“Jadi ... lo percaya teori kayak gitu? Maksud gue, hal mustahil semacam tokoh novel yang memiliki kehidupan sungguhan yang nyata?”
Sisca mengendikkan bahunya. “Gue lebih percaya kalau ada yang namanya dunia paralel. Ada dunia atau kehidupan lain di dunia ini, sama-sama hidup berdampingan dengan kita di bumi. Banyak misteri yang belum terungkap di dunia ini.”
“Hm ... gue setuju, tapi gue nggak percaya.”
Untuk sekedar pembicaraan random, Sisca merasa Tiara mencoba mengarahkannya ke hal yang lebih dalam.
“Ya itu hak lo, tapi gue jadi penasaran apa yang membuat lo nggak percaya saat lo setuju dengan pernyataan gue?”
“Artinya setiap penulis novel membuat kehidupan lain di dalam karyanya, dan bisa disebut sebagai Tuhan yang bisa menciptakan kehidupan pada karya tersebut.”
“Jadi pembahasan lo ke arah sana ... Saat penulis merasa dirinya yang benar-benar menciptakan apa yang ditulisnya sebagai karya ciptanya dan mengaku dirinya Tuhan.
Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
“Lo emang nggak tahu atau pura-pura nggak tahu? Lo pikir kemarin-kemarin lo jarang banget diganggu sama dia karena lo berhasil menghidarinya? Tiara itu seperti anjing pelacak yang bisa nemuin lo di mana aja, lo nggak merasa ada yang aneh?” Ucapan Ilham terus mengganggu pikiran Bayu. Apa lagi beberapa hari ini belum ada kabar dari Tiara. Semua fokusnya buyar dan berujung tidak dapat mengerjakan tugas laporan yang menumpuk. Biasanya Bayu tidak peduli dengan apa yang Tiara lakukan, tapi sekarang .... ‘Kok gue nggak tenang ya? Gue khawatir dia kenapa-napa.’ Khawatir? Kekhawatiran yang berbeda tanpa paksaan dari Ibunya Tiara. Ini menjadi istilah dan perasaan baru bagi Bayu untuk gadis itu. Tidak ingin berpikir panjang, Bayu mengambil jaket dan kunci mobil. Mungkin tindakan kali ini menjadi awal mula perubahan dalam hidupnya. *** Tiara mengacak rambutnya frustasi. Ia semakin tidak tenang dengan apa yang muncul dalam pikirannya. Astro mendapatkan tuduhan pemberontakan dari Suku Dewa sa
Baru saja Tiara berdiri ingin pergi, tangannya ditahan. “Temenin gue makan, lo belum jawab pas gue tanya kabar lo.” ‘Curang! Bayu sialan!’ Jantung Tiara berdetak kencang, ia tidak mengerti dengan sikap manis Bayu yang begitu tiba-tiba. “Gu-gue ... gue baik-baik aja. Sehat sentosa, adil, dan makmur. Lo nggak lihat gue makin gemuk sekarang?” Tiara gugup dan langsung melepas tangan Bayu yang masih memegang tangannya. Bahkan gadis itu sampai salah tinggah dan bicara melantur. Bayu hanya mengangguk. “Lalu, kenapa lo nggak telepon atau nemuin gue beberapa hari belakangan? Lo sakit?” “Hah?” “Iya, lo biasanya nggak jelas telepon gue atau tiba-tiba ada di depan gue dimanapun itu.” Tiara mengedip-ngedipkan matanya, sepertinya telinganya rusak atau Bayu sedang mempermainkannya? “Hahaha ... rindu itu emang berat. Yah, gue suka cara lo. Sangat gentle. Lakuin ini buat gue aja ya, Bay. Biar gue nggak makin banyak saingannya lagi.” Tiara menutup wajahnya, perasaannya tidak karuan. Mau ini adal
Pukul 3 AM di jam weker digital yang dilihatnya. Menoleh pada pintu kamar, sekarang Tiara ingat itu. Sumber satiap ia mendengar obrolan-obrolan yang menyeramkan di malam-malam teror yang dipikirnya hanya halusinasi saja. Kepalanya menengadah melihat langit-langit kamar, itu adalah sumber suara batu terjatuh sebelum ia bertemu dengan ‘Dia’. Melihat pada meja belajarnya, terdapat lelaki yang tertidur di sana. Tiara tersenyum melihat Bayu benar-benar menunggunya. Bangkit membawakan selimut, Tiara berjalan perlahan agar tidak membangunkan, lalu dihampar selimut itu pada punggung Bayu. Melihat laptopnya yang berpindah tempat di atas rak buku, Tiara menunduk, ingatannya telah pulih. ‘Kenapa gue bisa melupakannya?’ Berdasarkan tulisan yang dibuatnya, Astro ada dalam masalah besar sekarang. Hanya saja tidak mudah bagi Tiara untuk mengganti alur cerita tersebut, tidak ada ide yang membuatnya bisa menulis selain kemalangan untuk Astro. Rasa bersalah menyelimutinya, janji tanggung jawabnya ki
“TIARA!” Baru memasuki gerbang kampus telinganya sudah mendapat sambutan yang begitu meriah. Tanpa menghentikan langkahnya Tiara sudah merasakan tatapan yang berbeda dari orang-orang yang melihatnya. Sepertinya Tiara sudah bisa menebak apa yang membuat Ilham sampai mengejarnya seperti ini. “Woi! Lo budeg?” Tiara melepas earphone yang sebenarnya tidak mengeluarkan suara apapun, hanya aksesoris aja. “Sial, lo pake earphone rupanya.” “Kenapa?” Dengan tampang polos Tiara bertanya. “Kita harus bicara sekarang!” Tiara tidak yakin jika dirinya dibawa ke kantin hanya untuk menemani Ilham sarapan. Ia bisa melihat tampang jutek lelaki itu sejak awal. Pasti ia akan membahas mengenai keputusannya itu. “Lo mau ngomong apa sih, Ham? Lo bawa gue ke sini bukan buat bayarin makanan lo, kan?” “Pikir sendiri!” See, Ilham menyadari jika Tiara sedang bermain-main dengannya. Karena Ilham tahu, sikap tenang Tiara bersumber dari kebodohan setiap tindakannya. Gadis itu tidak pernah pintar dalam menye
“Lo inget beberapa minggu sebelum launcing aplikasi T&J gue ngeluh diganggu setan dan ada yang nyebut-nyebut nama Astro?” Ilham mengangguk tanpa menimpali agar tidak memakan waktu. “Dan itu terjadi terus menerus setiap malamnya. Suara obrolan yang mengatakan tentang keadilan dan Astro. Itu masih berlanjut sampai ... malam launcing aplikasi T&J.” “Maksud lo, malam pas lo telepon Bayu? Gue telepon lo lagi saat itu karena Bayu yang langsung nanya lo ke gue, dan lo nggak angkat karena ternyata ketiduran, semuanya udah bereskan?” “Ham, biasanya setelah gue dengar obrolan itu langsung ngumpet di bawah selimut dan bantal buat nutup telinga gue. Tapi malam itu gue merasa tertekan dengan omongan gue sendiri di konfersi pers, dan gue memberanikan diri buat lanjut nyalain laptop untuk membuat persiapan.” “Tunggu!” Ilham menyela ucapan Tiara, ia merasa ada yang mengganjal. “Gue tebak kelanjutannya. Setelah lo menyalakan laptop, ada sosok yang yang tiba-tiba masuk kamar lo dan itu bukan manusia
Sisca tidak masuk kelas pagi ini, seharian di kampus Tiara hanya mencari sahabatnya itu. Sudah ditelepon, spam pesan, spam sosial media, tidak ada respon sama sekali, itu sebabnya Tiara menggunakan cara tradisional. Ia bertanya sana-sini yang sekiranya tahu keberadaan Sisca. Hanya saja sekarang ia sedikit kesulitan bergerak bebas. Bagitu banyak penggemar novel Theós of Authority yang tidak Tiara kenal meminta tanda tangannya dan berfoto bersama. Inilah yang membuat Tiara tidak suka mengumumkan identitasnya. Hanya saja ini sudah keputusan yang bulat. “Tiara?” Tiara menoleh ke kanan dan ke kiri merasa seperti ada yang memanggilnya, tapi suaranya tidak begitu jelas karena aksesoris earphone yang ia gunakan. “Hai!” Tiara tersentak sambil membalikkan badan setelah merasakan tepukan di punggungnya. “Oh, Bayu. Lo ngapain di sini?” Tiara melepas earphone-nya. “Seharusnya gue yang nanya kayak gitu.” Tiara kembali mengedarkan pandangannya dan baru menyadari jika ia berada di kawasan gedun
Sudah dua hari Tiara tidak bertemu dengan Sisca. Terakhir saat ia mencarinya di perpustakaan, Sisca sudah tidak ada. Dan yang rumit sekarang adalah hubungan Tiara dengan Ilham. Mereka menjadi perang dingin walau dalam tugas sebagai penulis dan manajer terlaksana dengan baik. Akhir-akhir ini Bayu juga jadi memiliki waktu luang untuk berkumpul dengan dua sahabatnya itu. Terhitung dari awal masuk kuliah, saat masih menjadi mahasaiwa baru, Bayu terlihat begitu serius dan perlahan menghilang bagai ditelan bumi. “Kalian terus seperti ini sampai kapan?” “SAMPAI ADA YANG MINTA MAAF!” ucap keduanya bersamaan. Mereka jadi pusat perhatian di restoran. Bayu hanya bisa memijat kepalanya melihat kedua sahabatnya bertingkah seperti anak-anak dengan saling memalingkan wajah. “Ada kabar baik, makanya gue ajak kalian ke sini.” Tidak ada respon karena keduanya sibuk dengan gerutuan masing-masing untuk saling menyalahkan. “Gue udah dapat kabar dari Sisca.” “APA?” Kini keduanya menjadi kompak dan mem
Bayu mengantar Tiara sampai di depan kamar kosnya. Ini hal langka, karena Bayu sendiri yang menawarkannya. Biasanya, Tiara harus merengek dan membuat drama lebay untuk merayu Bayu dengan modus mengantarnya pulang. “Bay, gue rasa lo berubah.” “Maksud lo?” “Nggak, yang penting gue makin suka sama lo yang sekarang.” “Maksud lo apa?” Baru dipuji, Tiara sudah mendengar nada tidak enak dari Bayu. “Nggak jadi! Lo pulang aja sono, hush hush!” Tiara mendorong tubuh Bayu untuk segera pergi sebelum jantungnya meledak. Walau Bayu kembali menjadi dingin, dipikiran Tiara hanyalah semua perhatian yang Bayu berikan belakangan ini. Bayu merasa risih dengan Tiara yang terus mendorongnya, padahal ia ingin memperingatkan sesuatu. Diambil tangan Tiara dan ia angkat hingga Tiara terpojok pada pintu kamarnya. Tiara meneguk salivanya susah payah melihat posisi mereka yang ... intim. Kedua tangan Tiara dicengkram kuat di atas kelapa. Tiara menyadari jika tatapan Bayu berubah menjadi begitu tajam. “Ini
Setelah membawa Tiara pergi dari perkenalan resmi, Astro memerintahkan Omili untuk melayani dan mengawasinya gadis itu. Astro yakin kerubutan tidak hanya pada Bangsawan Suku Iblis, Dewa Petinggi pun pasti tidak akan tinggal diam. Hingga situasinya saat ini Tiara menjadi tidak aman karena dianggap sebagai objek yang tidak biasa. “Hormat saya Tuan Astro.” Ograien datang ke kamar Astro, namun ia tidak sendiri. Sosok dengan energi Dewa ikut hadir. “Salam hormat kepada Dewa kami, Dewa Kematian.” “Golden?” Sosok yang sudah lama tidak Astro temui. Bukannya tidak sama sekali, dalam beberapa kesempatan Dewa Golden memang hadir saat lima Dewa Petinggi berkumpul, namun itu hanyalah bayangannya. Bayangan adalah salah satu kekuatan Dewa Golden yang dapat memecah diri dalam bentuk bayangan. Dan setiap bayangan dengan memiliki sekian persen dari kesadaran aslinya. Dewa Golden yang disapa santai oleh Astro tersenyum. “Saya pikir Anda tidak menyadarinya, terima kasih sudah mengenali saya.” Astro
“Ini bukan pertemuan pertama kami dengan Sang Dewi. Salam hormat dan kemuliaan tertinggi untuk Dewi Pencipta Tiran. Saya Dewa Hati, Gefsi, salah satu Dewa Petinggi. Senang dapat memperkenalkan diri secara resmi kepada Dewi Pencipta Tiran dengan keadaan sehat.” Sebenarnya Tiara gugup dengan penghormatan seperti itu. Masih terasa tidak nyata, apa lagi dirinya menjadi orang yang tidak biasa menyandang peran Dewi Pencipta. “Okey, terima kasih Dewa Gefsi. Salam kenal.” Astro bernapas lega dengan Tiara yang tidak mengacau dan hanya menjawab seadanya saat diberikan salam penghormatan. Untuk penilaian awal, jawaban seperlunya menunjukkan dominasi dan harga diri dalam posisi yang tinggi. Walau Astro tahu jika Tiara menjawab seperti itu pun, karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dan alasan itu tidak penting saat ini. Sedangkan Ammon, tubuhnya gemetar berusaha keras menahan tawa. Kegugupan Tiara sangat terlihat dari ekspresinya, ya ... tidak ada bawahan yang berani memandang ke atas,
Ukh, Tiara benci pakaian formal dunia Suku Iblis. Harus seberapa terbuka lagi untuk mengekspos bagian tubuhnya? “Ini namanya pelecehan, bagaimana caranya gue minta pertanggung jawaban Astro sialan!” Tidak henti-hentinya Tiara menggerutu sebelum ada yang menjemput. Kerudung yang katanya sebagai penutup diri jika Tiara malu, tidak membantu sama sekali karena transparan. Kini gadis itu hanya memeluk dirinya sendiri berjaga-jaga siapapun yang masuk ke kamarnya nanti. Tolong jangan tanyakan kenapa Tiara mau saja menggunakan pakaian seperti itu, hal itu bisa terjadi jika memang ia bisa menolak. Apa lagi pakaiannya yang dari rumah sudah dibuang. “Tiara! Tidakkah ini keterlaluan jika membuat semua menunggu-“ “KYAAAA!” Tiara tidak merasakan kehadiran seseorang, kemunculan Astro yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Apa lagi suara dalam Astro yang terdengar halus hingga pikiran horor tidak dapat dihindari. Mendengar teriakan Astro langsung bersiaga. “Ada masalah?” “Aish~” Tiara bangkit dar
Ternyata tidak butuh berjalan lebih lama, Ograien dengan kereta kadal yang dibawanya datang sengaja menjemput Tiara. Banar, kadal bukan kuda sebagai kendaraan pengangkut barang. Terlihat seperti buaya dengan sisik yang tajam, tetapi sebesar Komodo. Apapun itu sekarang Tiara sudah berada di kamar Astro dan berguling-guling ria diawasi oleh Omili. Tiara disuruh istirahat dan itulah yang dilakukan, entah sudah berapa lama ia terjebak di lapang rumput tanpa batas itu hingga membuatnya begitu lelah. “Hormat Yang Mulia Raja Iblis Astro.” Salam Omili dengan suara kecil, agar Tiara tidak terbangun. Namun Tiara langsung duduk memperlihatkan dirinya sudah tidak tidur lagi. Ia melihat kedatangan Astro bersama Ograien di belakangnya membawa sesuatu. “Kamu tidak tidur?” tanya Astro yang mengira Tiara sedang tidur. “Aku sudah bangun.” Mungkin sudah terbiasa berbagi kamar dengan Astro sampai Tiara tidak memperdulikan penampilannya yang berantakan saat ini. “Aku akan memanggilkan pelayan untuk
Angin bertiup bagai badai bersama cahaya kehidupan yang menyoroti Tiara, dua kekuatan bertolak belakang yang saling berpadu tanpa perlawanan. Dua Dewa yang menjegal Tiara seketika menegang tak dapat berkutik pada tekanan intimidasi yang dahsyat dari kedua kekuatan besar tersebut. Senjata mereka jatuh, kaki mereka menjadi lemas, sampai bersujud tanpa mampu mengangkat kepala. Ammon yang merasa bertanggung jawab menghampiri Tiara lebih dulu untuk melihat bawahannya lebih dekat. Ia tidak percaya jika para Dewa bisa se-tidak sopan itu bahkan dalam menghakimi seseorang dengan kecurigaan semata. “Huaaa Ammon!” Tiara yang ketakutan menerjang sang Dewa Agung, memeluknya. Tangisannya pecah setelah merasa lega, akibat terguncang dengan apa yang dialaminya saat ini. Ammon mengerti lemahnya Dewi Pencipta Tiran sebagai manusia. Selain itu ia mengernyitkan kening, saat merasakan presensi besar dalam diri Tiara. Sesuatu yang tidak ia rasakan di pertemuan terakhir mereka. “Tidak apa Dewi, mereka b
Tiara menganga melihat gerbang besar entah dari mana. Dua jam yang lalu, Tiara sudah putus asa berjalan tanpa ujung dan tidak menemukan apapun. Hanya hamparan rumput yang luas dan awan kelabu yang tinggi dengan kilat sesekali membelah langit. Perutnya sudah lapar, tidak tahu berapa lama ia berjalan tapi cahaya sekitar masih sama. Tidak lebih terang bertanda siang, ataupun lebih gelap waktunya malam. Dengan ingatan yang penuh Tiara tahu jika tidak memiliki makanan, tapi ia tetap merogoh saku berharap masih ada sesuatu yang bisa ia kunyah. Nyatanya tetap memang tidak ada, hanya sisa uang dari pemberian Ovid saja. Bisa dibilang kaki Tiara yang terus berjalan sudah mati rasa, karena rasa sakit telah ia abaikan. Pikirannya membayangkan jika berhenti sejenak mungkin tidak masalah, tapi Tiara takut. Kecemasan menyusup hatinya. Jika Tiara berhenti berjalan, maka semakin lama ia bertemu dengan Astro dan semakin lama untuknya pulang. Tiara ingin pulang. Keberadaanya di dunia asing itu, se
Seakan telah puas tertidur, Tiara bangun tanpa beban, tanpa mimpi. Banar bukan? Tidur tanpa mimpi itu adalah kualitas istirahat terbaik. Mengedarkan pandangannya, Tiara keheranan dengan alas rumput yang empuk dan hamparan hijau luas sejauh mata memandang. Di atas langit pun terlihat cerah dengan awan tebal, hingga keabu-abuan. Jika digambarkan, cuaca sama saat bumi akan hujan. “Bumi? Kayaknya ini bukan bumi. Gue ada di dunia novel, kan?” Secara langsung Tiara ingat perjalanannya, jika ia berada di dunia novel untuk mencari Astro. Entah kenapa secara bersamaan seperti ada yang terlupakan, pikirannya terasa kosong. Alasan Tiara tertidur ... Karena kelelahan? “Ini dunia Suku Dewa? Tunggu, gue urut satu-satu daerah mana aja yang sudah gue jelajahi.” Tiara mengeluarkan peta di saku jubahnya, peta yang didapatkan dari Ovid ... tapi bukan itu masalahnya. Antara ingatan, pikiran, dan kerja otaknya tidak singkron. Bukan lagi masalah hati dan pikiran, tapi satu fungsi yang sama kendalin
Tiara kecil mendengar begitu banyak cerita yang seakan mengerti, ‘Dewa itu’ juga masih menggedongnya. Mengajak Tiara kecil berkeliling sambil memakan jajanan pasar. Tiba di sebuah ujung jurang dari sebuah bukit ‘Dewa itu’ menurunkan Tiara kecil, dengan kekuatan yang keluar dari ujung jarinya merubah wujud Tiara kembali ke semula. Kontrol kesadaran dan gerak tubuh Tiara pun berangsur pulih, yang sebelumnya bergerak dengan sendirinya. “Kamu kah Dewa? Tapi siapa? Aku tidak pernah menulis sosokmu di dalam novel?” Walau begitu Tiara tetap tidak bisa mengendalikan ucapannya (keceplosan), kali ini karena sifatnya yang impulsif. ‘Dewa itu’ tersenyum. “Sungguh? Sepertinya kamu menulis tentangku walau tidak banyak. Em, biar aku ingat perkataan Istriku mengenai ramalan itu.” “Ramalan?” Tiara bertanya seakan baru mendengarnya, padahal sepanjang ia bersama dengan ‘Dewa itu’ membicarakan banyak hal, termasuk ramalan. “Ah, di bab satu sebagai pembuka. Kamu mengisahkanku seperti seorang pahlawan
Seperti bagian di dalamnya, Tiara bisa mencium aroma makanan yang sangat sedap, rasa yang menyenangkan dan tidak mengganggu sama sekali, suasana yang padat namun terasa damai. Bisa Tiara lihat orang-orang begitu ramah satu sama lain, menyambut dengan senyuman dan minim kejahatan, kecuali anak kecil yang jahil dan mencuri beberapa camilan di toko. Namun semua teratasi dengan baik oleh orang tua mereka yang akhirnya membayar, penjualnya pun berekspresi marah (bercanda) untuk anak-anak saja. Terasa hangat, kedekatan, dan toleransi yang kuat. Mengingatkan Tiara pada suasana kampung halaman, bangunan yang masih berbahan dasar kayu dan dihiasi kain warna-warni, aneka penerangan juga bagian dari karya yang kreatif. Saat matanya tanpa sadar berpapasan dengan yang lain, mereka akan tersenyum lebih dulu yang membuat Tiara sungkan dan menganggukkan kepalanya. Seperti berada di rumah. Orang-orang dengan kulit kecokelatannya berpenampilan manis dan sederhana. Tidak jarang banyak pendatang den