Aaron jelas kaget, Rosene mendorongnya kuat sampai ia termundur ke belakang dan punggung yang membentur pinggiran kolam. Rosene memperbaiki kancing kemejanya. "Sudah cukup, saya akan panggilkan pelayan lain." Rosene berdiri dari posisinya. Kemudian keluar dari air. Anehnya, Aaron tidak bisa mencegah itu. Ia membiarkan Rosene berlalu begitu saja dari hadapannya. Saat wanita itu menghilang, barulah Aaron mengumpat. "Shit!" Bogem mentah ia layangkan pada genangan air. Ia menyibak rambutnya yang basah. Padahal sedikit lagi, tetapi malah gagal. Rosene keluar dalam kondisi basah kuyup dan itu membuat Berta mempertanyakan hal itu. "Apa yang terjadi?" Pertanyaan Berta itu membuat Rosene memandangnya. "Tuan butuh pelayan." Rosene berekspresi datar. "Anda tidak apa-apa?" Berta memperhatikan Rosene. "Apa Tuan menghukum Anda?" "Iya, sekarang pergilah. Tinggalkan aku sendiri." Rosene menutup akses masuk ke dalam kamarnya untuk Berta. Ia harus berganti pakaian. Dan memenangkan diri sebentar
Aaron berhenti sebentar sebelum masuk. Ia memandang Rosene yang berdiri di dekat pintu seraya membungkuk memberi hormat. Kemudian ia menatap Ben dan itu merupakan sebuah kode. Pria itu mengangguk kemudian segera menyingkir dari sana. Disusul kemudian beberapa pengawal yang mengikutinya. Rosene segera menjalankan tugas. "Mari, Tuan." Rosene meraih mantel dari tangan Aaron. Kemudian mengikuti langkah Aaron menuju ke kamar. Sesuai kebiasaan. Setelah pulang bekerja, Aaron akan membersihkan diri kemudian bersantap malam. Tetapi, Rosene perlu juga menanyakan apakah Aaron sudah makan di luar. Sialnya Aaron belum makan dan Rosene harus menyiapkan itu semua, jelas ia melayani Aaron. Berta bilang, ia harus melayani Aaron seperti seorang suami. Yang benar saja, Aaron bukan suaminya. Tetapi, ia harus melakukannya. Tiba di kamar, Aaron berdiri menghadap Rosene. Gadis itu memandangnya sebentar. Kemudian ia berdehem. Ia nyaris lupa bila ia harus membantu membuka maupun memasang busana Aaron. Ro
Masalah sudah teratasi dan Berta bersedia menyimpan rahasia. Rosene menghela napas lega. Terlalu dini baginya untuk bersikap santai. Ini masih belum apa-apa. Ia sama sekali belum tahu apa-apa tentang Dare Devil. Ia harus bisa menggali informasi lebih jauh lagi. Tugas terakhir, ia harus memastikan Aaron telah beristirahat dengan tenang barulah ia bisa tidur. Ia akan kembali ke kamar Aaron. "Kau istirahat saja." Berta menegur. "Masih ada tugas terakhir." "Serahkan saja padaku." Rosene memandang Berta. Kalau bukan karena tujuan, jelas Rosene akan berkata iya. Ia harus memanfaatkan sedikit waktu yang ada. "Aku harus melakukannya." "Baiklah." Sepatu bertumit tinggi yang sempat ia lepas kembali dipakai. Sebenarnya ia pegal karena terus menyesuaikan kakinya dengan sepatu tinggi itu. Sepatu boot lebih nyaman. Tetapi, mau bagaimana lagi. Ternyata di dalam kamar Aaron ada Ben. Jelas ia tidak bisa masuk sembarangan. Kemudian seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Rosene membungkuk
Ini pertama kalinya Rosene menginjakkan kaki di markas besar Dare Devil. Gugup itu jelas ia rasakan. Ia adalah seorang musuh yang tidak sepantasnya berada di sarang lawan. Tetapi, ini harus ia lakukan untuk menggali informasi mengenai Dare Devil. Dari luar, Bangunan ini memang nampak biasa. Malah terlihat seperti rumah kebanyakan penduduk lokal. Namun siapa sangka, begitu ia masuk, Rosene malah berada di lantai puncak. Di bagian sudut ruangan itu terdapat sebuah tangga. Rosene mengikuti langkah Aaron mendekati tangga yang menuju ke ruang bawah. Begitu Rosene sampai, semua mata tertuju pada dirinya. Aura permusuhan begitu kental memenuhi ruangan yang bernuansa gelap itu. Bola mata Rosene memindai seisi ruangan. Baik pria maupun wanita semua mengenakan pakaian serba hitam. Hampir tidak ada bedanya, yang pria kebanyakan memiliki sebuah seni di lengan sedang yang wanita di leher. Kepala jaguar bermata iblis sebagai simbol dari klan mereka. Rosene menelan ludah. Mendadak ia jadi ragu.
Ruangan seketika hening tanpa suara. Asap mengepul dari moncong senjata api yang dipegang Rosene. Ia terpaku di tempat disusul dengan hembusan napas yang tidak beraturan. Jantungnya berdegup kencang di detik-detik terakhir permainan. Rosene yang sempat pesimis kalah segera membalikkan keadaan sampai ia berhasil memenangkan pertandingan. Seluruh anggota Dare Devil jelas kaget. Mereka semua mematung di tempat, melihat salah satu anggota terbaik Dare Devil terkapar dengan luka tembak di dahi. Mereka tidak menyangka bila Luca akan kalah. Sang pemimpin tertinggi klan pun sama halnya. Pria itu tersenyum miring. Ia sudah menduga bila Rosene bukanlah wanita biasa. Dia memiliki kemampuan di atas rata-rata. Sebagai seorang wanita, dia terlalu tangguh dan kaku. Namun, di lain sisi, Rosene juga terlihat sadis dan cantik di saat yang bersamaan. Suara tepuk tangan terdengar memecah keheningan. Kemudian riuh terdengar dari para anggota. Itu karena Aaron yang memulai. Tubuh yang telah terkapar itu
Rosene memegang perut yang terkena tendangan. Jangan ditanya lagi rasanya. Seketika ia merasakan mual hebat. Rosene memandang pria yang mendapatkan julukan si sapi gila. Dia terlihat bangga dengan menepuk-nepuk dadanya. Ya, dia memang berhak bangga karena tubuhnya yang kuat. Penonton bersorak meneriakkan nama Cow. Itu karena mereka dari klan yang sama dengan pria itu. "Ini tidak bisa dibiarkan." Rosene tidak akan bisa mengalahkan pria itu dengan kekuatan saja. Ia butuh strategi. Ya otak cerdasnya harus ia manfaatkan. "Majulah, Pecundang. Beraninya melawan perempuan." Rosene mencoba memprovokasi si sapi gila. Tetapi, dia malah tertawa. "Aku lebih bersemangat melawan wanita. Majulah manis." Rosene mengumpat dalam hati. Rupanya si sapi gila itu tidak terprovokasi. Malah dirinya yang jadi kesal sendiri. Aaron memperhatikan pertandingan. Cow memang punya kekuatan super gila. Aaron sendiri pernah merasakan pukulannya ketika berlatih bersama pria itu. Orang yang memiliki kemampuan bela
Si sapi gila seketika tidak bergerak. Setelah itu barulah Rosene menjatuhkan diri ke samping. Napasnya terengah-engah, tubuhnya telentang sembari menatap langit-langit ruangan. Pertarungan hidup dan mati selesai dengan Rosene yang keluar sebagai pemenang. Bisakah Rosene berbangga hati sekarang. Pasalnya ia telah berhasil mengalahkan si pria raksasa itu. Bukan hanya kalah tapi tewas. Tubuh besar itu ditarik keluar arena. Rosene pun diperkenankan untuk turun. Aaron menyambutnya dengan senyuman. Sebuah senyum sinis dan tatapan mata yang tajam. Mungkin dia kesal karena Rosene dapat mengalahkan dua anak buah terbaiknya itu. "Kau menang, bagus. Tapi ini bukan akhir." Aaron mengatakannya dengan senyum sinisnya. Rosene terpaku beberapa saat jangan bilang kalau masih ada ujian lagi. "Oh aku suka tatapanmu itu, Sayang. Kemarilah." Aaron mengulurkan tangan dan Rosene menyambutnya. Aaro maju, mengikis jarak antara mereka dan membuat bibir berdekatan dengan indera pendengar milik Rosene. Mani
Rosene tersentak. Ini yang tidak ia suka. Buka baju sembarangan, memang dirinya ini apa. Mudah saja menyuruh wanita buka baju. Tetapi Rosene tidak akan melakukannya. "Saya bisa sendiri, Tuan." "Jangan membantahku!" Aaron sedikit menekan ucapannya yang sukses membuat Rosene bungkam. Aaron memulai dari wajah. Sudut bibir Rosene pecah dan meninggalkan jejak merah di sana. Sayang sekali kulit putih mulus itu harus ternoda. Meski begitu, tak mengurangi sedikitpun aura kecantikan di wajah Rosene. Aaron terus menekan bagian itu sampai-sampai tidak sadar kalau ia memperhatikan Rosene terlalu lama. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Aaron bukan tipe pria yang suka basa-basi. Tapi Rosene memberikan Aaron kesulitan tersendiri. Wanita yang dingin tak tersentuh. Aaron sangat tertantang untuk menaklukkan wanita yang seperti itu. Ia bosan dengan tipe wanita yang agresif. Meski tidak menampik ia juga suka. Tetapi, wanita dengan kesan angkuh juga sangat menggoda. "Kau bersihkan saja sendiri."