Selama di Mansion, Aaron memang memberi kebebasan pada Rosene untuk pergi ke manapun yang ia mau selama itu berada di dalam area Mansion. Terlebih setelah hari itu, Rosene resmi menjadi salah satu anggota Dare Devil. Juga menjadi salah satu wanita milik Aaron, dan sesuai dengan perjanjian. Rosene tidak bisa menolak apapun yang diinginkan oleh pria itu. Semua itu adalah timbal balik atas apa yang dilakukan Aaron karena telah menyelamatkan Melanie. Di Mansion, ada ruang pelatihan dan juga arena tembak yang cukup luas. Biasanya digunakan Aaron dan Ben maupun anggota lainnya yang stand by di Mansion. Kali ini Rosene memutuskan untuk pergi ke sana. Berta melihat itu langsung menyusul dan mengekor di belakangnya. Rosene mengambil senjata api lalu menuju ke arena tembak. "Nona ingin berlatih." Rosene menoleh, ia cukup terkejut karena Berta tiba-tiba berada di sana. Sejak kapan wanita itu mengikutinya? Ia sama sekali tidak mendengar derap langkah atau pergerakan lain selain dirinya. Apa
Aaron menenggak ludah. Gulungan amarah yang tadi sempat menghampirinya, kini lenyap seketika. Aaron tidak suka orang lain memasuki kamarnya tanpa izin. Tidak untuk Ben, maupun Lucia atau siapapun sekalipun itu Samantha. Namun, ini Rosene. Wanita yang akhir-akhir menduduki posisi tertinggi di hati Aaron. Ya, kurang lebih begitu. Dan pakaian yang dikenakan wanita itu, apa-apaan dia?Kalau seperti ini, siapapun akan langsung bernapsu untuk menerkamnya dan menjadi makanan di atas ranjang. Aaron adalah pria yang memiliki kebutuhan biologis yang paling utama di atas segalanya. Pekerjaan yang berat serta menguras energi dan tenaga. Terkadang butuh pelampiasan dengan cara menyentuh wanita. Tak terhitung berapa banyak wanita yang naik ke ranjangnya. Namun, Rosene berbeda. Wanita itu, satu-satunya yang bisa membuat Aaron tidak bisa menginginkan wanita lain selain dia. Terbukti, setelah bermain dengan Rosene, Aaron tidak lagi membutuhkan Lucia maupun yang lainnya. Aaron mengunci sasarannya,
Semuanya menoleh ke arah sumber suara. Sosok wanita cantik dengan tubuh seksi dibalut dress ketat yang mempertontonkan lekuk tubuh yang proporsional. Dia berjalan anggun layaknya model di atas catwalk menghampiri meja makan. Tatapan Aaron nampak normal karena ia terbiasa melihat hal yang seperti itu. Begitu juga dengan Rosene. Namun, tatapan tidak suka itu justru datang dari Samantha. Menurutnya wanita itu terlihat tidak sopan dengan berpakaian yang sangat terbuka di waktu yang tidak tepat. "Ada perlu apa kemari, Lucia?" "Maaf, Tuan. Saya hanya memenuhi undangan untuk sarapan bersama kalian," kata Lucia seraya sedikit membungkuk. "Undangan?" Aaron mengernyit. "Ya, Tuan." Lucia memandang ke arah Rosene yang nampak datar. "Nona Rosene yang mengundangku, benar 'kan?" Aaron menoleh pada Rosene yang kini melotot. "Kau mengundangnya?" Rosene balas menatap Aaron dengan sebelah alis terangkat. "Menurutmu?" "Sudahlah, Nak. Tidak apa-apa. Hanya sarapan 'kan. Ayo kemari, tidak baik ribut
Aaron akan menjadi sangat kesal ketika ia harus melakukan hal yang bertentangan dengan hatinya. Terlebih menyangkut soal wanita. Kalau tidak mengingat kesehatan Samantha mulai membaik, Aaron sudah menolak mentah-mentah keinginan wanita bergelar ibu itu. Dia pikir, puteranya ini kurang kerjaan sampai-sampai harus mengantarkan wanita yang tidak berstatus apa-apa ini pergi berbelanja. Aaron ada urusan dengan klan, kemudian berlanjut urusan perusahaan dan telah memiliki jadwal dengan seoran Vendor. Namun, jadwal itu seketika berantakan saat Samanta meminta dirinya membawa Melanie ikut serta. Dan sialnya, Aaron selalu tak berkutik ketika menyangkut soal ibunya."Maaf, sudah merepotkan," kata Melanie setelah lama diam. Ia pikir ia perlu mencairkan suasana. Ia mencuri lirik pada pria di sampingnya, pada jarak sedekat ini, jelas ia bisa menghidu aroma parfum Aaron. Aroma maskulin. Dan itu mengingatkannya pada seseorang. "Semua hanya karena ibuku." Aaron memberi tekanan pada ucapannya dan i
Lagi-lagi Rosene mematung di tempat. Ia benci situasi seperti ini. Ia dijebak. Begitu Berta mendeklarasikan tujuan sebenarnya, wanita itu telah berpindah posisi ke sisi lawan. "Berta, kau ...." Rosene sampai tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. "Maafkan aku, Rosene. Aku harus menyelamatkan adikku." Rosene memandang tajam ke arah Berta. Ok, ia mengerti sekarang. Tidak ada persahabatan yang tulus. Itulah mengapa ia tidak percaya dengan yang namanya teman. Orang terdekat memang memiliki peluang paling besar untuk berkhianat dan Rosene sudah membuktikannya. "Kau akan menyesal telah berbuat begini, Berta." Jemari tangan Rosene mengepal di kedua sisi paha. Percuma saja ia mempersiapkan senjata bila bergerak saja tidak bisa. Sia-sia pula ia telah mempersiapkan rencana matang-matang kalau akhirnya Berta menghancurkan semuanya. Takdir ini begitu kejam. Rosene sudah menjalani kehidupan pahit selama bertahun-tahun, dan hal semacam ini jelas bukan yang pertama kali, bukan? Ia bahkan b
Desingan peluru, terdengar bersahutan disusul suara gemuruh baling-baling suara helikopter seperti berputar di atas kepala. Rosene sempat bingung, namun sesaat kemudian dia mulai paham. Dan ketika semua anak Marquez kebingungan. Rosene segera menarik senjata apinya dan melesatkan tembakan. Melihat satu persatu anak buahnya tumbang, Marquez berlari, bersembunyi di balik meja dan kursi yang bergelimpangan. Ia mengeluarkan senjata apinya dan sebelum ia menembak, Rosene lebih dulu mengarahkan senjatanya ke arah pria itu. Untungnya, hanya mengenai meja. "Sial!" Marquez mengumpat. "Harusnya aku segera lempar saja korek api itu ke wajahnya!" Marquez menyesali tindakannya yang membuang-buang waktu. Sekarang kesempatan itu terlewat. Rosene melepas jaket hitamnya, menyisakan kaos berwarna senada tanpa lengan yang pas di badan. Aroma bensin bercampur mesiu sungguh membuatnya mual. Pintu masuk utama ditendang. Sesosok pria dengan senjata api laras panjang muncul. Marquez mencoba mengintip sia
Berada dalam satu mobil dengan Aaron membuat Rosene serasa kekurangan oksigen. Beberapa kali ia harus menahan napas karena ulah Aaron yang sama sekali tidak melepaskan sorot mata tajam ke arahnya sejak tadi. "Kau berutang penjelasan padaku," cetus Aaron setelah lama diam. Rosene menarik pandangannya dari luar kaca jendela mobil. "Tidak ada yang perlu dijelaskan," sahut Rosene pedas. "Apa kau bilang?" Aaron melotot saking kagetnya dengan sikap tak acuh Rosene. Bahkan wanita itu tidak merasa bersalah sama sekali karena telah membuat masalah. Rosene memutar bola mata. "Bukannya kau sudah memasang pelacak. Harusnya kau sudah tahu semuanya 'kan?""Kau ...." "Ya, aku tahu. Kau pikir berapa lama aku terjun ke dunia ini. Anting ini." Rosene menyentuh benda yang terdapat berlian putih yang bergelantungan di daun telinganya. "Ada alat penyadap. Dan di sini." Rosene memperlihatkan gelang yang di berikan Aaron. "Kau menyelipkan alat pelacak." Aaron terdiam mendengarnya. Yang dikatakan Rosen
Rosene terkesiap mendengar pernyataan cinta yang keluar dari mulut Aaron. Bukannya senang, justru terkesan menggelikan. Seorang Aaron Salvatore menyatakan perasaannya kepada seorang wanita yang dianggap bisa memuaskannya. Bukankah itu hal yang biasa. Aaron dikenal sebagai seorang player. Jelas perasaannya tidak menetap pada satu hati. Tidak pula hanya dengan cukup satu wanita saja ia menghabiskan malamnya. Banyak wanita yang telah naik turun ke ranjangnya. Dan sekarang dia berpikir bahwa ia jatuh cinta? Bukankah itu terdengar mustahil?Rosene memandang Aaron dengan tatapan lekat. "Kau sedang tidak mabuk 'kan?" "Shit! Kau sengaja ingin mengujiku? Kau tidak percaya padaku?" Aaron mendecak sembari membuang muka. "Melihat perangaimu, siapapun akan berpikir seperti itu bukan?" "Damn! Kau sungguh luar biasa. Setelah berhasil mengujiku, sekarang kau meremehkanku. Kukatakan sekali lagi aku mencintaimu, Rosene."Rosene diam saja. Ia hanya memandang Aaron dengan tatapan tak terbaca. Ia ingi
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman