"Hai, kamu. Apa kabar? Maaf sudah enam tahun aku nggak datang," Jelita tersenyum pada batu nisan marmer putih di depannya. Setelah berdoa bersama, Jelita, Axel dan Aireen pun bersama-sama menabur bunga dan menaruh buket mawar putih besar di makam Zikri Gerhana Sutomiharho. Setelah itu biasanya Jelita berbincang-bincang dengan makam mantan suaminya itu untuk melepas kerinduan.Sementara Dexter, Ellard dan Ellena hanya memperhatikan mereka dari kejauhan karena ingin memberikan privasi kepada mereka bertiga."Itu siapa yang meninggal, Daddy?" Tanya Ellard bingung. "Kenapa Mommy terlihat sedih?""Yang meninggal adalah Daddy-nya Kak Axel dan Kak Aireen. Mommy nggak sedih, pumpkin. Lihat, apa Mommy menangis?" Dexter mengelus kepala Ellard dengan penuh sayang."Daddy, I want Mommy," tiba-tiba Ellena terisak."Mommy.....!!!" Anak kecil yang mungkin berjiwa sensitif bisa merasakan aura kesedihan mendalam yang dirasakn oleh ibunya, sehingga Ellena merasa ketakutan seakan Mommy-nya akan pergi.
Hanya cerita yang bisa mereka bagikan.Cerita tentang kehidupan, dan bagaimana mereka berdua menjalaninya. Givanna tersenyum penuh rasa bahagia mendengarkan adiknya bertutur kata, membagikan kisah hidupnya yang luar biasa. Hatinya pun ikut perih mendengar bagaimana Jelita kecil yang bertahan di panti asuhan, lalu ikut hancur saat mengetahui bahwa suami pertamanya meninggal dengan tragis. Ia baru tahu bahwa begitu banyak penderitaan yang dialami adik kembarnya ini, membuat dadanya sesak dan dipenuhi rasa bersalah karena selama ini dia selalu hidup dalam kebahagiaan.Hidup Givanna memang tidak mewah bersama neneknya, namun juga tidak pernah kekurangan. Baik kekurangan dari segi materi maupun cinta kasih. Berbanding terbalik dengan separuh jiwanya yang berbagi rahim dalam kandungan ibunya ini."Lalu bagaimana dengan ceritamu, Givanna? Aku ingin mendengar semuanya!" Seru Jelita antusias. Kedua jemari saudara kembar itu terus bertaut sejak tadi, seakan enggan dan takut untuk terlepas
Pagi hari pun tiba. Jelita terbangun saat sinar matahari yang terang mengintip melalui celah gorden berwarna gading. Dengan mata yang masih sayu karena mengantuk, seulas senyum bahagia terlukis bibirnya membayangkan hari ini mereka liburan ke Maldives bersama Givanna dan keluarganya.Ternyata seperti ini rasanya memiliki saudara by blood. Jelita hanya memiliki adik-adik di panti asuhannya yang dulu, yang meskipun mereka tidak sedarah namun Jelita tetap menyayangi mereka.Namun memiliki saudara kandung rasanya sungguh berbeda. Ada ikatan aneh yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, yang jauh lebih kuat dari apa pun meskipun mereka baru saja bertemu.Jelita menggeliatkan tubuhnya yang masih terasa capek. Mungkin karena hamil membuatnya lebih gampang lelah, namun hal itu sama sekali tidak menyurutkan niatnya untuk bersenang-senang bersama Givanna dalam liburan kai ini."Aaaaahh!!" Jelita terpekik kaget saat hendak membuka selimut dan mendapati kalau piyamanya telah terbuka lebar
Tanpa disangka-sangka, malam harinya Dexter memberikan kejutan berupa dinner by the beach bernuansa pinggir pantai dengan debur ombaknya yang memberikan rasa damai dan tentram. Privasi mereka pun terjaga karena hanya diperuntukkan bagi keluarga Dexter dan keluarga Arya, suami dari Givanna. Sebuah tenda berwarna merah dipersiapkan sebagai tempat mereka makan malam sambil menikmati pantai. Bahkan juga ada sebuah panggung berukuran sedang dengan iringan band yang memainkan lagu-lagu romantis, membuat suasana semakin syahdu. Saat mereka telah selesai makan malam, Dexter mengajak Jelita untuk berdansa diiringi oleh lagu Perfect dari Ed Sheeran. Arya juga mengajak Givanna untuk berdansa, diperhatikan oleh anak-anak mereka yang masih saja sibuk mengunyah makanan penutup faforit mereka : es krim, puding, dan cake coklat.Jelita menatap Givanna yang juga sedang berdansa tak jauh darinya, dan ternyata tatapan mereka pun tanpa sengaja saling bertemu. Senyum manis dari kedua bibir merah itu
Peluh membasahi kedua tubuh yang sedang memadu kasih itu. Ranjang kayu jati kokoh tempat mereka bergumul pun terus menghentak dengan keras, menandakan betapa liarnya kegiatan yang mereka lakukan--atau yang lebih tepatnya--sang lelaki itu lakukan. Karena sang wanita sendiri telah tak mampu menggerakkan tubuhnya karena kelelahan.Nafas yang memburu pun saling berpadu, seiring dengan desau rintihan dan erangan yang menambah suasana semakin panas bergelora.Gerakan serta sentuhan erotis seakan tak pernah reda, karena sang raja yang tak pernah berpuas diri menjamah ratunya yang cantik."Aaah..." desahan lembut itu kembali terdengar dari bibir manis yang telah basah merekah. Tubuh indahnya yang berkilau tersentak-sentak keras dalam gerakan acak, dengan satu kaki jenjangnya yang bertumpu di bahu kokoh lelakinya.Ketika terjangan gelombang dahsyat pun datang dengan keras menghempas, kedua insan yang dimabuk asmara itu pun menjeda, sejenak menikmati nikmatnya surga dunia dengan napas yan
Givanna yang tidak segamblang Jelita soal kegiatan intim seperti itu pun langsung merona. "Mmm... sebenarnya sih, first kiss itu waktu SMA," ungkapnya malu-malu."Hah?! Bukannya waktu SMA dulu kalian musuhan ya?" Cetus Jelita bingung.Givanna meringis malu. "Sebenarnya aku yang suka duluan sama Arya. Waktu itu malam pentas seni, dia tampil jadi gitaris band-nya. Aku cemburu banget lihat banyak cewek yang tertarik pada Arya, hinhga akhirnya waktu dia turun dari panggung langsung aja aku tarik ke pojokan yang sepi. Terus aku cium deh bibirnya," tukasnya sambil nyengir. "Terus? Reaksi Kak Arya gimana?""Ya nggak tahu. Soalnya abis aku cium, langsung aku tinggal pergi begitu aja. Malu banget sih..."Jelita pun terbahak mendengarnya. Ya ampun, kakaknya yang cantik ini lucu sekali! Seandainya Jelita ada di situ, mendengarkan ceritanya yang menggebu-gebu setelah mengecup seorang lelaki, pasti seru sekali!Tawa renyah Jelita mengundang suaminya yang masih sibuk bertelepon untuk menatap ist
Jelita terbangun dengan hanya selimut putih tipis yang menutup sebagian dada dan bagian bawah perutnya. Serta-merta ia pun langsung bangkit dan duduk, menoleh kesana kemari mencari-cari keberadaan suaminya.'Ah, itu dia.'Dexter sedang berdiri di depan air terjun mini sambil memotret dengan kamera DSLR Canon 5DS-nya, terlihat serius sekali mencari sudut-sudut yang unik dan fotogenik untuk diabadikan.Jelita tersenyum, dan berniat jahil untuk mengagetkan suaminya. Tapi masalahnya... semua bajunya rusak.Bahkan pakaian dalamnya pun robek hingga tak berbentuk akibat ulah suaminya yang tak sabaran dan ingin segera melampiaskan nafsunya yang terlanjur menggelegak itu. Jelita menggigit bibirnya dengan perasaan campur aduk antara bahagia dan malu, saat Dexter menncumbu dengan penuh hasrat dan cinta yang jelas terpantul di dalam mata karamel cemerlangnya itu. Akhirnya Jelita pun memutuskan untuk keluar dari mobil VW Combi dengan membalutkan selimut putih untuk menutupi tubuh polosnya. Dext
Jelita masih tersedu dan tak ingin melepaskan pelukannya. Sudah hampir setengah jam ia mendekap tubuh kakak kembarnya dan tak rela membiarkan Givanna pergi, padahal pesawat pribadi mereka telah lama mendarat di Kalimantan dan seharusnya Jelita serta keluarganya juga langsung terbang kembali ke Jakarta."Kita bisa bertemu Gigi lagi kapan pun kamu mau, sweetheart," bujuk Dexter sambil mengelus rambut istrinya yang dikuncir tinggi di kepala. "Bahkan weekend ini pun bisa." Namun semua bujuk rayu yang ia sampaikan dari tadi sepertinya tetap saja tak mampu meredakan kesedihan Jelita. Dexter pun akhirnya hanya bisa mendesah lelah. Jelita yang sedang hamil memang benar-benar jauh lebih manja dan cengeng daripada biasanya, itulah yang terjadi di kehamilan Ellard-Ellena yang lalu dan sepertinya terulang kembali di kehamilan yang sekarang. Dulu Dexter justru senang jika Jelita bermanja-manja padanya dan sangat menikmati masa sembilan bulan kehamilan istrinya, karena biasanya Jelita adalah
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf