Pagi itu, Rayhan bangun kesiangan. Ia lupa bahwa ada rapat yang harus dihadiri jam 8 pagi. Ia menggeliatkan tubuhnya diatas kasur, masih dengan mata terpejam. Setelah puas merenggangkan otot-otot badannya, Rayhan perlahan membuka kelopak matanya. Berkejap-kejap untuk beberapa detik. Ia lalu bangun dari tidurnya dan duduk sejenak di pinggir kasurnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja kecil persis di samping tempat tidurnya. Ia mematikan ponselnya semalam karena menghindari teror telpon dari salah satu perempuan yang di jodohkan dengannya.
Begitu tombol on ia tekan, terdengar nada notifikasi berkali-kali dan begitu banyak pesan yang masuk. Baru saja ia hendak meletakkan kembali ponselnya di atas meja yang sama, ponselnya berdering. Tanpa melihat siapa yang memanggil, Rayhan menjawab panggilan itu.
"Halo?" jawabnya datar.
"Bos, saya sudah membawa semua berkas yang diperlukan," terdengar suara Yuda, asisten pribadinya yang saat ini sudah duduk manis di ruang tamu, menunggu dirinya.
Berkas? Dahi Rayhan berkerut, mencoba mengingat-ingat untuk apa berkas yang disiapkan Yuda. Ini kan masih... mendadak Rayhan membanting ponselnya di atas kasur dan langsung melesat ke kamar mandinya. Ia membersihkan tubuhnya sebersih dan secepat yang ia bisa. Akibat perdebatan dengan mama nya soal gadis yang ia akui sebagai calon istrinya saat acara perjodohannya beberapa hari yang lalu, ia baru bisa pulang ke rumah pribadinya pukul 1 dinihari. Itulah alasan dirinya bangun kesiangan pagi ini.
Perdebatan yang melelahkan, karena akhir dari perdebatan itu maka ia harus mengajak "calon istri"nya itu untuk makan malam bersama orangtuanya akhir pekan nanti. Konsekuensi yang tidak ia perhitungan saat menarik gadis itu dan mengakuinya sebagai "calon istri"nya dihadapan Rudy, rekan bisnis papanya. Kedua orangtua Rayhan tidak mempermasalahkan latar belakang "calon istri"nya namun, yang disesalkan mereka adalah mengapa Rayhan baru membawa "calon istri"nya saat acara perjodohan akan berlangsung.
Rayhan langsung menyambar setelan kemeja biru langit dan celana panjang berwarna biru navy dengan jas berwarna senada dengan celana yang ia kenakan. Dengan langkah tergesa, ia kembali masuk ke dalam walk in closetnya dan membuka kasar laci tempat menyimpan koleksi dasinya, dan mengambil satu dasi dengan motif kotak-kotak berwarna putih kecil dengan warna dasar navy.
Ia langsung keluar dari kamarnya setelah menyisir rambutnya yang sudah ia beri sedikit pomade.
"Kenapa baru sekarang kamu menelpon saya?" tanyanya kesal pada Yuda, sang asisten.
"Saya sudah menelpon sejak subuh bos, tapi tampaknya ponsel bos kehabisan baterai," jawab Yuda menyindir Rayhan karena sebenarnya ia tahu bahwa Rayhan sengaja mematikan ponselnya saat perjalanan pulang dari rumah orang tuanya.
"Ah, sudahlah. Kamu hubungi asisten Arya, mereka sudah sampai atau belum. Haduh, kenapa tiba-tiba lapar begini," perintah Rayhan berbarengan dengan keluhan yang keluar dari bibirnya karena ia tadi lupa tidak sarapan.
Diliriknya jam ditangan kanannya. Jam 07.32. Masih ada sedikit waktu bila ia mampir membeli beberapa potong roti dan segelas kopi panas untuk ia makan di mobil dalam perjalanan ke tempat meeting.
Saat berhenti di lampu merah, Rayhan melihat toko roti yang berada tak jauh dari tempatnya berada saat ini. Cukup belok kanan, berjalan sedikitnya 50 meter. Ia memberi instruksi pada Yuda untuk mampir ke toko roti itu.
Rayhan tidak memperhatikan nama toko roti itu. Ia langsung masuk dan bergegas menuju rak yang berisi jajaran roti tawar dengan berbagai isian di dalamnya. Ia mengambil 3 roti dengan isian daging tuna, daging sapi, dan sosis, lengkap dengan lembaran keju di dalamnya. Kemudian ia melangkah menuju mesin pembuat kopi otomatis dan membuat satu cup kopi pahit tanpa gula. Bukan karena ia menyukai kopi pahit, hanya saja ia tidak punya cukup waktu untuk membuka bungkus gula yang sudah tersedia.
Ia lalu berjalan menuju kasir lalu meletakkan semuanya di meja kasir dan mengambil dompetnya di saku belakang celananya.
"Selamat pagi, Tuan..." sapa petugas kasir ramah.
"Pagi, semua berapa?" tanyanya bersiap mengambil lembaran merah dari dalam dompetnya.
"Semuanya 45 ribu, Tuan.." jawab petugas kasir sambil memasukkan roti-roti itu ke dalam paperbag mungil berwarna kuning.
Rayhan menyerahkan lembaran merah ke meja kasir. Ia enggan bersentuhan dengan perempuan manapun, kecuali satu orang. Gadis asing yang kemarin ia akui sebagai calon istri kepada rekan bisnis papanya.
"Ini kembaliannya, Tuan. Terima kasih atas kedatangannya," ucap sang petugas sambil menyunggingkan senyum manisnya.
Rayhan mengambil uang kembalian dari tangan sang kasir dan menatap sekilas petugas ramah itu, saat mengambil roti dan kopinya. Ia tertegun sejenak. Perasaan pernah lihat anak ini deh, gumamnya sambil melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari toko roti tersebut. Rayhan langsung melahap ketiga roti isi dan menghabiskan kopi pahitnya, ketika mobilnya mulai kembali merayap menuju tempat meeting, di kantor Arya, rekan bisnisnya.
Meeting yang dijadwalkan hari ini akhirnya selesai juga. Rayhan terlibat sedikit perbincangan dengan Arya di ruang kerja Arya.
"Aku dengar sebentar lagi kamu akan menikah?" tanya Arya sambil memakan kudapan yang baru saja diantarkan sekretarisnya.
"Kabar yang belum jelas jangan dipercaya. Selama kertas undangan belum ada di meja mu berarti itu hanya berita burung," jawab Rayhan enteng lalu mencomot satu sosis basah yang bentuknya begitu menggoda seleranya. Rayhan merasa pernah memakan sosis ini. Ia mengambil lagi brownies yang ada di hadapannya. Sama. Rasa yang sama dengan brownies yang beberapa hari lalu ia nikmati di rumah orangtuanya.
"Dimana kamu beli kudapan-kudapan ini?" tanya Rayhan sambil mengambil brownies keju setelah sebelumnya memakan brownies coklat.
"Melati catering. Enak-enak disana rotinya," ujar Arya sambil menyeruput kopinya.
Melati catering. Ia pernah mendengar nama itu tapi lupa di mana. Indera penglihatannya tanpa sengaja menangkap sebuah paper bag yang sama dengan yang ia dapat saat membeli roti isi tadi pagi. Ia bangkit dari duduknya dan melangkah ke meja telpon di ruangan Arya.
Oh, ini. Jadi ia tadi pergi ke toko ini. Menarik. Ia akan menyimpan nomor kontak toko ini. Siapa tahu dalam waktu dekat akan ada acara kantor yang memerlukan jasa catering, maka ia akan merekomendasikan toko ini. Melati Catering.
"Lagian... Ada pegawainya yang cukup cantik, namanya Sizuka. Kakak gua yang nggak doyan jajan beginian dibela-belain tiap hari mesti mampir beli sesuatu. Modus dia, pedekate-in kasirnya. Oh iya, Lu mesti nyoba pudingnya, Han," ujar Arya semangat.
"Kemaren kakak gua mampir buat beliin nenek sesuatu, terus sama cewek yang namanya Sizuka itu, direkomendasiin pudingnya. Mantab. Manisnya pas, lembutnya pun pas. Enak deh pokoknya, nggak nyesel," Arya bercerita sambil merem melek mempraktekkan adegan makan puding.
"Eh, lu dibayar berapa sama mereka sampai segitunya mempromosikan produk-produk mereka," sindir Rayhan terbahak melihat ekspresi Arya yang menurutnya sangat berlebihan.
"Lah, nggak percaya. Dulu gua juga seperti lu, sampai ngatain kakak lebay segala. Tapi pas kemaren gua mampir sendiri, emang bener. Bukan abal-abal. Asli mantul. Apalagi bonus dapat melihat cewek secantik Sizuka.. Hahaha," cerita Arya sembari terkekeh-kekeh.
Rayhan menggeleng-gelengkan kepala. Nanti biar Yuda yang ia suruh untuk beli tiap macam roti dan kue basah yang ada dijual di sana. Rayhan jadi penasaran. Dia lalu berpamitan setelah berhasil memaksa Arya memberikan satu toples sus coklat yang baru saja dibeli pria itu, bersamaan dengan kudapan-kudapan yang lain.
Siti terus menyunggingkan senyum manisnya sepanjang ia menjaga kasir hari ini. Ia merasa hari ini adalah hari keberuntungannya. Mengapa? Karena hari ini ia bertemu 3 cogan. Yang pertama adalah pelanggan baru sedang yang kedua baru 3 kali ini Siti bertemu dan yang terakhir, siapa lagi jika bukan Tuan Arken, pria idamannya, pria tampan berlesung pipi di pipi kanannya, berperawakan tinggi, berkulit putih, bola mata berwarna coklat gelap dan berhidung mancung. Cogan pertama, datang di pagi hari, tak lama setelah gerai dibuka, tepatnya tiga puluh menit setelah ia dan rekan-rekannya selesai menata roti-roti dan kudapan yang baru saja keluar dari dapur. Menggunakan setelan jas dan celana panjang berwarna navy dengan kemeja berwarna biru langit dibalik jasnya yang berwarna senada dengan celana panjangnya. Berkulit putih dengan mata tajamnya yang dinaungi alis berwarna hitam pekat bak busur panah. Hidungnya yang mancung dengan &nb
Siti masih tidak percaya dengan penglihatannya. Mengapa keberuntungannya hanya sampai sore hari, dan kini berganti dengan kemalangan? Mengapa dirinya harus bertemu dengan pria gila itu lagi? Beraneka pertanyaan bermunculan di kepalanya sedangkan indera penglihatannya masih sibuk mengamati pria yang berada di samping kanannya, yang duduk di belakang kemudi. Rayhan masih menatap Siti dengan senyuman yang hanya dirinya sendiri yang mengerti arti dibaliknya. Tampak kebahagiaan terselip di balik senyumannya. Satu masalah selesai. Ya, permintaan kedua orangtuanya yang mengharuskannya membawa calon istri pura-puranya untuk makan malam bersama di rumah mereka besok malam minggu, menjadi masalah besar bagi Rayhan. Namun, masalah itu kini sudah ia temukan solusinya. Karena secara tidak sengaja ia bisa kembali bertemu dengan calon istri pura-pura-nya itu berkat Siti. Rayhan sebenarnya dalam perjalanan pulang dari kantor.
Siti tidak menyangka bila pria arogan di sampingnya ini, ternyata berani bersikap kurang ajar pada dirinya. Menggendong dirinya tanpa minta ijin lebih dulu. Mata Siti menatap Rayhan dengan penuh dendam. "Kenapa? Dirimu kesal karena aku menggendongmu tanpa ijin dulu, begitu?" tanya Rayhan menebak dengan benar apa yang menjadi kekesalan Siti saat ini. "Kalau aku minta ijin dulu belum tentu juga kamu akan memberiku ijin, yang ada justru tendangan mautmu yang akan melayang ke wajahku yang tampan ini," sahut Rayhan sambil mengelus-elus wajahnya. Bersikap narsis biar Siti semakin menjadi sebal. "Hoeeek!! Tampan dilihat darimana,hah? Dilihat dari puncak gunung lawu pake sedotan, masuk akal itu," jawab Siti sarkas sambil matanya menerawang lalu terbahak-bahak sendiri. Rayhan menjadi kesal sendiri. Maksud hati ingin membuat Siti kesal justru dia yang kena batunya. Dia menambah kec
Sudah dua hari ini, sejak dirinya bertemu dengan si pria arogan, hidup Siti menjadi kacau dan galau. Setiap hari dirinya harus mendengarkan ceramah pagi ala sang emak mengenai bagaimana cara menjadi istri yang baik bagi suaminya. Seperti pagi ini. Siti yang masih bersembunyi dibalik selimut, semakin enggan meninggalkan kasurnya karena mendengar ocehan emaknya sedari subuh. Pria arogan menyebalkan itu sudah merusak semua tatanan kehidupan yang sudah susah-susah Siti bangun. Siti semakin membenci laki-laki itu. Meski tampan tapi menyebalkan, Siti ogah berhubungan lebih lama lagi. Ia harus menghindari laki-laki itu. Gedoran di pintu kamarnya terdengar untuk kesekian kalinya. Dengan rasa malas, Siti beranjak bangun dari balutan selimut tebalnya. Setelah merapikan kamarnya, Siti meraih handuk barunya dari dalam lemari, lalu membuka pintu kamarnya dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa mengindahkan sang emak yang masih saj
Siti membanting tas ranselnya ke atas kasur. Lagi, pria itu membuatnya kehilangan kesempatan untuk bercakap-cakap dengan idolanya. Untuk kesekian kalinya, Tuan Arken meninggalkan toko roti itu dengan wajah masam. Sebenarnya, Siti agak bingung juga dengan sikap Tuan Arken yang tiba-tiba ngambek karena kehadiran si manusia arogan yang Siti benci bukan kepalang. Laki-laki tampan itu pergi begtu saja dengan wajah kesal, setelah Rayhan meminta ijin untuk berbicara dengan Siti sambil menarik pergi gadis itu.Teringat percakapannya dengan pria angkuh yang ia benci sampai sumsum tulang belakangnya. Mengancam akan menghancurkan segala usaha yang sedang dirintis kedua orang tuanya, bila dirinya mangkir dari acara makan malam bersama dengan orangtua pria angkuh itu nanti malam.Ketika ia hendak menumpahkan kekesalannya, dengan cara meneriaki nama orang yang membuatnya kesal, Siti baru ingat bahwa ia tidak tahu nama calon suami pura-puranya itu. Ia hanya memberi nama Rayha
Rayhan membawa Siti ke sebuah toko baju yang terkenal di kota itu. Ia memilihkan sendiri pakaian yang harus dikenakan Siti. Bisa dibayangkan Rayhan yang berjalan bolak-balik dari satu rak ke rak yang lain mengambil baju dan menempelkannya ke badan Siti yang berada di belakangnya. Siti hanya mengikutinya dari belakang. Ingin rasanya ia duduk saja di kursi tunggu dan membiarkan calon suaminya itu berjalan kesana kemari sendiri tapi harapannya itu sia-sia karena tangan Rayhan tidak lepas dari pergelangan tangannya.Siti tidak berani banyak protes karena ia takut akan diancam harus membayar semua baju yang dipilihkan Rayhan nantinya. Ia ikuti terus langkah tubuh tegap di depannya. Andai kau benar-benar pria yang aku cintai dan kita benar-benar saling mencintai, aku sangat ingin memelukmu dari belakang, khayal Siti melihat punggung tegap Rayhan dari belakang. Ditengah keasyikannya mengkhayal, Siti terpaksa harus merelakan hidungnya yang setengah mancung itu mencium punggung
Setelah menjadikan foto dirinya sendiri sebagai wallpaper ponselnya, barulah Siti duduk tenang sembari bersenandung kecil, tapi masih bisa terdengar oleh Rayhan. Rayhan kembali mengingat sudah berapa kali dirinya dan Siti berdiri berdekatan dan tak jarang sampai bersentuhan kulit, namun rasa tidak nyaman dan panik seperti biasanya, tidak pernah ia rasakan. Anak kecil ini justru dengan bebasnya berada di sekeliling dirinya dan itupun tidak mendapat penolakan dari tubuhnya. Dirinya malah merasa nyaman seperti bila ia berdekatan dengan sang mama. Mobil Rayhan berhenti setelah membelok ke kanan dan berhenti tepat di sebuah rumah besar, sangat besar menurut Siti. Tak berapa lama, gerbang putih yang tinggi menjulang itu terbuka dan masuklah mobil Rayhan dengan perlahan. Ia kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Siti. Tatkala Siti menjejakkan kakinya ke tanah, Siti menjerit. Rayhan langsung mendelik kaget. "Ada apa?" tanya Rayhan menatap Siti bingung.&n
"Minggu depan,Pa. Minggu depan tolong lamarkan Siti untuk Rayhan," ucap Rayhan lantang membuat Siti membulatkan mata dengan sempurna. Mama Ray terkejut. "Tuan... maksudnya apa ya?" Siti mendekatkan dirinya ke Rayhan menanyakan maksud perkataannya dengan nada ditekan menahan kesal. Ini jelas melenceng jauh dari rencana awal, dan mengandung bahaya yang sangat mengancam dirinya. "Maksudnya aku mau ngajak kamu menikah," jawab Rayhan menatap serius Siti. "No way! Jangan ngarang!" Siti menggumam dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Papa Ardan dan Mama Ray menyaksikan percakapan keduanya dalam diam. "Permisi Om, Tante.. Siti ijin pamit pulang dulu." Siti sudah tidak bisa mentolerir sikap semena-mena Rayhan. Ia beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan meski belum mendapat persetujuan tuan rumah. Melihat Siti yang melangkahkan kakinya dengan tergesa d
Siti semakin panik, mendapat tatapan tak percaya dari Arken. "Maksudnya? Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya semakin bingung. Sebenarnya pria menyebalkan itu punya rencana apa? Arken menghela nafasnya. "Oh. Ya, sudahlah. Aku rasa, aku tidak punya hak untuk memberitahumu. Mungkin ia akan menelponmu dan membicarakan hal ini padamu. Sekarang, kita konsentrasi cari rumah makan dulu. Aku belum sarapan sama sekali." Arken merasa tidak enak. Ia merasa tidak pantas membicarakan hal itu lebih jauh. "Apa Rayhan tidak ada di sini? Maksud saya, ehm, apakah dia sedang ada perjalanan bisnis ke suatu tempat atau kota?" Siti penasaran sekali. "Mungkin, sebentar lagi pria itu akan menelponmu dan kamu akan memiliki waktu pribadi untuk membicarakan urusan kalian." Arken mengatakan itu semua dengan susah payah. Setelah mengisi perut, sepuluh menit kemudian, mobil itu sudah terparkir di
Yuda berjalan tergesa sambil menenteng pesanan Siti. Ia mengetuk tiga kali pintu ruang atasannya lalu segera melangkah masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Saat seperti ini, Rayhan tidak peduli dengan aturan yang ia buat ketika seseorang hendak masuk ke dalam ruangannya. Baginya, kesehatan Siti adalah segala-galanya. "Ini, Bos. Semua pesanan ada di dalam." Yuda meletakkan paperbag hitam itu ke meja kerja Rayhan yang saat itu sedang duduk termenung, sedangkan Siti sudah kembali ke dalam ruang privat Rayhan. "Menurutmu siapa yang layak aku jadikan asisten Arken dan Arya? Dirimu atau Sizuka?" Pertanyaan Rayhan ia ajukan tanpa melihat ke arah Yuda. Yuda terkejut. Asisten Arken dan Arya? Maksudnya? Yuda bertanya-tanya dalam hati. "Saya tidak berani menjawab, Bos. Semua terserah Bos. Baik saya mau pun Sizuka hanya bawahan, yang akan menuruti apa pun perintah atasannya."
Rayhan menatap tajam Siti. Ia segera menghampiri gadis itu dan memegang tangan kiri Siti yang belum sempat menarik lepas jarum infus dari tangan kanannya. "Mengapa dirimu ini susah sekali diberi tahu? Apakah semudah itu kau menyakiti dirimu setiap kali kemauan atau perkataanmu tidak diturutin? Jangan seperti anak kecil begini!" Rayhan menyentil kening Siti, ia mencoba menenangkan Siti agar tidak terlalu memikirkan ucapan emak. "Jika kau tidak ingin pulang bersamaku, kau bisa mengatakannya kan? Tidak perlu marah-marah seperti ini." Rayhan kembali menatap Siti dengan tatapan mata berkabut. Siti hanya bisa menunduk malu mendengar semua ucapan pria tampan di depannya. Sebelumnya, ia merasa jika Rayhan hanya ingin memanfaatkan keadaannya saja, akan tetapi setelah melihat perubahan wajah Rayhan yang menjadi gelap, ia jelas merasakan bahwa dia telah salah sangka.
Rayhan terlonjak kaget dari tempatnya. Dirinya tidak menyangka dokter muda itu berani membentaknya, CEO perusahaan tempat dokter itu bertugas. "Apa-apaan kau berteriak-teriak padaku? Apa kau lupa siapa aku?" Rayhan menatap dokter muda itu dengan nyalang. Ingin rasanya ia menelan pria muda itu hidup-hidup. Kesal sekali rasanya. "M-Ma-aaf, Tuan. M-maafkan saya. Tapi, jika Tuan terus berbicara dan terus mengancam saya, bagaimana saya bisa memulai pemeriksaan pada nona ini? Tuan lihat saja, wajah nona ini semakin pucat. Saya khawatir kita tidak punya banyak waktu untuk menyelamatkannya." Ucapan dokter muda itu membuat Rayhan panik. "Apa maksudmu berkata demikian? Sudah sana, cepat kau periksa!" Rayhan berdiri tepat di samping dokter itu, mengawasi setiap tindakan yang dilakukan pria berkacamata yang kini tengah sibuk memeriksa pupil mata Siti. Setelah mengecek semuanya, dokte
Arken menyerahkan kunci mobilnya kepada Yuda dan duduk di samping pria itu, sednagkan Siti duduk sendiri di kursi penumpang. Sirna sudah rencananya untuk bercengkerama dengan Siti. Maksud hati ingin berbagi cerita, sekedar mendengar suara Siti dari dekat, justru kini ia harus puas duduk di depan terpisah dengan Siti yang duduk di belakang. Kehadiran Yuda di tengah-tengah mereka membuat Arken merasa kikuk untuk memulai percakapan . Ia khawatir, pria yang saat ini sedang berkonsentrasi di belakang kemudi akan melaporkan semua yang ia bicarakan dengan Siti. “Apakah Pak Arya juga sudah tahu kita akan mengecek lokasi kantor untuk proyek baru?” Yuda melirik ke arah Arken yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. “Apa? Kau tanya apa barusan?” Arken menoleh ke arah Yuda yang kembali menatap jalanan di depannya. “Pak Arya. Apakah akan menyusul kita?” “Oh, tidak. Dia baru akan m
"Kau akan kembali kemari setelah berada satu minggu di sana. Sepulang mu dari kantor di kota X, kau transfer lagi pekerjaan di kota X ke Siti. Minggu berikutnya, Siti yang akan bekerja di kota X dan kau kembali bekerja di sini, seperti semula." Siti yang mendengar percakapan dua pria itu, merasa pening sendiri. Sebenarnya, pekerjaan apa yang menjadi tanggung jawabnya? Mengapa perasaannya tidak enak? "Apa kau sudah paham yang kumaksud?" Rayhan memperhatikan Yuda lalu melihat ke arah Siti yang sedang menatap ke arahnya. "Kau boleh ke luar sekarang. Jangan lupa untuk menghubungi Arken. Katakan padanya besok kau akan datang ke sana." Yuda segera meninggalkan ruangan Rayhan. Kini, tinggallah Siti di ruang besar itu. Rayhan menghampiri Siti yang masih terus menatap dirinya. "Ada apa?" Rayhan menarik Siti duduk b
"Apa yang sebenarnya ada dalam otak kalian ketika kalian sampai di gedung ini?" Suara Rayhan langsung menggema ke seluruh penjuru ruang. Semua tertunduk dalam diam. Apes mereka hari ini. Pimpinan mereka sedang dalam suasana kalut. Secara tidak terduga, progres proposal yang dulu pernah mereka ajukan, tidak menunjukkan perkembangan yang baik. Mereka tidak pernah tahu atau pura-pura tidak tahu, jika bos mereka benar-benar mengawasi pekerjaan mereka. "Beberapa waktu yang lalu, tiga atau empat divisi mengajukan proposal secara bersamaan, tetapi dari keempat-empatnya, tidak ada satu pun yang mampu membuat saya dengan cepat menggoreskan tinta mahal saya di atasnya. Tahu mengapa?" Hening. Tidak ada yang bersuara. Bahkan bernafas pun mereka lakukan dengan sembunyi-sembunyi. "Karena proposal kalian zonk. NOL BESAR. Tidak berisi. Bahkan ada proposal yang ju
Rayhan dan Arken berteriak secara bersamaan. Rayhan tidak terima dengan keputusan sepihak papanya. "Tidak bisa, Pa! Sizuka itu sekretaris pribadi Ray, jadi tidak bisa Papa main tunjuk sesuka hati Papa. Atasan Sizuka itu Ray. Itu artinya harus ada persetujuan dari Ray untuk mengikutsertakan Sizuka dalam suatu proyek." Senyum yang semula mengembang di wajah Arya, langsung sirna, mendengar keberatan Rayhan. Arken pun diam membisu. Rayhan memang benar. Tanpa ijin darinya, Sizuka tidak bisa diikutsertakan dalam proyek mana pun. Ardan menghela nafasnya. "Kalau begitu, carilah seserorang yang bisa menjadi sekretaris untuk Arya atau mungkin kau sendiri saja yang memegang proyek itu." Rayhan mendengus kesal. Ujung-ujungnya dia lagi yang harus turun tangan sendiri. "Bagaimana dengan Arken? Arken juga tidak kalah he
"Hai, Arken!" sapa Rayhan dengan sikapnya yang biasa. Ia tidak akan memperlihatkan seberapa cemburu dirinya, ketika ia, dengan mata kepalanya sendiri, mendapati sorot mata Arken kepada Siti, yang tidak biasa. "Ray..." Arken memaksakan dirinya tersenyum. Ia mengalihkan tatapannya ke arah Rayhan, lalu kembali menatap Siti dan menyapa ringan gadis itu. "Sizuka... Apakabar?" Arken mengajak Siti berjabat tangan. Yang langsung disambut Siti sebentar dan melepaskannya segera. Rayhan sebenarnya ingin menghalau tangan Arken, namun melihat Siti yang dengan cepat menyambut tangan Arken, menjabat tangan itu sebentar, dan segera melepaskannya, membuat amarahnya tidak bertahan lama. Perasaan Siti, sejujurnya, jungkir balik tidak karuan. Bukan karena menerima tawaran jabat tangan Arken, seorang pengusaha muda yang cukup sukses dengan kariernya, dan keluarganya. Tapi, lebih karena ia tengah b