Konflik dimulai, ya...***Tatapan mata caramel itu menyorot begitu dalam, begitu penuh perhatian yang hanya tertuju pada satu object indah di hadapannya, yaitu tubuh molek istrinya."Mulailah," ucapnya dengan suara serak dan berat yang maskulin.Beberapa detik telah berlalu, namun Jelita hanya diam sambil menaikkan alisnya. "Uhm... musiknya? Pole dance nggak asik tanpa musik, babe," celutuk Jelita sambil menahan tawa.Dexter menepuk keningnya dan terkekeh pelan. Lalu ia pun mengambil ponsel dari saku, dan menyambungkan musik dari ponsel ke speaker yang menempel di setiap sudut ruangan.Bibir pink pucat itu pun tersenyum setelah mendapatkan lagu yang ia inginkan."Bad Romance, from Lady Gaga," gumannya sambil menyeringai. Jelita tertawa pelan mendengar pilihan lagu suaminya itu. Tadinya ia mengira Dexter akan memilih lagu dance dengan beat yang cocok untuk tarian striptease, bukan lagu pop electro yang bercerita tentang seseorang yang terperangkap dalam kisah cinta yang buruk dan
Dexter memacu kecepatan Lamborghini-nya hingga di atas batas kecepatan rata-rata. Dia ingin secepat mungkin sampai di kediaman Dirga Sutomiharjo karena menurut info dari Nero, Jelita dan Givanna berada di sana. Begitu pun dengan Allan Pranata.DAMNED IT!!!Berulang kali Dexter mengutuk dirinya sendiri yang teledor mengawasi pergerakan lelaki itu, hingga sekarang malah takdirlah yang akhirnya berperan mempertemukan mereka. Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Jelita tidak boleh bertemu dengan Allan Pranata!Dan jika seandainya istrinya itu telah bertemu dengan lelaki itu, maka Dexter akan melakukan segala cara untuk menjauhkan mereka!***Jelita masih diam termangu dengan air mata yang terus mengalir saat Allan memeluknya. Pikirannya masih dipenuhi dengan tanda tanya yang besar yang belum ada jawaban pasti. "Anakku Gianina..." Allan melepaskan pelukannya dan menatap Jelita dengan wajah yang berkerut penuh dengan kesedihan. "Maafkan Ayah... karena Ayahlah, masa kecilmu akhirnya dihabis
Allan menghembuskan napas berat yang seakan membebani pundaknya, setelah putrinya Gianina dan suaminya pergi dari rumah Dirga.Ia memang sengaja tidak mencegah Dexter Green untuk membawa pergi putrinya, karena tidak ingin membuat segalanya semakin runyam. Dexter Green terlihat begitu emosional tadi, apalagi sebelumnya juga Givanna sempat bercerita kalau adiknya Gia sedang hamil, Allan tidak ingin ada apa-apa dengan cucu yang dikandung Gia.Givanna memeluk ayahnya dengan lembut. "Jangan sedih, Ayah. Biarkan Dexter yang mengurus Gia dan menceritakan semuanya, ya?" Allan menatap anaknya dan mendesah. "Seandainya saja waktu bisa diputar kembali, Ayah akan memperbaiki semua kesalahan dan kalian tidak akan pernah terpisah dan menderita," ucapnya penuh sesal."Allan, sebenarnya ada apa? Kenapa Dexter terlihat kesal padamu?" Tanya Dirga yang sekarang telah berada di samping Allan dan Givanna. Tidak pernah terbayang dalam pikirannya sedikit pun bahwa mantan menantunya adalah putri dari sahab
"Allan, lalu darimana kamu mengenal Dexter Green?" Tanya Dirga lagi.Allan menarik napas yang sangat panjang sebelum ia menjawabnya."Dia... adalah seseorang yang tertarik untuk membeli Aurora Pictures, perusahaan keluargaku. Prisilla dan James bahkan sudah memberikan persetujuannya, namun karena perusahaan dibagi tiga secara rata setelah Ayahku meninggal, maka mereka juga memerlukan persetujuanku jika ingin menjual perusahaan.""Sampai mati pun aku tidak akan pernah menyetujuinya, itu sebabnya Prisilla dan James melakukan segala cara untuk mengintimidasiku, Dirga.""Tunggu. Maksudmu Dexter ingin membeli Aurora Pictures?" Dirga terlihat sangat kaget. "Lalu apa tujuannya?"Allan menghela napas dan menggeleng. "Sepertinya ia sudah mengetahui bahwa diriku adalah ayah dari Gia, tapi aku juga tidak tahu apa maksud Dexter sebenarnya," tukas Allan pelan. Allan bahkan sedikit curiga mungkin Dexter punya maksud tidak baik padanya."Ayah, Dexter sudah tahu semuanya. Aku yang menceritakan padan
Dexter benar-benar melaksanakan semua ucapannya kepada Jelita di pantai tadi. Ia menarik tangan istrinya untuk kembali ke dalam mobil dan mencari hotel terdekat untuk melampiaskan hasratnya. Kebetulan juga ada salah satu hotel bintang lima yang termasuk dari jaringan Alpha Green yang letaknya tak jauh dari pantai.Sebagai mantan CEO Alpha Green, tentu saja tak sulit baginya mendapatkan kamar president suite dalam sekejap, apalagi dia adalah bagian dari keluarga Green yang notabene pemilik hotel itu.Karena gairahnya yang sudah tak tertahankan, Dexter langsung mendorong tubuh istri cantiknya ke dinding lift saat kotak itu mereka masuki. Tak akan ada orang lain yang akan masuk ke dalamnya, karena ia sudah membooking lift hingga ke kamar president suite di lantai teratas.Suara desahan Jelita yang sangat merdu di telinga Dexter membuat pikirannya makin berkabut. Berkali-kali ia mengingatkan dirinya agar tidak bersikap kasar pada istrinya yang saat sedang hamil muda, meskipun ia ingin
Dalam sebuah mobil Ferarri merah milik Jelita, Allan Pranata yang sedang berada di belakang setir terlihat gundah. Mobil yang sebelumnya digunakan Jelita dan Givanna untuk berkunjung ke kediaman Dirga, kini dibawa oleh Allan bersama Givanna, karena Jelita sendiri telah dijemput oleh Dexter.Givanna pun kemudian mengajak Allan untuk ikut dengannya menuju ke kediaman Dexter Green. Allan yang khawatir kehadirannya hanya akan kembali membuat pertengkaran antara anaknya Gianina dengan suaminya, sempat menolak ide itu."Ayolah, Ayah," ucap Givanna yang duduk di kursi samping dengan tatapan memohon kepada Ayahnya."Apa Ayah tidak ingin bertemu dengan cucu sendiri? Anak-anaknya Gianina?" Helaan nafas berat pun terhempas dari Allan, yang sangat dimengerti oleh Givanna penyebabnya Ayahnya terlihat murung seperti itu. "Dexter itu sebenarnya lelaki yang sangat baik. Dia begitu tergila-gila dan sangat mencintai Gia, mungkin itu sebabnya Dexter belum bisa menerima kehadiran Ayah," cetus Givanna
Warning : bab ini mengandung kekerasan yaa...***Jelita terbangun karena mendengar sebuah suara rintihan pelan. Manik bening beriris hitam itu pun mengerjap-kerjap, berusaha menyesuaikan kondisi di sekelilingnya yang sangat gelap hampir tanpa penerangan. Hanya secercah cahaya yang sepertinya berasal dari lampu temaram dari ruangan lain yang menembus di sela-sela ventilasi.Serangan mual hebat dan panik pun seketika menyerbu sanubari wanita itu kala menyadari dirinya telah berada di tempat yang asing. Bau apek dan anyir makin memperparah rasa ingin muntahnya, padahal Jelita yang sedang hamil muda sangat jarang sekali merasakan mual-mual.Wanita itu berusaha menggerakkan tubuhnya yang sedang terduduk di kursi, dan tercekat saat mengetahui bahwa kedua tangannya diborgol ke belakang sandaran, dengan kedua kaki yang diikat tali di bagian kaki kursi. Apa ini? Kenapa ia bisa berada di tempat ini?? Dimana suaminya? Bukankah terakhir kalinya ia sedang bersama Dexter di dalam hotel??Rasa
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf
"Ya, aku di sana, Sayang. Saat Anaya lahir, aku memanjat dinding rumah sakit dan duduk dengan cemas di ruang sebelah. Mendengar semua rintihan kesakitanmu, dan mendengar tangisan pertama anak perempuan kita."***Sehabis Dexter dan Jelita bertemu dan bercinta semalaman, paginya lelaki itu langsung menemui anak-anak serta seluruh keluarganya. Tentu saja mereka semua sangat kaget, namun juga terharu dan menangis penuh rasa bahagia melihat Dexter bisa kembali berkumpul bersama mereka. Bahkan sejak saat itu Axel, Aireen, Ellard dan Ellena selalu ingin tidur di kamar orang tuanya, bersempit-sempitan dalam satu ranjang master bed.Jelita hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum melihat kelakuan anak-anaknya yang seperti tidak mau berpisah lagi dengan Daddy mereka. Seperti juga malam ini. Meskipun malam ini sudah malam ke-lima kembalinya Dexter ke rumah, empat anak mereka itu masih saja rela tidur bersempit-sempit di ranjang Jelita dan Dexter. Untung saja ranjang itu superbes
Jelita menatap dengan segenap penuh kerinduan pada manik karamel yang selalu membuatnya terbuai, tenggelam dalam kedalamannya yang seakan tak berdasar itu. Ada begitu banyak pertanyaan yang berkecamuk di dalam hati Jelita, namun entah mengapa kali ini seolah bibirnya terkunci.Hanya desah tercekat yang lolos dari bibirnya ketika Dexter menggores bibirnya di leher Jelita yang seharum bunga. Kesepuluh jemari wanita itu telah terbenam di dalam kelebatan rambut Dexter yang sedikit lebih panjang dari biasanya, wajahnya mendongak dengan kedua mata yang terpejam rapat.Lelaki itu menyesap kuat lehernya bagaikan vampir kehausan yang membutuhkan darah segar agar ia tetap hidup. Rasa sakit itu begitu nyata, begitu nikmat dirasakan oleh Jelita. Untuk kali ini, ia benar-benar tak keberatan jika Dexter menyakitinya. Jelita justru ingin disakiti, ia bahkan tidak akan menolak jika Dexter ingin membawanya ke dalam Love Room dan membelenggunya dengan rantai besi lalu menyiksanya seperti Dexter di
Kedua lelaki itu masih terus melakukan baku hantam, tak berhenti saling melancarkan serangan serta pukulan yang mematikan untuk membuat lawannya tak berkutik. Ruangan besar yang biasanya digunakan untuk pertemuan para anggota Black Wolf itu pun kini tak berbentuk lagi. Meja lonjong panjang dari kayu jati itu telah terbelah, setelah Dexter melemparkan tubuh Kairo ke atasnya. Potongan-potongan kayu itu pun mereka jadikan senjata yang cukup berbahaya karena ujung-ujung patahannya yang runcing.Dexter telah merasakannya, karenq Kairo menusuk kakinya dengan kayu runcing iti ketika ia lengah.Dua puluh kursi yang berada di sana pun menjadi sasaran untuk dijadikan senjata. Pertempuran itu benar-benar sengit. Kairo melemparkan kursi terakhir yang masih utuh kepada Dexter yang sedang terjengkang setelah sebelumnya terkena tendangan, namun untung saja di detik terakhir dia masih sempat menghindar.Dengan sisa-sisa tenaganya, Dexter menerjang tubuh Kairo dan menjatuhkannya ke lantai, lalu b
Rasanya setiap sendi di kaki Jelita mau lepas dari engselnya, tapi ia abaikan semua rasa sakit itu dan terus saja berlari, untuk mengejar sesosok tinggi yang ia rindukan dan telah berada jauh di depannya.Aaahhh, sial... sekarang lelaki itu malah menghilang!!Dengan napas yang tersengal, Jelita berhenti di depan pintu sebuah cafe untuk bersandar sejenak di tiang putih besarnya. Berlari dengan heels 5 senti sambil membawa tas dan dokumen tebal benar-benar sebuah perjuangan.Ditambah lagi sudah sebulan terakhir ini dia juga jarang berolahraga. Lengkaplah sudah.Sambil mengatur napasnya yang berantakan, Jelita mengamati spot terakhir dimana Dexter terakhir terlihat. Atau mungkin, orang yang sangat mirip dengan Dexter Green, suaminya yang telah meninggal dua tahun yang lalu. Tidak, itu pasti Dexter. Jelita sangat yakin lelaki yang barusan ia lihat adalah Dexter!Jelita tak tahu apa yang ia rasakan saat ini, karena hatinya serasa ditumbuhi bunga yang bermekaran namun juga sekaligus dina
Cuma ngingetin, ini novel yang 100% happy ending ya. Jadi... jangan kaget baca bab ini. Peace.***Tubuh Jelita membeku dengan tatapan kosongnya yang lurus terarah pada pusara penuh bunga di hadapannya. Tak ada satu pun isak tangis yang keluar dari bibir pucat itu, karena airmatanya telah mengering.Tubuh dan hatinya kini telah kebas, menebal dan mati rasa.Ini terjadi lagi. Untuk yang kedua kalinya.Apakah dirinya pembawa sial? Apakah dirinya memang tidak ditakdirkan untuk bahagia?Apakah dia tidak layak untuk mendapatkan cinta yang begitu besar dari seseorang yang luar biasa? Dulu Zikri, dan sekarang...Sekarang...Jelita mengangkat wajahnya yang pucat dan melihat Heaven yang berada di seberangnya. Wanita itu tengah tersedu dengan sangat pilu, sementara William terus memeluk dan berusaha menenangkan istrinya.Seketika Jelita pun merasa iba. Heaven telah kehilangan putrinya, dan kini kejadian itu pun terulang kembali. Dia kehilangan putranya.'Maafkan aku, Mom.' 'Putra tercinta
Jelita menatap lelaki paruh baya yang sedang terbaring diam itu dengan tatapan sendu. Matanya terpejam rapat, alat bantu napas menutup sebagian wajahnya dan beberapa infus terlihat menancap di tubuhnya. Ayahnya berada dalam kondisi koma. Pukulan keras yang beberapa kali menghantam kepalanya membuat otaknya mengalami trauma. Wajahnya penuh lebam dan luka, begitu pun sekujur tubuhnya. Robekan di sepanjang lengannya bahkan harus dioperasi karena merusak banyak syaraf-syaraf penting.Wanita itu pun kembali terisak pelan ketika mengingat penyiksaan keji kepada ayahnya itu. Seorang ayah yang baru ditemuinya setelah tiga puluh satu tahun hidupnya. Seorang ayah yang sempat ia benci ketika mengetahui kisahnya di masa lalu."Ayah, maafkan aku..." lirih Jelita sambil terus terisak. Ia mengunjungi Allan menggunakan kursi roda dengan diantarkan oleh suster jaga. Heaven pulang sebentar untuk melihat anak-anak Jelita di rumah, sekaligus membawa barang-barang yang diperlukan untuk rawat inap me
Dengan sekuat tenaga, Dexter melempar ponselnya membentur dinding hingga hancur berkeping-keping.Kemarahan yang terasa membakar dadanya ingin sekali ia lampiaskan kepada Prisilla Pranata, wanita iblis jahanam itu."Aaaarrghhhh!!!" Dexter menarik kursi yang ia duduki lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, dan membantingnya ke lantai dengan keras hingga hancur berantakan."Mr. Green..." Nero masuk ke ruangan itu dan tidak heran lagi saat melihat suasana di sekelilingnya yang kacau-balau bagai terjangan angin badai memporak-porandakan seluruh isinya. Tuan Mudanya itu memang selalu menghancurkan barang-barang jika sedang murka.Seseorang telah berani mengusik istri dari Dexter Green, dan Nero memastikan kalau orang itu beserta kaki tangannya tidak akan bisa selamat dari kemurkaan lelaki itu. Dexter Green biasanya memang tidak sekejam ayahnya jika berhadapan dengan musuh-musuhnya, namun Nero tidak terlalu yakin lagi setelah apa yang ia lihat hari ini.Sisi psikopat Dexter yang selama ini jau
Kening berkerut Prisilla Pranata semikin penuh dengan lipatan saat ia mengernyit. Sudah tiga jam James tidak dapat dihubungi. Ada apa ini? Tak biasanya anak lelaki satu-satunya itu hilang kontak selama ini. Cih, paling-paling ia mabuk-mabukan dan bermain dengan jalang di night club. Hanya saja saat ini Prisilla membutuhkan James menemui Alarik. Wanita itu ingin mendapatkan bukti yang meyakinkan bahwa Alarik benar-benar sudah menculik dan menyiksa Allan beserta kedua putrinya itu. Lebih baik lagi jika ada videonya, pasti Prisilla akan sangat puas melihat jerit kesakitan dan permohonan ampun mereka yang menjijikkan.Dan sekarang entah kenapa tiba-tiba saja wanita yang masih terlihat anggun di usia lanjut itu merasa gelisah, karena Alarik belum memberikan kabar apa pun. Terakhir kira-kira beberapa jam yang lalu si pembunuh bayaran itu hanya memberi kabar kalau berhasil menangkap ketiga orang itu, tapi setelahnya tidak ada info apa pun lagi. Brengsek! Dimana sih mereka? James dan
"DEXTER, HENTIKAAN!"Kalimat perintah dari William Green itu sebenarnya terdengar begitu keras dengan suaranya yang menggelegar, namun putra satu-satunya yang ditegur itu seperti tidak bisa mendengar apa pun lagi. Telinga, mata dan hatinya sudah tertutup oleh kemurkaan yang begitu besar, sehingga tubuhnya pun bergerak bagai robot mematikan yang terus menghancurkan lawannya tanpa henti."KATAKAN DIMANA ISTRIKU, BEDEBAH!!" Bentakan keras itu diiringi oleh tatapan pekat dari netra karamel Dexter yang dalam dan menakutkan, seakan mampu menghisap seluruh jiwamu hingga kering tak bersisa.BUUUGH!!!Kembali, pukulan kuat itu telak ia layangkan kepada James Pranata, yang sudah terdiam di lantai dengan tubuh dan wajah yang penuh bersimbah darah.William Green pun akhirnya memberikan kode kepada ajudannya Nero dan tiga orang pengawal untuk menahan putranya agar tidak membunuh James yang sepertinya sudah sekarat itu.Bukan karena William peduli dengan nyawa James, ia hanya ingin mendapatkan inf