“Ini tentang cinta pertama. Dia yang membantuku untuk tetap hidup hingga sekarang.”
***
Bianca berjalan sembari memegang keranjang penuh dengan buah-buahan. Sudut bibirnya tak berhenti mengembang karena berhasil mendapatkan buah-buah segar yang berjatuhan di kebun kakeknya. Hujan deras tadi malam sudah membuat apel-apel merah tersebut jatuh sebelum dipetik. Meski begitu, apel tersebut tetap manis karena Bianca sudah mencobanya.
“Akhirnya kakek bisa makan pie apel,” ucap Bianca senang.
Karena terlalu fokus dengan sekeranjang apel yang dipeluknya, dia tak melihat ada sebuah mobil melaju dengan kencang menuju ke arahnya.
Diiiiin! Bunyi klakson mobil membuat Bianca tersentak kaget dan menjatuhkan keranjang hingga apel-apel berserakan di jalan. Terlambat untuknya menghindar, mobil tersebut langsung menabrak tubuh ringkih Bianca hingga ia terlempar beberapa meter.
Mobil itu berhenti sebentar dan mencengker
Bel pintu di rumah Syilea berbunyi. Gadis yang baru saja selesai memasukkan nampan kue ke dalam oven itu langsung keluar dan membuka pintu. Masih menggunakan apron, dia tersenyum lebar saat melihat Henry berdiri di balik pintu. Lelaki tampan dengan coat hitam panjang itu membawa seikat bunga mawar merah di tangan kanannya. Sementara tangan kirinya melambai. “Hai, apa kabar?” Syilea tersipu dan mengangguk. Sejujurnya sudah dua hari mereka tidak bertemu. Di sekolah juga tidak nampak ada Henry sementara saat Syilea menghubunginya, tak ada jawaban sama sekali dari pacarnya. “Silakan masuk,” ucap Syilea. “Bunganya belum diterima,” kata Henry mengulurkan bunga di tangannya. Syilea segera menerima bunga mawar itu. “Terima kasih,” ucapnya tulus. “Sama-sama.” Henry masuk ke dalam. Melepaskan coat yang terpasang di badannya dan menggantungkan pada stand hanger dekat pintu. Dia sudah tidak merasa asing lagi deng
"Ciuman darimu menyelamatkan hidupku, terima kasih."***Langkah kaki Selena terseret ketika dia harus masuk ke kamar John yang sudah berganti menjadi kamar rawat untuk Rain. Hatinya selalu tak sanggup setiap melihat Rain yang belum juga membuka mata. Dirinya merindukan tatapan lembut lelaki itu.Di depan pintu, Selena berdiri memerhatikan Rain yang tak bergerak sama sekali kecuali dadanya yang naik turun karena jantung yang masih berfungsi. Setidaknya itu membuat ia lega karena lelaki itu masih bernapas hingga detik ini.“Elle,” panggil Henry yang sudah berdiri di sampingnya.Selena menoleh pada Henry yang masih mengenakan mantelnya. Adik lelakinya baru saja pulang dari rumah Syilea, sudah pasti.“Hai,” sapa Selena berusaha tersenyum meski jelas kalau itu terlalu dipaksakan.Henry menatap Rain yang tak berdaya. Sejujurnya dia sendiri sangat iba pada lelaki itu. Terlebih bagaimana Selena yang
Dahulu kala, entah berapa ratus tahun yang lalu. Terdapat sebuah hutan mengerikan yang mampu melenyapkan siapa saja yang masuk ke dalamnya. Hutan yang dinamakan Froprain itu tak pernah disapa oleh cahaya matahari. Bukan karena dedaunan yang rindang hingga menggelapkan hutan tersebut, melainkan karena hujan yang tak pernah berhenti.Terdapat sebuah kastil di tengah hutan tersebut. Kastil gelap yang mengerikan. Dianggap sebagai rumah bagi mereka yang putus asa kemudian mati secara perlahan di dalam sana. Tak semua orang bisa mencapai kastil itu kecuali seseorang yang memiliki kekuatan hebat, karena tak semua orang bisa selamat sebelum mencapai tempat mengerikan itu.Henry bergidik ngeri mendengar cerita John tentang hutan kematian. Ia duduk di antara Matt dan Selena di ruang keluarga dengan perapian yang menyala. Tak ada Bianca karena gadis itu pergi entah ke mana.“Menurutmu hutan itu benar-benar ada?” tanya Henry dengan ragu pada Matt.“
Beberapa jam sebelumnya, di saat John masih berada di rumah Danna. Mereka terdiam menatap lilin di atas meja yang bergoyang-goyang karena tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela. Tangan mereka masih berpegangan seolah saling menguatkan tentang masalah ini.“Sepertinya aku memiliki satu ide bodoh,” ucap Danna tiba-tiba.“Apa?” tanya John menatap wajah kekasihnya yang sangat cantik itu.“Bagaimana kalau kita menceritakan tentang hutan Froprain pada Selena?” usulnya.John mengernyit tak mengerti. Kenapa dia harus menceritakan tentang hutan yang ditakuti oleh semua makhluk abadi seperti dirinya.“Kenapa aku harus menceritakan itu pada Selena?” heran John.“Agar Selena pergi ke hutan tersebut,” jawab Danna tanpa beban.“Jangan konyol!” bentak John menarik tangannya yang dipegang Danna. “Aku tak mungkin mengirim anakku pergi ke hutan kematian itu! Aku tak ingi
Tangan Matt mendorong pintu rumah dengan kedua tangannya hingga terbuka dengan kasar. Matanya nyalang memindai seisi rumah. Hening dan senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Seketika hatinya menjadi gelisah kalau seandainya yang dikatakan Bianca adalah suatu kebenaran."Elle!" teriak Matt dengan lantang seraya melangkah masuk dan berjalan terburu-buru.Tak ada jawaban sehingga membuat batinnya resah. Tanpa pikir panjang, ia menaiki anak tangga dengan cepat. Matanya menatap satu pintu yang terbuka tak jauh darinya. Itu adalah kamar Selena. Tanpa ragu dia langsung masuk ke dalam kamar tersebut dan hasilnya tetap nihil. Tidak ada Selena di sana."Elle! Di mana kamu?" teriak Henry dari depan pintu.Matt langsung keluar dari kamar Selena dan melihat wajah panik Henry dan
Selena berdiri tepekur di depan sebuah kastil yang atapnya mengerucut menjulang tinggi ke atas. Persis seperti yang dikatakan dalam buku yang dipegangnya perihal bagaimana kondisi kastil tersebut. Ini bukan sekedar mitos belaka. Hutan Froprain atau biasa disebut dengan hutan kematian benar-benar ada. Awan hitam bergulung-gulung di atas langit. Seolah tak pernah ada siang karena selalu gelap.Lututnya gemetar dan lemas karena terus berlari tanpa henti menerobos melewati hujan. Bukan hanya gerimis yang ditemuinya, sesekali ada badai yang menerjangnya. Seolah alam tak memperbolehkan dirinya mencapai kastil itu. Kastil yang sangat sulit untuk dijamah.Keputusannya sudah sangat bulat untuk meninggalkan sang kekasih. Berada di sisi lelaki itu bukanlah hal yang bagus untuknya. Ia takkan mungkin bisa menahan dirinya yang ingin terus menyentuh Rain. Zat feromon Rain yang begitu sensual selalu menarik dirinya tanpa sadar. Jalan terbaik ini sudah dia ambil meski secara sepihak sa
Danna memberikan senyum miring versi terjahat dirinya saat berhadapan dengan Bianca yang tiba-tiba saja menjadi tamu di Apartemennya malam ini. Sungguh tak terduga dan tak pernah terpikir sebelumnya kalau salah satu anak adopsi dari kekasihnya akan mengunjunginya secara tiba-tiba seperti ini.“Apa yang kau inginkan dari ayahku?” tanya Bianca berdiri tegap dibalik dress hitam panjang menjuntai hingga mata kakinya. Sepatu tinggi berwarna merah maroon begitu cantik ketika berpadu dengan gaunnya. Sementara rambut panjangnya tergerai bergelombang dengan lipstick senada dengan warna alas kaki yang dipakainya.“Bagaimana kau bisa tahu tentangku?” Danna menjawab pertanyaan Bianca dengan pertanyaan juga.Bianca langsung melengos dan memutar bola mata dengan malas. Ia tidak suka setiap pertanyaannya tidak dijawab langsung. Lagipula, pertanyaan bodoh apa itu. Tentu saja dia dengan mudah dapat mengendus hubungan ayahnya dengan penjual crepes it
“Aku akan menjemput Selena,” kata Rain dengan ekspresi serius. Ia menatap John, Matt dan Henry bergantian. John langsung bangkit dari duduk dan mendekati Rain dengan tatapan tak percaya. “Apa yang kau katakan?” tanya lelaki yang sudah berdiri di hadapan Rain. Rain menelan ludahnya menatap mata tajam John. Sekarang ia sadar bahwa lelaki itu bukan bangsa manusia seperti dirinya. Tatapannya begitu nyalang meski tak menunjukkan tanda bahaya. Hanya saja begitu berbeda rasanya. “Aku tidak akan membiarkan Selena dalam bahaya,” kata Rain dengan mantap. Terdengar Matt tertawa pelan dan sinis. Ia lalu ikut berdiri dan berjalan santai mendekati Rain. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan dagunya terangkat dengan angkuh. “Bahkan kita saja tidak tahu apakah Selena bisa selamat melewati hutan itu atau tidak,” kata Matt berusaha meruntuhkan semangat Rain. Ia hanya berpikir bahwa tidak masuk akal apabila seorang manusia mencoba menantang hutan kemati