“El?” Lex memelankan langkahnya, ketika melihat seorang wanita yang berjalan sangat pelan sambil menunduk menatap ponsel. Dari postur tubuh yang tampak dari belakang, Lex sudah bisa menebak bahwa wanita tersebut adalah salah satu kliennya. “Ya?” Elok spontan berbalik. Sedikit terkejut, lalu segera memberikan senyum kecilnya pada pria itu. “Sudah pulang, Mas?” Lex mengangguk, dan menghentikan langkahnya saat Elok juga berhenti. Pandangan Lex tertuju sekilas pada ponsel Elok, serta dua buah paper bag yang tergantung di pergelangan tangan. “Ngapain di sini?” “Mau jemput Kasih, dia lagi di atas, di tempat Awan.” Elok kemudian mengeluarkan sebuah paper bag dari pergelangan tangannya, lalu menyerahkan pada Lex. Menyisakan satu lagi, yang tetap pada tempatnya. “Jaketnya kemarin, makasih, ya. Tadinya mau aku titipin di resepsionis, nggak tahunya ketemu Mas Lex di lobi.” “Sama-sama,” kata Lex sambil menerima paper bag tersebut dari tangan Elok, tanpa melihat isinya sama sekali. “Ini, mau
“Kasih masih marah sama Mama?” Malam itu, Elok memutuskan untuk tidur berdua dengan Kasih. Mungkin, sampai Kasih bisa mengatasi dan mencerna emosinya sendiri, barulah Elok akan kembali tidur di kamarnya sendiri. Kasih yang berbaring miring sambil memeluk guling itu, menggeleng. Namun, enggan mengeluarkan suara. Ada rasa kecewa, yang tidak bisa Kasih cerna dan ungkapkan dengan kata-kata. Elok menarik panjang napasnya. “Liburan minggu depan, kita nginap hotel mau?” Kali ini, Kasih mengangguk dan tidak menolak ajakan Elok. “Tante cantik, sama papanya Awan mau nikah hari sabtu.” Elok tidak langsung membalas kalimat putrinya. Ia mengusap kepala Kasih, sambil merapikan rambut yang menutup telinganya. “Terus, apa papa nanti juga mau nikah sama tante cantik?” lanjut Kasih mempertanyakan hal tersebut karena melihat bagaimana kondisi orangtua Awan. “Mama nggak tahu.” Elok memang tidak tahu, apa yang akan terjadi dengan hubungan Harry dan Sandra di masa depan. Apakah mereka akan menikah k
“Papa sebenarnya agak kaget.” Adi menghela saat baru memasuki ballroom, tempat digelarnya resepsi mewah pernikahan Bening dan Aga. “Bening ternyata ada hubungan dengan keluarga Sutomo. Dengar-dengar, dia anak Clara dari suami yang lama.”“Orangtuanya cerai waktu Bening masih bayi,” Elok yang berjalan sambil menggandeng Adi itu, membenarkan. Kemudian, sedikit cerita meluncur dari mulut Elok sesuai yang diceritakan Bening kala itu.“Ah! Jadi begitu ceritanya.” Adi berhenti sebentar, hingga membuat ketiga wanita yang berada bersamanya juga berhenti melangkah. “Harry sudah datang?” tanyanya pelan pada Elok sembari melihat ke seluruh penjuru ruang yang bisa terjangkau mata. Adi ingin melihat, siapa-siapa saja yang sudah datang dan mungkin bisa ia datangi untuk diajak berbicara.“Masih di jalan,” jawab Elok lalu menoleh pada Kasih yang berada di sebelah Adi, dan menggandeng Dianti dengan erat. “Kasih, mau makan es krim?” tunjuknya pada salah satu stand makanan yang berjajar di pinggir ballr
“Mas Restu.” Lex menahan lengan Restu yang tengah menunggu Adi memberi jawaban. “Jangan gegabah dan cari gara-gara lagi, karena taruhannya besar, Agrosena, dan AntaRest. Ingat, saya nggak bisa melawan perjanjian yang sudah kalian sepakati. Hitam, di atas putih.” “Mas Lex,” panggil Elok dari tempatnya, setelah berbisik sebentar dengan sang papa. “Biarkan Restu bicara dengan papa.” “It’s oke, Lex,” sahut Adi sembari berdiri. “Tolong temani Elok dulu,” pintanya kemudian berlalu, sambil memberi lirikan remeh pada Restu yang segera berjalan di samping Adi. “Buat apa, pak Adi minta Lex untuk temani Elok?” Pras menatap Babe sambil mengangkat tinggi satu alisnya. Masih ada tiga orang pria dewasa yang tersisa di meja, tapi Adi justru menitipkan putrinya itu hanya pada Lex. Sebenarnya, wanita yang terkenal tegas dan dominan seperti Elok tidak perlu sampai dititipkan secara khusus kepada siapa pun. Elok sudah dewasa, dan sudah mengenal dunia dengan baik. Itu artinya, ada maksud tersembunyi di
Semua mata kompak tertuju pada Lex, ketika Elok pergi meninggalkan meja. Meskipun tengah kesal, Elok tetap berjalan begitu elegan untuk menghampiri Kasih yang sibuk menggoyangkan tubuh sedari tadi, di samping Dianti. “El, ngambek, Mas,” celetuk Abi sambil menunjuk Elok dengan dagunya. “Kalian itu, seperti orang yang lagi pacaran aja.” “Jangan bikin gosip, Bi,” bantah Lex. “Elok masih jadi istri orang, dan imagenya—” “Lex!” panggil Pras ikut berdiri seraya mengancingkan jasnya. “Aku mau balik, dan jangan sampai Elok kembali ke Firmanya Babe.” Pras memandang Babe lalu mengangguk kecil untuk menyampaikan rasa hormatnya. “Kalau perlu, seluruh keluarga Mahardika bisa pindah ke Firma Sagara untuk mengurus segala sesuatu terkait perusahaan.” Babe hanya tertawa saat mendengar ungkapan jujur dari Pras. Lebih baik seperti itu, daripada main sikut dari belakang. “Sialan kau, Pras.” Pras kemudian memberi senyum tipis pada Babe lalu berujar, “Permisi.” “Aku siap terima Elok kembali ke Firma P
“Lex sudah benar,” ujar Dianti setelah menyesap teh hangatnya. Ia dan Elok tengah duduk santai di balkon hotel, sambil menikmati sejuknya udara pagi itu. Kasih masih tertidur di dalam, sementara Adi sedang menerima telepon di ruang tamu kamar. “Semua yang Lex bilang tadi malam nggak ada yang salah. Dia memang harus menjaga profesionalisme sebagai pengacara, supaya nggak ada gosip tentang kalian.” Dianti kembali menyeruput teh hangatnya sebentar, lalu kembali melanjutkan kalimatnya. “Yang jadi masalah itu, papamu. Kalau bukan karena papamu suka mojokin kalian berdua, pasti semuanya baik-baik aja. Nggak ada yang namanya baper, atau … jadi begini. Kalian berdua itu justru seperti orang yang lagi pacaran beneran. Satunya ngambekan, satunya jadi serba salah. Kalau semua profesional, yang begini itu nggak akan terjadi sebenarnya.” “Tapi, sebelum papa mau jodohin aku sama mas Lex, dia itu juga sudah baik banget, Ma,” sanggah Elok sembari mengingat semua sikap Lex kepadanya. “Kalau begitu,
“Siang Bu Riris,” sapa Elok pada sekretaris sang papa, yang saat ini juga menjadi sekretarisnya untuk sementara waktu. Entah sampai kapan, Elok pun juga tidak tahu karena belum menemukan seseorang yang bisa bekerja seperti Kiya.“Siang Mbak, di suruh pak Adi langsung ke ruangannya kalau sudah datang,” kata Riris menyampaikan pesan Adi.Elok berhenti melangkah. Mengurungkan niat pergi ke ruang kerjanya yang bersebelahan dengan ruangan Adi. “Mood Bapak lagi enak, nggak, Bu?”Elok yakin tidak menerima pesan, ataupun panggilan dari Adi sebelumnya. Jadi, Elok merasa ada sesuatu yang mendesak hingga Adi hanya menitipkan pesan pada Riris.“Enak, kok, Mbak,” ujar Riris. “Tadi nyuruhnya sambil senyum-senyum lihat hape. Oia, pak Harry ngirim bunga lagi, dan sudah saya taruh di tempat biasa.”Napas Elok terlepas begitu saja. Entah harus bagaimana lagi memberi pengertian pada Harry, bahwa Elok sudah tidak ingin lagi kembali bersama. Beberapa kali, mereka memang pergi dan jalan bersama demi Kasih.
“Jadi, apa yang mau kita bicarakan di sini?” tanya Elok setelah seorang pelayan pergi sesudah mencatat pesanan mereka. Tebakan Elok benar! Lex, ternyata juga ada dalam pertemuan dengan Pras siang ini. Seperti biasa, pria itu tetap bersikap profesional seolah tidak pernah terjadi apapun di antara mereka. Lex tetap menyapa Elok seperti biasa, dan tidak tampak perubahan sedikit pun dari pria itu. Itu artinya, hanya Eloklah yang selama ini masih memendam kekesalannya pada Lex, sementara pria itu tetap berada di jalurnya. “Putusan sidang ceraimu besok.” Pras memberi komentar, tanpa menjawab pertanyaan Elok. “Dan, kamu punya masa tunggu satu bulan sebelum benar-benar bebas.” “Pak Pras—” “Bagaimana kalau ada yang melamarmu setelah satu bulan itu selesai?” Pras langsung memberi pertanyaan, tanpa mau mendengar argumen Elok. Meskipun pertanyaan tersebut ditujukan pada Elok, tapi tatapannya Pras dengan sengaja tertuju pada Lex. Pras tahu, setelah pesta resepsi malam itu, ada keributan keci