Bianca duduk di samping Henry, menatap pepohonan di sepanjang jalan lewat jendela mobil yang kacanya sengaja dibuka. Tak banyak bicara setelah dia setuju untuk kembali ke Breavork untuk menjemput Selena. Walau sebenci apapun gadis itu pada Selena, tetap saja mereka bersaudara. Kebersamaan mereka selama beratus-ratus tahun tak dapat dikikis hanya karena ego cemburu yang besar.
Henry pun juga tak ingin mengajak Bianca bicara. Ia tak ingin salah kata dan membuat saudarinya merajuk lagi. Sekarang saja Bianca masih diam dengan wajah merengut. Sesekali dia melirik gadis berambut panjang dan lurus di sampingnya.
“Apa kita harus bersama dengan manusia itu untuk menjemput Elle?” tanya Bianca akhirnya buka suara.
Henry mengangguk dengan tangan masih memegang setir mobil. “Ya. Dia yang begitu keras kepala ingin menjemput Selena,” terangnya.
“Kalau dia tahu siapa Selena, takkan mungkin akan melakukan ini,” cibir Bianca dengan kesal
Henry dan Bianca tak memiliki banyak waktu. Mereka harus pulang sekarang agar bisa memberitahukan berita buruk itu pada John dan Matt. Yang mereka takutkan adalah keselamatan Rain yang melewati bebatuan besar dan bukit terjal. Belum lagi badai yang bisa saja tiba-tiba datang dan menghantam tubuh lemah manusia itu.Seperti tahu firasat buruk yang akan dibawa oleh Henry dan Bianca, John sudah berdiri di depan rumah dengan perasaan waswas. Di sampingnya ada Matt yang berdiri tegap tak bergerak, hanya matanya saja yang mengikuti arah mobil Henry yang masuk ke dalam.Henry langsung menginjak rem kaki dan Bianca keluar terlebih dahulu seraya menggenggam selembar kertas.“Bianca,” sapa John mendekati Bianca yang berjalan ke arahnya.“Ayah. Lihat ini!” kata Bianca memberikan surat itu. John membaca sepintas kemudian memejamkan mata. Ia ingin marah karena sikap keras kepala Rain yang ingin bergerak sendiri.Matt mengambil alih kertas
Pagi kembali menyapa, hari-hari Selena tak banyak berubah. Semua tetap seperti itu-itu saja, membosankan dan rindu. Rindu pada Rain dan seluruh keluarganya. Ia berjalan menuju balkon dan menatap langit gelap, sama seperti yang sudah-sudah. Tak mungkin ia mengharap cahaya matahari sekarang, itu mustahil.Tangan Selena memegang sisi pagar pembatas balkon yang sangat usang. Wajahnya sendu karena begitu merindukan suara berisiknya Bianca dan Henry. Setiap pagi seperti ini, dia pasti akan mendengarkan ocehan adik-adiknya itu. Entah Bianca yang berebut tempat duduk dengan Matt, namun selalu kalah. Atau Henry yang sibuk menyiapkan bekal sarapan untuk dirinya. Semua terasa hampa sekarang. Terasa asing dan sunyi.“Aku rindu mereka,” ucap Selena dengan suara lirih. Dia hanya bisa berbicara pada dirinya sendiri.*
Bianca, Henry, Matt dan John turun dari mobil mereka setelah memakai jas hujan masing-masing. Sekarang di depan mata mereka adalah jalan masuk menuju hutan Froprain. Tampak begitu menyeramkan ketika tak ada cahaya mentari sama sekali di atas kepala mereka. Sejak dua kilometer menuju tepi hutan kematian, mereka sudah disuguhkan dengan rintik hujan. “Kita harus masuk ke dalam?” tanya Bianca yang sedikit ciut nyalinya ketika melihat pemandangan yang menyeramkan. Batang-batang pohon besar yang berlumut dan jelas sekali tempat itu tak terjamah oleh manusia. Mungkin semua orang ketika melewati jalur jalan raya itu selalu berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa. Bahkan di tepi jalan ada papan peringatan bahwa di sana adalah kawasan rawan kecelakaan. Benar kata orang-orang, semua yang masuk ke dalam sana hanyalah untuk orang yang sudah putus asa dan tak ada harapan, “Kau takut?” tanya Henry menatap wajah Bianca yang terus menggigit bibi
“Setelah sekian lama kau tak bertemu dengan kekasih hati. Kini ia ada di hadapanmu. Saatnya kau melepas semua kerinduan dengan pelukan erat.”***Selena tercenung memerhatikan Rain yang tidak bergerak sama sekali. Badan lelaki yang begitu atletis itu terbaring di dekat perapian yang menyala. Di atas karpet tebal dengan penutup kain berbahan sutera, tentu saja akan membuat Rain jauh lebih nyaman daripada di atas rumput dan di bawah guyuran hujan tadi.Mata Selena tak teralihkan dari wajah Rain yang tak sepucat tadi. Tak menyangka ia bisa melihat wajah itu lagi. Lengkung bibir Selena ditarik ke atas menatap paras yang dia rindukan. Ingin rasanya ia menyentuh Rain tapi ditahannya.Sejak melihat Rain yang tergeletak tak berdaya, Selena langsung kembali ke rumah untuk mengambil selimut agar kulit mereka tak bersentuhan. Selena tak ingin menyakiti Rain dan membuat lelaki itu tambah sekarat.Sekarang sudah tiga jam sejak Rain ditemuka
"Karena kamu vampir." Rain mengatakan kalimat mengejutkan itu tanpa mengalihkan pandangan dari wajah selena.Pupil mata Selena membulat sempurna saat mendengar itu. Betapa dirinya sangat terkejut karena tak ada satu orang pun yang dia beritahu tentang identitas asli dirinya."A–apa maksudmu?" tanya Selena pura-pura tak mengerti. Ia mengalihkan pandangan dan enggan menatap langsung Rain."Aku sudah tahu semuanya," bisik Rain lagi.Selena memberanikan diri menatap Rain. Tatapan teduh dan sendu itu membuat dirinya tak dapat mengelak lagi.Apa aku harus mengatakan semuanya?Selena mendorong pelan tubuh Rain agar tak mengurungnya dengan tangan lagi. Kepalanya
Aku tidak tahu kalau akhirnya akan tetap bisa bersama Rain seperti ini. Mencium bibirnya. Memainkan lidahku di antara rongga mulutnya. Bahkan membiarkan tangannya meraba bagian sensitif dariku. Tak apa … aku akan coba menikmatinya.Selena berusaha untuk tetap berpegang pada kewarasannya ketika permainan Rain semakin liar.Tanpa sehelai benang pun yang melapisi tubuh mereka berdua. Kamar luas dengan tempat tidur yang tak pernah disentuh Selena, sekarang menjadi saksi."Ngh … hhahh … hhahh … Rain," racau Selena ketika jari tengah Rain tengah berpacu dengan suara basah di area sensitif Selena. Sesekali lelaki itu memainkan klitoris milik kekasihnya sehingga membuat Selena harus terpejam dan mengerang menjambak bagian belakang rambut Rain.
Bianca sudah tak dapat melanjutkan perjalanannya lagi. Ia sudah sangat lemah dengan kondisi yang dipaksakan seperti itu. Bahkan untuk melangkah saja ia sudah tak memiliki kekuatan.“Aku sangat haus,” rintih gadis itu lalu terduduk di atas rumput yang basah.Rintik-rintik kecil membasahi mantel yang mereka kenakan. Henry yang sedari tadi berada di sisi Bianca langsung berteriak memanggil Matt dan John agar mereka kembali.“Bia … kau harus istirahat sebentar,” kata Henry sedikit panik.Bianca terpejam dan mengangguk lemah. Sekali lagi mereka melihat tenda yang berjarak sekitar dua ratus meter darinya. “Kita bisa ke sana!” kata Henry menunjuk tenda itu.Bianca menahan tangan Henry dan m
"Akal sehat tak akan berguna ketika cinta sudah membekap diri."***Pilihan yang sulit menimpa Matt sekarang. Bianca yang kritis dan hatinya yang menolak untuk menyentuh gadis yang dianggapnya seperti adik sendiri itu.Matt, gunakan akal sehatmu. Ingat, dia Bianca adalah adikmu meski tak sedarah. Tetap saja ini akan menjadi hubungan yang sangat canggung.Matt ingin keluar tenda dan meninggalkan Bianca, akan tetapi hati nuraninya tak tega."Ah, damn!" rutuknya ketika sudah berada di luar tenda dan membiarkan Bianca di dalam sana.Logikanya terus berperang dengan batinnya. Sementara kehadiran John dan Henry tidak juga muncul. Ia semakin gelisah.Apa yang harus aku lakukan? Apa aku akan memberikan zat feromonku padanya atau—Matt mengacak rambutnya dengan kuat. Mendadak kepalanya sangat sakit diberikan pilihan sulit seperti itu.Samar, terdengar suara Bianca memanggil lirih nama Matt. Lelaki itu harus kemb