Danna memberikan senyum miring versi terjahat dirinya saat berhadapan dengan Bianca yang tiba-tiba saja menjadi tamu di Apartemennya malam ini. Sungguh tak terduga dan tak pernah terpikir sebelumnya kalau salah satu anak adopsi dari kekasihnya akan mengunjunginya secara tiba-tiba seperti ini.
“Apa yang kau inginkan dari ayahku?” tanya Bianca berdiri tegap dibalik dress hitam panjang menjuntai hingga mata kakinya. Sepatu tinggi berwarna merah maroon begitu cantik ketika berpadu dengan gaunnya. Sementara rambut panjangnya tergerai bergelombang dengan lipstick senada dengan warna alas kaki yang dipakainya.
“Bagaimana kau bisa tahu tentangku?” Danna menjawab pertanyaan Bianca dengan pertanyaan juga.
Bianca langsung melengos dan memutar bola mata dengan malas. Ia tidak suka setiap pertanyaannya tidak dijawab langsung. Lagipula, pertanyaan bodoh apa itu. Tentu saja dia dengan mudah dapat mengendus hubungan ayahnya dengan penjual crepes it
“Aku akan menjemput Selena,” kata Rain dengan ekspresi serius. Ia menatap John, Matt dan Henry bergantian. John langsung bangkit dari duduk dan mendekati Rain dengan tatapan tak percaya. “Apa yang kau katakan?” tanya lelaki yang sudah berdiri di hadapan Rain. Rain menelan ludahnya menatap mata tajam John. Sekarang ia sadar bahwa lelaki itu bukan bangsa manusia seperti dirinya. Tatapannya begitu nyalang meski tak menunjukkan tanda bahaya. Hanya saja begitu berbeda rasanya. “Aku tidak akan membiarkan Selena dalam bahaya,” kata Rain dengan mantap. Terdengar Matt tertawa pelan dan sinis. Ia lalu ikut berdiri dan berjalan santai mendekati Rain. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana dan dagunya terangkat dengan angkuh. “Bahkan kita saja tidak tahu apakah Selena bisa selamat melewati hutan itu atau tidak,” kata Matt berusaha meruntuhkan semangat Rain. Ia hanya berpikir bahwa tidak masuk akal apabila seorang manusia mencoba menantang hutan kemati
Rain menatap lembut wajah gadis di hadapannya. Begitu sempurna, bercahaya meski terkesan pucat. Tangannya menggenggam erat tangan gadis yang duduk di pangkuannya. Sementara gadis itu terus berceloteh menceritakan masa kecil padanya.Rain betah berlama-lama mendengarkan suara Selena. Begitu merdu dan indah padahal tak sedang bernyanyi. Hanya saja seperti lonceng kebahagiaan, suara Selena mampu meredam semua kesedihan yang dialami Rain selama ini.“Kau tahu … dari semua lelaki yang pernah kutemui, hanya kamu yang mampu membuatku betah untuk ditatap,” ujar Selena tersenyum.Satu tangannya yang masih bebas tak digenggam Rain tampak sibuk memainkan rambut lelaki itu. Sedangkan Rain terus tersenyum menatap wajah bidadari itu dari jarak dekat.“Benarkah?” tanya Rain pura-pura tidak percaya.Selena mengangguk yakin. Ia terlihat seperti anak kecil yang sibuk memainkan surai hitam di kepala pacarnya. “Aku bahkan tak yakin
John kembali ke rumah saat pagi menyapa. Dua anak lelakinya tampak berdiri di depan pintu menyambut kedatangan ayahnya. Hanya ada dua sekarang, padahal sebelumnya ada empat anak yang selalu berisik.Rumah terasa begitu membosankan karena tidak terdengar suara cerewet Bianca dan kalimat marah-marah yang dilontarkan oleh Selena. Meski begitu, mereka akur sewaktu-waktu. Selena yang bersikap dingin, tak selamanya bersikap acuh ketika Bianca pernah mengalami kesakitan pada bagian perutnya karena terlalu banyak minum darah hewan. Selena dengan sigap membantu ketika tak ada siapa pun di dalam rumah.Begitu pula sebaliknya, meski Selena selalu bersikap dingin dan benci dengan semua perhatian keluarganya, ia tetap saja mendengarkan kalimat celetukan Bianca agar memakai tas berwarna cerah ketika mereka harus menghadiri sebuah pesta beberapa tahun lalu.John tersenyum pahit melihat Matt dan Henry yang segera memeluk dirinya. Mereka bertiga tengah mengalami situasi yang ber
Henry tahu di mana Bianca berada. Selama ini yang paling dekat dengan gadis itu adalah dirinya. Jadi, tak susah untuk menemukannya.Terlebih sebelumnya Bianca pernah mengatakan perihal rindu kampung halamannya. Di sana terdapat makam kakek tercintanya. Pastilah sekarang gadis itu kabur ke sana, pikir Henry.Jarak antara Breavork dan kampung halaman Bianca lumayan jauh. Ia harus mengemudi mobil pribadi miliknya yang telah tersimpan selama ini. Hanya sendirian dan tak ditemani siapa-siapa.Sementara ia tengah menyetir dengan kecepatan tinggi demi mengejar waktu, sebuah telepon masuk ke HP miliknya. Henry melirik sepintas siapa yang menelepon dirinya. Nama Syilea tertera di layar HP."Oh, gosh!" gerutu Henry yang melupakan kekasihnya.Sudah berhari-hari ia tak mengunjungi Syilea karena masalah keluarganya. Pasti sekarang gadis itu begitu cemas dengan menghilangnya Henry. Terlebih saat tak ada Selena dan Matt di sekolah. Itu memanc
Bianca duduk di samping Henry, menatap pepohonan di sepanjang jalan lewat jendela mobil yang kacanya sengaja dibuka. Tak banyak bicara setelah dia setuju untuk kembali ke Breavork untuk menjemput Selena. Walau sebenci apapun gadis itu pada Selena, tetap saja mereka bersaudara. Kebersamaan mereka selama beratus-ratus tahun tak dapat dikikis hanya karena ego cemburu yang besar.Henry pun juga tak ingin mengajak Bianca bicara. Ia tak ingin salah kata dan membuat saudarinya merajuk lagi. Sekarang saja Bianca masih diam dengan wajah merengut. Sesekali dia melirik gadis berambut panjang dan lurus di sampingnya.“Apa kita harus bersama dengan manusia itu untuk menjemput Elle?” tanya Bianca akhirnya buka suara.Henry mengangguk dengan tangan masih memegang setir mobil. “Ya. Dia yang begitu keras kepala ingin menjemput Selena,” terangnya.“Kalau dia tahu siapa Selena, takkan mungkin akan melakukan ini,” cibir Bianca dengan kesal
Henry dan Bianca tak memiliki banyak waktu. Mereka harus pulang sekarang agar bisa memberitahukan berita buruk itu pada John dan Matt. Yang mereka takutkan adalah keselamatan Rain yang melewati bebatuan besar dan bukit terjal. Belum lagi badai yang bisa saja tiba-tiba datang dan menghantam tubuh lemah manusia itu.Seperti tahu firasat buruk yang akan dibawa oleh Henry dan Bianca, John sudah berdiri di depan rumah dengan perasaan waswas. Di sampingnya ada Matt yang berdiri tegap tak bergerak, hanya matanya saja yang mengikuti arah mobil Henry yang masuk ke dalam.Henry langsung menginjak rem kaki dan Bianca keluar terlebih dahulu seraya menggenggam selembar kertas.“Bianca,” sapa John mendekati Bianca yang berjalan ke arahnya.“Ayah. Lihat ini!” kata Bianca memberikan surat itu. John membaca sepintas kemudian memejamkan mata. Ia ingin marah karena sikap keras kepala Rain yang ingin bergerak sendiri.Matt mengambil alih kertas
Pagi kembali menyapa, hari-hari Selena tak banyak berubah. Semua tetap seperti itu-itu saja, membosankan dan rindu. Rindu pada Rain dan seluruh keluarganya. Ia berjalan menuju balkon dan menatap langit gelap, sama seperti yang sudah-sudah. Tak mungkin ia mengharap cahaya matahari sekarang, itu mustahil.Tangan Selena memegang sisi pagar pembatas balkon yang sangat usang. Wajahnya sendu karena begitu merindukan suara berisiknya Bianca dan Henry. Setiap pagi seperti ini, dia pasti akan mendengarkan ocehan adik-adiknya itu. Entah Bianca yang berebut tempat duduk dengan Matt, namun selalu kalah. Atau Henry yang sibuk menyiapkan bekal sarapan untuk dirinya. Semua terasa hampa sekarang. Terasa asing dan sunyi.“Aku rindu mereka,” ucap Selena dengan suara lirih. Dia hanya bisa berbicara pada dirinya sendiri.*
Bianca, Henry, Matt dan John turun dari mobil mereka setelah memakai jas hujan masing-masing. Sekarang di depan mata mereka adalah jalan masuk menuju hutan Froprain. Tampak begitu menyeramkan ketika tak ada cahaya mentari sama sekali di atas kepala mereka. Sejak dua kilometer menuju tepi hutan kematian, mereka sudah disuguhkan dengan rintik hujan. “Kita harus masuk ke dalam?” tanya Bianca yang sedikit ciut nyalinya ketika melihat pemandangan yang menyeramkan. Batang-batang pohon besar yang berlumut dan jelas sekali tempat itu tak terjamah oleh manusia. Mungkin semua orang ketika melewati jalur jalan raya itu selalu berdoa dalam hati agar tidak terjadi apa-apa. Bahkan di tepi jalan ada papan peringatan bahwa di sana adalah kawasan rawan kecelakaan. Benar kata orang-orang, semua yang masuk ke dalam sana hanyalah untuk orang yang sudah putus asa dan tak ada harapan, “Kau takut?” tanya Henry menatap wajah Bianca yang terus menggigit bibi