"Dasar anak bodoh!! Bisanya hanya bermain komputer saja!!" PLAAKK!! Suara seperti benda yang jatuh berdebam ke atas lantai terdengar menyebar di udara. Sosok kecil yang tadi dipukul oleh lelaki dewasa itu pun kini terduduk di lantai. Darah mengucur sangat deras dari hidungnya, akibat hantaman keras dari bogem mentah si lelaki dewasa. Tapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak menangis, mengaduh, atau pun meringis kesakitan. Wajahnya tetap datar tanpa ekspresi, seolah ia tidak merasakan sakit sama sekali. Anak lelaki itu mungkin baru berusia delapan tahun, usia yang masih sangat kecil. Namun kemampuan otaknya yang jauh di atas rata-rata orang dewasa, membuatnya menyukai hal-hal yang berhubungan dengan komputer dan teknologi. Dan ayahnya, si lelaki yang baru saja memukulnya, membenci putranya yang hanya berkutat di dalam kamar. Mengutak-atik komputer yang menurutnya tak ada gunanya sama sekali. Anak kecil itu mengusap darah di wajahnya menggunakan punggung tangannya
Wanita itu tertawa kecil mendengar nada gusar putranya. "Baiklah, baiklah. Hm, Marco pasti sedih di atas sana ketika mengetahui bahwa putranya hanya mengakui ayah tirinya saja." Aiden menarik napas dan perlahan menghembuskannya. Ia paling tidak suka jika ibunya mengungkit-ungkit perihal lelaki jahat yang bernama Marco. Sampai mati pun, Aiden hanya akan mengakui bahwa Henry-lah satu-satunya ayahnya. "Aku ingin menanyakan sesuatu kepadamu, Mom." Akhirnya Aiden pun memutuskan untuk tidak lagi berbasa-basi, meskipun sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan ibu kandungnya itu. Tak ada setitik pun rasa yang tersisa untuk wanita ini, sejak dirinya ditinggalkan begitu saja tanpa kata dan berita di usia yang masih kecil. Aiden sangat beruntung karena Henry memberikan kasih sayang yang tidak pernah ia terima baik dari almarhum ayahnya Marco maupun Vivienne, nama ibunya. "Oh ya? Apa itu, Aiden? Apa kamu ingin tahu tentang siapa pembunuh Henry?" Tebak Vivienne dengan jitunya. "Apa itu
"Aiden. Kamu sudah sadar?"Kelopak mata yang perlahan terbuka itu, menunjukkan sepasang bola mata coklat gelap yang masih sama. Pekat dan dingin, meski wajah sang empunya terlihat pucat."Mom...?""Jangan bergerak dulu, kamu masih terluka." Vivienne mengusap kepala bersurai coklat putranya. Sebuah senyuman samar terlukis di wajah wanita itu, namun Aiden bisa menyadari bahwa ada kesedihan yang tak dapat disembunyikan dari wajah sembabnya.Aiden menatap ke sekelilingnya yang serba putih. Bau obat-obatan tercium cukup menyengat, membuatnya yakin bahwa dirinya tengah berada di gedung kesehatan yang dimiliki oleh Cielo Nostra.Seketika anak lelaki itu pun teringat pada apa yang terjadi sebelumnya.Ayahnya yang melemparinya dengan granat tangan dengan dalih 'berlatih'.Dia yang sempat berhasil mengelak dari lemparan pertama, namun tidak berkutik ketika dampak ledakan granat itu membuat telinganya berdenging parah dan serpihan ledakan itu mengggores kulitnya.Kelelahan mental dan fisik luar
Suara tawa renyah anak-anak membuat si wanita yang sedang mengajarkan bahasa Inggris dan matematika itu pun ikut tertawa. Ia baru saja mengeluarkan candaan lucu yang membuat bukan saja anak-anak tertawa, tapi juga seorang wanita lokal yang bertugas menerjemahkan perkataannya ke dalam bahasa Spanyol. Beberapa meter dari tempatnya berada, seorang pria tampan berkaca mata hitam yang sedang duduk di atas batang pohon patah pun ikut tersenyum. Sejak tadi pandangannya tak lepas menatap si wanita cantik bersurai pirang bercahaya bagaikan sinar matahari pagi. "An Angel will always be an Angel," guman sang pria, yang terpukau akan visual sempurna kekasihnya yang sedang mengajari anak-anak lokal yang putus sekolah. Trixie bukan hanya memiliki sosok yang sangat menawan, tapi hatinya pun selembut sutra. Seorang wanita muda yang rela melepaskan karir modellingnya yang sedang berada di puncak, demi fokus mendirikan sebuah badan amal. Dan ketulusannya untuk membantu orang yang membutuhkan pun
"Aku tidak suka makanan ini, bilang sama chef-nya untuk membuatkan makanan yang lain." Nathan hanya bisa menggeretakkan gerahamnya dengan perasaan geram, ketika mendengar perintah Nona-nya yang sejak tadi seolah menguji batas kesabarannya. "Ini sudah menu ke tiga yang dihidangkan untuk Anda," ujar pria muda itu akhirnya, yang masih mencoba untuk bersabar. Bagaimana pun Mr. Aiden Miller telah memintanya untuk menjaga adiknya, dan melakukan segala cara agar Monica tidak mogok makan. Aargh!! Lebih baik ia melawan puluhan musuh dibandingkan harus mengasuh gadis manja ini!! "Kasihanilah chef yang telah susah payah memasak untuk Anda. Ayolah, Nona. Sudah sejak pagi Anda tidak makan, kan?" Bujuk Nathan. Monica melayangkan tatapan malas ke arah makanan yang terhidang di depannya. Sebenarnya perutnya mual dan kepalanya agak pusing, dan yang ia inginkan adalah berbaring di ranjang seharian, tapi makhluk di depannya ini selalu saja membuatnya kesal dengan memaksa makan!! Gadis itu menata
Hanya ingin balas dendam. Itulah alasan utama yang tercetus pertama kali di dalam pikiran Nathan, saat ia hendak memberikan sedikit pelajaran kepada Nona menyebalkan yang bernama Monica Miller ini. Nathan bahkan tak peduli meski dampak dari perbuatannya ini akan membuatnya berada di dalam masalah. Mungkin Mr. Miller akan memukulinya habis-habisan dan menjadikannya samsak hidup, karena telah dengan lancang berani mencium adiknya. Atau bahkan bos besarnya itu akan melemparkan tubuhnya langsung ke kandang singa untuk diterkam dan dimakan hidup-hidup. Namun semua ancaman itu kini tak ia hiraukan sama sekali, karena batas kesabarannya yang telah berulang kali diterabas oleh kelakuan menyebalkan Monica yang membuatnya hampir gila. Aarghh!! Kenapa Mr. Miller memberikan tugas untuk menjaga adiknya?! Nathan merasa ia seperti sedang mengasuh seorang anak kecil yang manja dan banyak maunya! Oke, ia mengerti jika Nona Monica mungkin masih tenggelam dalam kesedihan karena kehilangan ayahny
"Awas saja, akan kuadukan perbuatan si bajingan itu kepada Aiden!" Monica sedang mematut diri sambil menyisir rambutnya yang gelap dan ikal, sejak tadi gerutuan dan makian yang dialamatkan kepada Nathan terus meluncur dari bibirnya. Gadis itu membanting sisir sikat bulat ke atas meja dengan perasaan kesal yang amat sangat, lalu berdiri dari kursi di depan cermin dan melangkah menuju pintu keluar kamarnya. Manik gelap Monica seketika beradu pandang dengan bola mata hijau seorang pria yang berdiri sambil menyandarkan bahu di dinding, ketika gadis itu baru saja membuka pintu kamarnya. Sial. Monica lupa kalau Nathan memang diperintahkan oleh Aiden untuk menjaganya, dan kini ia harus kembali melihat wajah pria menyebalkan itu lagi. Tanpa berkata apa-apa, Monica hanya membuang wajahnya yang sudah merona karena malu teringat bahwa Nathan telah melihat seluruh tubuhnya tanpa busana. Gadis itu melangkah menuju tangga. Ia memutuskan untuk menunggu Aiden di lantai bawah, agar bisa segera m
"Kami menyembunyikan identitas Leon Morgan, adalah karena permintaanmu sendiri! Kami juga tidak menceritakannya saat kamu tidak mengingat apa-apa, juga atas perintah darimu, Aiden Miller sialan!!" *** Aiden terdiam mencoba untuk mencerna kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Monica. Apa?? Monica mengatakan bahwa dirinya sendiri yang memerintahkan untuk menyembunyikan identitas Leon Morgan?? Omong kosong apa ini? "Jangan berkelit dengan melempar batu sembunyi tangan, Monica," desis Aiden dengan manik coklat gelapnya yang menyorot dingin. "Aku yang memerintahkan untuk menyembunyikan identitas Leon? Cih. Ucapanmu itu sungguh tak masuk akal, adikku." "Jangan, Nona!" Nathan mencengkram tangan Monica yang tiba-tiba saja hendak beranjak keluar dari belakang punggungnya. Wajah kesal gadis bersurai gelap itu seolah ingin berkonfrontasi secara langsung dengan Aiden, menantang kakaknya sendiri dan membuat Nathan mencemaskannya. Meskipun adik-kakak, tapi tetap saja Aiden yang se
Sepanjang makan malam itu, Aiden hanya bisa menjaga ekspresi wajahnya datar seperti biasa, padahal dalam hati ia meringis Bagaimana tidak? Tristan Bradwell, salah satu saudara kembar istrinya itu sejak tadi seolah tak lepas menatapnya dengan sangat tajam, seolah ingin mengulitinya hidup-hidup. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan adalah karena perkataan dari putrinya yang bernama Ailee. Aiden pun hanya bisa mendesah pelan sembari mengusap bibirnya dengan serbet. Rasanya ia sudah kenyang, meskipun makanannya belum habis di dalam piringnya. Berbanding terbalik dengan ayahnya, Ailee malah menatap dirinya dengan manik yang berbinar-binar. Gadis kecil berusia 5 tahun itu seolah kini telah resmi menjadi penggemarnya sejak Ailee melihat bagaimana Aiden menghajar empat orang musuhnya di tanah kosong samping villa. "Uncle, ini minumnya." Dengan cekatan, Ailee menuangkan teko kaca bening yang berisi air putih di gelas Aiden yang telah kosong. "Terima kasih, Ailee. Kamu manis se
"AIDEEN!!" Senyum bahagia terkembang di wajah tampan namun penuh lebam itu kepada kekasihnya yang datang menyongsong dirinya sambil berlari. Pelukan erat disertai tangisan penuh kelegaan itu diberikan oleh kekasihnya, membuat Aiden mengangkat tubuh Trixie dan mendaratkan ciuman dengan segenap perasaan cinta yang membuncah di dadanya kepada sosok rupawan ini. "Kamu benar-benar telah kembali..." isak Trixie di sela-sela pagutan bibir mereka. "Aku pasti kembali, Angel. Aku sudah berjanji padamu kan?" Aiden pun semakin memperdalam ciumannya, membuat kedua insan itu larut dalam lautan euforia. Trixie melepaskan bibirnya dan menyusupkan wajahnya di dada bidang Aiden. Ia bisa merasakan irama jantung yang berdetak dengan kuat dan membuatnya semakin terisak. "A-aku mengira... kamu tidak selamat..." Aiden mendaratkan kecupan lembut di puncak kepala Trixie. "Sejujurnya, aku pun tadinya mengira begitu," ungkap Aiden jujur. "Ada masanya aku mengira bahwa langkahku akan terhenti, k
Aiden memang telah mematuhi persyaratan untuk menjadi manusia yang bebas dari jeratan hukum, namun entah kenapa kini hatinya makin terasa kosong. Perasaan bersalah yang menggerogoti batinnya membuat wajah dan tubuhnya membeku layaknya patung. Benarkah apa yang ia lakukan saat ini? Menjadi pembelot ke arah kebenaran, dengan menjatuhkan orang yang seharusnya ia berikan kesetiaan? Aiden melihat dua orang sedang berjalan ke arahnya setelah menuruni salah satu tangga helikopter yang masih melayang di udara. Monica dan Nathan. Mereka datang untuk menjemputnya pulang. "Oh ya, satu lagi." Tiba-tiba Agent Gale kembali berkata. "Pengampunan dari Pemerintah Inggris Raya tidak serta merta memberikan kembali semua kehidupanmu seperti semula, Mr. Miller. Mengingat sepak terjangmu sebelumnya sebagai pimpinan mafia, maka semua asetmu telah diambil alih. Jadi dengan kata lain, kamu telah 'dibangkrutkan'." Monica yang baru saja sampai, seketika membelalakkan mata mendengar perkataan Agent
Hujan salju ternyata telah terjadi sejak Aiden memasuki kediaman milik Ryuuto. Dan kini, di tengah-tengah hujan salju dan deru angin yang meniupkan butirannya ke segala arah, Aiden berdiri berhadapan dengan Ryuuto. Sebilah katana tajam telah berada di tangan mereka, dengan posisi yang sama bersiap waspada. "Ingatkah dengan sumpah setiamu sendiri, Aiden-kun?" Kalimat itu membuat Aiden mendesah pelan. Sumpah setia, adalah bentuk pengabdian seorang murid kepada sensei-nya. "Kitsune no me," guman Aiden pelan. Semua murid Ryuuto telah mengucapkan sumpah setia, yang berupa tak akan pernah menyerang gurunya sendiri. Namun jika itu terjadi, maka mereka harus bertarung dengan kondisi kedua mata yang tertutup, yang disebut dengan istilah kitsune no me. Aiden telah mendapat pelatihan kitsune no me, bahkan ia mendapatkan peringkat pertama. Tapi melawan Ryuuto-sensei yang ahlinya ilmu bertarung dengan mata tertutup, adalah sama halnya dengan mustahil. SRAAKKK!!! Ryuuto melempar ikat kep
Lokasi : Utashinai, Pulau Hokkaido - JepangMusim dingin tahun ini sangat menggigit. Salju yang tebal bagaikan selimut dingin yang bukan saja telah membekukan bumi, tapi juga waktu yang seolah terhenti dalam keheningannya.Setelah berjalan kaki sejauh tiga kilometer dan beberapa kali terperosok ke dalam salju, akhirnya pria itu sampai juga pada tujuannya.Yaitu sebuah rumah yang luas bergaya Jepang dengan bangunan yang didominasi dari bahan kayu.Manik coklat gelap itu pun tercenung menatap pemandangan familier di depannya.Semuanya masih sama. Rumah besar ini sama sekali tak berubah, meski sepuluh tahun telah berlalu sejak ia pergi.Memori masa lalu pun seketika menyerbu ke dalam ingatannya, menghantarkan ribuan kenangan yang telah membentuk jati diri dan turut mengokohkan namanya di dunia hitam kriminal."Aiden-kun!"Suara pria tua yang memanggil namanya dengan nada gembira, membuatnya mengalihkan pandangan ke seseorang yang ternyata telah berdiri di hadapannya sambil tersenyum."Ry
Trixie pun sontak menahan napas saat ibunya memotong perkataannya dengan mengajukan pertanyaan kepada Aiden! Jika saja bisa, rasanya ia ingin sekali menyusut menjadi partikel atom terkecil sekarang. Aiden bermaksud untuk keluar dari persembunyiannya agar dapat menemui Arabella Bradwell secara langsung, namun Trixie menahannya sambil menggelengkan kepala. "Ck. Baiklah. Mungkin untuk saat ini Trixie belum ingin mempertemukan ibunya dengan kekasihnya, bukan begitu?" Cetus Arabella sambil menatap tajam putrinya. "Mom... ini rumit, dan aku butuh waktu," jelas Trixie dengan wajah serius. "Berilah kesempatan kepada kami, Mom. Biarkan Aiden memperbaiki semua dengan caranya sendiri." Ibu dan putrinya yang saling beradu pandang itu pun kemudian tak ada lagi yang bersuara, hingga akhirnya desahan napas pelan Arabella mulai terdengar di udara. "Fine," guman wanita paruh baya elegan itu. "Untuk satu kali ini saja, Mom tidak akan mengadukan kepada ayahmu tentang kedatangan Aiden yang menemuim
Trixie hampir saja larut dalam cumbuan Aiden yang membuat pikirannya melayang, saat tetiba ia teringat akan sesuatu. Wanita itu melepaskan bibirnya dari pagutan Aiden dengan manik biru safirnya yang membelalak lebar seperti orang ketakutan, menghadirkan kernyitan waspada di wajah Aiden. "What's wrong, Angel?" Tanya pria itu sembari diam-diam menyapukan pandangan ke sekitar ruangan kerja Trixie, sebuah reaksi refleks dari seorang petarung di dalam dirinya yang selalu bersiap menghadapi musuh yang setiap saat memunculkan diri. "MOM!!" Pekik Trixie panik, lalu berusaha turun dari gendongan Aiden. "Mom?" Ulang Aiden bingung, tapi ia membiarkan wanita itu melepaskan pelukannya. "Mom... akan datang ke sini. Aargh, aku benar-benar lupa! Cepat sembunyi, Aiden! Aku mau merapikan diri dulu." Trixie buru-buru menyisir rambutnya yang berantakan dengan jemari, lalu mengancingkan kembali blusnya yang tadi dibuka oleh Aiden. Namun ketika ia membalikkan badan, Trixie benar-benar terkejut melih
Tiga minggu pun telah berlalu sejak terakhir kalinya Trixie bertemu dengan Aiden. Wanita itu pun kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa sebagai Direktur Yayasan amal miliknya, meski pikirannya selalu tak fokus dan terpecah. Gara-gara Aiden, sekarang Trixie sering menonton acara berita di televisi. Akhir-akhir ini berita tentang penangkapan salah satu gembong pemimpin mafia obat-obatan terlarang terbesar di dunia cukup menyita perhatiannya. Bukan cuma menggemparkan dunia karena ditemukan berton-ton narkoba di gudangnya, tapi juga mengherankan publik karena gembong mafia itu baru bisa tertangkap setelah dengan bebas beroperasi selama puluhan tahun. Apakah itu ada campur tangan Aiden di dalamnya? Trixie mendesah pelan, lalu berusaha fokus kembali pada laporan data pendanaan yang masuk serta penerima bantuan. Sejak tadi pikirannya melanglang buana kepada Aiden, membuatnya harus mengulang kembali pemeriksaan laporan. Suara ketukan di pintu membuat Trixie menolehkan pandanga
"TRIXIE!!" Seorang wanita yang masih sangat cantik di usianya yang tak lagi muda itu menghambur dan langsung memeluk tubuh Trixie, ketika ia baru saja masuk ke dalam Penthouse miliknya. "Mom?!" Sangat kaget karena kedatangan ibundanya yang tak di sangka-sangka telah berada di tempat tinggalnya di London, Trixie pun melirik Lena yang berada di sampingnya penuh tanya. Sahabatnya itu hanya menggeleng pelan dan mengedikkan bahu, pertanda bahwa ia pun tak tahu menahu akan kehadiran Mrs. Arabella Bradwell, ibunda Trixie yang selama ini tinggal di Indonesia. Manik biru safir Trixie pun semakin membelalak, kala melihat tiga pria yang berada di belakang ibunya. Kedua saudara kembar laki-lakinya, Tristan dan Trevor serta ayahnya, Regan Bradwell. "Apa yang kalian semua lakukan di sini?" Tanya Trixie bingung ketika pulang-pulang dan mendapati seluruh keluarganya berkumpul di tempat tinggalnya. "Kami mendapat kabar dari M15 bahwa kamu telah disandera oleh mafia, Nak." Arabella Bradwel