Permasalahan itu, tak cukup hanya dengan melenyapkan Alexa. Harus jelas semuanya dan diusut sampai tuntas agar tidak menimbulkan masalah di kemudian harinya. Setelah diselidiki. Ditemukan zat kimia berbahaya dalam cream pemutih tersebut. Jelas ini perbuatan seseorang dan Aaron harus tahu siapa dalang dibalik semua ini. Aaron memanggil pelayan yang mengurus Alexa. Mereka berdua berkemungkinan besar menjadi pelaku. Berta jelas tidak akan melakukan kecerobohan semacam itu."Siapa yang melakukannya?" Aaron duduk dengan angkuh di single sofa dengan dua pelayan yang berlutut di hadapannya. "Bukan saya, Tuan. Sungguh!" Pelayan yang berada sebelah kanan berucap. "Benar, Tuan. Kami melakukannya seperti biasa." Yang satu lagi menimpali. "Tuan, ini jelas bukan kesalahan kami." Aaron mengurai kaki yang telah ditumpuk kemudian memajukan tubuh mendekati mereka. "Lalu kalian pikir semua itu perbuatan hantu? Begitu?" Kedua pelayan itu tertunduk takut. Tidak ada yang menjawab. Keduanya betul-bet
Amarah Aaron langsung mereda mengingat niat kedatangannya kemari. Ia tidak boleh terpancing emosi. Ia melirik benda pecah yang berserakan di lantai lalu menatap Rosene. Sungguh gadis yang penuh kejutan. "Aku mengganggu tidurmu." "Ya." Memang Rosene harus mengatakan apa. Memang itu kenyataan. Tetapi, Aaron malah menampakkan ekspresi keberatannya."Saya mendengar suara tembakan." "Apa yang ingin kau ketahui. Kau tahu 'kan aku ini siapa dan orang seperti apa? Jadi jangan membantahku." Sekarang Rosene yang jadi kesal sendiri. Ia memang terbiasa diperintah. Tetapi, Markus tidak pernah memaksa dirinya. Terlebih untuk melayani di atas ranjang. "Ada apa Tuan kemari?" Perasaan Rosene tidak enak sejak kedatangan pria itu. "Kau bilang butuh pekerjaan. Aku akan memberikannya." "Sebagai apa?" "Pelayan pribadiku." Ekspresi yang ditampakkan Rosene, membuat Aaron menarik sudut bibirnya. "Mulai besok kau bisa mulai bekerja. Pelayan akan menyiapkan segalanya." "Tuan sudah memiliki banyak pela
Pas sekali, Aaron tidak memakai baju dan hanya bertelanjang dada. Jadi Rosene dapat melihat bentuk otot perut yang sudah mirip seperti roti sobek itu. Aroma tubuh Aaron menyentuh indera penciuman Rosene. Kejadiannya begitu cepat. Sampai-sampai Rosene tidak bisa menghalau serangan itu. "Apa yang kau lakukan?" tanya suara berat itu. "A-aku, emm sa-saya sedang membangunkan Tuan.""Membangunkan apa? Kau tahu, yang kau lakukan itu bukan hanya membangunkan diriku, tetapi juga membangun adikku." "Adik?" Rosene terdiam sesaat. Berta menggigit lidah agar tawanya tidak meledak. Lima menit, Rosene baru paham tentang adik yang dimaksud Aaron. Secepatnya ia beranjak dari posisinya. Aaron pun sama halnya, karena sudah bangun. Maka ia akan turun. Rosene memalingkan wajah. Sialan Aaron ini, bisa-bisanya dia tidur hanya dengan mengenakan celana dalam saja. "Saya akan siapkan air hangat," kata Berta. Rosene diam saja. Ia tidak tahu harus melakukan apa. Aaron meraih gelas berisi air putih yang mema
Seketika suasana menjadi gaduh. Ben berdiri dari duduknya. Senjata api ditarik. Kemudian mengacungkan ke arah Rosene. Semua yang ada di ruangan tersentak. "Apa yang kau lakukan pada Tuan?" "Hentikan!" Aaron berteriak. "Ben turunkan senjata atau aku yang akan menembakmu!" Ben jelas kaget dengan sikap Aaron yang malah membela Rosene yang jelas-jelas ingin mencelakainya. Rosene langsung mundur ke belakang, bersembunyi di belakang tubuh Berta. Ia harus melindungi diri. "Tapi, Tuan. Anda tersiram air panas." "Hanya air hangat. Aku tidak selemah itu." Aaron menoleh. Ia memandang Rosene. "Seret wanita itu, bawa dia ke kamarku." Mendengar perintah itu, pengawal berbadan besar yang siap siaga di sana langsung bergerak. Rosene diseret menuju ke kamar yang tadi sempat ia singgahi. Tubuhnya dilempar di lantai. Setelah itu, pengawal pergi meninggalkan Aaron bersama dirinya. Pintu ditutup, dan dikunci. Tawa pria itu berderai. Aaron mendekat kemudian berjongkok. Ia harus membuat dirinya seja
"Apa yang kau lakukan, Nona." Ben langsung menangkap tangan itu. Sejak dulu, Ben tidak suka Lucia. Kenapa wanita itu berpikir ingin menggoda dirinya. "Menjijikkan!" Lucia tersentak mendengarnya. Matanya melotot. Lekas ia menarik diri menjauh dari Ben. Rupanya, usaha merayu Ben gagal. Ben tidak seperti yang ia kira. "Berani menyentuhku, kupatahkan tanganmu!" Ben melenggang pergi setelah mengatakan itu. Lucia mendecak, serta menghentakkan kakinya di tanah sebanyak dua kali. "Sial!" Lucia mengumpat. Dua orang dalam sehari ini yang ingin mematahkan tangannya. Tetapi, Lucia tidak akan takut hanya dengan gertakan sekecil itu. Berta tidak akan melakukan itu, demikian pula dengan Ben. Aaron tidak akan membiarkan dua orang itu menyakiti dirinya. Karena sampai sekarang, dirinya masih berstatus sebagai wanita kesayangan Aaron. Sementara itu. Rosene betul-betul melakukan perintah Aaron. Untuk kesekian kalinya, ia melakukan hal yang belum pernah ia lakukan. Memandikan seorang pria yang berus
Aaron jelas kaget, Rosene mendorongnya kuat sampai ia termundur ke belakang dan punggung yang membentur pinggiran kolam. Rosene memperbaiki kancing kemejanya. "Sudah cukup, saya akan panggilkan pelayan lain." Rosene berdiri dari posisinya. Kemudian keluar dari air. Anehnya, Aaron tidak bisa mencegah itu. Ia membiarkan Rosene berlalu begitu saja dari hadapannya. Saat wanita itu menghilang, barulah Aaron mengumpat. "Shit!" Bogem mentah ia layangkan pada genangan air. Ia menyibak rambutnya yang basah. Padahal sedikit lagi, tetapi malah gagal. Rosene keluar dalam kondisi basah kuyup dan itu membuat Berta mempertanyakan hal itu. "Apa yang terjadi?" Pertanyaan Berta itu membuat Rosene memandangnya. "Tuan butuh pelayan." Rosene berekspresi datar. "Anda tidak apa-apa?" Berta memperhatikan Rosene. "Apa Tuan menghukum Anda?" "Iya, sekarang pergilah. Tinggalkan aku sendiri." Rosene menutup akses masuk ke dalam kamarnya untuk Berta. Ia harus berganti pakaian. Dan memenangkan diri sebentar
Aaron berhenti sebentar sebelum masuk. Ia memandang Rosene yang berdiri di dekat pintu seraya membungkuk memberi hormat. Kemudian ia menatap Ben dan itu merupakan sebuah kode. Pria itu mengangguk kemudian segera menyingkir dari sana. Disusul kemudian beberapa pengawal yang mengikutinya. Rosene segera menjalankan tugas. "Mari, Tuan." Rosene meraih mantel dari tangan Aaron. Kemudian mengikuti langkah Aaron menuju ke kamar. Sesuai kebiasaan. Setelah pulang bekerja, Aaron akan membersihkan diri kemudian bersantap malam. Tetapi, Rosene perlu juga menanyakan apakah Aaron sudah makan di luar. Sialnya Aaron belum makan dan Rosene harus menyiapkan itu semua, jelas ia melayani Aaron. Berta bilang, ia harus melayani Aaron seperti seorang suami. Yang benar saja, Aaron bukan suaminya. Tetapi, ia harus melakukannya. Tiba di kamar, Aaron berdiri menghadap Rosene. Gadis itu memandangnya sebentar. Kemudian ia berdehem. Ia nyaris lupa bila ia harus membantu membuka maupun memasang busana Aaron. Ro
Masalah sudah teratasi dan Berta bersedia menyimpan rahasia. Rosene menghela napas lega. Terlalu dini baginya untuk bersikap santai. Ini masih belum apa-apa. Ia sama sekali belum tahu apa-apa tentang Dare Devil. Ia harus bisa menggali informasi lebih jauh lagi. Tugas terakhir, ia harus memastikan Aaron telah beristirahat dengan tenang barulah ia bisa tidur. Ia akan kembali ke kamar Aaron. "Kau istirahat saja." Berta menegur. "Masih ada tugas terakhir." "Serahkan saja padaku." Rosene memandang Berta. Kalau bukan karena tujuan, jelas Rosene akan berkata iya. Ia harus memanfaatkan sedikit waktu yang ada. "Aku harus melakukannya." "Baiklah." Sepatu bertumit tinggi yang sempat ia lepas kembali dipakai. Sebenarnya ia pegal karena terus menyesuaikan kakinya dengan sepatu tinggi itu. Sepatu boot lebih nyaman. Tetapi, mau bagaimana lagi. Ternyata di dalam kamar Aaron ada Ben. Jelas ia tidak bisa masuk sembarangan. Kemudian seorang pria berpakaian serba hitam muncul. Rosene membungkuk
Seorang pria botak dengan gambar ular melingkar di lehernya tengah menatap penuh kemenangan. Rosene pernah melihat wajah itu beberapa kali karena dia cukup terkenal di dunia bawah. Frank–tangan kanan sekaligus orang kepercayaan Luis–pemimpin Black Devil. Pria dengan sejuta talenta dan pandai mengendalikan berbagai macam senjata. Didukung oleh kemampuan beladiri yang cukup tinggi. Dia setara dengan Ben yang dimiliki Dare Devil. Sial sekali, Rosene bertemu pria ini di sini. "Siapa mereka, Tuan?" tanya salah satu anak buah. "Dasar bodoh, kalian tidak lihat. Mereka wanita. Selama ini Tuan selalu membutuhkan wanita. Karena di sini tidak ada wanita cantik sebaiknya kita bawa mereka." "Tapi, Tuan. Mereka sedang mengandung." Si pria botak mengalihkan pandangan pada perut kedua wanita di hadapannya. "Itu bukan masalah besar, bukankah wanita hamil memiliki rasa yang sedikit berbeda. Aku rasa Tuan tidak masalah." Telinga Rosene memanas, begitu juga hati dan pikirannya seolah terbakar amara
Lupakan sejenak soal pencarian calon mempelai pengantin yang hilang. Kini saat Aaron kembali fokus pada tujuan klan yaitu, menjadi penguasa dunia bawah. Sudah tidak diragukan lagi. Informasi yang Nick berikan memang sangat akurat. Aaron cukup puas dengan kinerja anak buahnya yang satu ini. Dan menurut Aaron, Nick adalah salah satu bawahan yang paling berpengaruh besar terhadap stabilitas wilayah kekuasaan Dare Devil karena posisinya sebagai agen rahasia. "Kerja bagus, Nick," kata Aaron dengan kedua tangan memegangi teropong yang dia tempelkan di dekat kedua mata. Nampak aktifitas yang dilaporkan Nick tengah berlangsung saat ini. Dan Aaron sangat benci dengan para penghianat. "Jadi apa kita langsung serang saja, Tuan?" Ben meminta persetujuan dari atasannya. "Kita bagi dua tim," kata Aaron. "Bukankah Nick bilang mereka memiliki markas rahasia di Pulau Lemnos? Kita harus serang secara bersamaan. Dan buat mereka terkejut dengan aksi kita." "Baik, Tuan." Mendapat perintah begitu, Be
Ini pertama kalinya Janeth berkunjung di kediaman resmi seorang Aaron Salvatore. Janeth jelas tidak tahu alasannya dipanggil kemari. Namun, saat di perjalanan Ben melakukan sesuatu yang perlahan mulai membuatnya mengerti. Dari memerintahkan dirinya untuk berganti pakaian dan berias. Jelas saja pikiran Janeth tidak jauh-jauh soal itu. Dan benar saja. Begitu sampai, Ben langsung menggiringnya menuju kamar pribadi pria itu. Namun, sebelum itu Ben harus memberikan peringatan kepada wanita itu. "Aku peringatkan, sebaiknya jangan mengeluarkan kata-kata apapun." Janeth melihat Ben. Tatapannya menyiratkan sebuah pertanyaan. Dan Ben perlu menjawab itu. "Kau akan tahu setelah berada di dalam. Terakhir kali aku mengingatkanmu, jaga bicaramu." "Ya baiklah." Pintu dibuka, Janeth melangkah memasuki kamar sang Tuan. Aroma maskulin seketika menguar. Aroma yang sedikit asing bagi Janeth, atau karena ia terlalu terobsesi dengan aroma parfum Jack. Hanya sekedar mengingatkan kalau Janeth belum bisa
Secara pribadi, Aaron memang tidak membenci pria ini. Hanya saja ia enggan saling berhadapan seperti ini. Terlebih mengingat apa yang pernah dia lakukan terhadap dirinya dan ibunya. Aaron tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata. Terlalu panjang dan rumit. Dan semua terjadi begitu saja tanpa bisa dicegah. Aaron tumbuh tanpa sosok seorang ayah. Wajar kalau dia jadi membenci sosok itu karena kejadian di masalalu. "Aaron, aku dengar Mommymu sakit. Jadi aku datang kemari." "Bagaimana kau bisa tahu." Aaron mendengkus. Ini pasti karena si mulut ember Markus. "Dia bukan hanya sakit, tapi tengah koma." Mathius menutup mulutnya yang terbuka. Ia memang telah mendengar tentang penyakit istri pertamanya. Dan ia turut prihatin atas hal itu, bagaimanapun ia pernah menjalin kasih dengan wanita itu. Terlebih telah diberi anak bersama. "Nak, izinkan aku melihatnya?" "Kami tidak ada lagi hubungan denganmu."Mathius sudah menduga ia akan mengalami penolakan. Tetapi ia tidak akan menerimanya begitu s
Aaron melepaskan tembakan sebanyak dua kali dan membuat sang wanita terkapar dengan luka tembak di perut. Ia benci wanita yang lebih banyak bicara dari pada kerja, tidak tahu diri, dan juga serakah. Mendengar suara tembakan, Ben segera melesat masuk dan seketika terdiam melihat pemandangan yang tersedia di depan mata. Aroma anyir darah menyeruak memasuki indera penciumannya. Tak perlu bertanya mengapa Aaron melakukannya. Rupanya sang wanita panggilan telah mengabaikan peringatannya dan membuat Aaron kesal. Sudah dia bilang kalau Aaron tengah sensitif saat ini. "Lain kali, cari tahu dulu sebelum mencari wanita. Aku benci wanita yang suka menjelekkan wanita lain. Ckkk beraninya dia menghina kekasihku." Aaron melemparkan senjata apinya di sofa lalu ia kembali menjatuhkan diri di sana. "Kalian cepat bereskan ini. Buang mayatnya di tempat biasa." Ben memberi perintah pada bawahannya. Dua orang penjaga yang siap siaga di depan kamar Aaron segera masuk setelah mendapat perintah. "Aku bu
Kebiasaan lama itu kambuh. Semenjak ada Rosene, Aaron bahkan tidak pernah menginginkan wanita lain di ranjangnya. Cukup dengan Rosene yang bisa memuaskannya. Aaron tidak butuh wanita lain lagi. Bahkan karena saking cintanya, ia menuruti perintah wanita itu membubarkan haremnya. Sejak saat itu, Aaron mulai serius terhadap hubungannya dengan Rosene. Ia mulai memberikan perhatian yang tak biasa ia berikan pada wanita lain. Mencintai, menyayangi dan untuk pertama kalinya jantung Aaron berdebar saat sedang bersama wanita, yaitu Rosene. Itu sebabnya ia yakin untuk memperistri wanita itu. Namun, lihatlah apa yang dia perbuat. Wanita itu justru mempermainkannya, membuatnya malu dan juga marah. Dengan cara lari dari pernikahan. Hidupnya kacau setelah wanita itu pergi. Tidak peduli soal klan, dan mengabaikan masalah pekerjaan. Aaron terlihat sangat prustasi. Kini Ben dan yang lain mengerti, begitu besar pengaruh Rosene bagi kehidupan pemimpin mereka. Dan ini pertama kali mereka melihat tuann
Butuh waktu 2 hari untuk sampai ke tempat tujuan dengan menggunakan jalur air. Ini untuk mengurangi resiko pada Melanie yang tengah mengandung sebab usia kandungan masih dalam tahap trimester pertama. Begitu kapal berlabuh, Rosene dan Melanie segera mencari lokasi yang ada di dalam secarik kertas yang diberikan Samantha. Benar saja, begitu memasuki wilayah yang memiliki daratan yang sedikit kering itu, keduanya diminta untuk menyebutkan sebuah kode. Itu karena keduanya adalah pendatang. Dan Rosene heran, kenapa kodenya malah nama ibunya Aaron? Ia tidak heran kalau sebuah wilayah memiliki kode khusus. Biasanya berupa simbol, atau kata sandi huruf-huruf Romawi ataupun angka. "Kita berada di mana?" tanya Melanie yang sedikit asing dengan wilayah ini. "Yunani," jawab Rosene yang seketika membuat Melanie kaget. "Kau serius?" Rosene memandang sang adik. "Apa wajahku terlihat seperti pembohong? Sudahlah ayo jalan. Aku sudah lapar." Rosene melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Mere
Pertanyaan itu jelas menimbulka huru-hara yang berasal dari kursi para jemaat. Suasana bahagia berubah menjadi tegang. Para tamu tidak mengerti dengan apa yang terjadi tiba-tiba. Harusnya janji suci pernikahan berlangsung, ini malah sebaliknya. Mempelai pengantin pria, menghentikan pernikahannya sendiri. Mathius berdiri dari duduknya. "Nak, ada apa?""Dia bukan calon istriku." Semua tatapan tertuju pada wanita bergaun pengantin yang berdiri seperti patung itu. Di balik cadar itu, ia dapat melihat semua perhatian mengarah padanya. Rencana baru saja dimulai."Ben, buka penutup wajahnya." Aaron memerintah. Yang dipanggil maju ke depan, sementara para tamu sibuk dengan pikiran masing-masing yang mayoritas dipenuhi tanda tanya. Ben mendekati wanita itu, tangannya mencoba meraih veil yang menutupi wajah. Namun, tangannya malah ditahan. Ben yang tidak siap jelas tidak dapat menghindar kala wanita itu memelintir tangannya ke belakang. "Angkat tangan. Atau kepala pria ini meledak." Wanita
Bagai petir di siang bolong. Melanie jelas saja kaget mendengar pertanyaan semacam itu dilontarkan oleh Samantha. Apa maksudnya ini? Apa mungkin Samantha telah mengetahui fakta yang sebenarnya? Kalau anak yang dirinya kandung bukanlah milik Aaron. "Nyo-nyonya apa maksud Anda?" Melanie mencoba mengelak. Sebisa mungkin ia harus mempertahankan kebohongannya, setidaknya sampai rencana yang disusun Rosene datang. "Jangan pura-pura bodoh. Jawab saja, anak siapa yang kau kandung itu?" Samantha menunjuk bagian perut rata Melanie. Gadis 25 tahun itu menggeleng. "Apa Nyonya meragukan saya?" Melanie berkaca-kaca. "Kau terlihat ketakutan? Apa yang kau sembunyikan sebenarnya? Kau sengaja ingin menjebak anakku." "Tidak, Nyonya." Melanie menjatuhkan diri di bawah kaki Samantha. Ia berlutut, dengan kepala menengadah ke atas. "Nyonya ampuni saya, saya tidak bermaksud ...." Melanie berkata sembari bercucuran air mata. Ucapannya terbata-bata. Tatapan Samantha dingin ke depan. Ia bahkan enggan meman