Awan biru gelap menemani perjalanan kami sepanjang jalan. Aku pergi berdua saja bersama Calvin, karena rekan yang lain punya banyak misi masing-masing. Hari itu, kami prioritaskan untuk meraih tujuan dengan sempurna. Tidak ada yang lebih penting, daripada keberhasilan misi penculikan Ratu Elena. Bagiku, dia adalah sumber informasi, yang bisa digunakan untuk mendekati Kaisar Harvey."Aku kurang yakin dengan pilihan ini, Ar. Apakah kamu sudah benar-benar memikirkannya dengan matang? Ma maksudku, kita akan memberikan kesempatan pada Ratu Elena, dan membebaskan namanya dari gelar musuh, kan?" Calvin membuka kaleng soda menggunakan mesin, di dekatnya.Teknologi mutakhir pertama kali diaplikasikan pada pesawat. Jika dahulunya, penumpang alat transportasi udara tidak diperkenankan menyalakan data seluler, maka saat modernisasi semakin meluas, setiap orang bisa melakukan apa pun—termasuk surfing internet kala di pesawat.Para profesor memberikan dampak positif, senantiasa menjadi tokoh pentin
"Enyahlah kau, Benalu!" Pedang Harvey berhasil memotong tangan kananku.Aku menendang tubuhnya, dengan sekali tendang. "Sayangnya, kibasan pedangmu tidak berasa sakit sama sekali, Harvey!""A apa? Ba bagaimana bisa secepat itu?" Calvin yang berada di belakangku terkejut, setelah melihat regenerasi sel yang kugunakan. Kecepatan magic yang berbeda dari sebelumnya, tentu dapat terlihat jelas dari sana.Aku menoleh, lalu membukakan pintu portal di samping pria, yang mengenakan pakaian cleaning service itu. "Vin, pergilah menuju portal!""Ba baik, Kapten Ar! Eh, Ratu Elena gimana?" tanya Calvin kemudian. Langkahnya berhenti tiba-tiba. Wajahnya seketika kembali panik."Bawa aja sama kamu! Gendong! Cepatlah pulang lebih dulu ke markas! Aku akan menyusul nanti!" perintahku dengan nada tegas. Bagiku, setelah memastikan Calvin dan Ratu Elana selamat, itu adalah awal dari perkelahian tanpa beban.Pedang tajam milik Harvey adalah wujud dari maut. Mengelak saja tidak akan membuatku menang. Lagi pu
Bagiku, ia adalah satu-satunya wanita, yang menerimaku apa adanya. Ia memang tidak secantik kekasihku di masa lalu, tetapi ia lebih dari sempurna. Senyumnya ... matanya ... aku menyukai semua hal darinya. Apakah aku telah jatuh cinta? Kurasa ya tapi entahlah ....Kembali ke masa yang kelam itu. Aku kembali berpelukan erat, dengan nostalgia masa lalu. Aku berjalan di tengah badai hujan, yang semakin lebat. Petir yang sengaja kupanggil melalui magic, menambah kesan menyedihkan. Ya, de javu itu adalah yang paling mengerikan, di sepanjang hidupku.*"Azo, ada satu hal yang harus kamu tahu. Entah maut atau takdir yang memisahkan, aku tetap, dan akan selalu mencintaimu," gadis bermata merah bak kobaran api itu berkata, tanpa menoleh ke arahku. "Jangan cintai aku ... nanti kamu banyak sakitnya!" ucapku pelan sambil tersenyum tipis. Hati tidak bisa merelakannya, tetapi cinta tidak boleh saling menyakiti. Prinsipku sejak trauma dengan cinta yaitu, wanita tidak boleh mendapatkan cinta dari lel
Semua teka-teki mulai terjawab satu per satu. Apa yang ia sampaikan di masa lalu, akhirnya bener-benar sesuai kenyataan. Aku kagum pada magisnya yang dapat memprediksikan segalanya, dengan tepat. Andai Felicia hidup kembali, aku mungkin tidak akan terlalu kesulitan, untuk mendapatkan informasi.Mayat pria bertato angka tujuh itu pun selesai diotopsi. Aku tidak menyangka, Harvey akan meneror kami dengan cara melebihi seorang psikopat. Nyaris saja, aku trauma melihat kentalnya darah merah. Rion—mantan Eunoia, terbunuh pada Rabu, tujuh belas Agustus, lima hari sebelum Eunoia berubah.Ternyata benar kata orang tua zaman dulu. Ya, ketika seorang wanita telah jatuh hati, maka tak peduli luka sebesar apa pun, ia 'kan tetap cinta. Hal itu juga yang terjadi dengan Eunoia. Gadis itu menjadi orang yang berbeda dari sebelumnya—lebih dingin dari es batu.Dua hari sebelumnya, keputusan Presiden Edward dalam menentukan hukum kebebasan untuk kami, akhirnya disetujui. Kami bebas hidup layaknya seorang
"Aku hanya bisa menunda waktu kematian selama setengah jam. Sisanya, alam akan mengambil alih jiwamu," kataku sambil fokus memegangi denyut nadi, di tangannya.Bibir pucat yang perlahan berubah menjadi merah muda itu, tampak mengukir senyum tipis. Raut wajahnya perlahan berubah ceria lagi. Aku bersyukur masih sempat mengelakkan maut, meski hanya sedikit waktu yang bisa ditunda. Ruangan itu hanya tersisa aku dan Ratu Elana. Sera pergi mengurus berkas pengajuan, untuk pindah negara. Sedangkan Eunoia, gadis berambut biru itu sibuk dengan laptop ultraportabelnya, di ruangan sebelah. "Tolonglah, dengarkan cerita ini, hingga akhir, Pangeran Sorcgard! Aku ingin menyampaikan segalanya padamu," tutur Ratu Elana yang memiliki rupa cantik, walaupun telah berusia lanjut itu dengan nada serak.Aku mengangguk pelan, sambil fokus mendengarkan cerita ibu tiriku itu. Ah, entahlah! Aku hanya ingin memangilnya dengan sebutan gelar. Kurasa panggilan "ibu tiri" tidaklah cocok untuknya. Ibuku hanya satu,
Pemakaman yang hanya menyisakan goresan luka. Aku hampir tidak bisa berjalan dengan sempurna, karena memikirkan tentang ibu tiriku. Hujan gerimis seakan selalu menemani, di kala aku kehilangan segalanya. Apakah sepuas itu semesta menyakiti? Aku tidak kuat, jika harus melihat satu per satu orang yang menyayangiku pergi.Bolehkah aku menyusul mereka? Bolehkah aku mengucapkan selamat tinggal pada Sera? Aku ingin tinggal lebih lama lagi, dengan jiwa-jiwa yang telah tiada. Ibuku—Felicia, yang paling banyak menanggung segalanya. Selama ini, aku hanyalah beban baginya. "Kita akan berangkat besok, Ar. Jangan terlalu memikirkan tentang ibu tirimu yang jahat itu!" Eunoia memberikan segelas kopi hangat, di atas meja makan."Sejahat apa pun beliau, dia punya alasan tersendiri untuk disayang layaknya seorang ibu kandung, Eun. Kamu nggak bisa menilai hanya dengan satu sudut pandang saja. Terkadang, kita butuh villain untuk menghasilkan cerita yang menarik," sanggahku.Meja makan tampak dipenuhi, d
Aku hampir dibuat mokad lagi oleh serangan jantung. Jika bukan karena Sera, aku pasti sudah membunuh kakek tua, di sampingku itu. Lelaki paruh baya yang berjalan sambil mendorong sepedanya itu, bercerita tentang banyak hal. Ia bilang, ingin sekali bertemu dengan keluarganya, di belahan bumi yang lain. Karena penasaran tempat anaknya di mana, aku pun bertanya,"Maaf memotong ceritanya, Kek. Kalau boleh tanya, memangnya di sini nggak ada kehidupan, ya?" "Bumi cermin kedua sudah lama ditinggalkan, karena perang yang terus terjadi. Semua hal mengenai manusia telah punah di sini." Langkah kaki kakek itu terhenti. Kemudian, ia tampak mengeluarkan sebatang rokok, dari dalam saku kanan bajunya.Sera mengambil puntung rokok itu, lalu melemparnya jauh. "Kakek, merokok nggak baik buat kesehatan. Kakek, kan, mau ketemu sama keluarga, kenapa malah ingin mengakhiri hidup secara pelan-pelan?""Mereka yang hidup di dunia cermin ketiga, tidak akan pernah ingat apa yang terjadi pada kehancuran kedua.
Itukah yang disebut dengan multiverse? Tidak, kurasa dunia pararel. Aku terbang dengan kekuatan nol. Gravitasi di luar angkasa terasa beda. Tubuhku melayang di antara batu-batu besar. Banyak planet yang tersusun rapi secara horizontal. Ternyata ada gunanya juga belajar ilmu astronomi, di akademi dulu.Tunggu, ke mana Sera dan Eunoia? Aku menoleh ke samping kanan-kiri, tetapi tidak menemui siapa pun, kecuali diriku sendiri. Apakah aku terpisah lagi? Aku mencoba mencari tahu, apakah dugaanku benar atau salah?Seekor hewan seperti kadal muncul tiba-tiba, di antara bintang-bintang indah yang bertaburan. Ia sangat besar, dan mempunyai lidah seperti ular. Ya, komodo. Seekor komodo raksasa muncul. Di atas kepalanya ada sebuah mahkota yang mirip, dengan milik Sang Dewa Naga kepala tujuh. Aku membungkuk hormat padanya."Guardian, akhirnya kita bertemu kembali," katanya sambil memasang wajah ramah. Berbeda jauh dari sebelumnya, ia tampak mudah mempermainkan ekspresi—dari sangar sampai terlihat
Aku tersenyum manis, terpesona pada keahlian memasaknya. "Bagaimana kalo kita jalan-jalan minggu depan?" tawarku pada wanita yang sibuk menghitung takaran gula, di depan sana."Tumben ngajak jalan." Eunoia–yang mengenakan daster merah muda, tampak sibuk menyiapkan secangkir kopi hangat untukku. Toples kopi terlihat berantakan karenanya. Ya, namanya juga baru belajar masak, makanya seperti itu. Aku cukup memaklumi kondisinya–latar belakang sebagai orang kaya membuatnya manja.Kami berada di dapur berukuran luas, berdesain ala-ala restoran mahal. Sepertinya arsitek yang kurental tidak lagi memikirkan desainnya. Mereka selalu membuat ruangan luas di rumahku, dan itu bukan yang pertama kalinya. Untunglah, aku hanya perlu membayar, dan menikmati hasilnya. Lagian, menasehati mereka hanya membuang tenaga."Kamu nggak sibuk, kan? Lagian, jalan-jalannya di hari Minggu kok. Apa iya, kamu nggak bisa juga?" Aku menghentikan suapan nasi ke mulut. "Refreshing dong sekali-sekali juga." "Iya, boleh
Sebuah meja makan yang di atasnya terdapat berbagai macam hidangan, tampak menggiurkan perut kosongku. Aku berdiri di antara orang-orang yang sibuk dengan santapannya. Memperhatikan mereka dengan tajam, sepertinya membuat Degree meningkatkan kewaspadaannya.Lampu kristal yang tergantung, di atas langit-langit ruangan interior klasik, terlihat begitu indah. Ada dua jenis kursi, yaitu sofa dengan bantalan empuk, dan kursi kayu berdesain batik. Lantai yang terbuat dari keramik mahal, membuat bibirku tak berhenti mengucapkan ketakjuban.Pandanganku berpindah ke sana kemari. Ya, ada seseorang yang ingin sekali kutemui. Sudah lama rasanya, semenjak peristiwa kehancuran alter ego. Rasa rindu ingin bertemu, dan bercengkerama memang ingin kulakukan, setelah lepas dari kesibukan menjadi seorang kepala negara.Masa jabatan yang baru setahun kujalani, dan masih terlalu cepat untuk lengser. Lagi pula, penduduk sudah memilih, dan mengembankan tugas penting itu padaku. Suatu amanah harus dilakukan,
Apa yang telah berlalu, dijadikan sebagai pelajaran berharga. Aku menghirup udara segar Kota Scramble. Seluruh penduduk telah dibuat amnesia tentang kejadian di masa lalu. Biarlah, apa yang menjadi rahasia dunia, tetap seperti itu.Aku melepaskan jas hitam formal. Kemudian, meletakkannya di dekat meja kerja. Dokumen yang telah menumpuk seperti gunung kecil, kubiarkan saja. Menjadi pekerja keras, dan pemimpin Negara Erreala sungguh berat.Secangkir teh hangat dengan daun pandan yang dibentuk segi empat, kuminum perlahan. Menyeruput segelas teh adalah ketenangan yang sangat kurindukan. Di balik kaca, para karyawan muda tampak berlalu-lalang. Beberapa di antaranya saling bertegur sapa. Menu sarapan di pagi hari itu adalah telur dadar buatan Eunoia. Makanan yang dia buat sudah mampu menyaingi chef ternama, tetapi tidak dengan Sera.Hidup dengan bayangan masa lalu tidak akan habisnya. Aku mencoba untuk menjalani semuanya, tanpa adanya Aoi lagi. Kebisingan di istana kepresidenan sudah menj
"ini demi kebaikan semua orang, dan untuk dunia yang akan kembali utuh. Tolong aku, Saudaraku! Aku berjanji akan memberikan peluang padamu." Aku berlari cepat ke arah Dewa Naga berkepala tujuh. "Tidak. Jangan lakukan hal sebodoh itu, Yang Mulia!"Pantulan bayangan hitam yang menyerupai Naga Neraka–dalam sejarah Sorcgard disebut alter ego negatif (kepribadian ganda bersifat jahat), mendekat, lalu melahap Dewa Ergonza. Aku gemetar, tetapi tetap melangkah maju.Pedang di tangan kanan, dan tameng pelindung di tangan kiri. Aku menendang cermin perjanjian itu dengan tendangan maut. Berharap akan menjadi lebih baik. Namun, malah sebaliknya. Ya, semuanya telah terlambat.Dinding kebaikan antara jiwa-jiwa orang hidup, dan mati tengah mengalami kehancuran. Semua catatan batas kematian berterbangan ke mana-mana. Bola-bola kristal kematian pecah. Kekacauan di ruangan tanpa atap itu membuat telingaku berdenging. Berisik sekali. Gendang telingaku rasanya ingin pecah. Di hadapan, Dewa Naga telah b
Sebuah kerajaan yang dibangun bertingkat-tingkat tampak berantakan. Semua pasukan Aksa–para ksatria titisan anak Dewa, berkumpul memadati api pengorbanan. Kejadian serupa pernah terjadi juga di masa lalu. Entah apa yang membuat mereka se-naif itu.Aku memerintahkan Nona Filia, untuk mendaratkan pesawat lima belas meter dari pusat istana. Mengingat kegentingan tengah terjadi, aku membagi tim menjadi dua kelompok.Satu kelompok terbagi menjadi lima anggota, kecuali tim dua. Ya, Harvey tidak mungkin berpisah denganku. Mereka–anggota Tim D yang lainnya, takut Harvey malah berkhianat di tengah jalan. Oleh karena itulah, aku selaku kapten memutuskan sendiri pembagian tim.Benteng besar dengan tumpukan bebatuan dari permata, menjulang tinggi bak gunung terbesar di Scramble–Gunung Zu. Pintu gerbang yang telah terbuka, memungkinkan kami masuk, tanpa harus memecahkan sandi.Peradaban kuno masih terikat dengan dinding-dinding Kerajaan Aksa. Tiga patung besar di masa Azo telah dihancurkan. Dulu,
"Ya, bisa dibilang, aku dapat berubah wujud menjadi apa saja, dan menyamarkan identitasku sebagai Dewi Phoenix."Kalimat itu memenuhi alam pikiranku. Setelah Degree memberitahukan segalanya padaku, barulah kesadaran mencintai dengan tulus itu timbul. Penyesalan memang selalu di akhir, itulah yang mereka katakan padaku.Dia yang sudah pergi meninggalkan, mungkinkah 'kan kembali? Dewi Phoenix ingin mewujudkan dunia yang adil, dan penuh dengan kebahagiaan. Namun, akulah yang menghanguskan segala asanya itu.Abu yang sudah tertiup angin, melayang entah ke mana. Aku kehilangan belahan jiwa, yang selama ini tidak pernah mengecap kata, "dihargai". Mencintainya adalah keterlambatan yang paling disesalkan.Kusandarkan kepala ke sebuah dinding beton–penghalang antara daratan dan lautan, yang ada di dekat tempat terakhir kepergiannya. Aku lelah menghadapi segala hal, yang sebenarnya tidak ingin kulakukan. Kewajiban yang telah kuambil, terucap sumpah, hingga jiwa menjadi saksinya, berat. Kejadia
Perjuanganku selama ini tidak ada gunanya lagi. Aku menghancurkan semua benda yang ada di sekitar sana. Kemarahanku sudah tak bisa ditampung. Dalam satu kali semburan api, aku membakar seluruh sisi lapangan.Harvey mencoba menghentikan, tetapi kekuatanku jauh lebih besar. Hanya menggunakan satu persen magis, anak Dewa Naga itu tak kuasa menahannya. Portal pelindung tingkat tinggi yang dia bangun, kuhancurkan dengan satu kali pukulan.Magis sempurnaku telah bangkit kembali. Kekuatan keseimbangan alam yang bercampur, dengan kristal phoenix telah menguasai seluruh universe. Jentikan jariku bisa mengalahkan siapa pun. Aku tidak takut tewas, karena keabadian telah menjadi milik.Kehancuran akibat magis tingkat tinggiku, menghantarkan Tim Treize ke lokasi. Aku menerbangkan diri menggunakan sayap guardian. Kemudian, memasang garis pembatas, agar mereka tidak terlibat.Degree bersama Bibi Naya mencoba untuk menghancurkan dinding tebal itu. Namun, tentu saja tidak akan bisa. Kekuatan rendahan
Kristal phoenix berhasil ditemukan. Nenek itu sangat baik hati, karena menyerahkan benda itu padaku. Aku bersama dengan Calvin berhasil mempersingkat kultivasi sempurna, hanya dalam dua hari. Kemajuan yang sangat luar biasa, bukan?Keberangkatan kami menuju Kota Linear membutuhkan waktu sekitar lima jam. Perjalanan termakan lama, lantaran macet di ibu kota. Setelah diceramahi oleh Calvin, aku kembali sadar tentang satu hal, yaitu bukan tentang bagaimana menjadi seorang guardian sejati, tetapi proses perjuangan selama ini.Aku membuka layar ponsel. Pesan di SC tampak menumpuk. Ada sekitar lima ribu chat dari gabungan grub, dan chatting personal. Tidak. Bukan itu yang kucari. Beberapa hari sebelumnya, sebuah nomor yang tidak dikenal memberikanku pesan bertuliskan,"Temui aku sendirian, Azo. Mari selesaikan ini tanpa menggunakan kekuatan sedikit pun. Aku berjanji tidak akan bertarung dengan curang. Kali ini, jika aku menang, maka kau harus bersumpah untuk membunuh dirimu sendiri. Tapi ji
Sudah tiga hari aku gelisah. Tubuhku panas dingin. Kepalaku ingin pecah dari tempurung tengkorak. Sebuah pedang yang menancap di atas televisi, tidak bisa ditarik. Berat."Sebenarnya, apa sih, isi kotak kayu itu? Kok pedangku nggak bisa menembusnya, ya?" gumamku seorang diri, sambil memutari televisi yang sudah gosong itu. Di malam sebelum kejadian itu, aku sibuk menonton acara kesayangan—film romantis. Film yang berjudul, "Onze hope for your enemy", karya sutradara terkenal di Linear, memang patut diberi rate seribu dari per sepuluh. Film yang bercerita tentang kehidupan asmara Ceyda–seorang gadis remaja broken home, menuai banyak respon positif dari fansnya. Pertemuan Ceyda dengan seorang pria dingin–Atan, adalah kisah paling unik sepanjang sejarah. Tisuku habis hanya untuk menyeka air mata yang jatuh, ketika menyaksikan film itu di layar televisi.Dua jam setelahnya, aku memutuskan untuk tidur. Lamaran pekerjaanku menjadi asisten lab telah disetujui Tuan Clay—kepala laboratorium