Bryan menggiring si pencuri masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Hanya terdapat sedikit pencahayaan yang terpancar dari sebuah kaca di bagian atap ruangan.
"Beri penghormatan terlebih dahulu!" pinta Bryan.
Si pencuri itu melongo. "Siapa yang harus diberi penghormatan? Lantas, mengapa aku harus menghormatinya?"
Seorang lelaki misterius memutar arah kursi yang sedang didudukinya menghadap Bryan dan si pencuri. Bryan yang menyadarinya pun memberi penghormatan dengan sedikit membungkukkan tubuh ke depan.
Berbeda dengan si pencuri. Dia hanya menatap penuh tanda tanya kepada lelaki misterius itu. Bryan menarik dan meminta untuk mengikutinya.
"Welcome to your new house, Ethan," sambut lelaki misterius.
Ethan Paulus, nama dari seorang lelaki albino yang sebelumnya dituduh sebagai pencuri. Dia tersentak. Tidak percaya jika ada yang mengenalnya.
"Siapa kamu? Dari mana kamu mengetahui namaku?" tanya Ethan.
"Tidak perlu bingung, juga tidak perlu khawatir. Aku mengetahui dengan jelas segala hal yang berkaitan denganmu."
"Jadi, apa maksud kalian membawaku ke sini?"
"Lihat ke sekeliling ruangan ini!"
Ruangan yang sebelumnya sangat gelap, sehingga tidak dapat memperlihatkan apa pun yang ada di dalamnya, kini berubah menjadi ruangan yang sangat terang. Ruangan yang cukup luas, dengan isinya yang dipenuhi oleh macam-macam senjata api.
"Oh, Tuan! Apa kalian ingin membunuhku? Kalau seperti ini kejadiannya, lebih baik jika kalian tidak menolongku saat dipukuli oleh pemilik toko ikan busuk itu," ujar Ethan dengan tangan gemetar.
Lelaki itu beranjak dari kursinya. Memperlihatkan perawakan wajahnya yang begitu tertutup. Dengan panjangnya jubah hitam yang tergerai, juga topi kacamata hitam yang dikenakan olehnya. "Aku Charles Carolus. Aku yang akan membimbingmu untuk sukses."
"Apa-apaan ini? Aku benar-benar tidak mengerti. Apa yang sebenarnya sedang terjadi kepadaku sekarang ini?" Ethan sedikit berjalan mundur, dengan kedua tangan yang menekan kepalanya secara frustrasi.
"Apa kamu menyadarinya? Di luar sana, kamu bukanlah apa-apa, bahkan jika dibandingkan dengan debu, maka debu lebih bernilai dari dirimu."
"Apa maksudmu?"
"Apa kamu tidak mengingatnya? Sorot mata yang tajam dan kepalan tangan, serta ayunan kayu yang telah menghakimi dirimu. Apa kamu lupa akan hal itu? Apa kamu tidak ingin membalaskannya?"
"Tidak."
"Ya, kalimat tidak yang muncul dari mulutmu itu disebabkan oleh dirimu yang tidak memiliki keberanian. Itu saat kamu berada di luar sana, berbeda dengan saat kamu berada di sini. Di sini kamu adalah berlian."
"Apa mau kalian?"
"Bekerja samalah denganku. Dengan itu, akan kuberikan segala hal yang kamu inginkan. Bahkan, aku bisa membantumu untuk membalaskan dendam."
"Kerja sama dalam hal apa?"
Carl melirik ke arah Bryan, pun sebaliknya. Bryan yang paham pun segera bergegas menutup ruangan dengan sangat rapat. Ruangan yang gelap, ditambah kedap suara.
Cahaya menyorot langsung ke arah kornea mata Ethan. Mata dari seorang lelaki albino—biru—itu perlahan mulai lenyap termakan gelapnya ruangan.
***
Karena kejadian sebelumnya, membuat semuanya berubah. Sekarang Ethan sedang latihan menembak bersama Adam, kaki tangan Carl. Sedangkan Carl sendiri sibuk bersama Bryan.
"Aku tidak bisa melakukannya," ucap Ethan, menurunkan tangannya yang sedang memegang pistol.
"Targetmu hanya sebuah apel, bukan manusia. Coba dulu saja." Adam mencoba untuk meyakinkan Ethan.
Merasa tidak yakin terhadap dirinya. Tangan Ethan terus bergemetar.
"Tembak!" seru Adam mengejutkan Ethan.
Lelaki Albino itu sontak menarik pelatuk pistol secara refleks, sehingga sasaran tembaknya melesat dan mengakibatkan apel di ujung sana hanya terhores lalu terjatuh tanpa membuatnya benar-benar hancur.
"Mudah, bukan?" tanya Adam tampak ringan sambil terkekeh puas.
Berbeda dengan lelaki di sampingnya. Tubuh Ethan bergetar hebat dengan pupilnya yang membulat besar, butiran bening pada sisi pililisnya mengucur, sehingga wajah pucatnya terlihat menegang. "Mudah dari mananya, hah?! Kamu mengejutkanku."
"Kalau tidak seperti itu, mungkin pelurumu akan tetap utuh."
"Aku dapat melakukannya sendiri."
"Baiklah, kalau begitu, lakukanlah!"
Adam berteriak memanggil seseorang untuk membawakannya apel yang lain. Ethan meneguk air ludahnya dengan ekspresi wajah yang masih sangat pucat.
"Apel ini adalah sasaranmu," titah Adam.
"Baiklah," jawab Ethan, seraya meyakinkan dirinya sendiri.
Adam meminta rekannya untuk membawa apelnya ke seberang. "Kamu, pergilah ke sana! Simpan apel ini di atas kepala, lalu biarkan si jagoan menembaknya."
Melihat Ethan yang tidak yakin terhadap dirinya sendiri, orang itu terkejut bukan main. "A-apakah Tuan yakin?"
"Perintahnya sudah jelas, bukan? Pergi, atau akan kupecat kamu."
"Ba-baiklah, Tuan."
"Eh, apa-apaan ini? Apa kamu ingin aku menembak orang itu?" tanya Ethan memastikan.
Adam tersenyum kecut. "Sasaranmu adalah apelnya, bukan si pembawanya. Bukankah kamu luar biasa hebat? Maka dari itu, jangan sampai meleset!"
Ethan berusaha untuk menenangkan dirinya. Mau, tidak mau, dia harus melakukannya.
Perlahan, dia mulai mengangkat pistol yang dipegangnya dan mengarahkannya ke apel yang dimaksud. Tangannya kembali bergetar hebat. Untuk beberapa kali, ia mempindahkan arah sasarannya yang seperti ingin menembak kepala, bahkan dada dari orang yang membawa apel tersebut.
"Ingat, jangan sampai meleset! Nyawa adalah taruhannya." Adam memperingati Ethan dengan tegas.
Lelaki berambut putih itu menurunkan tangannya kembali. "Jika kamu berkata seperti itu, maka kamu tidak yakin terhadap diriku. Lalu, kenapa kamu memintaku untuk melakukannya, sedangkan dirimu saja tidak yakin?"
"Terserah pada dirimu. Aku yakin kamu dapat melakukannya, tapi aku hanya tidak yakin kamu dapat melakukannya dengan tepat. Sekarang, fokus dan tembaklah!"
Ethan benar-benar kehabisan kata untuk mengelak. Dia mengangkat tangannya kembali. Bersiap menembak dengan perasaan tidak yakin.
Adam terus mendesak Ethan untuk segera menembak. Lelaki albino itu memokuskan pistolnya ke arah sasaran, kemudian memejamkan mata. Dengan perasaan tidak yakin, secara perlahan, dia mulai menarik pelatuknya.
Suara tembakannya menggelegar memenuhi tempatnya. Semua orang yang ada di sana terkejut, diiringi oleh lari-larian kecil, menghampiri tempat Ethan berada.
Ethan berdiri mematung. Tangannya masih terangkat, bersamaan dengan pistol yang dipegangnya perlahan mulai jatuh tepat ke depan kakinya. Semua orang benar-benar terkejut. Perlahan dia mulai kehilangan kesadaran diri. Dengan posisi siap, tubuhnya tersungkur ke atas tanah. Dengan sigap, Adam mengangkat dan segera membawanya pergi ke rumah sakit. Adam memasang wajah datar. Mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga tiba di rumah sakit, dia berlarian kecil memanggil Dokter untuk segera menangani Ethan. "Tolong segera periksa dia," titah Adam dengan tatapan yang datar. Dokter segera mengerahkan perawat untuk membawa Ethan. Sekitar dua puluh menit lamanya Dokter memeriksa. Adam masih menunggu. Dengan raut wajah tanpa ekspresi, Adam duduk tegak di kursi tunggu. Sesekali dia melihat ke ruangan tempat Ethan berada. Cukup lama menunggu. Pintu itu perlahan terbuka. Menampakan perawakan seorang
Adam memgemudikan mobil layaknya sedang mengendalikan kemudi sebuah permainan. Memutar kemudi 360° ke kanan, lalu ke arah sebaliknya. Menabrak satu per satu orang yang menghalanginya."Ambil senjatamu!" perintah Adam, pandangan masih fokus ke depan.Ethan hanya terdiam, sedikit pun tidak menanggapi Adam. Lelaki itu kesal, mengemudikan mobil semakin asal."Di mana aku bisa mendapatkannya?" tanya Ethan, sedikit gemetar.Adam menunjuk kursi belakang. Ethan segera mencari barang yang dimaksudnya. Karena guncangan yang disebabkan cara mengemudi Adam, dia kesulitan mengambil senjatanya.Amarah Adam mulai memuncak, dia memgancam Ethan untuk segera bertindak. "Cepat! Atau akan kuturunkan kamu di sini."Baru saja tangannya hendak menyentuh senjata api jenis Glock Meyer 22, tapi pistol itu terjatuh ke bawah kursi. Penuh usaha lebih untuk mendapatkannya.Ethan masih sangat fokus dengan pistolnya. Sedangkan Adam sudah kewalahan karena mobil y
"Baiklah, Tuan Charles alias Tuan Carl. Tolong jelaskan kepadaku, sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?" tanya Ethan, menuntut penjelasan."Jaga sikapmu, Ethan!" peringat Bryan, hendak memukul Ethan, tapi dihalau oleh Adam."Kendalikan dirimu!" kata Adam menekankan.Bryan melihat langsung ke arah sorot mata Adam. Mereka berdua saling bertatapan dengan sorot mata yang sama tajamnya. Bryan menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya mengarah ke sorot matanya, lalu beralih ke sorot mata Adam."Hey! Bawakan masing-masing satu senapan untuk mereka," sahut Carl, membuat keduanya kembali saling berjauhan. "Perlu diingatkan kembali, kalian bukanlah anak-anak lagi. Jadi, bersikaplah sedikit lebih dewasa. Jangan bertengkar hanya karena masalah sepele saja.""Maaf," lirih Bryan, berdiri di samping Ethan.Carl mengangguk pelan. Menatap lekat ke arah Ethan. "Jadi, penjelasan seperti apa yang kamu harapkan?""Apa pun itu, tolong jelaskan!" p
Kejadian aneh sedang terjadi di kota Numeria bagian barat. Ribuan rumah kehilangan koneksi jaringan. Semua lampu gedung, perumahan, hingga lampu jalan, semuanya mati total. "Dasar pencuri, pergilah dari sini!" teriak pemilik toko ikan di pasar. Dalam keadaan yang cukup gelap, membuat wajah orang itu tidak terlihat. Mereka yang menyaksikan hanya dapat melihat warna rambutnya yang putih. Pemilik toko itu memukulinya tanpa ampun. Namun, orang itu hanya diam, tidak melawan dan tidak mengeluarkan sedikit pun suara. Tanpa disadari olehnya, ada seorang berjubah hitam di belakangnya. Dengan senjata api yang ditodongkan tepat ke arah kepalanya. Tidak ada yang mengetahuinya, karena keadaan di sana benar-benar gelap. "Berdiri dan pergilah dari sini!" Pemilik toko terus menyiksa orang itu. Hingga pada saat lampu menyala, terlihat jelas wajah semua orang yang berada di sana. Termasuk seorang lelaki yang telah dihakimi atas dasar pencurian. Bertepat
"Baiklah, Tuan Charles alias Tuan Carl. Tolong jelaskan kepadaku, sebenarnya apa yang sedang terjadi di sini?" tanya Ethan, menuntut penjelasan."Jaga sikapmu, Ethan!" peringat Bryan, hendak memukul Ethan, tapi dihalau oleh Adam."Kendalikan dirimu!" kata Adam menekankan.Bryan melihat langsung ke arah sorot mata Adam. Mereka berdua saling bertatapan dengan sorot mata yang sama tajamnya. Bryan menggunakan jari tengah dan jari telunjuknya mengarah ke sorot matanya, lalu beralih ke sorot mata Adam."Hey! Bawakan masing-masing satu senapan untuk mereka," sahut Carl, membuat keduanya kembali saling berjauhan. "Perlu diingatkan kembali, kalian bukanlah anak-anak lagi. Jadi, bersikaplah sedikit lebih dewasa. Jangan bertengkar hanya karena masalah sepele saja.""Maaf," lirih Bryan, berdiri di samping Ethan.Carl mengangguk pelan. Menatap lekat ke arah Ethan. "Jadi, penjelasan seperti apa yang kamu harapkan?""Apa pun itu, tolong jelaskan!" p
Adam memgemudikan mobil layaknya sedang mengendalikan kemudi sebuah permainan. Memutar kemudi 360° ke kanan, lalu ke arah sebaliknya. Menabrak satu per satu orang yang menghalanginya."Ambil senjatamu!" perintah Adam, pandangan masih fokus ke depan.Ethan hanya terdiam, sedikit pun tidak menanggapi Adam. Lelaki itu kesal, mengemudikan mobil semakin asal."Di mana aku bisa mendapatkannya?" tanya Ethan, sedikit gemetar.Adam menunjuk kursi belakang. Ethan segera mencari barang yang dimaksudnya. Karena guncangan yang disebabkan cara mengemudi Adam, dia kesulitan mengambil senjatanya.Amarah Adam mulai memuncak, dia memgancam Ethan untuk segera bertindak. "Cepat! Atau akan kuturunkan kamu di sini."Baru saja tangannya hendak menyentuh senjata api jenis Glock Meyer 22, tapi pistol itu terjatuh ke bawah kursi. Penuh usaha lebih untuk mendapatkannya.Ethan masih sangat fokus dengan pistolnya. Sedangkan Adam sudah kewalahan karena mobil y
Ethan berdiri mematung. Tangannya masih terangkat, bersamaan dengan pistol yang dipegangnya perlahan mulai jatuh tepat ke depan kakinya. Semua orang benar-benar terkejut. Perlahan dia mulai kehilangan kesadaran diri. Dengan posisi siap, tubuhnya tersungkur ke atas tanah. Dengan sigap, Adam mengangkat dan segera membawanya pergi ke rumah sakit. Adam memasang wajah datar. Mengemudikan mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Hingga tiba di rumah sakit, dia berlarian kecil memanggil Dokter untuk segera menangani Ethan. "Tolong segera periksa dia," titah Adam dengan tatapan yang datar. Dokter segera mengerahkan perawat untuk membawa Ethan. Sekitar dua puluh menit lamanya Dokter memeriksa. Adam masih menunggu. Dengan raut wajah tanpa ekspresi, Adam duduk tegak di kursi tunggu. Sesekali dia melihat ke ruangan tempat Ethan berada. Cukup lama menunggu. Pintu itu perlahan terbuka. Menampakan perawakan seorang
Bryan menggiring si pencuri masuk ke dalam ruangan yang sangat gelap. Hanya terdapat sedikit pencahayaan yang terpancar dari sebuah kaca di bagian atap ruangan."Beri penghormatan terlebih dahulu!" pinta Bryan.Si pencuri itu melongo. "Siapa yang harus diberi penghormatan? Lantas, mengapa aku harus menghormatinya?"Seorang lelaki misterius memutar arah kursi yang sedang didudukinya menghadap Bryan dan si pencuri. Bryan yang menyadarinya pun memberi penghormatan dengan sedikit membungkukkan tubuh ke depan.Berbeda dengan si pencuri. Dia hanya menatap penuh tanda tanya kepada lelaki misterius itu. Bryan menarik dan meminta untuk mengikutinya."Welcome to your new house, Ethan," sambut lelaki misterius.Ethan Paulus, nama dari seorang lelaki albino yang sebelumnya dituduh sebagai pencuri. Dia tersentak. Tidak percaya jika ada yang mengenalnya."Siapa kamu? Dari mana kamu mengetahui namaku?" tanya Ethan."Tidak perlu bingung, juga
Kejadian aneh sedang terjadi di kota Numeria bagian barat. Ribuan rumah kehilangan koneksi jaringan. Semua lampu gedung, perumahan, hingga lampu jalan, semuanya mati total. "Dasar pencuri, pergilah dari sini!" teriak pemilik toko ikan di pasar. Dalam keadaan yang cukup gelap, membuat wajah orang itu tidak terlihat. Mereka yang menyaksikan hanya dapat melihat warna rambutnya yang putih. Pemilik toko itu memukulinya tanpa ampun. Namun, orang itu hanya diam, tidak melawan dan tidak mengeluarkan sedikit pun suara. Tanpa disadari olehnya, ada seorang berjubah hitam di belakangnya. Dengan senjata api yang ditodongkan tepat ke arah kepalanya. Tidak ada yang mengetahuinya, karena keadaan di sana benar-benar gelap. "Berdiri dan pergilah dari sini!" Pemilik toko terus menyiksa orang itu. Hingga pada saat lampu menyala, terlihat jelas wajah semua orang yang berada di sana. Termasuk seorang lelaki yang telah dihakimi atas dasar pencurian. Bertepat