya ke tanah, Siti menjerit. Rayhan langsung mendelik kaget. "Ada apa?" tanya Rayhan menatap Siti bingung.&n
"Minggu depan,Pa. Minggu depan tolong lamarkan Siti untuk Rayhan," ucap Rayhan lantang membuat Siti membulatkan mata dengan sempurna. Mama Ray terkejut. "Tuan... maksudnya apa ya?" Siti mendekatkan dirinya ke Rayhan menanyakan maksud perkataannya dengan nada ditekan menahan kesal. Ini jelas melenceng jauh dari rencana awal, dan mengandung bahaya yang sangat mengancam dirinya. "Maksudnya aku mau ngajak kamu menikah," jawab Rayhan menatap serius Siti. "No way! Jangan ngarang!" Siti menggumam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Papa Ardan dan Mama Ray menyaksikan percakapan keduanya dalam diam. "Permisi Om, Tante.. Siti ijin pamit pulang dulu." Siti sudah tidak bisa mentolerir sikap semena-mena Rayhan. Ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan meski belum mendapat persetujuan tuan rumah. Melihat Siti yang melangkahkan kakinya dengan tergesa d
Siti akhirnya bisa melepaskan dirinya dari kejaran anjing penjaga rumah yang tiba-tiba muncul menggonggongi dirinya layaknya seorang maling. Ia mengatur nafasnya yang masih tersengal-sengal. Di sampingnya duduk Rayhan yang mengemudikan mobil dalam diam. Diamnya Rayhan bukanlah diam biasa. Diamnya Rayhan karena memikirkan persyaratan yang ia berikan pada Siti saat gadis itu memintanya untuk segera menjalankan mobil, meninggalkan anjing penjaga yang mengejar gadis labil itu. Siti mengambil air mineral yang ada di dashboard tanpa ijin si pemilik. Diminumnya sampai habis sambil menghela kerigat yang membasahi keningnya. Rayhan menatap gadis di sebelahnya yang wajahnya bersemu merah karena kelelahan setelah berlarian ke sana kemari. Buliran keringat masih keluar dari sela-sela poni Siti dan mengalir turun membasahi kening, pelipis dan alis Siti. Rayhan mendadak gerah, ia dengan cepat mengambil satu kotak tisu yang ada di depannya dan mengangsurkannya
I hate monday. Ternyata berlaku juga dalam kamus kehidupan Siti. Bukan karena pekerjaan yang membuatnya merasa uring-uringan, melainkan bibir nyiniyir Asih yang sudah membuat moodnya memburuk,ketika kaki kanannya menapak di lantai toko sedang tangan kirinya mendorong kuat pintu masuk yang terbuat dari kaca bening yang tebal. "Nah, yang baru saja jadi topik pembicaraan sudah datang. Tanya langsung aja sama si Julaekah.." ujar Asih ketus dengan mata mengerling menjengkelkan dan bibir tebalnya yang mincap mincep, ke depan dan ke belakang. Siti yang baru saja memasuki toko melangkah dengan langkah bingung. Ada apa nih, pagi-pagi kok hawanya nggak enak begini, gumamnya terus mendekati meja kasir. Udin si driver antaran berjalan mendekati Siti sambil menyerahkan sebuah amplop putih. "Ada yang menitipkan ini untukmu. Seseorang dengan jas mahal melekat di tubuhnya. Siapa?" Udin mencoba menghilangkan rasa penasarannya. "Ya mana tau, fans ku kan ban
Siti menatap Asih dengan tatapan ingin menelannya bulat-bulat. Arya masih setia menunggu jawaban Siti. "Ka... Kamu udah nikah?" tanyanya lagi. Siti mengangkat ke sepuluh jarinya. "Ada cincin nggak?" Siti mendekatkan ke sepuluh jari ke wajah Arya. Arya tersenyum lega. Diturunkannya kedua tangannya dan membawa kedua nampan yang sudah penuh dengan roti pilihan Arya. Arya mengambil salah satu nampan dari tangan Siti dan berjalan mendahului Siti ke meja kasir. Siti kembali ke meja kasir, menghitung semua roti lalu menatanya dalam kotak roti, terakhir memasukkannya ke dalam paperbag. "Totalnya 230 ribu, Tuan." Arya mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya dan memberinya 3 lembaran uang kertas berwarna merah. "Terimakasih." Siti menyerahkan struk pembelian beserta kembaliannya. "Buatmu saja." Arya hanya mengambil struk pembelian dan meninggalkan uang kembaliannya. Arya mengambil paperbag dar
Rayhan dan Arya akhirnya meninggalkan toko roti itu setelah acara sarapan pagi mereka selesai. Siti akhirnya dapat bernapas lega karena ia terlepas dari tatapan cemburu Rayhan dan tatapan curiga Arya. Tinggal satu teror yang masih mengintainya. Sosok itu sedang berjuang mendorong rak susun lima tingkat. Sungguh, bila mengingat betapa menyebalkan orang yang sedang mendorong rak itu dengan sekuat tenaga, ia sangat ingin menelannya bulat-bulat. Namun, bila bukan karenanya Siti tidak akan pernah bekerja dan mengenal begitu banyak kalangan-kalangan atas dengan semua kelebihan dan kekurangan mereka. Asih. Ya, sosok itu adalah Asih. Terkadang ia bisa menjadi sosok yang sangat menyebalkan tapi di saat yang lain ia akan dengan cepat berubah menjadi sosok yang begitu perhatian dan menyenangkan. Tuhan Maha Adil. Ia begitu sempurna menciptakan manusia dengan berbagai sifat uniknya, yang tidak akan sama satu dengan yang lain, meski mereka kembar sekalipun. Siti berjal
Rayhan membawa mobilnya dengan sedikit ugal-ugalan. Siti yang membawa puding berteriak-teriak panik. "Yaa...Apa tidak bisa pelan sedikit atau menyetir dengan lebih kalem?" teriaknya kesal. Jantungnya hari ini belum beristirahat sempurna karena sejak tadi pagi selalu melompat-lompat sesuka hati dikarenakan banyak hal, termasuk laki-laki yang tengah menyetir di sampingnya. "Tidak." Rayhan menjawab dingin dan kembali diam. "Kalau tidak bisa, turunkan... turunkan aku disini..turunkan aku disini saja! Enak saja jadi orang. Lu kalau mau mati ya mati aja sendiri, jangan ngajak-ngajak orang ya... Utang gua masih banyak, masih perlu menyenangkan hati emak dan bapak, pinjaman uang gua ke bang Tohir tukang martabak juga belum lunas, belum lagi utangnya Maman ke gua masih kurang tiga ratus ribu, Asih juga masih punya pinjaman ke gua, Lagian gua juga pengen nikah, jadi jangan asal nyetir k
"Dua bulan. Buat aku jatuh cinta padamu dalam waktu dua bulan. Bila kamu bisa membuatku berpaling dari pria idamanku, aku bersedia menikah denganmu," ucap Siti menatap lekat manik hitam lekat Rayhan. Rayhan tertegun mendengar ucapan Siti barusan. Dua bulan. Dirinya diberi waktu dua bulan untuk menundukkan hati gadis di hadapannya ini , dan membuat gadis itu berpaling dari pria idamannya. Pria idaman. Pria idaman mana yang dimaksud? Bukan dia, bantahnya dalam hati. Jelas pria yang dimaksud bukan dirinya, gumamnya berpikir dalam hati. Ada yang lebih dulu berhasil menarik hati gadis itu sebelum dirinya. Rayhan mengingat awal pertemuan mereka yang mungkin meninggalkan kesan yang buruk bagi Siti tapi tidak baginya. Ia justru terus mengingat dan menyimpan memori itu rapat-rapat, tidak ingin melupakannya. Rayhan mengamati wajah Siti. Ia sudah menentukan pilihannya. Ia berharap gadis itu berjodoh dengannya, karena hanya gadis itu yang bisa menutupi
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b