"Kenapa kamu membunuh ayah, Achilio?" Degree menarik lenganku, lalu menghadapkan wajahku ke arahnya. "Di mana hati nuranimu!? Apa yang membuatmu sampai segila ini!?"Suaranya terdengar menggema, hingga memenuhi sudut ruangan itu. Aku menatapnya dengan sorot mata berkaca-kaca, lalu tersenyum smirk."Jika aku bisa memilih, aku nggak pengen terlahir di dunia ini, Re!" Aku melepaskan cengkeramannya. "Aku hanya bahagia di dalam imajinasiku sendiri. Sedangkan, kamu sama sekali tidak pernah merasakan pedihnya realita.""Ada apa denganmu, Achilio? Apa kamu sudah tidak waras?" Dada Degree tampak naik turun—napasnya mungkin berpacu tak stabil. "Aku masih punya akal, Re.""Jika kamu masih punya akal, kamu harusnya tahu, membunuh adalah hal yang tidak bisa dimaafkan.""Perkataan yang sangat miris!" Aku mengeluarkan api biru dari telapak tanganku. Emosi sepertinya mulai mempengaruhi tindakanku. "Ternyata, kamu sama saja dengan yang lainnya. Membela orang yang jelas-jelas memicu kematiannya sendir
"Bagaimana menurutmu? Tiga hari yang lalu, aku dan Calvin telah menyiapkan segalanya untukmu." Sera menggandeng tanganku. Kami menemui seorang pria yang berdiri, di sana—ujung tebing yang telah dihias dengan berbagai lampu neon."Maafkan aku, Achilio." Calvin mengenakan toxedo yang sangat rapi, hari itu—tidak seperti biasanya. "Calvin ...." Aku menatap nanar pada sahabatku itu. Air mata tidak bisa kubendung lagi."Jangan menangis, Achilio! Kami berdua nggak pengen liat kamu kayak gini. Semangat dong!" Sera mengajakku duduk di sebuah kursi taman."Kalian membuat ini selama berhari-hari? A aku sangat bahagia memiliki orang-orang yang masih menyayangiku." Aku menyeka genangan air mata yang jatuh. "Terima kasih, Orang baik.""Jadi, gue dimaafin apa gak nih? Maksa banget nih gue!" Bibir Calvin nampak mengerucut. "Gue masih ngerasa sakit sama ucapan lo, Vin." Aku merangkul pria itu. "Tapi, bukan berarti gue nggak maafin lo."Calvin berhak mendapatkan kesempatan kedua. Aku berharap, dia ti
Aku seringkali merasa bertindak gegabah dalam memutuskan suatu hal. Entah mengapa, ketika emosi mulai mengendalikan diri, aku cenderung tidak mampu berbuat apa-apa. "Tuan Farren tidak kunjung sadarkan diri. Efek dari seranganmu sepertinya berhasil membuatnya koma, Lio." Degree memijat pelipisnya. "Ya ampun, kekuatan magic-mu mengalami peningkatan yang sangat besar. Ini kabar baik, dan sekaligus kabar buruknya." Calvin memperlihatkan layar yang berisi diagram batang. Lima puluh persen data terakhir melambung drastis—lebih tinggi daripada yang lainnya."Kalo sudah begini ya, harus terima aja." Sera duduk di sampingku, lalu memberikan segelas jus jeruk. "Wajar aja, karena Achilio masih labil, dan sering bertindak mengikuti amarah.""Di malam pembunuhan itu, aku nggak ingat semuanya dengan jelas." Aku mengambil jus yang diberikan Sera. "Saat itu, emosiku meningkat karena ayah terus menyiksaku."Pembicaraan terhenti sejenak, saat sinar matahari mulai menerangi balkon; cahayanya sedikit m
"Kenapa kamu selalu memaafkan semua kesalahanku, Vin?" Aku berkata tanpa menoleh ke arah pria itu. "Aku telah membunuh Reizo, orang yang paling kamu sayang, kan?"Dia hanya bergeming tanpa mengucapkan sepatah kata pun."Aku bahkan telah merebut Sera darimu. Apakah kamu benar-benar memaafkanku, di hari itu?" Aku menatapnya dengan air mata yang berlinang."Kamu adalah seorang guardian. Aku percaya kamu akan membawa kita pada kebahagiaan." Calvin mengembangkan senyum khasnya. "Aku akan tetap melakukannya. Meski, aku harus mengorbankan seluruh kebahagiaanku untukmu, Achilio."Deg! Deg! Deg!Jantungku berdetak kencang. Apa yang telah Calvin bicarakan? Apakah aku tidak salah dengar? Kenapa dia mau berjuang keras, untuk mewujudkan mimpiku?"Itu bukan kesalahan siapa pun. Andai Reizo tidak memihak Paman Ergar, mungkin dia tidak akan terbunuh di hari itu." Senyum Calvin tampak memudar, lalu menghilang sepenuhnya. "Bagaimana jika aku nggak bisa menepati janji sebagai seorang guardian?" Aku men
Kami berjalan di tengah lapangan berwarna merah. Tempat itu tampaknya lebih mirip taman hiburan, daripada sebuah perusahaan. Aku melepaskan kacamata, dan memantau keadaan sekitar. Orang-orang di sana masih tetap sibuk bak robot, yang telah diperintahkan untuk patuh; para pekerja itu bergerak dengan sangat kaku.Apakah para pengunjung tidak ada yang curiga? Aneh sekali. Apa memang mataku yang salah lihat? Aku memberikan kode pada Degree—yang ada di samping Calvin. Namun, pria itu sepertinya tidak mengerti apa yang kusampaikan."Sera, bertukar tempat!" Aku memerintah dengan nada setengah berbisik. Wanita yang mengenakan kemeja putih, dengan berbalutkan rok setengah lutut itu tampak mengangguk. Dia sepertinya lebih mudah mencerna informasi daripada Degree."Hei, apa?" Degree menyikut bahuku. Aku memasang wajah kesal, lalu berbisik padanya."Karyawan di sini robot atau manusia, sih?" Aku memicingkan mata kananku. Degree kelihatannya baru menyadarinya juga. Sial! Dia benar-benar lemot."Ak
Karena pusing memikirkan sebuah keputusan, aku pun langsung menggendong gadis itu ke luar. Kepulan asap tebal di dekat pintu utama, memberikanku sebuah ide. "Aku mohon. Semoga kali ini bisa digunakan," gumamku. Gadis kecil itu melihatku dengan keterkejutan di wajahnya. Sorot matanya seakan ingin mengetahui apa rencanaku. Namun, aku tidak bisa membongkar rahasia magic, di depannya."Kak ... aku takut." Mata indah berwarna violet itu terlihat berkaca-kaca. Aku menghentikan langkah, lalu tersenyum hangat padanya."Gadis cantik, tutuplah matamu sebentar." Aku berkata dengan suara yang lembut. Gadis itu bergeming untuk beberapa saat, lalu memejamkan mata.Tanganku mengeluarkan magic berwarna biru. Setelah menoleh ke segala arah, aku pun memperbesar pintu portal di depan kami. Tambahan kekuatan dari magic tingkat dua milik Sean, sepertinya berhasil membuka portal dimensi itu. Asap tebal semakin menutupi penglihatanku. Kami pun masuk ke dalam portal itu, dan dengan cepat tiba di luar Perus
"Nama panggilan yang lo kasih ke gue freak banget deh, Vin!" Aku berdecak kesal. Pria yang duduk di sampingku itu, malah seperti orang yang tidak merasa bersalah sama sekali. Manda yang duduk di sebelahnya tampak memperhatikan tingkahku, dengan tatapan datarnya.Aku membatin, "Gadis kecil itu sedang tertekan atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku? Tatapannya seakan mempunyai makna tertentu. Benar-benar sangat aneh!""Ar, nama bagus itu, loh. Lagian, nama Achilio itu kepanjangan, dan sulit untuk disebut." Calvin mengelak seraya mengerucutkan bibir. "Kalian bisa diam gak, sih?" Degree yang tampak mengendalikan pesawat berkata dengan nada, yang terdengar seperti menahan emosi.Aku tidak ingin pria itu marah dengan kami. Lebih baik mengalah untuk sementara waktu, daripada berurusan dengan Degree. "Ya udah, terserah lo mau manggil gue apa, Vin!""Manda, kamu bisa pake earphone. Gak usah terlalu didengerin omongan mereka berdua tuh," kata Sera sambil memberikan benda itu pada Manda."Ma
"Maafkan aku, Kak Achilio. Maafkan aku semuanya." Air mata gadis itu tampak berjatuhan mengenai magic Degree, yang sepertinya hampir setengah menghilang."Kita akan mati sama-sama. Jadi, tenang aja!" Degree bersimpuh, lalu menundukkan kepalanya. "Terkadang, kebaikan sepertinya tetap tidak bisa mengubah niat jahat."Ada sedikit rasa penyesalan menolong gadis kecil itu. Namun, aku mencoba untuk mengikhlaskan semuanya. Tidak ada yang bisa diubah dari masa lalu, dan tidak ada gunanya menyesali kesalahan di masa itu. Semuanya telah terjadi, dan mungkin merupakan bagian dari takdir."Salah satu di antara kita harus berkorban," ucap Sera sambil mengeluarkan magic api pelindung."Tapi kekuatanmu hampir habis, Ra!" Aku memadamkan api di tangannya. "Seluruh ahli magic akan mati jika kekuatannya melebih batas maksimal.""Kita gak punya pilihan lain lagi." Sera mendorongku kasar. Gadis itu terlihat sangat marah, matanya semakin berwarna merah menyala. "Aku gak mau kehilangan lagi!""Gak ada gunan
Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh
Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,
Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj
"ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b
Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,
"Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia
Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan
Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji
Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium