Aaron akan menjadi sangat kesal ketika ia harus melakukan hal yang bertentangan dengan hatinya. Terlebih menyangkut soal wanita. Kalau tidak mengingat kesehatan Samantha mulai membaik, Aaron sudah menolak mentah-mentah keinginan wanita bergelar ibu itu. Dia pikir, puteranya ini kurang kerjaan sampai-sampai harus mengantarkan wanita yang tidak berstatus apa-apa ini pergi berbelanja. Aaron ada urusan dengan klan, kemudian berlanjut urusan perusahaan dan telah memiliki jadwal dengan seoran Vendor. Namun, jadwal itu seketika berantakan saat Samanta meminta dirinya membawa Melanie ikut serta. Dan sialnya, Aaron selalu tak berkutik ketika menyangkut soal ibunya."Maaf, sudah merepotkan," kata Melanie setelah lama diam. Ia pikir ia perlu mencairkan suasana. Ia mencuri lirik pada pria di sampingnya, pada jarak sedekat ini, jelas ia bisa menghidu aroma parfum Aaron. Aroma maskulin. Dan itu mengingatkannya pada seseorang. "Semua hanya karena ibuku." Aaron memberi tekanan pada ucapannya dan i
Lagi-lagi Rosene mematung di tempat. Ia benci situasi seperti ini. Ia dijebak. Begitu Berta mendeklarasikan tujuan sebenarnya, wanita itu telah berpindah posisi ke sisi lawan. "Berta, kau ...." Rosene sampai tidak bisa berkata-kata saking terkejutnya. "Maafkan aku, Rosene. Aku harus menyelamatkan adikku." Rosene memandang tajam ke arah Berta. Ok, ia mengerti sekarang. Tidak ada persahabatan yang tulus. Itulah mengapa ia tidak percaya dengan yang namanya teman. Orang terdekat memang memiliki peluang paling besar untuk berkhianat dan Rosene sudah membuktikannya. "Kau akan menyesal telah berbuat begini, Berta." Jemari tangan Rosene mengepal di kedua sisi paha. Percuma saja ia mempersiapkan senjata bila bergerak saja tidak bisa. Sia-sia pula ia telah mempersiapkan rencana matang-matang kalau akhirnya Berta menghancurkan semuanya. Takdir ini begitu kejam. Rosene sudah menjalani kehidupan pahit selama bertahun-tahun, dan hal semacam ini jelas bukan yang pertama kali, bukan? Ia bahkan b
Desingan peluru, terdengar bersahutan disusul suara gemuruh baling-baling suara helikopter seperti berputar di atas kepala. Rosene sempat bingung, namun sesaat kemudian dia mulai paham. Dan ketika semua anak Marquez kebingungan. Rosene segera menarik senjata apinya dan melesatkan tembakan. Melihat satu persatu anak buahnya tumbang, Marquez berlari, bersembunyi di balik meja dan kursi yang bergelimpangan. Ia mengeluarkan senjata apinya dan sebelum ia menembak, Rosene lebih dulu mengarahkan senjatanya ke arah pria itu. Untungnya, hanya mengenai meja. "Sial!" Marquez mengumpat. "Harusnya aku segera lempar saja korek api itu ke wajahnya!" Marquez menyesali tindakannya yang membuang-buang waktu. Sekarang kesempatan itu terlewat. Rosene melepas jaket hitamnya, menyisakan kaos berwarna senada tanpa lengan yang pas di badan. Aroma bensin bercampur mesiu sungguh membuatnya mual. Pintu masuk utama ditendang. Sesosok pria dengan senjata api laras panjang muncul. Marquez mencoba mengintip sia
Berada dalam satu mobil dengan Aaron membuat Rosene serasa kekurangan oksigen. Beberapa kali ia harus menahan napas karena ulah Aaron yang sama sekali tidak melepaskan sorot mata tajam ke arahnya sejak tadi. "Kau berutang penjelasan padaku," cetus Aaron setelah lama diam. Rosene menarik pandangannya dari luar kaca jendela mobil. "Tidak ada yang perlu dijelaskan," sahut Rosene pedas. "Apa kau bilang?" Aaron melotot saking kagetnya dengan sikap tak acuh Rosene. Bahkan wanita itu tidak merasa bersalah sama sekali karena telah membuat masalah. Rosene memutar bola mata. "Bukannya kau sudah memasang pelacak. Harusnya kau sudah tahu semuanya 'kan?""Kau ...." "Ya, aku tahu. Kau pikir berapa lama aku terjun ke dunia ini. Anting ini." Rosene menyentuh benda yang terdapat berlian putih yang bergelantungan di daun telinganya. "Ada alat penyadap. Dan di sini." Rosene memperlihatkan gelang yang di berikan Aaron. "Kau menyelipkan alat pelacak." Aaron terdiam mendengarnya. Yang dikatakan Rosen
Rosene terkesiap mendengar pernyataan cinta yang keluar dari mulut Aaron. Bukannya senang, justru terkesan menggelikan. Seorang Aaron Salvatore menyatakan perasaannya kepada seorang wanita yang dianggap bisa memuaskannya. Bukankah itu hal yang biasa. Aaron dikenal sebagai seorang player. Jelas perasaannya tidak menetap pada satu hati. Tidak pula hanya dengan cukup satu wanita saja ia menghabiskan malamnya. Banyak wanita yang telah naik turun ke ranjangnya. Dan sekarang dia berpikir bahwa ia jatuh cinta? Bukankah itu terdengar mustahil?Rosene memandang Aaron dengan tatapan lekat. "Kau sedang tidak mabuk 'kan?" "Shit! Kau sengaja ingin mengujiku? Kau tidak percaya padaku?" Aaron mendecak sembari membuang muka. "Melihat perangaimu, siapapun akan berpikir seperti itu bukan?" "Damn! Kau sungguh luar biasa. Setelah berhasil mengujiku, sekarang kau meremehkanku. Kukatakan sekali lagi aku mencintaimu, Rosene."Rosene diam saja. Ia hanya memandang Aaron dengan tatapan tak terbaca. Ia ingi
Ingin sekali Rosene lenyap dari muka bumi ini. Situasi ini, sungguh membuatnya muak. Wajar, bila seorang ibu membela anaknya. Tetapi, tak bisakah Samantha membaca situasi? Rasa-rasanya akan tidak tepat bila dia mencoba bersikap sebagai seorang ibu yang selalu membela anaknya di saat seperti ini..Dia sendiri menginginkan Melanie segera kembali. Tetapi, Samantha seolah tidak menunjukkan akan hal itu. Suasana menjadi sangat hening. Tidak ada yang mampu berkata-kata, bahkan Aaron sendiri pun hanya bisa menyunggingkan senyumnya. Ia merasa mendapatkan pembelaan, dan terlihat sangat puas melihat raut wajah Rosene yang pias. "Kau sungguh menyukai wanita angkuh itu, Aaron," gumam Samantha dalam hati. Ia tidak mengerti akan selera puteranya. Ia pikir, Aaron menyukai wanita cantik dan seksi. Rosene memang cantik, tetapi untuk ukuran seorang wanita, tidak ada sisi kelembutan dalam dirinya. Angkuh dan congkak, kesan pertama yang dilihat Samantha pada wanita itu, membuatnya sedikit tidak nyaman
"Musuh menginginkanmu. Jadi kau yang harus dijadikan umpan." Ben yang mendengar itu seketika melotot. "Kau, berani sekali memerintah Tuan kami." Ben tidak terima. Aaron mengangkat tangan ke arah asistennya, mengisyaratkan pria berahang tegas yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu untuk diam. Ben jelas merasa kesal akan hal itu. Sejak awal, ia memang tidak menyukai kehadiran Rosene yang kini sangat mendominasi. Bahkan tuannya sendiri seakan dibuat bertekuk lutut di hadapannya. "Yang dikatakan Rosene benar. Aku yang diinginkan oleh George." Rosene memandang Aaron ketika dia menyebut nama George. Rosene merasa tidak asing dengan nama itu. "Tuan ....." Tatapan mata serta penekanan dalam tatapan itu seketika menghentikan ucapan Ben. "Di sini akulah pemimpinnya." Kemudian ia melanjutkan ke arah Rosene. "Lanjutkan." "Ini adalah kandang mereka, aku yakin tujuannya adalah untuk menjebak kita masuk perangkap. Dan itu bisa dicegah dengan cara mengikuti skenarionya. Kau harus datang seorang di
Pria itu terkapar dengan luka tembak di kepala. Rosene memandang ke arah Ben. Rupanya pria itu yang melakukannya. "Terimakasih." "Cepat lindungi Tuan." Ben kembali menembaki musuh. Dengan sisa amunisi yg ia miliki. Sementara musuh semakin banyak. Pantas saja, ini adalah wilayah mereka dan entah sejak kapan George memanggil bala bantuan. Jelas saja kalah jumlah. Ini akan menjadi pertarungan yang tidak seimbang. Sampai kapanpun Dare Devil tidak akan pernah menang. Sementara anggota Dare Devil sedikit demi sedikit semakin berkurang. "Sial!" Jecko pun harus ikut turun tangan. Ia mengganti senjatanya dengan pistol. Peluru melesat mengenai siapapun yang berniat mengarahkan senjatanya pada Aaron. Sementara George mengumpat. Ia sudah berhasil bangkit kembali. Lengannya memang terluka, tapi itu tidak akan membuatnya tidak bisa berbuat apa-apa. Tujuannya sudah ada di depan mata. "Ayo pergi dari sini." "Sebelah sini, Tuan." Ben menggiring Aaron menuju tempat yang lebih aman. "Nona Rosene,