Beberapa jam sebelumnya, di saat John masih berada di rumah Danna. Mereka terdiam menatap lilin di atas meja yang bergoyang-goyang karena tertiup angin masuk lewat ventilasi jendela. Tangan mereka masih berpegangan seolah saling menguatkan tentang masalah ini.
“Sepertinya aku memiliki satu ide bodoh,” ucap Danna tiba-tiba.
“Apa?” tanya John menatap wajah kekasihnya yang sangat cantik itu.
“Bagaimana kalau kita menceritakan tentang hutan Froprain pada Selena?” usulnya.
John mengernyit tak mengerti. Kenapa dia harus menceritakan tentang hutan yang ditakuti oleh semua makhluk abadi seperti dirinya.
“Kenapa aku harus menceritakan itu pada Selena?” heran John.
“Agar Selena pergi ke hutan tersebut,” jawab Danna tanpa beban.
“Jangan konyol!” bentak John menarik tangannya yang dipegang Danna. “Aku tak mungkin mengirim anakku pergi ke hutan kematian itu! Aku tak ingi
Tangan Matt mendorong pintu rumah dengan kedua tangannya hingga terbuka dengan kasar. Matanya nyalang memindai seisi rumah. Hening dan senyap. Tak ada siapa-siapa di sana. Seketika hatinya menjadi gelisah kalau seandainya yang dikatakan Bianca adalah suatu kebenaran."Elle!" teriak Matt dengan lantang seraya melangkah masuk dan berjalan terburu-buru.Tak ada jawaban sehingga membuat batinnya resah. Tanpa pikir panjang, ia menaiki anak tangga dengan cepat. Matanya menatap satu pintu yang terbuka tak jauh darinya. Itu adalah kamar Selena. Tanpa ragu dia langsung masuk ke dalam kamar tersebut dan hasilnya tetap nihil. Tidak ada Selena di sana."Elle! Di mana kamu?" teriak Henry dari depan pintu.Matt langsung keluar dari kamar Selena dan melihat wajah panik Henry dan
Selena berdiri tepekur di depan sebuah kastil yang atapnya mengerucut menjulang tinggi ke atas. Persis seperti yang dikatakan dalam buku yang dipegangnya perihal bagaimana kondisi kastil tersebut. Ini bukan sekedar mitos belaka. Hutan Froprain atau biasa disebut dengan hutan kematian benar-benar ada. Awan hitam bergulung-gulung di atas langit. Seolah tak pernah ada siang karena selalu gelap.Lututnya gemetar dan lemas karena terus berlari tanpa henti menerobos melewati hujan. Bukan hanya gerimis yang ditemuinya, sesekali ada badai yang menerjangnya. Seolah alam tak memperbolehkan dirinya mencapai kastil itu. Kastil yang sangat sulit untuk dijamah.Keputusannya sudah sangat bulat untuk meninggalkan sang kekasih. Berada di sisi lelaki itu bukanlah hal yang bagus untuknya. Ia takkan mungkin bisa menahan dirinya yang ingin terus menyentuh Rain. Zat feromon Rain yang begitu sensual selalu menarik dirinya tanpa sadar. Jalan terbaik ini sudah dia ambil meski secara sepihak sa
Danna memberikan senyum miring versi terjahat dirinya saat berhadapan dengan Bianca yang tiba-tiba saja menjadi tamu di Apartemennya malam ini. Sungguh tak terduga dan tak pernah terpikir sebelumnya kalau salah satu anak adopsi dari kekasihnya akan mengunjunginya secara tiba-tiba seperti ini.“Apa yang kau inginkan dari ayahku?” tanya Bianca berdiri tegap dibalik dress hitam panjang menjuntai hingga mata kakinya. Sepatu tinggi berwarna merah maroon begitu cantik ketika berpadu dengan gaunnya. Sementara rambut panjangnya tergerai bergelombang dengan lipstick senada dengan warna alas kaki yang dipakainya.“Bagaimana kau bisa tahu tentangku?” Danna menjawab pertanyaan Bianca dengan pertanyaan juga.Bianca langsung melengos dan memutar bola mata dengan malas. Ia tidak suka setiap pertanyaannya tidak dijawab langsung. Lagipula, pertanyaan bodoh apa itu. Tentu saja dia dengan mudah dapat mengendus hubungan ayahnya dengan penjual crepes it
“Aku akan menjemput Selena,” kata Rain dengan ekspresi serius. Ia menatap John, Matt dan Henry bergantian. John langsung bangkit dari duduk dan mendekati Rain dengan tatapan tak percaya. “Apa yang kau katakan?” tanya lelaki yang sudah berdiri di hadapan Rain. Rain menelan ludahnya menatap mata tajam John. Sekarang ia sadar bahwa lelaki itu bukan bangsa manusia seperti dirinya. Tatapannya begitu nyalang meski tak menunjukkan tanda bahaya. Hanya saja begitu berbeda rasanya. “Aku tidak akan membiarkan Selena dalam bahaya,” kata Rain dengan mantap. Terdengar Matt tertawa pelan dan sinis. Ia lalu ikut berdiri dan berjalan santai mendekati Rain. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan dagunya terangkat dengan angkuh. “Bahkan kita saja tidak tahu apakah Selena bisa selamat melewati hutan itu atau tidak,” kata Matt berusaha meruntuhkan semangat Rain. Ia hanya berpikir bahwa tidak masuk akal apabila seorang manusia mencoba menantang hutan kemati
Rain menatap lembut wajah gadis di hadapannya. Begitu sempurna, bercahaya meski terkesan pucat. Tangannya menggenggam erat tangan gadis yang duduk di pangkuannya. Sementara gadis itu terus berceloteh menceritakan masa kecil padanya.Rain betah berlama-lama mendengarkan suara Selena. Begitu merdu dan indah padahal tak sedang bernyanyi. Hanya saja seperti lonceng kebahagiaan, suara Selena mampu meredam semua kesedihan yang dialami Rain selama ini.“Kau tahu … dari semua lelaki yang pernah kutemui, hanya kamu yang mampu membuatku betah untuk ditatap,” ujar Selena tersenyum.Satu tangannya yang masih bebas tak digenggam Rain tampak sibuk memainkan rambut lelaki itu. Sedangkan Rain terus tersenyum menatap wajah bidadari itu dari jarak dekat.“Benarkah?” tanya Rain pura-pura tidak percaya.Selena mengangguk yakin. Ia terlihat seperti anak kecil yang sibuk memainkan surai hitam di kepala pacarnya. “Aku bahkan tak yakin
John kembali ke rumah saat pagi menyapa. Dua anak lelakinya tampak berdiri di depan pintu menyambut kedatangan ayahnya. Hanya ada dua sekarang, padahal sebelumnya ada empat anak yang selalu berisik.Rumah terasa begitu membosankan karena tidak terdengar suara cerewet Bianca dan kalimat marah-marah yang dilontarkan oleh Selena. Meski begitu, mereka akur sewaktu-waktu. Selena yang bersikap dingin, tak selamanya bersikap acuh ketika Bianca pernah mengalami kesakitan pada bagian perutnya karena terlalu banyak minum darah hewan. Selena dengan sigap membantu ketika tak ada siapa pun di dalam rumah.Begitu pula sebaliknya, meski Selena selalu bersikap dingin dan benci dengan semua perhatian keluarganya, ia tetap saja mendengarkan kalimat celetukan Bianca agar memakai tas berwarna cerah ketika mereka harus menghadiri sebuah pesta beberapa tahun lalu.John tersenyum pahit melihat Matt dan Henry yang segera memeluk dirinya. Mereka bertiga tengah mengalami situasi yang ber
Henry tahu di mana Bianca berada. Selama ini yang paling dekat dengan gadis itu adalah dirinya. Jadi, tak susah untuk menemukannya.Terlebih sebelumnya Bianca pernah mengatakan perihal rindu kampung halamannya. Di sana terdapat makam kakek tercintanya. Pastilah sekarang gadis itu kabur ke sana, pikir Henry.Jarak antara Breavork dan kampung halaman Bianca lumayan jauh. Ia harus mengemudi mobil pribadi miliknya yang telah tersimpan selama ini. Hanya sendirian dan tak ditemani siapa-siapa.Sementara ia tengah menyetir dengan kecepatan tinggi demi mengejar waktu, sebuah telepon masuk ke HP miliknya. Henry melirik sepintas siapa yang menelepon dirinya. Nama Syilea tertera di layar HP."Oh, gosh!" gerutu Henry yang melupakan kekasihnya.Sudah berhari-hari ia tak mengunjungi Syilea karena masalah keluarganya. Pasti sekarang gadis itu begitu cemas dengan menghilangnya Henry. Terlebih saat tak ada Selena dan Matt di sekolah. Itu memanc
Bianca duduk di samping Henry, menatap pepohonan di sepanjang jalan lewat jendela mobil yang kacanya sengaja dibuka. Tak banyak bicara setelah dia setuju untuk kembali ke Breavork untuk menjemput Selena. Walau sebenci apapun gadis itu pada Selena, tetap saja mereka bersaudara. Kebersamaan mereka selama beratus-ratus tahun tak dapat dikikis hanya karena ego cemburu yang besar.Henry pun juga tak ingin mengajak Bianca bicara. Ia tak ingin salah kata dan membuat saudarinya merajuk lagi. Sekarang saja Bianca masih diam dengan wajah merengut. Sesekali dia melirik gadis berambut panjang dan lurus di sampingnya.“Apa kita harus bersama dengan manusia itu untuk menjemput Elle?” tanya Bianca akhirnya buka suara.Henry mengangguk dengan tangan masih memegang setir mobil. “Ya. Dia yang begitu keras kepala ingin menjemput Selena,” terangnya.“Kalau dia tahu siapa Selena, takkan mungkin akan melakukan ini,” cibir Bianca dengan kesal