“El, this is awkward.”Elok yang tengah berbaring pada sisi ban dan berhadapan dengan Lex, langsung tergelak. Selama mencoba beberapa permainan sebelumnya, mereka selalu berada di ban yang sama tapi posisi Elok selalu membelakangi pria itu. Namun, saat keduanya mencoba wahana terakhir yaitu kolam arus yang sangat tenang, Elok memutuskan untuk merubah posisi seperti yang sudah-sudah.“Biasa aja,” jawab Elok lalu kembali meneruskan tawanya karena Lex benar-benar terlihat salah tingkah. Sejak mereka menyusuri kolam arus, Lex selalu mengalihkan tatapannya pada pepohonan rimbun yang berada di sisi kiri dan kanan mereka.“Harusnya, kita pakai ban sendiri, sendiri,” ujar Lex sambil menatap arus air yang begitu tenang. “Dan, harusnya kakimu itu … ck, harusnya kamu pakai celana panjang.”Tawa Elok semakin keras, sampai ia harus menengadahkan kepala menatap cerahnya langit biru di atas sana. Cuaca siang ini tidak terlalu terik, karena matahari sejak tadi hanya bersembunyi di balik awan. Entah a
“Aku, jadi pengen punya rumah di Bali,” ungkap Elok yang tengah duduk di hamparan pasir, sambil menekuk kedua kakinya ke atas. Merasakan semilir angin, seraya menatap ujung horison yang perlahan mulai berubah warna. Di samping Elok, masih ada Lex yang duduk bersila dan menatap ufuk yang sama.Setelah menghabiskan hari di waterboom, agenda selanjutnya pun berubah. Elok yang sudah merasa lelah itu memilih pulang ke hotel untuk tidur dan beristirahat sejenak melepas penat. Jelas sore hari, barulah keduanya kembali keluar dari hotel, tapi hanya berjalan kaki menuju pantai terdekat untuk menikmati matahari terbenam bersama-sama.“Suasananya enak, dan nggak hectic seperti Jakarta,” tambah Elok.“Tapi?” Lex menangkap titik berat dari nada bicara Elok yang tidak diteruskan oleh wanita itu.“Tapi nggak sekarang.” Elok mengendik sekilas, karena rencana tersebut baru saja terbersit di kepalanya. “Mungkin … nanti kalau aku sudah pensiun. Kalau, Kasih sudah besar, sudah punya kehidupan sendiri den
“Ayo, El.”Sekali lagi, Lex menghentikan langkahnya ketika Elok tertinggal kembali tertinggal di belakang. Berkali-kali wanita itu mengingatkan Lex agar bangun lebih cepat agar bisa melihat matahari terbit, tapi justru Elok sendiri yang sangat susah untuk dibangunkan. Lex sampai harus menelepon berkali-kali melalui ponsel dan telepon yang berada di kamar Elok sampai wanita itu benar-benar siap untuk pergi.Langkah Elok terayun gontai, sembari menunduk malas. Matanya benar-benar berat dan persendian tubuhnya terasa nyeri di berbagai tempat. Elok menduga, semua itu karena ia menghabiskan waktu bermain di waterboom begitu lama. Sudah tidak terbiasa olahraga dan tiba-tiba harus naik tangga berkali-kali membuat tubuh Elok nyeri di seluruh penjuru, terutama bagian kaki.“Aku ngantuk, Mas,” keluh Elok terus menyeret kakinya melewati Lex yang baru saja berhenti untuk menunggunya. “Capek. Nanti aku mau pijat aja, terus tidur seharian.”“El?” Lex kembali melangkah dan mensejajarkan tubuhnya den
“Sorry, ya, Mas.” Elok mengusap wajah hingga berkali-kali setelah bangun dari tidurnya. Ia membenarkan posisi duduknya dan sedikit menggeser bokong untuk memberi jarak dengan Lex. Sedikit mengernyit, karena sinar matahari pagi yang cukup menyilaukan. Elok jadi sungkan dan malu sendiri karena sudah menjadikan Lex tempatnya bersandar. “Lenganmu pasti pegel.”“Kram,” balas Lex yang seketika menekuk lengannya, lalu melakukan gerakan memutar. Ia juga meregangkan tubuh yang sempat mematung dan hanya terdiam dalam waktu yang tidak sebentar.Elok yang tengah menutup mulut karena menguap, langsung tertawa kecil. “Sudah lama nggak ada yang nyandar, ya, begitu, itu.”“Nggak usah mancing, El.” Lex menautkan jemarinya, lalu membawa kedua tangan ke atas untuk beberapa saat. Setelah selesai, Lex berdiri dengan perlahan dan kembali melakukan peregangan pada tubuhnya yang terasa kaku.“Aku bicara fakta.” Elok masih duduk di pasir, karena kakinya tiba-tiba kesemutan. Untuk sementara waktu, Elok hanya b
Siang itu, Elok terbangun dengan kondisi tubuh yang sudah terasa lebih baik. Kondisi perut yang terasa lapar, membuat Elok mau tidak mau harus membuka mata. Setelah melihat jam digital di layar ponsel yang ternyata sudah menunjukkan pukul dua siang. Karena itu Elok segera menghubungi room service untuk memesan makan siang.Sambil menunggu, Elok membuka sebuah aplikasi pesan yang sempat dilihatnya pada notifikasi pop up di layar ponsel. Ada beberapa pesan yang masuk, dan Elok tidak berniat untuk membukanya satu per satu. Hanya ada beberapa pesan masuk, yang memang harus Elok buka dan balas untuk tetap menjalin silaturahmi. seperti sebuah pesan dari Harry, yang bertanya mengenai kabar Elok saat ini.Juga ada pesan dari Adi, yang hanya Elok baca dan tidak ingin ia balas sama sekali. Seperti biasa, Adi selalu saja menggodanya dan hal tersebut membuat Elok sangat kesal.Berbeda dengan Dianti, yang justru berpesan agar Elok tidak gegabah dalam mengambil setiap keputusan. Walau, apapun jalan
“Aku minta maaf.”Napas Lex tertarik panjang, saat mengangkat wajah untuk menatap hamparan langit luas di atas sana. Setelah mematung dan hanya berdiam diri dengan banyak hal yang berkecamuk di kepala, Lex akhirnya bersuara. “Aku …” Lagi-lagi Lex menarik napas panjang, saat kembali melihat gundukan tanah yang benar-benar terawat. “Aku menyerah memintamu menjemputku setiap hari selama 17 tahun ini. Sampai … akhirnya dia datang, dan, ternyata aku masih ingin melanjutkan hidup.”Lex melangkah pelan menuju batu nisan, lalu berjongkok di sebelahnya. Tangannya mengusap pelan permukaan kepala batu nisan berbahan granit, dan berhenti pada sebuah nama yang terukir di sana. Telunjuk Lex berjalan pelan, menyusuri setiap lekuk huruf yang tertulis dan membacanya. “El … leanor.”Hening.Lex kembali terdiam sambil menatap pusara makam yang ada di hadapan. Setelah lebih dulu menghampiri makam kedua orangtuanya yang berada di tempat berbeda, Lex segera mendatangi tempat peristirahatan terakhir istri
“Ayooo, Om!” Kaki Lex baru saja menginjak garbarata saat Kasih dengan tidak sabar langsung meraih satu tangan bebasnya, dan menarik dengan sekuat tenaga. Gadis kecil itu seolah sudah tidak sabar untuk bertemu dengan sang mama, yang saat ini pasti sudah menunggu di terminal kedatangan. Sebenarnya, Kasih sempat kebingungan karena yang berangkat ke Bali bersamanya bukanlah Dianti, tapi Lex. Adi sengaja merencanakan semuanya dan meminta untuk menyembunyikan hal tersebut, agar Kasih tidak mengatakan apapun pada Elok. Alhasil, Dianti tidak jadi menemani Kasih ke Bali, karena sudah digantikan oleh Lex. “Yaaa.” Lex pun mempercepat langkahnya, sambil menyeret kopernya, dan travel bag kecil milik Kasih. Gadis yang tampak sangat gembira itu, bahkan sempat melompat girang di tengah keramaian bandara. Lex juga sempat mendengar Kasih bersenandung, walaupun ia tidak mengerti dan tidak pernah mendengar lagu yang nyanyikan oleh gadis kecil itu. “Om!” panggil Kasih yang tiba-tiba berhenti ketika mer
Sepanjang perjalanan menuju pantai, Elok sibuk melipat bibir dalam-dalam untuk menahan senyum yang sungguh tidak bisa dibendung. Elok hanya akan membuka mulut, untuk menjawab pertanyaan Kasih dan menanggapi setiap ucapan putrinya. Seperti mimpi. Elok tidak menduga Lex akan langsung mengambil langkah sejauh itu. Pria itu sudah berniat untuk mendekati Kasih, sekaligus mendeklarasikan pernikahan mereka tanpa bernegosiasi lagi dengan Elok terlebih dahulu. “Mama.” Kasih kembali memanggil untuk kesekian kalinya. “Iya?” “Awan bilang.” Kasih memutar tubuhnya yang masih berada dalam kungkungan sabuk pengaman. Ia menoleh ke belakang, sambil memeluk sandaran jok untuk melihat Elok. “Papanya lagi bikin rumah. Terus, di kamarnya nanti, atapnya pake kaca. Jadi, dia kalau tidur bisa lihat langit.” Apa lagi sekarang? Jangan sampai, Kasih juga minta tinggal di rumah serupa, seperti yang tengah dibangun oleh Aga. Atau, Kasih akan meminta rumah Adi di renovasi dan dibuat seperti rancangan kamar A