Ingin sekali Rosene lenyap dari muka bumi ini. Situasi ini, sungguh membuatnya muak. Wajar, bila seorang ibu membela anaknya. Tetapi, tak bisakah Samantha membaca situasi? Rasa-rasanya akan tidak tepat bila dia mencoba bersikap sebagai seorang ibu yang selalu membela anaknya di saat seperti ini..Dia sendiri menginginkan Melanie segera kembali. Tetapi, Samantha seolah tidak menunjukkan akan hal itu. Suasana menjadi sangat hening. Tidak ada yang mampu berkata-kata, bahkan Aaron sendiri pun hanya bisa menyunggingkan senyumnya. Ia merasa mendapatkan pembelaan, dan terlihat sangat puas melihat raut wajah Rosene yang pias. "Kau sungguh menyukai wanita angkuh itu, Aaron," gumam Samantha dalam hati. Ia tidak mengerti akan selera puteranya. Ia pikir, Aaron menyukai wanita cantik dan seksi. Rosene memang cantik, tetapi untuk ukuran seorang wanita, tidak ada sisi kelembutan dalam dirinya. Angkuh dan congkak, kesan pertama yang dilihat Samantha pada wanita itu, membuatnya sedikit tidak nyaman
"Musuh menginginkanmu. Jadi kau yang harus dijadikan umpan." Ben yang mendengar itu seketika melotot. "Kau, berani sekali memerintah Tuan kami." Ben tidak terima. Aaron mengangkat tangan ke arah asistennya, mengisyaratkan pria berahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu untuk diam. Ben jelas merasa kesal akan hal itu. Sejak awal, ia memang tidak menyukai kehadiran Rosene yang kini sangat mendominasi. Bahkan tuannya sendiri seakan dibuat bertekuk lutut di hadapannya. "Yang dikatakan Rosene benar. Aku yang diinginkan oleh George." Rosene memandang Aaron ketika dia menyebut nama George. Rosene merasa tidak asing dengan nama itu. "Tuan ....." Tatapan mata serta penekanan dalam tatapan itu seketika menghentikan ucapan Ben. "Di sini akulah pemimpinnya." Kemudian ia melanjutkan ke arah Rosene. "Lanjutkan." "Ini adalah kandang mereka, aku yakin tujuannya adalah untuk menjebak kita masuk perangkap. Dan itu bisa dicegah dengan cara mengikuti skenarionya. Kau harus datang seorang di
Pria itu terkapar dengan luka tembak di kepala. Rosene memandang ke arah Ben. Rupanya pria itu yang melakukannya. "Terimakasih." "Cepat lindungi Tuan." Ben kembali menembaki musuh. Dengan sisa amunisi yg ia miliki. Sementara musuh semakin banyak. Pantas saja, ini adalah wilayah mereka dan entah sejak kapan George memanggil bala bantuan. Jelas saja kalah jumlah. Ini akan menjadi pertarungan yang tidak seimbang. Sampai kapanpun Dare Devil tidak akan pernah menang. Sementara anggota Dare Devil sedikit demi sedikit semakin berkurang. "Sial!" Jecko pun harus ikut turun tangan. Ia mengganti senjatanya dengan pistol. Peluru melesat mengenai siapapun yang berniat mengarahkan senjatanya pada Aaron. Sementara George mengumpat. Ia sudah berhasil bangkit kembali. Lengannya memang terluka, tapi itu tidak akan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Tujuannya sudah ada di depan mata. "Ayo pergi dari sini." "Sebelah sini, Tuan." Ben menggiring Aaron menuju tempat yang lebih aman. "Nona Rosene,
"Ini ....." Aaron memandang Ben. "Air bercampur darah." Sejak awal, baik Aaron maupun Ben sudah curiga. Terjadi sesuatu terhadap wanita itu. Dan benar saja, saat keduanya masuk. Pemandangan yang mengejutkan menyambut penglihatan keduanya. Yang lebih mengejutkan lagi, ketika keduanya melihat ke dalam kamar mandi. Aaron bahkan tidak dapat menahan lengkingan suaranya. "Rosene!" Untuk pertama kalinya, Aaron merasakan ketakutan dala dirinya. Wanita yang dipanggil itu. Tergeletak di lantai dengan kondisi tubuh yang basah kuyup. Aaron segera menghampiri, sementara Ben mematikan kar air yang mengucur deras bahkan sampai meluber ke luar. Aaron mengangkat kepala wanita itu, meletakkannya pada paha. Di saat yang bersamaan, Aaron melihat sesuatu merembes dari perut sebelah kanan. Tangan itu, Reflek menekannya agar darah tidak keluar lebih banyak lagi. "Shit! Panggil El kemari. Cepat!" "Baik, Tuan." Belum juga Ben beranjak, terlihat tanda-tanda kehidupan, berikut dengan suara wanita itu t
"Kau .... kenapa di sini?" Melanie yang sejak tadi mematung di tempat, kini tersadar seketika mendengar suara Aaron yang terdengar begitu dingin. Ia hanya sedikit kaget melihat Aaron tadi keluar dari mana, tunggu. Bukankah itu kamar Rosene. "Kau tidak dengar?" "Emmm .... Sarapan sudah siap, saya diperintahkan Nyonya untuk memanggil Anda, Tuan." Aaron melirik sekilas ke arah pintu kamar Rosene lalu menjawab. "Aku akan turun setelah ini." Setelah mengatakan itu, Aaron berlalu begitu saja dari hadapan Melanie. Namun, baru beberapa langkah, dia kembali berhenti dan menoleh ke belakang. "Kenapa masih di situ." Melanie terkesiap. "Ah, iya. Aku ingin memanggil Rosene. Semalam dia tidak turun dan makan." Aaron mendengkus. "Biarkan dia beristirahat." Langkah berlanjut, tapi kali ini Melanie malah menahannya. "Tunggu, Tuan." Pria itu terpaksa berhenti. Dengan malas memutar tubuh. "Ada apa lagi?" "Apakah Rosene baik-baik saja?" Teringat ucapan Rosene kalau tidak ada satupun orang yan
Ben tersentak, dan seketika mengurungkan niatnya saat melihat sosok yang berdiri di ambang pintu. Tatapan bak sebilah pisau diberikan Aaron pada asistennya itu. Dan tatapan itu mengarah pada tangan Ben yang tengah memegang pakaian Rosene. "Singkirkan tanganmu, Ben." Menyadari kesalahannya, Ben segera melepaskan tangan dan segera mundur beberapa langkah ke belakang. Rasa bersalah menggelayuti diri Ben saat ini, meski sebenarnya itu bukan sepenuhnya salahnya."Tuan, saya hanya ingin memeriksa luka Nona Rosene karena banyak bergerak tadi." Aaron melangkah mendekat, dan entah kenapa itu menjadi sumber ancaman bagi Ben. Tetapi, sepertinya itu hanya ada dalam pikiran Ben saja. Alih-alih menghampiri asistennya, Aaron justru memilih mendekati sang kekasih. "Bagaimana keadaanmu." "Seperti yang kau lihat." Rosene berkata ketus. Kemudian memalingkan wajahnya. "Tadi Ben bilang kau banyak bergerak, biar aku periksa." Aaron hendak melakukan apa yang dilakukan Ben tadi, tetapi tangannya malah
"Menikah dan punya anak. Adalah impian setiap manusia. Tetapi yang paling utama adalah, hidup dengan tenang." Kali ini Aaron yang dibuat terkejut dengan ucapan Rosene. Benarkah yang dia ucapkan itu? Mundur dari dunia bawah, ia rasa itu adalah hal yang mustahil. Setiap klan memiliki aturannya masing-masing. Dan untuk pensiun, Aaron rasa tidak semudah yang dibayangkan. Mundur dari klan, adalah nyawa taruhannya. Meski begitu, Aaron sempat memimpikan cita-cita itu. Hidup aman tanpa desingan peluru dan ancaman musuh. Beberapa kali lolos dari maut bukan berarti seterusnya begitu. Takdir orang siapa yang tahu. Nasib buruk bisa menghampiri kapan saja dan ketika itu datang, Aaron bisa mati sebelum keinginannya tercapai. "Itu juga alasan yang membawaku sampai kemari." Kening Aaron mengkerut. "Alasan?" "Kau ingin mendengarnya?" "Jika kau bersedia untuk bercerita." Aaron memposisikan diri di dekat Rosene. Dan tanpa malu wanita berkulit putih itu menyandarkan kepala pada bahu Aaron. "Setia
Melanie nyaris memekik keras sakit kagetnya. Namun untung saja, mulutnya segera dibekap oleh sebuah tangan kekar yang juga telah menariknya sampai ia terseret dan nyaris terjatuh kalau sang pemilik tangan tidak menangkapnya. Dan saat Melanie menoleh, manik indahnya bertabrakan dengan mata elang milik seorang pria. Sosok dingin dan tegas itu berada dalam keadaan yang sangat dekat dan bahkan nyaris tidak berjarak. "Kau ...." "Sssttt!" Ben meletakkan jari telunjuk di bibir sebagai isyarat agar Melanie diam. Ben menelengkan kepala. Bersembunyi di balik tanaman hias. Dapat ia lihat Lucia tengah celingukan mencari sesuatu. "Aku yakin ada orang tadi di sini?" gumam Lucia. Setelah memastikan Lucia pergi, Ben segera melepaskan tangannya dari mulut Melanie yang nyaris kehabisan oksigen dan saat ia terbebas, langsung saja Melanie menghirup udara sepuasnya. "Kau ini apa-apaan?" Melanie protes. "Bukankah kau ingin kabur dan tidak ketahuan?" "Siapa yang bilang begitu." "Tidak bilang, tapi d