Tepati janji, Jena sudah sampai di rumah megah Maden di jam setengah enam pagi, ia meminta kunci mobil kepada salah satu Maid dan segera berangkat menuju ke pasar grosir. Ia tak mau ke supermarket, karena kualitas kesegaran sayur dan buah terjamin di pasar grosir itu. Tiga puluh menit kemudian, Jena sampai di lokasi pasar. Ia berjalan sambil meminum sisa kopi dan roti yang ia beli diperjalanan tadi.
Matanya melirik ke nama toko yang sudah ia hafal betul. King fruits, toko buah-buahan milik Leon, seorang kenalan lama dirinya semenjak pindah ke Newyork. Sapaan hangat diterima Jena dari Leon yang tampak semakin tua dengan waena silver di rambutnya.
"Apa kabar gadis cantik," sapa Leon sambil menepuk bahu Jena.
"Baik Paman, Bibi mana? Aku lama tidak ke sini, maafkan aku Paman," Jena mengambil keranjang dan memasukan buah-buahan yang sudah ia catat di dalam kepalanya.
"Kau sibuk Jena, Paman dan Bibi tau, tak mudah menutup Cafemu itu, semoga kerugianmu bisa tertutupi dengan cepat ya,"
Jena menoleh sambil tersenyum. "Sudah ada gantinya, aku sekarang bekerja sebagai juru masak keluarga kaya raya, untuk itu, aku butuh buah-buahan segar Paman," Jena mengedipkan sebelah matanya. Leon tertawa.
"Ambilah, pilih, kau bisa terus percaya dengan kualitas buah di sini, Jena sayang," Leon melempar buah pisang ke arah Jena yang ia tangkap dengan tepat, tak meleset.
"Tentu, terima kasih, ini gratis 'kan?" Jena mengangkat buah pisang di tangannya ke arah Leon. Anggukan Leon menjadi jawabannya.
"Paman, apa pesanan ku sudah bisa ku ambil?" Jena menoleh, suara bariton seorang pria membuatnya penasaran. Namun, rasa penasaran itu menguap setelah ia melihat sosok pemilik suara itu.
'Dia! Oh Tuhan,'
Jena menunduk sambil memasukan tiga kotam strawbery ke dalam keranjang. Lalu melipir ke aeah lain, mengjindar kontak mata dengan pria tersebut. Drew, koki terkenal itu dengan wajah dan pembawaan angkuh luar biasa.
"Ah! Sudah siap tuan Dew. Biar anak buah kami yabg membawa ke mobilmu, apa kau butuu buah lain? Tampaknya, kau begitu kacau,"
"Tidak. Cukup buah yang kupesan. Dan, ya, kacau sedikit. Ada gadis yang mengacak-ngacak makananku dan membuatku terus berfikir di mana letak kesalahanku. Aku pergi, teri.a kasih, kirim gagihan ke restoranku, Paman." Dengan ketus Drew berbigata kepada Leon. Pria tua itu seakan sudah paham, ia lalu melambaikan tangan dan beralih ke Jena lagi.
"Sudah kau pilih, Jen?" Leon menghampiri. Jena mengangguk.
"Paman, apa kau kenal pria tadi?" tanya Jena dengan suara pelan. Leon mengangguk.
"Apa dia semenyeramkan itu?" Kedua mata Jena menelisik. Leon mengangguk.
"Jika yabg kau maksud angkuh dan sombong. Jelas. Lihat saja cara ia bernicara, berjalan, dan menatap. Bahkan, semut pun enggan mendekat, tapi, dia pelanggan tetapku, jadi, tetap ku layani dengan ramah,"
Jena menganghuk paham. Ia lalu menyerahkan keranjang dan membayar belanjaannya. Lokasi lain masih harus ia telurusi, kali ini toko sayuran, Jena harua membeli beberapa bahan penting saja, yang memang harus segar saat dimasak.
Dengan perlahan Jena membawa dua kantung besar berisi belanjaannya hingga ke parkiran mobil, ia menatap sekeliling, berharap tak melihat atau bertemu dengan Drew. Ia bisa mati kutu jika sampai bertemu dengan pria itu. Membayangkan aura dinginnya saja sudah membuatnya bergidik ngeri. Bagaimana jika berhadapan langsung.
Jena memasukan belanjaannya di jok belakang, sementara ia harus kembali lagi ke dalam area pasar untuk membeli bahan membuat kue dan puding.
"Aw!" Jena memekik. Ia melihat ke pergelangan tangan kirinya. Lalu kedua bola matanya berjalan ke arah tangan kekar dan merambat hingga ke kedua netra gelap itu.
"Kau. Kau wanita itu, 'kan!" ucap Ketus Drew. Jena gelagapan. Ia melepas cengkraman tangan Drew dan berlari keluar pasar. Drew mengejarnya. Terjadilah adegan kejar-kejaran di area pasar,
"Bukan! Aku bukan orang itu!" Teriak Jena dengan bodohnya.
"Berhenti kau!" Teriak Drew. Jena berdebar hebat. Ia takut akan dituntut untuk tindakannya karena sudah mengacak-ngacak masakannya. Lari Jena semakin kencang, ia menghindar, hingga sosok Drew tertinggal di belakang.
Jena mengatur nafasnya, ia memegang dadanya yang berdebar hebat.
"Hampir saja," Jena lalu membuka pintu mobil. Ia segera masuk dan menutup pintu. Namun gerakannya terhenti saat Drew sudah berdiri di sisi pintu dan menahannya supaya tak tertutup.
"Penjahat kecil. Turun." Perintah Drew. Jena menggeleng.
"Untuk apa. Siapa kau! Berani memerintahku!" Jena menolak. Pikirannga kacau, ia hanya ingin segera pergi dari sana.
Kekehan Drew terdengar. Dengan kuat, ia menarik lengan Jena dan wanita itu keluar dari mobil sambil meringis. Jena menendang tulang kering Drew yang justru membuat Drew hanya tersenyum sinis.
"Kau. Sudah berani mengacak-ngacak masakanku. Siapa kamu!" Bentaknya. Jena menatap dua netre hitam legam itu, warnanya sama dengan rambut hitam lebat miliknya juga.
Kekehan sinis Jena membuat Drew menatapnya tajam.
"Oh. Masakan itu. Well, memang tampak buruk. Asal kau tau tuan koki, rasa masakanmu enak, tapi untuk penyajian, buruk." Pelotot Jena. "Lepas! Aku mau pulang!" Teriak Jena. Drew melepaskan cekalan tengannya pada lengan Jena.wanita itu masuk ke dalam mobil dan dengan cepat pergi dari pasar itu.
Ia melirik ke spion mobil, menatap Drew yang masih menatap kepergiaannya. "Kau, tampan, sexy dan, panas, tapi, angkuh dan, kasar. Nilaimu terjun bebas dari kriteria pria masa depanku, tuan Drew," Jena menekan oedal gas lebih dalam dan melesat ke arah rumah Maden. Sedangkan Drew, mengambil ponsel dari saku celana jinsnya dan menelfon seseorang.
"Cari tau wanita yang fotonya ada di ruang kerjaku, dan bawa wanita itu ke hadapanku secepatnya. Akan ku cincang dia seperti daging giling! Wanita sialan! Mengacaukan fokus ku!" Omel Drew sambil memutuskan sambungan telfon sepihak.
***
"Selamat makan," ucap Jena sambil berlalu menuju ke dapur. Ia menyiapkan hidangan pencuci mulut disaat keluarga Maden sedang makan malam.
Ponsel Jena berbunyi, nama Reesw terluhat jelas dilayar. Jena tersenyum dan membaca pesan singkat itu.
Reese : [Jena, kau bekerja di rumah Maden? Wah, aku yakin Maden begitu bahagia]
Kedua alis mata Jena bertaut. Ia membalas pesan Reese cepat.
Jena : [haha, ya, uang yang ia tawarkan begitu menggiurkanku. Tugasku pun, hanya memasak]
Lalu pesan selanjutnya masuk.
Reese : [Ya, ya, ya, Maden tak perlu lagi untuk meluangkan waktunya sekedar menatap dan berbicara denganmu. Apa kau tau inisial M yang selalu mengirimkan mu bunga setiap bulan dengan kata-kata romantisnya?]
Jena : [Maksudmu? Inisial M itu, Maden]
Jena diam, ia menatap layar ponselnya lekat. Lalu balasan Reese membuat Jena terbelalak.
Reese : [Ya. M itu Maden, si penganggum rahasiamu Jena, seorang pria yang begitu menatap mu bak putri raja]
Jena tak membalas pesan singkat dadi Reese lagi. Ia menoleh, Maden berjalan mendekat dan tersenyum menatap Jena.
"Kau, makan bersama kami, Jena, ayo," Maden meraih jemari tangan Jena. Membawanya melangkah ke area ruang makan. Jena hanya diam, menatap Maden dari samping yang tampak begitu tampan.
Maden mendapati Jena yang diam tak berkutik setelah ia meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku celana. Pria itu mendekati dan menepuk pelan bahu Jena. Tolehan kepala Jena membuat Maden tersenyum seraya menanyakan kenapa wanita itu diam.Jena menggeleng cepat, ia lalu kembali menyiapkan makanan pencuci mulut seraya meminta Maden kembali ke ruang makan. Jena terkejut karena ternyata Madenlah pria yang selama ini selalu mengirimkan bunga dengan kartu ucapan penyemangat dan kata-kata romantis lainnya. Reese tak mungkin berbohong, ia jauh lebih dekat dan memahami Maden. Mungkin, beberapa rahasia lain juga Maden ceritakan kepada Reese."Duduklah kembali ke tempatmu, Maden, aku akan membawakan es krim strawbery buatan ku, aku baru tau jika kalian memiliki alat pembuat es krim," Jena menoleh dan melemparkan senyum ke Maden. Pria itu mengangguk, lalu berjalan kembali ke ruang makan.Jena menghela nafas manaka
Kepala Jena ia tenggelamkan diantara bantal. Kakinya menghentak-hentak kesal. Drew dengan seenaknya sudah mengambil ciuman pertamanya. Ia lalu duduk di atas ranjang dan mengacak-ngacak rambutnya begitu liar, lalu ia merebahkan kembali tubuhnya. Mencoba tenang dan memejamkan matanya. Hari sudah larut, ia tak mau bangun terlambat.Di tempat lain.Drew duduk dengan gelas wine di tangannya. Menatap keluar jendela besar apartemennya yang menyuguhkan pemandangan kota Newyork malam hari. Ia berfikir, tentang Jena yang sudah membuat masakan sederhana tapi begitu nikmat, tak rumit, dengan bahan sederhana juga.Lalu ingatan Drew berpindah ke saat di mana ia mencium bibir Jena yang membuat reaksi lain di hati dan juga tubuhnya."Sialan!" Geram Drew seraya beranjak dan meletakan gelas wine lalu menyanbar kunci mobil yang tergeletak di atas meja dapur.Apartemen
Hingga pukul tujuh pagi, Jena masih berada di apartemen Drew, ia menatap Drew yang sedang duduk santai sambil melihat televisi."Aku harus pergi, Drew. Bosku menunggu, aku harus memasak untuk keluarganya," ia menjelaskan niatannya untuk segera beranjak dari tempat itu. Drew diam, ia melirik dan kemudian mematikan televisi. Berjalan menghampiri kulkas lalu mengambil sesuatu dari sana. Drew menyerahkan yogurth yang sudah ia buka tutupnya ke tangan Jena."Minumlah, kau tidak meminum atau memakan apapun sejak datang kemari, aku tak mau kau mati kekeringan." Dengan santai, Drew berjalan ke meja dekat televisi dan mengambil kunci mobil. "Aku antar kau ke tempat mu bekerja. Baik bukan aku?" Kekehan sinis tampak dari wajah tampan dan mata indah milik Drew. Jena melangkah, ia sudah meneguk yogurth itu hingga habis setengah. "Kau haus?" Lirik Drew sambil menunjuk botol yogurth dengan dagunya. Jena menggeleng, kepalanya begitu pusing, dan p
"Tidak. Aku lebih baik bekerja di tempat lain. Kau akan menjadi bosku, dan sikap aroganmu seperti tadi akan membuatku terus memaki dan merutukimu, Drew."Jena menolak. Ia ingin tahu, apa seorang Drew bisa memohon lebih baik, tidak seenaknya sendiri. Kedua mata Drew begitu tajam menatap Jena. Ia tak akan melewati kesempatan, Jena kunci dirinya kali ini untuk mencapai tujuannya. Membuat restorannya semakin sukses dan terkenal. Juga, jam terbang dirinya sebagai koki terkenal juga akan terus meroket."Oh ya, jadi ... kau ingin aku memohon? Begitu?" tatapan itu semakin menusuk dalam ke netra indah milik Jena. Wanita itu meneguk salivanya susah payah. Ia tak akan gentar."Tentu, sombong." Jena balas menatap Drew. Pria itu terkekeh, ia lalu berjalan memutari meja dapur dan berdiri di samping Jena."Ok, aku akan memohon padamu, Jena," ucap Drew lalu memutar tubuh Jena supaya menghadap
Briefing sebelum restoran di buka sudah menjadi hal wajib bagi Drew dan semua para pekerja di restorannya. Jena berdiri sedikit memojok, ia tak siap jika menjadi sorotan para pekerja lain jika ia berdiri di samping Drew. Kedua mata Drew kelirik ke arah Jena yabg sibuk menunduk sambil memperhatikan sepatu yang ia kenakan. "Jena!" panggil Drew tegas. Jena mendongak, ia berjalan perlahan. Tak mau menoleh ke arah semua orang yang mulai berbisik. "Dia Jena, asisten khusus untukku. Jena, perkenalkan dirimu kepada semua orang," ucap Drew seraya menepuk kedua bahu Jena yang ia putar supaya menghadap ke semua orang. "Halo, aku Jena," sapa Jena sambil mencoba tersenyum. Para juru amsak diam dan menatap lekat. Sedangkan pelayan dan petugas kasir menyapa dengan ramah. Jena balas tersenyum. Lima belas menit kemudian restoran di buka, Drew sudah bersiap diposisi, dan Jena berdiri di sebelah Drew. "A
Selama perjalan pulang, Jena diam tak berbicara sepatah katapun. Drew sesekali melirik dan tersenyum. Ia tahu, wanita di sebelahnya merasa malu dan salah tingkah setelah ia mendadak mencium keningnya, juga menggandeng tangan selama berada di pasar."Bisa turunkan aku di sana saja, Drew? Kau bisa langsung ke restoran," pinta Jena sambil bersiap turun."Aku antar sampai apartemen, tenanglah," usapan di kepala Jena lagi-lagi membuat wanita itu diam, namun hanya sejenak, karena Jena mulai bersuara."Mengapa sikapmu berubah menjadi lembut kepadaku dan ... dan kau, apa tadi mencium keningku begitu saja tanpa persetujuanku! Apa kau pikir aku perempuan yang mudah kau dekati!"Napas Jena naik turun. Drew hanya melirik, ia menyalakan lampu sen kanan dan menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Jena. Ia duduk dengan posisi miring sehingga berhadapan dengan Jena.
Jena menatap Drew yang sedang berpose di depan kamera, ia begitu mudah diarahkan oleh juru foto dan para pengarah gaya. Dave datang menghampiri, ia berdiri di sebelah Jena.“Sudah berapa lama kau menjadi asisten berandal itu?”“Belum lama, sebenarnya, aku terjebak. Andai saja aku tidak mengacak-ngacak hidangan yang ia masak saat itu,” ujar Jena sambil mendengkus.“Maksudnya?” Dave menoleh.“Aku, mengomentari penataan makanan yang Drew buat di restoran, dan aku memasukan itu ke Vlog yang ku buat. Sejak saat itu, Drew terus mengikuti, hingga ya … sekarang ini, ia memintaku menjadi asistennya, tak hanya untuk di restoran, tapi hingga ke sini,” jawab Jena sambil melirik ke Dave.“Kau gila, pantas saja Drew mengejarmu. Baru dirimu yang bisa melakukan hal itu, Jen, sebelumnya tak pernah ada yang berani. Bravo!” se
“Kau pikir, semua hal yang kau inginkan bisa terjadi sesuai keingannmu?” Jena berbicara dengan sedikit kesal kepada Reese yang menghubungi sambil menangis. Jena paham, Reese selalu memiliki masalah dengan pria. Kali ini, sahabatnya itu kembali di campakan.“Kau tidak mungkin akan terus begini, Reese, fokuslah bekerja, berhenti menyukai pria muda. Anak sekolah kau dekati, ini resiko dirimu!”Reese semakin menangis. Suara isakannya justru hanya terdengar bak blender rusak. Jena menjauhkan ponsel dari telinganya. “Hei, sudah Reese, ayo kita fokus bekerja, membangun karir, jauhkan urusan asmara dari diri kita.”Seketika Jena diam, ia justru teringat dengan dirinya dan Drew. Koki seksi itu hampir saja membuatnya gila dengan sikap mendadaknya yang suka mencium dan berperilaku mesra, yang jelas membuat Jena berdebar tak karuan.“Jen, bagaimana dengan urusan huta
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s