"Aku tidak mau makan!!" Teriaknya lagi, saat dirinya telah didudukkan di kursi dengan meja penuh makanan di depannya. "Aku mau makan, asal Aiden pulang dan dia yang menemaniku di sini," koreksi Monica lagi, sembari menatap penuh permusuhan ke arah manik hijau yang membalasnya dengan sorot dingin. "Mr. Miller harus mengurus sesuatu yang penting, Nona. Tolong jangan banyak tingkah dan makan saja hidangan di meja!" Ucap Nathan tegas. Monica berdecih dan melipat kedua tangan di dada. "Cih. Mengurus sesuatu yang penting, katamu? Lalu kenapa si pirang sombong itu juga harus ikut dengannya??" "Miss Trixie Bradwell maksud Anda? Bukankah sudah jelas kalau mereka adalah sepasang kekasih? Sudah pasti kakak Anda ingin selalu berada dekat dengan Miss Trixie," tukas Nathan dengan lugasnya, lalu diam-diam tertawa dalam hati ketika melihat wajah keruh Monica. "Anda terlihat kesal. Apa karena saya mengatakan mereka adalah 'sepasang 'kekasih'?" Ledeknya dengan sengaja. "Mereka memang mesra sekali
Nathan memeluk Nona-nya dan menempatkan diri agar tubuhnya menjadi tempat mendarat yang aman untuk Monica. "Aiden jahat! Kenapa dia meninggalkanku di saat aku sangat membutuhkannya? Kenapa?!" Monica yang kini menindih tubuh Nathan pun memukuli lelaki itu, menyalurkan rasa frustasi dan kesedihannya. "Daddy sudah tiada dan Aiden pun pergi. Kenapa semua orang meninggalkanku?! Kenapaa?!!" Nathan hanya diam saat dirinya dijadikan samsak hidup untuk Monica. Ia sadar jika gadis ini masih merasa hancur atas kehilangan orang tua satu-satunya yang ia miliki, dan Monica memang harus melampiaskannya agar nyeri di hati mungkin akan sedikit terobati. Ketika pukulannya kemudian melemah, tangisannya pun kembali meledak. Nathan meraih kepala Monica dan menempelkannya di dada, membiarkan gadis itu bertumpu sejenak di sana melepas rasa. Kemeja putihnya pun basah karena air mata Monica yang tak hentinya mengalir, namun ia tidak peduli. Saat akhirnya tangisan itu menyisakan isakan-isakan kecil, Nat
"Halo, Angel." Trixie mengguman pelan mendengar suara Aiden yang menyapanya lembut disertai sebuah kecupan di bibir. Rasanya terlalu berat untuk membuka kedua matanya, namun gadis itu melakukannya juga meski rasanya lebih nikmat jika terpejam saja. Disorientasi, itulah yang ia rasakan saat ini ketika melihat dengan jelas situasi di sekitarnya. Hal terakhir yang ia ingat adalah pemakaman Henry di taman Mansion Necker Island yang sangat mengharukan, dimana tangisan Monica terus terdengar di sepanjang acara. Yang tak pelak menimbulkan keharuan kepada semua orang. Trixie sadar bahwa rasa kehilangan masif yang diderita gadis itu telah benar-benar menghancurkan hatinya, karena satu-satunya orang tua yang ia miliki kini telah tiada. Kesedihan Monica itu membuat Trixie teringat kepada keluarganya. Dad, Mom dan kedua saudara kembar lelakinya yang berada di Indonesia. Apa mereka tahu jika dirinya saat ini bukanlah berada di London? Apa mereka tahu jika saat ini dirinya tengah bertaruh ny
Kamar ini berbeda, karena Trixie sama sekali tidak mengingat bagaimana dirinya sampai di ruangan ini. Dan juga... kenapa dia tidak mengenakan apa pun saat ini kecuali selembar selimut yang menutupi tubuhnya?? "Apa kita... uhm...," Trixie pun meringis, merasa malu menanyakan apakah mereka baru saja bercinta. "Belum, kita belum sempat bercinta karena kamu terus tertidur sejak tadi," jawab Aiden sambil tersenyum. "Aku tertidur?" Balas Trixie bingung. Sejak kapan dia tertidur? "Kenapa aku tidak ingat apa pun?" "Mungkin karena efek chloroform spray yang membuat kamu disorientasi sesaat. Nanti juga akan ingat," sahut Aiden dengan entengnya, namun sukses membuat Trixie terkejut setengah mati. "Chloroform spray??" Jerit Trixie sambil melotot kesal. "Jadi kamu sengaja membiusku?!" "Yaa karena~ aku tidak ingin kamu tiba-tiba menolak untuk pergi denganku," cengir lelaki itu sambil mengedikkan bahu seolah tanpa rasa bersalah sama sekali. Trixie menghembuskan napas pelan untuk meredakan em
"Ck. Dasar lelaki." Nathan melirik ke arah Monica yang berdiri di sampingnya, yang baru saja berguman dengan nada menggerutu. Wajah wanita itu terlihat sangat kesal melihat pemandangan di depan mata, yang membuatnya sejak tadi berdecak pelan dan memutar kedua bola matanya. Saat ini mereka sedang berada di pelabuhan Puerto de Malaga, demi untuk menjemput Aiden dan Trixie yang baru saja tiba di negara Spanyol. Yacht milik Aiden baru saja merapat, dan sepasang kekasih itu pun berjalan keluar dari dalam kapal sembari bergandengan tangan.Ada beberapa orang penjaga di belakang dan di depan yang mengikuti mereka Tampak dari kejauhan Aiden yang selalu mengajak bicara gadisnya, dengan senyum terkembang yang sejak tadi tak henti menghiasi wajahnya. Siapa pun bisa melihat jika lelaki itu seperti seseorang yang sedang kasmaran, dan kenyataan itu tak pelak membuat Monica semakin kesal. "Nathan." "Ya?" "Kamu lelaki normal, kan?" Nathan mengernyit menatap Monica yang menurutnya mengajukan
Nathan pun mengangguk paham dan melanjutkan laporan hasil penyelidikannya. "Pelayan yang mengenakan bom bunuh diri di tubuhnya itu mendapatkan video ancaman dari seseorang yang akan membunuh keluarganya, kecuali dia membunuh Henry," tutur Nathan. "Videonya sendiri telah menghilang dari ponselnya, tapi kami berhasil melacak titik koordinat si pengirim. Dan... pelakunya adalah Cielo Nostra." Trixie bisa merasakan tubuh Aiden yang mendadak menegang di sebelahnya. Gadis itu pun menoleh dengan agak sedikit mendongak agar dapat mengetahui ada apa dengan Aiden. Bibir lelaki itu terlihat saling merapat, wajahnya kaku dengan rahang tegasnya yang bergerak-gerak seperti seseorang yang menahan geram. "Cielo Nostra, hm?" Ucap Aiden pelan, namun entah mengapa membuat Trixie menjadi merinding. Hilang sudah citra lelaki iseng, mesum dan suka menggoda. Karena yang Trixie lihat saat ini adalah sosok yang berbeda, seolah Aiden memiliki banyak lapisan yang berbeda. "Apa kamu yakin, Nathan?" Lelaki
Trixie hanya bisa terperanjat dalam diam, ketika mobil yang mereka tumpangi kini tengah memasuki sebuah pintu gerbang raksasa dari besi tempa yang sangat tinggi. Mungkinkah tingginya lebih dari 6 meter?? Dan gadis itu pun lebih kaget lagi, saat pintu gerbang besi itu terbuka dengan perlahan... lalu menampakkan isi di dalamnya. Manik sebiru batu safir itu mengerjap. Sosok bangunan megah bertingkat tiga dengan penjagaan puluhan orang di bagian halamannya, membuat Trixie menggeleng pelan hampir tak kentara. Saat mobilnya bergerak semakin masuk ke dalam, Trixie melihat semua penjaga memberikan penghormatan dengan menundukkan kepala ke arah Aiden. Ketika akhirnya mereka sampai di depan tangga lebar menuju ke bagian entrance rumah besar itu, Aiden menuntun Trixie turun dari mobil. Setelah beberapa jam menaiki kereta api yang ternyata seluruh gerbongnya telah dibooking oleh Monica sebagai penjagaan keamanan ekstra ketat, sampailah mereka di sebuah stasiun di bagian utara Kota Madrid,
Suara langkah kaki tegas beberapa orang terdengar menggema di sepanjang lorong sempit yang diterangi cahaya putih kebiruan. Mereka berjalan dengan irama yang seragam, menciptakan aura disiplin dan ketegasan. Di ujung lorong, mereka berhenti di depan sebuah pintu yang tampak seperti lempengan logam hitam mengilap, tampak biasa saja, seolah tak ada yang istimewa.Namun, dalam hitungan detik, permukaan pintu itu berubah. Dari kilatan cahaya halus, titik-titik sinar kebiruan mulai berkumpul dan bergerak, membentuk seraut wajah wanita dengan fitur yang tampak hampir membentuk rupa seorang manusia. Wajah itu tersenyum tipis, sebelum akhirnya berbicara dengan suara yang halus namun tegas."Selamat siang, Mr. Aiden Miller." Suara wanita dalam layar pintu itu terdengar jernih dan penuh ketegasan, disertai dengan kilatan sinar lain yang bergerak-gerak, seakan sedang menganalisis sesuatu.Aiden menatap wajah tersebut tanpa ekspresi. Di balik tatapannya yang tenang, ada kesan familiar terhada
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel