Zoo nggak janji lagi bisa update kapan. Maaf jika updatenya lama, karena setiap karya dan penulis memiliki kesulitannya sendiri. Terima kasih sudah membaca novel ini dan dukungan semuanya Jaga kesehatan dan selalu bahagia. Happy Reading~
Bayu mengantar Tiara sampai di depan kamar kosnya. Ini hal langka, karena Bayu sendiri yang menawarkannya. Biasanya, Tiara harus merengek dan membuat drama lebay untuk merayu Bayu dengan modus mengantarnya pulang. “Bay, gue rasa lo berubah.” “Maksud lo?” “Nggak, yang penting gue makin suka sama lo yang sekarang.” “Maksud lo apa?” Baru dipuji, Tiara sudah mendengar nada tidak enak dari Bayu. “Nggak jadi! Lo pulang aja sono, hush hush!” Tiara mendorong tubuh Bayu untuk segera pergi sebelum jantungnya meledak. Walau Bayu kembali menjadi dingin, dipikiran Tiara hanyalah semua perhatian yang Bayu berikan belakangan ini. Bayu merasa risih dengan Tiara yang terus mendorongnya, padahal ia ingin memperingatkan sesuatu. Diambil tangan Tiara dan ia angkat hingga Tiara terpojok pada pintu kamarnya. Tiara meneguk salivanya susah payah melihat posisi mereka yang ... intim. Kedua tangan Tiara dicengkram kuat di atas kelapa. Tiara menyadari jika tatapan Bayu berubah menjadi begitu tajam. “Ini
“Jadi saat malam itu aku bisa melihatmu, karena tanpa sadar aku meyakini jika gangguan setan itu kamu, gitu?” Dengan serius Tiara mencondongkan tubuhnya, posisi nyaman ia duduk di tepi kasur memeluk bantalnya yang berbentuk bintang dengan erat. Sedangkan Astro yang menjelaskan semuanya, duduk di sofa mini yang hanya dapat diduduki 2 orang. Namun, visualnya masih menampakkan kegagahannya. “Mungkin saja. Nona begitu ketakutan bukan saat itu? Karena kepercayaan Nona mengenai setan adalah saya, jadi Nona bisa melihat saya malam itu.” Astro yang baru kembali datang langsung dibukakan sesi introgasi. Tiara merasa gatal dengan apa yang terjadi selama dirinya tidak mengingat Astro dan dunia imajinasi. “Aku masih tidak mengerti. Jadi selama aku hilang ingatan, aku pun tidak bisa melihatmu, begitu? Lalu apa yang mendasarkanku bisa melihatmu kali ini, kalau dibanding pertama kali aku bisa melihatmu karena ketakutan?” “Keyakinan. Bukankah seharusnya Nona yang lebih tahu? Saya hanya menerkanya
“Jadi ini naskah yang Nona tulis. Bagaimana Nona menulis semua ini dari sudut pandang saya?” Astro yang memegang print out apa yang Tiara tulis setelah lima bab pertama. “Ya, ide itu muncul begitu saja. Apa kamu memikirkan sesuatu?” “Naskah cerita yang sebelumnya saya baca bukan seperti ini.” “Yang ini maksudmu?” Tiara memperlihatkan budelan naskah yang sudah lecak. “Itu bukan aku yang menulis.” “Jadi maksud Nona ... Kapan Nona menulis naskah ini?” Astro bertanya pada naskah yang berada di tangannya. “Seminggu yang salalu. Setelah bab lima dipublish, aku tidak mengirim naskah apapun sekitar 3 minggu, karena tidak ada ide sama sekali untuk melanjutkan cerita itu. Apa lagi seperti perubahan genre, bab pertama sampai bab kelima hanya fokus dengan kedatanganku ke dunia Imajinasi, hingga bisa keluar dari sana. Itu bukan gaya cerita yang aku buat.” “Bagaimana dengan yang ini?” tanyanya lagi memastikan. Kelanjutan cerita dari bab kelima terasa mustahil untuk Astro. “Aku merasa inilah y
Bayu terbangun. Tubuhnya terasa sakit semua, terutama di bagian belakang kepala. Saat ia memegangnya ada benjolan yang cukup besar. “Apa yang terjadi?” Ingatannya melayang saat ia mengantar Tiara hingga depan kamar gadis itu. Lalu karena muak dengan kepercayaan diri Tiara mengenai Bayu yang mulai menyukainya, berakhir ia membentak Tiara untuk tidak lagi mengganggu. Kejadian begitu cepat, ada seseorang yang memukul kepalanya dari belakang hingga jatuh pingsan. Melihat ke sekitar, Bayu mengernyitkan keningnya bingung. Sekarang ia berada di kamarnya. Menoleh pada nakas untuk mencari ponsel, ia juga menemukan kunci mobil dan ponselnya terletak persis seperti yang biasa ia taruh. “Apa Tiara yang bawa gue pulang?” Bayu memastikan semua keadaan, tidak ada kehilangan atau sesuatu yang aneh, kecuali rasa sakit. “Gue tanya Tiara lain kali aja. Sekarang kompres kepala dulu.” *** Tidak banyak yang Tiara lakukan saat tidak ada ide yang muncul. Karena dari pengalaman di season kedua ini ia ba
Tiara bisa melihat Ilham dari kejahuan, ia sudah membulatkan tekatnya untuk meminta maaf. Sudah beberapa hari perang dingin dengan manajer sekaligus bank berjalannya itu menyulitkan. Apa lagi setelah ada Astro, Tiara butuh uang lebih banyak. “Kenapa harus bersembunyi seperti ini?” Astro seharian ini mengikuti Tiara dari dekat. Tidak seperti sebelumnya. Astro hanya berdiam menunggu di kamar kost saat Tiara lupa ingatan, pergerakannya terbatas. Saat Tiara mengingat dan melihat wujudnya, Astro bisa keluar dari kamar kost. Ya, yang membuat angin saat Tiara mencari Sisca, lalu bertemu Bayu di kawasan gedung falkutas kedokteran, tidak lain adalah Astro. Saat itu Astro reflek tidak bisa mengendalikan kekuatannya saat melihat Bayu sedang mencekal tangan Tiara. Dan untuk fakta ini Astro simpan sendiri. “Diam! Aku harus konsentrasi.” Di balik tiang-tiang gedung yang besar. Tiara mengawasi Ilham yang sedang berbincang dengan rombongan teman laki-lakinya. Tiara sudah meminta bantuan salah satu
Selesai kelas Sisca berencana ke ruang kemahasiswaan untuk konsultasi semesternya yang diperpanjang. Namun sebelum itu, ia pergi ke toilet untuk merapikan penampilan dan polesan di wajahnya yang sedikit memudar. Tap! Lampu di toilet seketika mati. Meraba ingin mengambil ponsel di tasnya, ia malah menyenggol hingga tas terjatuh. Terdengar sepertinya isi tas yang keluar dengan berantakan, Sisca berdecak kesal. “Aish, ada orang? Please senternya.” Hening .... Karena tidak ingin ambil pusing Sisca terpaksa berjongkok dan mencoba mencari ponselnya. Tiba-tiba terdengar suara jentikan jari. Sisca berdiri dan memastika apa yang didengarnya. Lalu, muncul satu persatu, titik pertitik cahaya kuning yang bergerak bebas. Kunang-kunang? Fokus dengan cahaya-cahaya itu, seketika udara dingin merambat di kulitnya seperti angin malam. Betapa terkejutnya Sisca hanya dengan kedipan mata, dirinya sudah berada di tengah-tengah hutan yang penuh dengan kunang-kunang. “Gue mimpi ya?” tanyanya pada diri s
“Nona, bisakah kita makan di kamar saja?” Tiara melirik sekilas. “Kamu sudah menganggap kamarku seperti kamar sendiri ya? Kamarku jadi bau makanan. Malas, ah.” Kursi di depan Tiara kosong, mengambil kesempatan itu Astro berpindah tempat. Memperhatikan Tiara yang makan dengan lahap membuatnya penasaran. “Apa itu sangat enak, Nona?” “Berhenti ajak bicara, bisa dikira gila aku.” Tiara berbicara seperti kumur-kumur, itu saja masih dilihat orang. “Bicara saja di dalam pikiran, saya bisa membacanya.” Mata Tiara membulat menatap Astro. Tapi karena langsung sadar Tiara kembali normal, kalau Astro tidak terlihat artinya di depannya tidak ada siapapun. Akan sangat aneh kalau Tiara menatap seperti itu. “Selama ini kamu bisa membaca pikiranku?” Akhirnya Tiara mengikuti perkataan Astro, bicara dalam pikirannya. “Iya, tapi tidak semua. Saya juga tidak tahu seperti apa peraturannya, tapi lebih banyak saya tidak bisa membaca pikiran Nona.” “Kamu begitu yakin kali ini bisa membaca pikiranku, ba
Astro tidak habis pikir dengan keseharian Tiara. Semuanya tidak ada yang berguna, kecuali saat gadis itu kuliah. Astro mengamati peradaban Manusia yang unik. Berjalan cepat dan singkat. Mungkin itulah kenapa teknologi dipergunakan untuk mempermudah pekerjaan, bukan lagi sebagai pelengkap. Dengan waktu hidup manusia yang sangat pendek itu menjadi sangat jelas. “Ih! Kamu malah diam saja. Memang nggak kelihatan sih, tapi bantu sedikit dong. Pinjamkan aku sihirmu.” Satu alis Astro terangkat setengah. Tiara kalau tidak mengoceh dengan segala pemikirannya yang rumit, ia akan merengek seperti anak kecil. “Oy! Kok diam aja sih?” “Apa yang harus saya lakukan, Nona?” “Apa kek, tarik itu orang ke sini juga nggak papa.” “Baikla-“ “Tunggu!” Tiara berteriak menghalangi Astro yang akan menjentikkan jarinya. “Nggak, nggak usah. Aku sendiri yang akan ke sana. Huh!” Dengan kaki menghentak Tiara mendatangi Ilham. Entah ulah apa lagi yang akan Tiara lakukan. “Selamat pagi para lelaki tampan.” Ti
Setelah membawa Tiara pergi dari perkenalan resmi, Astro memerintahkan Omili untuk melayani dan mengawasinya gadis itu. Astro yakin kerubutan tidak hanya pada Bangsawan Suku Iblis, Dewa Petinggi pun pasti tidak akan tinggal diam. Hingga situasinya saat ini Tiara menjadi tidak aman karena dianggap sebagai objek yang tidak biasa. “Hormat saya Tuan Astro.” Ograien datang ke kamar Astro, namun ia tidak sendiri. Sosok dengan energi Dewa ikut hadir. “Salam hormat kepada Dewa kami, Dewa Kematian.” “Golden?” Sosok yang sudah lama tidak Astro temui. Bukannya tidak sama sekali, dalam beberapa kesempatan Dewa Golden memang hadir saat lima Dewa Petinggi berkumpul, namun itu hanyalah bayangannya. Bayangan adalah salah satu kekuatan Dewa Golden yang dapat memecah diri dalam bentuk bayangan. Dan setiap bayangan dengan memiliki sekian persen dari kesadaran aslinya. Dewa Golden yang disapa santai oleh Astro tersenyum. “Saya pikir Anda tidak menyadarinya, terima kasih sudah mengenali saya.” Astro
“Ini bukan pertemuan pertama kami dengan Sang Dewi. Salam hormat dan kemuliaan tertinggi untuk Dewi Pencipta Tiran. Saya Dewa Hati, Gefsi, salah satu Dewa Petinggi. Senang dapat memperkenalkan diri secara resmi kepada Dewi Pencipta Tiran dengan keadaan sehat.” Sebenarnya Tiara gugup dengan penghormatan seperti itu. Masih terasa tidak nyata, apa lagi dirinya menjadi orang yang tidak biasa menyandang peran Dewi Pencipta. “Okey, terima kasih Dewa Gefsi. Salam kenal.” Astro bernapas lega dengan Tiara yang tidak mengacau dan hanya menjawab seadanya saat diberikan salam penghormatan. Untuk penilaian awal, jawaban seperlunya menunjukkan dominasi dan harga diri dalam posisi yang tinggi. Walau Astro tahu jika Tiara menjawab seperti itu pun, karena tidak tahu harus menjawab seperti apa. Dan alasan itu tidak penting saat ini. Sedangkan Ammon, tubuhnya gemetar berusaha keras menahan tawa. Kegugupan Tiara sangat terlihat dari ekspresinya, ya ... tidak ada bawahan yang berani memandang ke atas,
Ukh, Tiara benci pakaian formal dunia Suku Iblis. Harus seberapa terbuka lagi untuk mengekspos bagian tubuhnya? “Ini namanya pelecehan, bagaimana caranya gue minta pertanggung jawaban Astro sialan!” Tidak henti-hentinya Tiara menggerutu sebelum ada yang menjemput. Kerudung yang katanya sebagai penutup diri jika Tiara malu, tidak membantu sama sekali karena transparan. Kini gadis itu hanya memeluk dirinya sendiri berjaga-jaga siapapun yang masuk ke kamarnya nanti. Tolong jangan tanyakan kenapa Tiara mau saja menggunakan pakaian seperti itu, hal itu bisa terjadi jika memang ia bisa menolak. Apa lagi pakaiannya yang dari rumah sudah dibuang. “Tiara! Tidakkah ini keterlaluan jika membuat semua menunggu-“ “KYAAAA!” Tiara tidak merasakan kehadiran seseorang, kemunculan Astro yang tiba-tiba membuatnya terkejut. Apa lagi suara dalam Astro yang terdengar halus hingga pikiran horor tidak dapat dihindari. Mendengar teriakan Astro langsung bersiaga. “Ada masalah?” “Aish~” Tiara bangkit dar
Ternyata tidak butuh berjalan lebih lama, Ograien dengan kereta kadal yang dibawanya datang sengaja menjemput Tiara. Banar, kadal bukan kuda sebagai kendaraan pengangkut barang. Terlihat seperti buaya dengan sisik yang tajam, tetapi sebesar Komodo. Apapun itu sekarang Tiara sudah berada di kamar Astro dan berguling-guling ria diawasi oleh Omili. Tiara disuruh istirahat dan itulah yang dilakukan, entah sudah berapa lama ia terjebak di lapang rumput tanpa batas itu hingga membuatnya begitu lelah. “Hormat Yang Mulia Raja Iblis Astro.” Salam Omili dengan suara kecil, agar Tiara tidak terbangun. Namun Tiara langsung duduk memperlihatkan dirinya sudah tidak tidur lagi. Ia melihat kedatangan Astro bersama Ograien di belakangnya membawa sesuatu. “Kamu tidak tidur?” tanya Astro yang mengira Tiara sedang tidur. “Aku sudah bangun.” Mungkin sudah terbiasa berbagi kamar dengan Astro sampai Tiara tidak memperdulikan penampilannya yang berantakan saat ini. “Aku akan memanggilkan pelayan untuk
Angin bertiup bagai badai bersama cahaya kehidupan yang menyoroti Tiara, dua kekuatan bertolak belakang yang saling berpadu tanpa perlawanan. Dua Dewa yang menjegal Tiara seketika menegang tak dapat berkutik pada tekanan intimidasi yang dahsyat dari kedua kekuatan besar tersebut. Senjata mereka jatuh, kaki mereka menjadi lemas, sampai bersujud tanpa mampu mengangkat kepala. Ammon yang merasa bertanggung jawab menghampiri Tiara lebih dulu untuk melihat bawahannya lebih dekat. Ia tidak percaya jika para Dewa bisa se-tidak sopan itu bahkan dalam menghakimi seseorang dengan kecurigaan semata. “Huaaa Ammon!” Tiara yang ketakutan menerjang sang Dewa Agung, memeluknya. Tangisannya pecah setelah merasa lega, akibat terguncang dengan apa yang dialaminya saat ini. Ammon mengerti lemahnya Dewi Pencipta Tiran sebagai manusia. Selain itu ia mengernyitkan kening, saat merasakan presensi besar dalam diri Tiara. Sesuatu yang tidak ia rasakan di pertemuan terakhir mereka. “Tidak apa Dewi, mereka b
Tiara menganga melihat gerbang besar entah dari mana. Dua jam yang lalu, Tiara sudah putus asa berjalan tanpa ujung dan tidak menemukan apapun. Hanya hamparan rumput yang luas dan awan kelabu yang tinggi dengan kilat sesekali membelah langit. Perutnya sudah lapar, tidak tahu berapa lama ia berjalan tapi cahaya sekitar masih sama. Tidak lebih terang bertanda siang, ataupun lebih gelap waktunya malam. Dengan ingatan yang penuh Tiara tahu jika tidak memiliki makanan, tapi ia tetap merogoh saku berharap masih ada sesuatu yang bisa ia kunyah. Nyatanya tetap memang tidak ada, hanya sisa uang dari pemberian Ovid saja. Bisa dibilang kaki Tiara yang terus berjalan sudah mati rasa, karena rasa sakit telah ia abaikan. Pikirannya membayangkan jika berhenti sejenak mungkin tidak masalah, tapi Tiara takut. Kecemasan menyusup hatinya. Jika Tiara berhenti berjalan, maka semakin lama ia bertemu dengan Astro dan semakin lama untuknya pulang. Tiara ingin pulang. Keberadaanya di dunia asing itu, se
Seakan telah puas tertidur, Tiara bangun tanpa beban, tanpa mimpi. Banar bukan? Tidur tanpa mimpi itu adalah kualitas istirahat terbaik. Mengedarkan pandangannya, Tiara keheranan dengan alas rumput yang empuk dan hamparan hijau luas sejauh mata memandang. Di atas langit pun terlihat cerah dengan awan tebal, hingga keabu-abuan. Jika digambarkan, cuaca sama saat bumi akan hujan. “Bumi? Kayaknya ini bukan bumi. Gue ada di dunia novel, kan?” Secara langsung Tiara ingat perjalanannya, jika ia berada di dunia novel untuk mencari Astro. Entah kenapa secara bersamaan seperti ada yang terlupakan, pikirannya terasa kosong. Alasan Tiara tertidur ... Karena kelelahan? “Ini dunia Suku Dewa? Tunggu, gue urut satu-satu daerah mana aja yang sudah gue jelajahi.” Tiara mengeluarkan peta di saku jubahnya, peta yang didapatkan dari Ovid ... tapi bukan itu masalahnya. Antara ingatan, pikiran, dan kerja otaknya tidak singkron. Bukan lagi masalah hati dan pikiran, tapi satu fungsi yang sama kendalin
Tiara kecil mendengar begitu banyak cerita yang seakan mengerti, ‘Dewa itu’ juga masih menggedongnya. Mengajak Tiara kecil berkeliling sambil memakan jajanan pasar. Tiba di sebuah ujung jurang dari sebuah bukit ‘Dewa itu’ menurunkan Tiara kecil, dengan kekuatan yang keluar dari ujung jarinya merubah wujud Tiara kembali ke semula. Kontrol kesadaran dan gerak tubuh Tiara pun berangsur pulih, yang sebelumnya bergerak dengan sendirinya. “Kamu kah Dewa? Tapi siapa? Aku tidak pernah menulis sosokmu di dalam novel?” Walau begitu Tiara tetap tidak bisa mengendalikan ucapannya (keceplosan), kali ini karena sifatnya yang impulsif. ‘Dewa itu’ tersenyum. “Sungguh? Sepertinya kamu menulis tentangku walau tidak banyak. Em, biar aku ingat perkataan Istriku mengenai ramalan itu.” “Ramalan?” Tiara bertanya seakan baru mendengarnya, padahal sepanjang ia bersama dengan ‘Dewa itu’ membicarakan banyak hal, termasuk ramalan. “Ah, di bab satu sebagai pembuka. Kamu mengisahkanku seperti seorang pahlawan
Seperti bagian di dalamnya, Tiara bisa mencium aroma makanan yang sangat sedap, rasa yang menyenangkan dan tidak mengganggu sama sekali, suasana yang padat namun terasa damai. Bisa Tiara lihat orang-orang begitu ramah satu sama lain, menyambut dengan senyuman dan minim kejahatan, kecuali anak kecil yang jahil dan mencuri beberapa camilan di toko. Namun semua teratasi dengan baik oleh orang tua mereka yang akhirnya membayar, penjualnya pun berekspresi marah (bercanda) untuk anak-anak saja. Terasa hangat, kedekatan, dan toleransi yang kuat. Mengingatkan Tiara pada suasana kampung halaman, bangunan yang masih berbahan dasar kayu dan dihiasi kain warna-warni, aneka penerangan juga bagian dari karya yang kreatif. Saat matanya tanpa sadar berpapasan dengan yang lain, mereka akan tersenyum lebih dulu yang membuat Tiara sungkan dan menganggukkan kepalanya. Seperti berada di rumah. Orang-orang dengan kulit kecokelatannya berpenampilan manis dan sederhana. Tidak jarang banyak pendatang den