"Wah, lihatlah ini." Janeth berdiri dengan tawa menyeringai. Melanie mengumpat dalam hati. Kenapa ia malah bertemu dengan wanita ini. "Hei, Jalang. Kau sungguh menyebalkan. Kau sama seperti kakakmu yang arogan itu, huh?" "Bicara apa kau?" Melanie tidak terima karena disebut jalang. "Tapi tunggu. Aku penasaran, siapa yang ada di belakangmu itu?" Melanie menoleh ke belakang sebentar. Lalu menggeser tubuhnya yang tak lebih kecil itu untuk menutupi Samantha. Wanita itu tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Jadi ia tidak akan biarkan wanita itu terluka sedikitpun. Ia tahu Janeth. Dia tidak akan segan melakukan hal buruk pada sesuatu yang dianggap mengganggu dirinya. "Kau jangan menyentuhnya. Atau kau akan mendapat masalah besar." "Wah, bagaimana ya. Aku sedang kesal dan aku ingin membunuh orang." "Kalau begitu bunuh saja dirimu sendiri yang tak berguna itu." Telak, ucapan Melanie menyulut emosi Janeth. Sudah kesal karena mendapatkan perintah yang tidak ia sukai. Sekarang malah di
Aaron jelas kaget. Bagaimana bisa sang ibu sampai berada di dalam kandang musuh dari klan yang dipimpin oleh puteranya ini. Aaron sama sekali tidak mengerti. Aaron tidak pernah mengekspos keberadaan sang ibu. Kenapa Markus bisa sampai tahu? Sial! Aaron benci keadaan ini. Ia tidak suka kalau kelemahannya sampai diketahui oleh musuh. Tetapi, ada bagusnya juga. Aaron semakin bersemangat untuk menyerang Rossmoss secara terang-terangan. Setidaknya ia punya alasan untuk menghancurkan klan itu. "Kita rubah rencana. Serang Rossmoss secara langsung." "Aku suka ini." Diego semakin bersemangat. Pria yang seolah haus akan peperangan ini mengeluarkan senjata andalannya. "Kita tidak boleh gegabah." Rosene mengeluarkan pendapatnya. Dan itu sukses menarik perhatian semua orang. Diego sampai menghentikan gerakannya. "Apa maksudmu, Nona? Tunggu apa lagi. Kita hancurkan mereka semua. Dengan begitu kau bisa mendapatkan adikmu kembali, dan Tuan mendapatkan ibunya." Diego sungguh tidak sabar untuk itu
Markus tidak dapat lagi membendung perasaannya. Inilah saat-saat yang ia dambakan. Di mana Rosene takluk atas dirinya. Gelora hasrat yang ia pendam selama bertahun-tahun, kini bergulung dengan lautan rindu yang menggebu. Rosene diantar menuju kamar yang biasanya digunakan untuk tempat peristirahatan. Jack mengekor di belakang, meningkatkan kadar kewaspadaan. Rosene adalah wanita yang berbahaya. Ia tak lupa ketika wanita itu berhasil memelintir tangannya hingga nyaris patah. Wanita yang berambisi besar untuk pensiun lebih dini itu tidak akan berpikir dua kali untuk melukai seseorang yang dianggap mengganggunya.Jack jadi heran sendiri kenapa ia bisa jatuh cinta kepada wanita seperti itu. Sampai kini pun, ia masih belum melenyapkan sepenuhnya perasaan itu. Pintu kamar dibuka lebar, langkah Jack terhenti di tengah-tengah. Markus memandang orang kepercayaannya itu. "Kau pergilah." "Tuan ...." "Sejak kapan kau mulai membantahku. Aku bilang pergi saja." Jack tidak bisa berkata-kata. K
"Aku Ben." Mendengar nama itu, Samantha langsung menatap Ben. Ia tahu pria itu, pria yang selalu berada di sisi puteranya. Menjadi tameng bahaya demi Sang Putera. Pria yang setia bahkan mempertaruhkan nyawa. "Ben, kau kah itu?" Terlalu lama berada di rumah sakit, Samantha nyaris melupakan wajah Ben. "Ya, Nyonya." Jawaban itu cukup membuat Samantha maupun Melanie menghela napas lega. Setidaknya ada orang yang berada di pihak mereka. Meski Melanie sendiri tidak tahu, dia pria yang berbahaya atau tidak. "Di mana puteraku, apa dia datang bersamamu?" "Ya, Nyonya. Beliau sudah menunggu Anda." Ben segera membantu Samantha untuk berdiri kemudian disusul oleh Melanie. Ben berjongkok memunggungi Samantha. "Ayo, Nyonya. Kita harus segera keluar dari sini. Tempat ini akan dihancurkan. Naiklah ke punggung saya." "Aku bisa jalan sendiri, kau gendong saja gadis ini, kakinya terluka karena disiksa." Ben menoleh ke belakang, akibat perlawanan yang dilakukan Melanie, menyebabkan luka di kaki gadis
"Markus!" Seorang wanita menyerobot masuk setelah mengejutkan semua orang dengan teriakannya yang begitu membahana. Dia adalah Caterina, ibu Markus. Kemudian di susul Mathius yang langsung menghampiri istri keduanya yang terduduk sembari memeluk puteranya itu. Tembakan di paha itu membuat Markus tidak berdaya, ia cukup kehilangan banyak darah setelah mengalami dua luka tembak di lengan. Kemudian paha yang diberikan oleh Rosene sebagai pembalasan atas apa yang dilakukan Markus terhadap Melanie. Mata dibalas mata, dan tangan dibalas tangan. Melanie mendapat luka tembak di paha, maka Rosene juga akan melakukan hal yang sama. Sesungguhnya ia ingin melakukan lebih dari itu, tetapi Rosene masih punya hati untuk tidak melakukannya. "Mathius." Samantha limbung ketika melihat pria itu untuk pertama kali setelah perpisahan puluhan tahun silam. Mungkin saja Samantha bisa jatuh kalau tidak berpegangan pada Melanie. "Nyonya, Anda tidak apa-apa." Melihat itu, Aaron langsung menghampiri ibunya.
Berpuluh-puluh tahun Aaron memilih untuk menahan diri untuk tidak mencari keberadaan Sang Ayah. Mengabaikan rasa sakit ketika melihat keadaan ibunya yang depresi hanya karena ditinggal oleh pria yang dicintai. Samantha diusir saat ia mengandung Aaron demi wanita lain. Hanya itu yang Aaron ketahui. Selanjutnya, Aaron memilih dian mengabaikannya. Aaron tidak tahu siapa ayahnya, dan sama sekali tidak mencari tahu keberadaannya.. Itu hanya akan buang-buang waktu dan energi saja. Setiap harinya ia sibuk bekerja dan mengasah kemampuannya. Mencari pundi-pundi rupiah demi bertahan hidup dengan berkeliaran di jalanan yang kejam. Aaron bertekad menjadi sosok yang kuat hingga ia tumbuh menjadi sosok yang seperti sekarang ini. Tentu tidak mudah bagi Aaron melewati itu semua. Dan ketika mengingat itu, Aaron merasa ingin mati saja. Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Hidup dengan gulungan kertas berwarna hitam bukanlah keinginannya. Siapapun tidak ingin bekerja dengan cara kotor sepe
Puas menuntaskan hasratnya, Aaron berguling ke samping di sisi sang wanita yang kini terengah setelah menerima sentuhan yang begitu memabukkan. Tak butuh waktu lama Aaron menutup mata. Harusnya Rosene melakukan hal yang sama. Namun, ia lebih memilih bangun saja. Ada sesuatu yang harus ia lakukan. Setelah Melanie kembali, ia sama sekali belum menemui wanita itu. Rosene turun dari ranjang, berniat mecari pakaiannya yang dilemparkan Aaron ke sembarang arah. Rupanya pergerakan Rosene membuat Aaron terbangun. Karena ia juga belum sepenuhnya tertidur. Jadi pergerakan sekecil apapun, bisa tertangkap oleh gendang telinganya yang masih bekerja meski pikirannya sudah mulai memasuki alam bawah sadarnya. "Kau mau ke mana?" Tanpa menoleh, Rosene menimpali pertanyaan Aaron. "Aku harus menemui adikku. Dia pasti mencariku." "Oh dia. Dia cantik dan seksi." Rosene melempar tatapan tajam pada pria yang kini memiringkan tubuhnya menghadap ke arahnya. "Jangan berpikir akan menjadikan dia salah sat
Melanie tertegun untuk beberapa saat. Tadi pelayan bilang apa? Kamar itu kamar Aaron. Yang benar saja. Tadi ia melihat Rosene keluar dari sana. Betul 'kan?Melanie menampar pipi sendiri. Aaron adalah pemimpin tertinggi Dare Devil. Kalau benar begitu. Apa yang dilakukan Rosene di dalam kamar itu. Melanie menggeleng cepat. Kepalanya dipenuhi oleh fantasi liar soal permainan ranjang. "Tidak! Mana mungkin?" Melanie menggeleng lagi. Rosene yang dikenal dingin dan alergi terhadap pria, bisa sampai melakukan hal itu. Dengan Aaron. Ingin sekali ia tidak mempercayainya. Tetapi apa yang ia pikirkan tidak jauh-jauh soal itu. Lagipula apa yang dilakukan seorang pria dan wanita berdua di dalam kamar? Dan kalau dilihat dari pakaian Rosene yang sudah tidak lengkap. Rasanya tidak mungkin keduanya tidak melakukan itu 'kan?"Nona Melanie." Suara seorang pria membuyarkan lamunan Melanie. Suara ini terdengar tidak asing. Pria tinggi berwajah kelam itu. Melanie memutar tubuh. Benar saja, Ben sudah bera
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman