Kasih membaca secarik kertas yang diberi oleh Lex dengan seksama. Sebuah surat perjanjian yang telah mereka bicarakan sore tadi. Seluruh isinya ditulis tangan oleh Lex, sesuai dengan permintaan Kasih. Bukan sebuah surat perjanjian formal, melainkan berisi kalimat yang mudah dipahami oleh Kasih.“Apa seperti itu?” tanya Lex tetap tenang, walaupun penasaran. Gadis kecil itu terlalu serius membacanya, sampai-sampai dahi Kasih tampak mengerut dan bibirnya pun mencebik. “Atau ada yang kurang dan mau ditambahkan?”Elok melihat dan ikut membaca isi surat yang berada di tangan putrinya, dari belakang tubuh Kasih yang bersandar padanya. Untuk ukuran seorang pria, tulisan Lex terlihat sangat rapi melebihi Elok.“Apa begini, Ma?” tanya Kasih sedikit mendongak dan memutar kepalanya agar bisa melihat sang mama. Isi dari surat perjanjian tersebut sebenarnya sangat mudah untuk dicerna bagi Kasih. Namun, ia juga perlu meminta pertimbangan dari Elok terlebih dahulu sebelum melabuhkan tanda tangan di t
Aneh.Perasaan Elok benar-benar terasa aneh. Dua hari menghabiskan liburan bersama Lex dan Kasih, ternyata sungguh berada di luar ekspektasinya. Lex memperlakukan Kasih seperti seorang princess, tapi dengan sikap tegas dan kakunya. Mereka berdua lebih cenderung melakukan semua hal dengan negosiasi, dan terlibat banyak perbincangan. Hal yang tidak pernah dilihat Elok, ketika Kasih berinteraksi dengan Harry.Mungkin karena Harry adalah papa kandungnya, Kasih bisa dengan bebas meminta semua hal dan sang papa hanya menjawab dengan kata, iya. Tidak ada perbincangan lebih jauh, seperti yang dilakukan Lex terhadap Kasih.“Ada masalah di kantor?” tanya Lex setelah Elok kembali duduk setelah menerima telepon yang cukup lama. Wanita itu meninggalkan Lex dan Kasih, hanya berdua di meja makan executive lounge bandara. Tidak sampai setengah jam lagi, mereka bertiga akan kembali ke Jakarta. Menjalani rutinitas penat seperti biasanya, tetapi dengan status hubungan yang lebih serius dari sebelumnya.
“Ada yang bisa aku bantu?” Pras menyilang kaki. Duduk bersandar, tegak, dan menatap datar pada Elok. Tanpa membuat janji terlebih dahulu, wanita itu datang ke Casteel High dan meminta waktu untuk bicara empat mata dengan Pras. Pras tidak perlu menebak-nebak, karena kedatangan Elok pasti ada kaitannya dengan Lex. Tidak ada alasan lain. “Saya mau bicara masalah Arista,” kata Elok tanpa ingin mengulur waktu, karena ia datang tanpa memberi pemberitahuan lebih dulu. Jikalau Elok tidak memiliki hubungan dengan Lex, pria arogan yang duduk di depannya saat ini pasti tidak akan mau menemuinya. Pras menyentak sedikit alisnya ke atas. Sekali lagi, Pras bisa menyimpulkan Elok sudah mengetahui mengenai persoalan Arista yang selama ini menyukai Lex dalam diam. Namun, bagaimana wanita itu bisa tahu? Sangat tidak mungkin, bila Lex yang menceritakan itu semua. Lex bukan pria yang narsis dan selama ini cenderung tidak peduli dengan para wanita yang berada di sekitarnya. “Silakan.” “Tolong pindahkan
“Banyu, Dewa, Mas Aga, Reno … Babe, sama Abi, dan ... sudah!” Elok mengetik semua nama tersebut di ponselnya untuk pengingat. Setelah itu, ia hanya memangku ponsel tersebut dan kembali menatap jalan raya yang sore ini terlihat sangat padat. “Dari aku, itu aja.”Setengah jam yang lalu, Lex menjemput Elok di butik milik ibunda Sinar. Elok pergi ke butik tersebut untuk mencoba kebaya yang akan dikenakan pada saat pernikahan mereka nanti. Dari situ, keduanya akan menjemput Kasih di tempat les, lalu pergi jalan-jalan sebentar dan diakhiri dengan makan malam bersama.“Pak Hendra dan ibu Joana?” tanya Lex belum mendengar nama kedua mantan mertua Elok disebut. “Juga … pak Harry? Paling nggak, temui mereka untuk mengabarkan pernikahan kita. Aku nggak mau sampai ada salah paham ke depannya.”“Mereka pasti salah paham.” Elok sudah mendiskusikan hal tersebut dengan Adi. Bagaimanapun juga, Elok harus mengabarkan pernikahannya dengan keluarga Lukito. Apapun pendapat mereka setelah itu, Elok tidak a
“Kamu sudah keterlaluan, El,” desis Harry mencondongkan tubuh, hampir separuh meja persegi yang berada di antara dirinya dan Elok. Saat melihat Kasih yang sudah sangat akrab dengan Lex, dari situlah Harry merasa sangat tersisihkan. Putri kecilnya itu, sedang duduk bersama Lex di sudut ruang restoran cepat saji yang berbeda. Sedang menyantap burgernya, dan tampak antusias mengoceh tanpa henti sedari tadi dengan pria itu. “Kasih, tahu-tahu sudah dekat dengan Lex.”“Sebentar lagi, Mas Lex bakal jadi ayah sambungnya Kasih,” jelas Elok untuk membuka mata Harry lebar-lebar. Karena pria itu meminta untuk bicara empat mata, maka Elok menyetujuinya dan mereka berakhir di restoran yang bersebelahan dengan tempat les Kasih. “Jadi, wajar kalau aku deketin mereka berdua. Dan aku nggak keberatan andai Mas Harry mau mendekatkan Kasih dengan Sandra.”“El, hubunganku dengan Sandra, nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Mas, kamu sadar kalau Sandra itu lagi hamil anakmu, kan?” Elok sampai tidak mengerti,
“Kalau wajan kecil ukuran seperti itu, aku punya. Buat goreng telur.” Lex kemudian mengambil sebuah wajan anti lengket, yang berukuran dua kali lebih besar dari yang dipegang Elok. “Kalau yang seperti ini, aku belum punya.” “Mas Lex bisa goreng telur?” Elok kembali mengingat beberapa barang yang ada di dapur pria itu. Ia mengembalikan wajan kecil ke tempatnya, lalu mengambil wajan yang ada di tangan Lex. “Seingatku, di dapur nggak ada magic com. Apa aku aja yang nggak lihat?” “Aku memang nggak punya magic com di apartemen.” “Terus, goreng telur? Dimakan sama apa?” Sepertinya, daftar barang belanjaan Elok akan bertambah satu lagi. “Kadang, aku bikin sandwich, simple.” Lex kemudian menunjuk panci berbahan granit yang tergantung sejajar dengan kepala Elok. “Panci yang ukuran kecil ini, aku juga punya. Kadang, aku pake buat spaghetti.” “Berarti, kalau mau makan nasi, Mas Lex beli dulu?” tebak Elok seraya meletakkan wajan yang telah ditelitinya di dalam trolli. “Iya.” “Menyedihkan.”
“Sudah?” Elok bersedekap. Menatap Lex yang baru terbangun dari tidur, setelah seluruh penerangan di dalam ruang teater bioskop sudah menyala sepenuhnya. Dengan nyenyaknya, pria itu terlelap padahal film yang mereka tonton belum berjalan 15 menit lamanya.Antara kesal dan tidak tega, akhirnya Elok membiarkan Lex tertidur dan menikmati tontonan yang ada seorang diri.“Maaf.” Lex mengusap pelan wajahnya sebentar. Melihat antrian penonton yang hendak menuruni tangga sejenak, lalu kembali menatap Elok. Ia memberi senyum kecil penuh rasa bersalah dan tidak bisa melakukan hal apapun untuk membela diri. “Tapi suasananya mendukung untuk tidur.”“Harusnya, Mas Lex kalau capek, ngomong.” Elok berdiri lalu mengulurkan tangan pada pria itu. Ia merasa bersalah, karena sudah menyeret Lex pergi ke bioskop seperti sekarang. “Aku ngerti gimana capeknya kerja. Jadi, lain kali kalau memang ngantuk, lagi nggak fit, atau cuma mau istirahat aja di apartemen, aku nggak papa. Nggak akan maksa, daripada Mas Le
“Mas!”Lex menoleh, sambil membukakan pintu mobil penumpang bagian depan untuk Kasih. Ada Aga, yang sedang menghampirinya dengan wajah lelah. Dari situ, Lex menyimpulkan Aga sepertinya baru saja memarkirkan mobil, dan hendak masuk ke dalam gedung apartemen.“Baru pulang?” tanya Lex kemudian menutup pintu mobil, setelah Kasih sudah berada di luar.Aga mengangguk, lalu melihat Kasih yang tersenyum lebar di depan Lex. “Kasih?” Kedua alis Aga tersentak tinggi. Senyumnya tertahan penuh maksud ketika kembali menatap Lex. Awan memang sempat bercerita, Lex akan menikah dengan Elok sebentar lagi, dan Kasihlah yang memberitahu itu semua. Namun, Aga masih ragu karena tidak pernah mendengar gosip apapun di luar sana. “Ngapain ke sini? Mamamu ke mana?”“Mama di atas.” Kasih tersenyum lebar pada Aga, seraya memegang jemari Lex. “Aku ke sini mau lihat kamarku! Nanti, kan, aku pindah ke sini, Om!”“Ahh …” Aga mengangguk-angguk. Akhirnya, ia bisa percaya sepenuhnya dengan cerita Awan, dan hal tersebut