Sepanjang perjalanan menuju pantai, Elok sibuk melipat bibir dalam-dalam untuk menahan senyum yang sungguh tidak bisa dibendung. Elok hanya akan membuka mulut, untuk menjawab pertanyaan Kasih dan menanggapi setiap ucapan putrinya. Seperti mimpi. Elok tidak menduga Lex akan langsung mengambil langkah sejauh itu. Pria itu sudah berniat untuk mendekati Kasih, sekaligus mendeklarasikan pernikahan mereka tanpa bernegosiasi lagi dengan Elok terlebih dahulu. “Mama.” Kasih kembali memanggil untuk kesekian kalinya. “Iya?” “Awan bilang.” Kasih memutar tubuhnya yang masih berada dalam kungkungan sabuk pengaman. Ia menoleh ke belakang, sambil memeluk sandaran jok untuk melihat Elok. “Papanya lagi bikin rumah. Terus, di kamarnya nanti, atapnya pake kaca. Jadi, dia kalau tidur bisa lihat langit.” Apa lagi sekarang? Jangan sampai, Kasih juga minta tinggal di rumah serupa, seperti yang tengah dibangun oleh Aga. Atau, Kasih akan meminta rumah Adi di renovasi dan dibuat seperti rancangan kamar A
“Apa boleh?” Kasih mengerjap pelan, dan terdiam setelah pertanyaan Lex. Bagi Kasih, semua yang terjadi dengannya belakangan ini terlalu mendadak, sehingga ia belum bisa memberi jawaban apapun untuk Lex. Baru saja ia mendapati kabar kedua orang tuanya berpisah, sekarang Kasih harus dihadapkan dengan dua hal mengejutkan lainnya. Sang papa dikabarkan akan memiliki anak entah dari siapa, dan mamanya tiba-tiba hendak menikah dengan Lex. Tidak bisakah kedua orang tuanya itu bersabar, dan memberi Kasih waktu untuk memproses semua hal? Pada akhirnya, Kasih memilih beralih kembali pada pasirnya. Meneruskan kesibukannya membangun apartemen pasir dalam diam. Tenggelam, dalam pikirannya sendiri. Lex ikut diam. Tidak memaksa Kasih untuk memberi jawaban saat itu juga. Lex bisa memahami, Kasih butuh waktu untuk memproses semua hal yang baru saja gadis kecil itu dengar. Kasih juga belum kenal dekat dengan Lex, jadi wajar bila gadis itu belum bisa menjawab pertanyaannya dan masih mempertimbangkan se
“Kalau begitu, kapan Om mau nikah sama mama?” tanya Kasih masih menjabat tangan Lex dengan tegas dan kuat.“Dua mingguan lagi, boleh?” balas Lex langsung melempar pertanyaan agar situasi di antara mereka semakin jelas. Tidak perlu mengulur waktu, agar semua masalah cepat terselesaikan. Lex tidak suka digantung, maupun menggantung seseorang atau masalah.“Nikahnya, kayak tante cantik sama papanya Awan?”“Untuk itu, nanti kita bicarakan sama-sama,” ucap Lex masih belum berpikir sampai sejauh itu. Yang terpenting bagi Lex ialah, mengesahkan hubungannya dengan Elok terlebih dahulu. Masalah resepsi dan lain sebagainya, bisa dibicarakan belakangan sesuai dengan kesepakatan bersama.Kasih menggeleng karena masih ada yang mengganjal di hatinya. Ia pun masih belum melepas jabat tangan, karena merasa belum ada kesepakatan yang membuatnya yakin 100 persen. “Nanti kalau sudah nikah, tinggalnya nggak boleh pisah-pisah kayak mama sama papaku. Pokoknya nggak boleh pisah, nggak boleh berantem. Om mau
Kasih membaca secarik kertas yang diberi oleh Lex dengan seksama. Sebuah surat perjanjian yang telah mereka bicarakan sore tadi. Seluruh isinya ditulis tangan oleh Lex, sesuai dengan permintaan Kasih. Bukan sebuah surat perjanjian formal, melainkan berisi kalimat yang mudah dipahami oleh Kasih.“Apa seperti itu?” tanya Lex tetap tenang, walaupun penasaran. Gadis kecil itu terlalu serius membacanya, sampai-sampai dahi Kasih tampak mengerut dan bibirnya pun mencebik. “Atau ada yang kurang dan mau ditambahkan?”Elok melihat dan ikut membaca isi surat yang berada di tangan putrinya, dari belakang tubuh Kasih yang bersandar padanya. Untuk ukuran seorang pria, tulisan Lex terlihat sangat rapi melebihi Elok.“Apa begini, Ma?” tanya Kasih sedikit mendongak dan memutar kepalanya agar bisa melihat sang mama. Isi dari surat perjanjian tersebut sebenarnya sangat mudah untuk dicerna bagi Kasih. Namun, ia juga perlu meminta pertimbangan dari Elok terlebih dahulu sebelum melabuhkan tanda tangan di t
Aneh.Perasaan Elok benar-benar terasa aneh. Dua hari menghabiskan liburan bersama Lex dan Kasih, ternyata sungguh berada di luar ekspektasinya. Lex memperlakukan Kasih seperti seorang princess, tapi dengan sikap tegas dan kakunya. Mereka berdua lebih cenderung melakukan semua hal dengan negosiasi, dan terlibat banyak perbincangan. Hal yang tidak pernah dilihat Elok, ketika Kasih berinteraksi dengan Harry.Mungkin karena Harry adalah papa kandungnya, Kasih bisa dengan bebas meminta semua hal dan sang papa hanya menjawab dengan kata, iya. Tidak ada perbincangan lebih jauh, seperti yang dilakukan Lex terhadap Kasih.“Ada masalah di kantor?” tanya Lex setelah Elok kembali duduk setelah menerima telepon yang cukup lama. Wanita itu meninggalkan Lex dan Kasih, hanya berdua di meja makan executive lounge bandara. Tidak sampai setengah jam lagi, mereka bertiga akan kembali ke Jakarta. Menjalani rutinitas penat seperti biasanya, tetapi dengan status hubungan yang lebih serius dari sebelumnya.
“Ada yang bisa aku bantu?” Pras menyilang kaki. Duduk bersandar, tegak, dan menatap datar pada Elok. Tanpa membuat janji terlebih dahulu, wanita itu datang ke Casteel High dan meminta waktu untuk bicara empat mata dengan Pras. Pras tidak perlu menebak-nebak, karena kedatangan Elok pasti ada kaitannya dengan Lex. Tidak ada alasan lain. “Saya mau bicara masalah Arista,” kata Elok tanpa ingin mengulur waktu, karena ia datang tanpa memberi pemberitahuan lebih dulu. Jikalau Elok tidak memiliki hubungan dengan Lex, pria arogan yang duduk di depannya saat ini pasti tidak akan mau menemuinya. Pras menyentak sedikit alisnya ke atas. Sekali lagi, Pras bisa menyimpulkan Elok sudah mengetahui mengenai persoalan Arista yang selama ini menyukai Lex dalam diam. Namun, bagaimana wanita itu bisa tahu? Sangat tidak mungkin, bila Lex yang menceritakan itu semua. Lex bukan pria yang narsis dan selama ini cenderung tidak peduli dengan para wanita yang berada di sekitarnya. “Silakan.” “Tolong pindahkan
“Banyu, Dewa, Mas Aga, Reno … Babe, sama Abi, dan ... sudah!” Elok mengetik semua nama tersebut di ponselnya untuk pengingat. Setelah itu, ia hanya memangku ponsel tersebut dan kembali menatap jalan raya yang sore ini terlihat sangat padat. “Dari aku, itu aja.”Setengah jam yang lalu, Lex menjemput Elok di butik milik ibunda Sinar. Elok pergi ke butik tersebut untuk mencoba kebaya yang akan dikenakan pada saat pernikahan mereka nanti. Dari situ, keduanya akan menjemput Kasih di tempat les, lalu pergi jalan-jalan sebentar dan diakhiri dengan makan malam bersama.“Pak Hendra dan ibu Joana?” tanya Lex belum mendengar nama kedua mantan mertua Elok disebut. “Juga … pak Harry? Paling nggak, temui mereka untuk mengabarkan pernikahan kita. Aku nggak mau sampai ada salah paham ke depannya.”“Mereka pasti salah paham.” Elok sudah mendiskusikan hal tersebut dengan Adi. Bagaimanapun juga, Elok harus mengabarkan pernikahannya dengan keluarga Lukito. Apapun pendapat mereka setelah itu, Elok tidak a
“Kamu sudah keterlaluan, El,” desis Harry mencondongkan tubuh, hampir separuh meja persegi yang berada di antara dirinya dan Elok. Saat melihat Kasih yang sudah sangat akrab dengan Lex, dari situlah Harry merasa sangat tersisihkan. Putri kecilnya itu, sedang duduk bersama Lex di sudut ruang restoran cepat saji yang berbeda. Sedang menyantap burgernya, dan tampak antusias mengoceh tanpa henti sedari tadi dengan pria itu. “Kasih, tahu-tahu sudah dekat dengan Lex.”“Sebentar lagi, Mas Lex bakal jadi ayah sambungnya Kasih,” jelas Elok untuk membuka mata Harry lebar-lebar. Karena pria itu meminta untuk bicara empat mata, maka Elok menyetujuinya dan mereka berakhir di restoran yang bersebelahan dengan tempat les Kasih. “Jadi, wajar kalau aku deketin mereka berdua. Dan aku nggak keberatan andai Mas Harry mau mendekatkan Kasih dengan Sandra.”“El, hubunganku dengan Sandra, nggak seperti yang kamu pikirkan.”“Mas, kamu sadar kalau Sandra itu lagi hamil anakmu, kan?” Elok sampai tidak mengerti,