Selama perjalan pulang, Jena diam tak berbicara sepatah katapun. Drew sesekali melirik dan tersenyum. Ia tahu, wanita di sebelahnya merasa malu dan salah tingkah setelah ia mendadak mencium keningnya, juga menggandeng tangan selama berada di pasar.
"Bisa turunkan aku di sana saja, Drew? Kau bisa langsung ke restoran," pinta Jena sambil bersiap turun.
"Aku antar sampai apartemen, tenanglah," usapan di kepala Jena lagi-lagi membuat wanita itu diam, namun hanya sejenak, karena Jena mulai bersuara.
"Mengapa sikapmu berubah menjadi lembut kepadaku dan ... dan kau, apa tadi mencium keningku begitu saja tanpa persetujuanku! Apa kau pikir aku perempuan yang mudah kau dekati!"
Napas Jena naik turun. Drew hanya melirik, ia menyalakan lampu sen kanan dan menghentikan mobilnya tepat di depan apartemen Jena. Ia duduk dengan posisi miring sehingga berhadapan dengan Jena.
Jena menatap Drew yang sedang berpose di depan kamera, ia begitu mudah diarahkan oleh juru foto dan para pengarah gaya. Dave datang menghampiri, ia berdiri di sebelah Jena.“Sudah berapa lama kau menjadi asisten berandal itu?”“Belum lama, sebenarnya, aku terjebak. Andai saja aku tidak mengacak-ngacak hidangan yang ia masak saat itu,” ujar Jena sambil mendengkus.“Maksudnya?” Dave menoleh.“Aku, mengomentari penataan makanan yang Drew buat di restoran, dan aku memasukan itu ke Vlog yang ku buat. Sejak saat itu, Drew terus mengikuti, hingga ya … sekarang ini, ia memintaku menjadi asistennya, tak hanya untuk di restoran, tapi hingga ke sini,” jawab Jena sambil melirik ke Dave.“Kau gila, pantas saja Drew mengejarmu. Baru dirimu yang bisa melakukan hal itu, Jen, sebelumnya tak pernah ada yang berani. Bravo!” se
“Kau pikir, semua hal yang kau inginkan bisa terjadi sesuai keingannmu?” Jena berbicara dengan sedikit kesal kepada Reese yang menghubungi sambil menangis. Jena paham, Reese selalu memiliki masalah dengan pria. Kali ini, sahabatnya itu kembali di campakan.“Kau tidak mungkin akan terus begini, Reese, fokuslah bekerja, berhenti menyukai pria muda. Anak sekolah kau dekati, ini resiko dirimu!”Reese semakin menangis. Suara isakannya justru hanya terdengar bak blender rusak. Jena menjauhkan ponsel dari telinganya. “Hei, sudah Reese, ayo kita fokus bekerja, membangun karir, jauhkan urusan asmara dari diri kita.”Seketika Jena diam, ia justru teringat dengan dirinya dan Drew. Koki seksi itu hampir saja membuatnya gila dengan sikap mendadaknya yang suka mencium dan berperilaku mesra, yang jelas membuat Jena berdebar tak karuan.“Jen, bagaimana dengan urusan huta
“Jangan asal bicara, Drew.” Jena turun dari atas meja. Ia lalu membawa mangkuk yang sudah kosong karena makanan yang dimasak Drew sudah habis ia makan, ke bak cucian. Ia lalu mencucinya. Drew masih bersandar ditempatnya sambil bersedekap.“Aku serius, Jen, bagaimana jika aku menyukaimu? Bukankah, itu tak mengapa? Kau tidak punya kekasih, bukan?”Jena menoleh. Lalu terkekeh sinis. “Bukan itu, kau akan menyesal Drew, karena sudah menyukai. Jujur saja, aku bukan perempuan yang—““DREW!” Jena terkejut karena lengan besar pria itu sudah melingkar dipinggang Jena. Membuat ia melepaskan gelas yang sedang ia cuci di bak hingga hampir pecah.“Sstt … diamlah, apa kau tahu, jika aku, benar-benar menyukaimu, sifatmu berbeda dengan wanita yang pernah bersamaku. Bahkan, mereka yang—,”“Pernah tidur denganmu?” Jena melep
"Jadi hanya ini permintaan mereka?" tanya Drew kepada penanggung jawab operasional restoran, Abie. Kertas putih dengan beberapa poin penting di pegang Drew. "Ya Drew, mereka meminta kau menyiapkan hidangan untuk lima puluh tamu. Mereka meminta kau menyediakan daging sapi kobe, bagaimana caramu menyediakannya? Kita harus import dan itu, tak mungkin." Abie bersedekap. Perut buncitnya semakin terlihat besar. Drew berpikir sejenak. Ia lalu teringat, jika keluarga Jena memiliki usaha peternakan sapi dan buah-buahan terbesar di negara bagian lain. "Hubungi mereka, tawarkan dan bujuk untuk mau memakai sapi lokal. Aku akan membuat hidangan spesial. Satu minggu lagi bukan, masih ada waktu untuk ku berburu daging itu." Drew masih duduk bersandar di sofa ruang kerja
Sejak pagi, Jena terbangun dengan perasaan berbeda. Mengingat kejadian semalam, membuatnya menggigit bibir bawahnya dan bersembunyi di balik selimut. Ia masih tak percaya dengan statusnya kini sebagai kekasih koki dan model terpanas yang luar biasa terkenal.Ia bergegas mempersiapkan diri untuk ke restoran, kali ini tugasnya menyiapkan buah-buahan untuk makanan pencuci mulut, buah-buahan sudah datang semalam, salah satu pekerja menghubungi Jena.Sambil bersenandung, Jena membuat sarapan sederhana, pisang, sereal jagung dan yogurth. Ia sudah tampil cantik di pagi hari itu. Ponselnya berbunyi, nama Drew muncul di layar. Dengan jantung berdebar, Jena menggeser layar hijau."Good Morning
"Apa aku harus memakai gaun itu? Modelnya tampak begitu terbuka, Drew? Kau ingin bagian ... emm ... bagian tubuh atasku terkespos? Kau, tidak risih jika banyak yang menatapku?"Jena menatap gaun yang di kirim Drew untuknya, acara penghargaan top model pria menjadikan Drew salah satu nominasinya, dan pria itu akan mengajak Jena menghadirinya."Kau akan sangat cantik, Jen, kau sadar jika kekasihmu ini seorang yang sangat terkenal?"Suara Drew di ujung ponsel yang tertempel di telinga kanan Jena membuat wanita itu hanya menjawan dengan dehaman."Kau yakin akan mengajakku? Apa kata mereka jika kekasihmu hanya seorang asisten dapur? Bukan kelas yang sama denganmu?" Jena mendadak merasa tak percaya diri."Kau tetaplah dirimu Jena, wanita yang ku pacari. Bersiaplah, sayang, setengah jam lagi aku akan menjemputmu. I love you sweetheart ..."&nbs
Jena duduk di dalam mobil seorang diri, ia pulang tanpa Drew. Pria itu mengantarnya sampai ke dalam mobil dan meminta sang supir mengantarkan pulang. Tak ada pelukan hangat apalagi ciuman seperti sebelumnya. Tatapan Jena menjadi sendu, apa salahnya? Seharusnya bukannya ia yang kesal, pertama, karena Camil mencium bibir Drew yang tak di protes oleh pemilik bibir. Kedua, karena Drew mengabaikannya, tak mempedulikan jika ia kedinginan dengan pakaian yang dikenakannya."Terima kasih," ucap Jena kepada supir Drew, pria itu mengangguk. Jena melangkah cepat menuju ke unit apartemennya, begitu tak sabar untuk menanggalkan pakaian tak nyaman itu dan membersihkan diri dari semua mekap di wajahnya. Ia merasa seperti memakai topeng.Air dari shower membasahi tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia berpikir juga bertanya-tanya, apa Drew punya tujuan lain menjadikannya seorang kekasih? Apa ada sesuatu.Tak lama, Jena sud
Jena membuka kedua matanya, ia tak mendapti Drew di sebelahnya. Jendela unit apartemen juga sudah terbuka lebar. Angin pagi begitu segar masuk mengganti sirkulasi udara. Jena beranjak, mencari Drew namun tak ia dapati sosoknya.Mungkin sudah pulang.Pikir Jena sambil berjalan ke dalam kamar mandi. Namun ia terkejut saat melihat Drew berdiri di dalam sana dengan wajah begitu segar dan juga lilitan handuk di pinggang yang membuat otot-otot tubuhnya tercetak sempurna."Pagi, Sayang," Drew mengecup kening Jena lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Jena terkejut, ia lalu buru-buru membersihkan diri. Cuci muka dan sikat gigi. Lalu kembali berjalan keluar dari kamar mandi."Drew! Ap-! Ya Tuhan!" Jena berbalik badan, Drew sedang telanjang bulat karena hendak berganti pakaian. Ia hanya tertawa melihat Jena yang terkejut. Jantung Jena bertedak tak karuan, Drew memang mampu membuatnya s
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s