“Kunci.”Mata Elok terbelalak. Menatap tangan besar yang sudah menengadah di depannya. Untuk menahan senyum, Elok segera menggigit pipi bagian dalamnya dengan kuat. Elok juga tidak mengerti, mengapa bibirnya seolah ingin tersenyum lebar saat melihat Lex ada di hadapan.Tadinya, Elok sudah tidak berharap apapun karena sampai di parkiran mobil pria itu tidak terlihat menyusulnya sama sekali. Elok bahkan sudah berencana check out dan menginap di hotel yang tidak jauh dari bandara, dan memutus semua hubungan dengan Lex setelahnya. Namun, kemunculan Lex yang tiba-tiba di depannya kali ini, akhirnya membuka sedikit celah dan petunjuk tentang perasaan pria itu.“Ada apa dengan kuncinya?” tanya Elok lalu bersandar pada pintu city car, yang disewanya selama satu minggu ke depan. Elok bersedekap, dan menyembunyikan kunci mobil di genggaman tangannya.“Jangan seperti anak kecil, El.”“Mas, tahu yang namanya bercanda, kan?” Elok berdecak lalu menyerahkan kuncinya di telapak tangan Lex. “Jangan te
“Ini tawaran terakhirku.” Setelah memberi senyum manis, Elok semakin mempertegas intonasi bicaranya. “Jadi, nggak usah aku, aku, dan nggak usah kebanyakan mikir. Karena menerima bantuan dari seorang teman, nggak akan bikin kamu jadi lemah.”Lex menatap wajah Elok, lalu melihat telapak tangan kanan wanita itu yang masih menengadah di depannya. Setelah menarik napas, Lex juga mengangkat tangan kanannya lalu menjabat tangan Elok. Benar-benar menjabat tangan, seperti sedang melakukan kesepakatan bisnis. “Nggak ada teman yang gandengan tangan, terus masuk ke warung makan dan sarapan berdua.”“Siapa bilang nggak ada?” Meskipun cukup terkejut dengan respons Lex, tapi Elok menganggap hal barusan adalah sebuah kemajuan besar. Pria itu, akhirnya mau dan setuju menerima bantuan darinya, walau wajah Lex masih terlihat ragu dan bingung. Untuk itu, Elok segera mengurai jabat tangan mereka, lalu meraih tangan Lex yang satu lagi. Dengan sengaja, Elok menggenggam telapak tangan besar pria itu, lalu me
“Waterboom.”Untuk beberapa saat, Lex hanya bisa mengerjap saat membaca papan nama yang terpajang lurus di atas portal antrian mobil yang saat ini dikemudikan oleh Elok. Setelah sarapan bersama di sebuah warung sederhana, Elok bersikeras untuk mengemudikan mobil yang ditumpanginya. Membuat Lex duduk di sebelah wanita itu, dan hanya duduk diam menjadi penumpang.“El, ngapain kita ke sini?”Elok yang masih menunggu antrian mobil di depannya lantas menoleh pada Lex. Ia mengerling, sambil tersenyum jahil pada pria itu. “Kita mau senang-senang.”“El—”“No, no, no, no.” Elok buru-buru menyela pria itu. “Mas Lex sudah memutuskan untuk menerima bantuanku, jadi—”“Tapi bukan ke waterboom.” Lex melihat tinggal dua mobil antrian mobil lagi, ketika mereka berdua masuk ke area parkir. “Kita nggak ada persiapan. Nggak bawa baju, nggak—”“Mereka jual baju renang di dalam,” sahut Elok masih memberi Lex senyum jahilnya. “Tinggal beli, pake, apa susahnya?”“El, ini nggak ada dalam agenda liburanku.”“K
“Aku mau nyoba itu,” Elok menunjuk sebuah wahana, yang mengharuskan mereka membawa ban, dan menaiki banyak anak tangga untuk mencobanya. “Ayo, Mas! Kamu yang bawa bannya.”Lex yang sudah memakai kaos dan celana pendek itu, lantas bertolak pinggang. Kepalanya menengadah, dan menatap banyaknya anak tangga yang akan mereka lewati untuk sampai di atas sana. Belum lagi, mereka masih harus antri di sepanjang tangga dengan membawa ban.“El, aku nggak bisa sabar kalau harus antri sepanjang itu.” Lex menggeleng, karena enggan membawa ban dan mengantri lama untuk menunggu giliran mereka main.“Ini nggak panjang, Mas,” terang Elok menjelaskan. “Kita ke sini pas bukan hari libur sekolah, atau libur nasional. Jadi, antriannya masih bisa dibilang pendek. Bilang aja Mas Lex takut. Atau, sudah nggak kuat naik tangga setinggi itu.”“El,” panggil Lex seraya menatap Elok, yang kini memakai kaos oversize untuk menutupi tubuhnya. Di dalam kaos tersebut, ada baju renang one pieces yang sudah dikenakan Elok
“El, this is awkward.”Elok yang tengah berbaring pada sisi ban dan berhadapan dengan Lex, langsung tergelak. Selama mencoba beberapa permainan sebelumnya, mereka selalu berada di ban yang sama tapi posisi Elok selalu membelakangi pria itu. Namun, saat keduanya mencoba wahana terakhir yaitu kolam arus yang sangat tenang, Elok memutuskan untuk merubah posisi seperti yang sudah-sudah.“Biasa aja,” jawab Elok lalu kembali meneruskan tawanya karena Lex benar-benar terlihat salah tingkah. Sejak mereka menyusuri kolam arus, Lex selalu mengalihkan tatapannya pada pepohonan rimbun yang berada di sisi kiri dan kanan mereka.“Harusnya, kita pakai ban sendiri, sendiri,” ujar Lex sambil menatap arus air yang begitu tenang. “Dan, harusnya kakimu itu … ck, harusnya kamu pakai celana panjang.”Tawa Elok semakin keras, sampai ia harus menengadahkan kepala menatap cerahnya langit biru di atas sana. Cuaca siang ini tidak terlalu terik, karena matahari sejak tadi hanya bersembunyi di balik awan. Entah a
“Aku, jadi pengen punya rumah di Bali,” ungkap Elok yang tengah duduk di hamparan pasir, sambil menekuk kedua kakinya ke atas. Merasakan semilir angin, seraya menatap ujung horison yang perlahan mulai berubah warna. Di samping Elok, masih ada Lex yang duduk bersila dan menatap ufuk yang sama.Setelah menghabiskan hari di waterboom, agenda selanjutnya pun berubah. Elok yang sudah merasa lelah itu memilih pulang ke hotel untuk tidur dan beristirahat sejenak melepas penat. Jelas sore hari, barulah keduanya kembali keluar dari hotel, tapi hanya berjalan kaki menuju pantai terdekat untuk menikmati matahari terbenam bersama-sama.“Suasananya enak, dan nggak hectic seperti Jakarta,” tambah Elok.“Tapi?” Lex menangkap titik berat dari nada bicara Elok yang tidak diteruskan oleh wanita itu.“Tapi nggak sekarang.” Elok mengendik sekilas, karena rencana tersebut baru saja terbersit di kepalanya. “Mungkin … nanti kalau aku sudah pensiun. Kalau, Kasih sudah besar, sudah punya kehidupan sendiri den
“Ayo, El.”Sekali lagi, Lex menghentikan langkahnya ketika Elok tertinggal kembali tertinggal di belakang. Berkali-kali wanita itu mengingatkan Lex agar bangun lebih cepat agar bisa melihat matahari terbit, tapi justru Elok sendiri yang sangat susah untuk dibangunkan. Lex sampai harus menelepon berkali-kali melalui ponsel dan telepon yang berada di kamar Elok sampai wanita itu benar-benar siap untuk pergi.Langkah Elok terayun gontai, sembari menunduk malas. Matanya benar-benar berat dan persendian tubuhnya terasa nyeri di berbagai tempat. Elok menduga, semua itu karena ia menghabiskan waktu bermain di waterboom begitu lama. Sudah tidak terbiasa olahraga dan tiba-tiba harus naik tangga berkali-kali membuat tubuh Elok nyeri di seluruh penjuru, terutama bagian kaki.“Aku ngantuk, Mas,” keluh Elok terus menyeret kakinya melewati Lex yang baru saja berhenti untuk menunggunya. “Capek. Nanti aku mau pijat aja, terus tidur seharian.”“El?” Lex kembali melangkah dan mensejajarkan tubuhnya den
“Sorry, ya, Mas.” Elok mengusap wajah hingga berkali-kali setelah bangun dari tidurnya. Ia membenarkan posisi duduknya dan sedikit menggeser bokong untuk memberi jarak dengan Lex. Sedikit mengernyit, karena sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan. Elok jadi sungkan dan malu sendiri karena sudah menjadikan Lex tempatnya bersandar. “Lenganmu pasti pegel.”“Kram,” balas Lex yang seketika menekuk lengannya, lalu melakukan gerakan memutar. Ia juga meregangkan tubuh yang sempat mematung dan hanya terdiam dalam waktu yang tidak sebentar.Elok yang tengah menutup mulut karena menguap, langsung tertawa kecil. “Sudah lama nggak ada yang nyandar, ya, begitu, itu.”“Nggak usah mancing, El.” Lex menautkan jemarinya, lalu membawa kedua tangan ke atas untuk beberapa saat. Setelah selesai, Lex berdiri dengan perlahan dan kembali melakukan peregangan pada tubuhnya yang terasa kaku.“Aku bicara fakta.” Elok masih duduk di pasir, karena kakinya tiba-tiba kesemutan. Untuk sementara waktu, Elok hanya b