Berpuluh-puluh tahun Aaron memilih untuk menahan diri untuk tidak mencari keberadaan Sang Ayah. Mengabaikan rasa sakit ketika melihat keadaan ibunya yang depresi hanya karena ditinggal oleh pria yang dicintai. Samantha diusir saat ia mengandung Aaron demi wanita lain. Hanya itu yang Aaron ketahui. Selanjutnya, Aaron memilih dian mengabaikannya. Aaron tidak tahu siapa ayahnya, dan sama sekali tidak mencari tahu keberadaannya.. Itu hanya akan buang-buang waktu dan energi saja. Setiap harinya ia sibuk bekerja dan mengasah kemampuannya. Mencari pundi-pundi rupiah demi bertahan hidup dengan berkeliaran di jalanan yang kejam. Aaron bertekad menjadi sosok yang kuat hingga ia tumbuh menjadi sosok yang seperti sekarang ini. Tentu tidak mudah bagi Aaron melewati itu semua. Dan ketika mengingat itu, Aaron merasa ingin mati saja. Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Hidup dengan gulungan kertas berwarna hitam bukanlah keinginannya. Siapapun tidak ingin bekerja dengan cara kotor sepe
Puas menuntaskan hasratnya, Aaron berguling ke samping di sisi sang wanita yang kini terengah setelah menerima sentuhan yang begitu memabukkan. Tak butuh waktu lama Aaron menutup mata. Harusnya Rosene melakukan hal yang sama. Namun, ia lebih memilih bangun saja. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Setelah Melanie kembali, ia sama sekali belum menemui wanita itu. Rosene turun dari ranjang, berniat mecari pakaiannya yang dilemparkan Aaron ke sembarang arah. Rupanya pergerakan Rosene membuat Aaron terbangun. Karena ia juga belum sepenuhnya tertidur. Jadi pergerakan sekecil apapun, bisa tertangkap oleh gendang telinganya yang masih bekerja meski pikirannya sudah mulai memasuki alam bawah sadarnya. "Kau mau ke mana?" Tanpa menoleh, Rosene menimpali pertanyaan Aaron. "Aku harus menemui adikku. Dia pasti mencariku." "Oh dia. Dia cantik dan seksi." Rosene melempar tatapan tajam pada pria yang kini memiringkan tubuhnya menghadap ke arahnya. "Jangan berpikir akan menjadikan dia salah sat
Melanie tertegun untuk beberapa saat. Tadi pelayan bilang apa? Kamar itu kamar Aaron. Yang benar saja. Tadi ia melihat Rosene keluar dari sana. Betul 'kan?Melanie menampar pipi sendiri. Aaron adalah pemimpin tertinggi Dare Devil. Kalau benar begitu. Apa yang dilakukan Rosene di dalam kamar itu. Melanie menggeleng cepat. Kepalanya dipenuhi oleh fantasi liar soal permainan ranjang. "Tidak! Mana mungkin?" Melanie menggeleng lagi. Rosene yang dikenal dingin dan alergi terhadap pria, bisa sampai melakukan hal itu. Dengan Aaron. Ingin sekali ia tidak mempercayainya. Tetapi apa yang ia pikirkan tidak jauh-jauh soal itu. Lagipula apa yang dilakukan seorang pria dan wanita berdua di dalam kamar? Dan kalau dilihat dari pakaian Rosene yang sudah tidak lengkap. Rasanya tidak mungkin keduanya tidak melakukan itu 'kan?"Nona Melanie." Suara seorang pria membuyarkan lamunan Melanie. Suara ini terdengar tidak asing. Pria tinggi berwajah kelam itu. Melanie memutar tubuh. Benar saja, Ben sudah bera
Selama di Mansion, Aaron memang memberi kebebasan pada Rosene untuk pergi ke manapun yang ia mau selama itu berada di dalam area Mansion. Terlebih setelah hari itu, Rosene resmi menjadi salah satu anggota Dare Devil. Juga menjadi salah satu wanita milik Aaron, dan sesuai dengan perjanjian. Rosene tidak bisa menolak apapun yang diinginkan oleh pria itu. Semua itu adalah timbal balik atas apa yang dilakukan Aaron karena telah menyelamatkan Melanie. Di Mansion, ada ruang pelatihan dan juga arena tembak yang cukup luas. Biasanya digunakan Aaron dan Ben maupun anggota lainnya yang stand by di Mansion. Kali ini Rosene memutuskan untuk pergi ke sana. Berta melihat itu langsung menyusul dan mengekor di belakangnya. Rosene mengambil senjata api lalu menuju ke arena tembak. "Nona ingin berlatih." Rosene menoleh, ia cukup terkejut karena Berta tiba-tiba berada di sana. Sejak kapan wanita itu mengikutinya? Ia sama sekali tidak mendengar derap langkah atau pergerakan lain selain dirinya. Apa
Aaron menenggak ludah. Gulungan amarah yang tadi sempat menghampirinya, kini lenyap seketika. Aaron tidak suka orang lain memasuki kamarnya tanpa izin. Tidak untuk Ben, maupun Lucia atau siapapun sekalipun itu Samantha. Namun, ini Rosene. Wanita yang akhir-akhir menduduki posisi tertinggi di hati Aaron. Ya, kurang lebih begitu. Dan pakaian yang dikenakan wanita itu, apa-apaan dia?Kalau seperti ini, siapapun akan langsung bernapsu untuk menerkamnya dan menjadi makanan di atas ranjang. Aaron adalah pria yang memiliki kebutuhan biologis yang paling utama di atas segalanya. Pekerjaan yang berat serta menguras energi dan tenaga. Terkadang butuh pelampiasan dengan cara menyentuh wanita. Tak terhitung berapa banyak wanita yang naik ke ranjangnya. Namun, Rosene berbeda. Wanita itu, satu-satunya yang bisa membuat Aaron tidak bisa menginginkan wanita lain selain dia. Terbukti, setelah bermain dengan Rosene, Aaron tidak lagi membutuhkan Lucia maupun yang lainnya. Aaron mengunci sasarannya,
Semuanya menoleh ke arah sumber suara. Sosok wanita cantik dengan tubuh seksi dibalut dress ketat yang mempertontonkan lekuk tubuh yang proporsional. Dia berjalan anggun layaknya model di atas catwalk menghampiri meja makan. Tatapan Aaron nampak normal karena ia terbiasa melihat hal yang seperti itu. Begitu juga dengan Rosene. Namun, tatapan tidak suka itu justru datang dari Samantha. Menurutnya wanita itu terlihat tidak sopan dengan berpakaian yang sangat terbuka di waktu yang tidak tepat. "Ada perlu apa kemari, Lucia?" "Maaf, Tuan. Saya hanya memenuhi undangan untuk sarapan bersama kalian," kata Lucia seraya sedikit membungkuk. "Undangan?" Aaron mengernyit. "Ya, Tuan." Lucia memandang ke arah Rosene yang nampak datar. "Nona Rosene yang mengundangku, benar 'kan?" Aaron menoleh pada Rosene yang kini melotot. "Kau mengundangnya?" Rosene balas menatap Aaron dengan sebelah alis terangkat. "Menurutmu?" "Sudahlah, Nak. Tidak apa-apa. Hanya sarapan 'kan. Ayo kemari, tidak baik ribut
Aaron akan menjadi sangat kesal ketika ia harus melakukan hal yang bertentangan dengan hatinya. Terlebih menyangkut soal wanita. Kalau tidak mengingat kesehatan Samantha mulai membaik, Aaron sudah menolak mentah-mentah keinginan wanita bergelar ibu itu. Dia pikir, puteranya ini kurang kerjaan sampai-sampai harus mengantarkan wanita yang tidak berstatus apa-apa ini pergi berbelanja. Aaron ada urusan dengan klan, kemudian berlanjut urusan perusahaan dan telah memiliki jadwal dengan seoran Vendor. Namun, jadwal itu seketika berantakan saat Samanta meminta dirinya membawa Melanie ikut serta. Dan sialnya, Aaron selalu tak berkutik ketika menyangkut soal ibunya."Maaf, sudah merepotkan," kata Melanie setelah lama diam. Ia pikir ia perlu mencairkan suasana. Ia mencuri lirik pada pria di sampingnya, pada jarak sedekat ini, jelas ia bisa menghidu aroma parfum Aaron. Aroma maskulin. Dan itu mengingatkannya pada seseorang. "Semua hanya karena ibuku." Aaron memberi tekanan pada ucapannya dan i
Lagi-lagi Rosene mematung di tempat. Ia benci situasi seperti ini. Ia dijebak. Begitu Berta mendeklarasikan tujuan sebenarnya, wanita itu telah berpindah posisi ke sisi lawan. "Berta, kau ...." Rosene sampai tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. "Maafkan aku, Rosene. Aku harus menyelamatkan adikku." Rosene memandang tajam ke arah Berta. Ok, ia mengerti sekarang. Tidak ada persahabatan yang tulus. Itulah mengapa ia tidak percaya dengan yang namanya teman. Orang terdekat memang memiliki peluang paling besar untuk berkhianat dan Rosene sudah membuktikannya. "Kau akan menyesal telah berbuat begini, Berta." Jemari tangan Rosene mengepal di kedua sisi paha. Percuma saja ia mempersiapkan senjata bila bergerak saja tidak bisa. Sia-sia pula ia telah mempersiapkan rencana matang-matang kalau akhirnya Berta menghancurkan semuanya. Takdir ini begitu kejam. Rosene sudah menjalani kehidupan pahit selama bertahun-tahun, dan hal semacam ini jelas bukan yang pertama kali, bukan? Ia bahkan b