Sejak pagi, Jena terbangun dengan perasaan berbeda. Mengingat kejadian semalam, membuatnya menggigit bibir bawahnya dan bersembunyi di balik selimut. Ia masih tak percaya dengan statusnya kini sebagai kekasih koki dan model terpanas yang luar biasa terkenal.
Ia bergegas mempersiapkan diri untuk ke restoran, kali ini tugasnya menyiapkan buah-buahan untuk makanan pencuci mulut, buah-buahan sudah datang semalam, salah satu pekerja menghubungi Jena.
Sambil bersenandung, Jena membuat sarapan sederhana, pisang, sereal jagung dan yogurth. Ia sudah tampil cantik di pagi hari itu. Ponselnya berbunyi, nama Drew muncul di layar. Dengan jantung berdebar, Jena menggeser layar hijau.
"Good Morning<
"Apa aku harus memakai gaun itu? Modelnya tampak begitu terbuka, Drew? Kau ingin bagian ... emm ... bagian tubuh atasku terkespos? Kau, tidak risih jika banyak yang menatapku?"Jena menatap gaun yang di kirim Drew untuknya, acara penghargaan top model pria menjadikan Drew salah satu nominasinya, dan pria itu akan mengajak Jena menghadirinya."Kau akan sangat cantik, Jen, kau sadar jika kekasihmu ini seorang yang sangat terkenal?"Suara Drew di ujung ponsel yang tertempel di telinga kanan Jena membuat wanita itu hanya menjawan dengan dehaman."Kau yakin akan mengajakku? Apa kata mereka jika kekasihmu hanya seorang asisten dapur? Bukan kelas yang sama denganmu?" Jena mendadak merasa tak percaya diri."Kau tetaplah dirimu Jena, wanita yang ku pacari. Bersiaplah, sayang, setengah jam lagi aku akan menjemputmu. I love you sweetheart ..."&nbs
Jena duduk di dalam mobil seorang diri, ia pulang tanpa Drew. Pria itu mengantarnya sampai ke dalam mobil dan meminta sang supir mengantarkan pulang. Tak ada pelukan hangat apalagi ciuman seperti sebelumnya. Tatapan Jena menjadi sendu, apa salahnya? Seharusnya bukannya ia yang kesal, pertama, karena Camil mencium bibir Drew yang tak di protes oleh pemilik bibir. Kedua, karena Drew mengabaikannya, tak mempedulikan jika ia kedinginan dengan pakaian yang dikenakannya."Terima kasih," ucap Jena kepada supir Drew, pria itu mengangguk. Jena melangkah cepat menuju ke unit apartemennya, begitu tak sabar untuk menanggalkan pakaian tak nyaman itu dan membersihkan diri dari semua mekap di wajahnya. Ia merasa seperti memakai topeng.Air dari shower membasahi tubuhnya dari atas hingga bawah. Ia berpikir juga bertanya-tanya, apa Drew punya tujuan lain menjadikannya seorang kekasih? Apa ada sesuatu.Tak lama, Jena sud
Jena membuka kedua matanya, ia tak mendapti Drew di sebelahnya. Jendela unit apartemen juga sudah terbuka lebar. Angin pagi begitu segar masuk mengganti sirkulasi udara. Jena beranjak, mencari Drew namun tak ia dapati sosoknya.Mungkin sudah pulang.Pikir Jena sambil berjalan ke dalam kamar mandi. Namun ia terkejut saat melihat Drew berdiri di dalam sana dengan wajah begitu segar dan juga lilitan handuk di pinggang yang membuat otot-otot tubuhnya tercetak sempurna."Pagi, Sayang," Drew mengecup kening Jena lalu berjalan keluar dari kamar mandi. Jena terkejut, ia lalu buru-buru membersihkan diri. Cuci muka dan sikat gigi. Lalu kembali berjalan keluar dari kamar mandi."Drew! Ap-! Ya Tuhan!" Jena berbalik badan, Drew sedang telanjang bulat karena hendak berganti pakaian. Ia hanya tertawa melihat Jena yang terkejut. Jantung Jena bertedak tak karuan, Drew memang mampu membuatnya s
Sejak saat itu, Drew tampak lebih sering diam. Ia kembali menjadi sosok angkuh dan dingin, bahkan saat di dapur. Lucunya, Jena tampak biasa saja, ia justru asik menteraktir para karyawan restoran dengan membelikan kopi. Jena ingin berbagi rejeki sebelum ia pergi dari sana beberapa hari lagi.Keputuaan Jena untuk lebih cepat berhenti bekerja dari perjanjian sebelumnya, membuat Abie cukup terkejut dengan hal itu. Bahkan ia menanyakan apa Drew dan Jena sedang bermasalah. Jena justru tertawa dan menolak pendapat Abie.Drew berjalan di belakang Jena saat wanita itu sedang berbincang dengan pelayan restoran sambil ke arah pintu belakang. Tanpa menyapa, Drew berjalan cepat melewati Jena. Wanita itu melirik ke arah Drew, kemudian lanjut berbicara dengan rekannya itu.***Malam begitu larut, suara denting gelas berisi wine mahal terdengar dari beberapa pria yang sedang bercengkrama satu sama
Drew menepati janjinya, ia sudah mengosongkan jadwal selama satu minggu. Dave sudah mengatur itu sedemikan baik. Bahkan, Dave merasa heran dengan model di bawah asuhannya itu, Jena memberi perubahan di hidup Drew begitu cepat.Tas koper besar sudah di bawa Jena, ia berdiri di depan bangunan apartemennya untuk menunggu Drew yang janji menjemputnya. Tak lama, mobil truk modern berjenis Sierra menghampiri. Pengemudi itu turun, tersenyum menampilan deretan gigi putihnya sambil berjalan menghampiri Jena. Kaos pres body warna hitam melekat di tubuhnya begitu seksi. Sapaan dan kecupan singkat di bibir Jena diberikan Drew. Ia membantu membawa tas koper Jena kemudian meletakkan di bagasi belakang.Beberapa paparazi mengabadikan momen mereka itu, Jena tampak risih, namun Drew menenangkan dengan merangkul sambil membawanya masuk ke dalam mobil. Tak lupa, Drew menyapa ramah para paparazi itu."Aku lupa jika dirimu
Jena tak berani menyahut panggilan ibunya, akhirnya justru Drew yang beranjak dari tempat tidur guna menjawab panggilan itu. Jena mewanti-wanti untuk tidak memberitahu jika ia berada di dalam kamar Drew. Pria itu merapikan kaosnya, lalu mengecup singkat bibir Jena sebelum berjalan ke arah pintu, sementara Jena kembali memasang bra yang sudah terlempar entah ke mana, begitu pun dengan baju tidurnya. Ulah Drew membuat Jena malu sekaligus terkejut karena tak pernah ia melakukan hal itu kepada pria mana pun.“Drew! Apa kau lihat putriku?” suara ibu terdengar, Jena masih diam berdiri di balik pintu kamar, sedangkan Drew mengalihkan pencarian ibu dengan berbincang di lantai satu rumah. Jena membuka pintu perlahan lalu menyusul ke lantai bawah tak lama setelah Drew berbincang.“Sapi yang mana, Bu?” sambar Jena, Drew tersenyum saat melihat wanita itu sudah tampak rapi.“Sapi yang di kandang
Suara langkah kaki Jena menuruni anak tangga terdengar jelas di telinga keda orang tuanya. “Hai anak cantik Ayah!” sapa ayah saat melihat Jena sudah berdiri di dekat pintu menuju ke ruang makan. Wanita itu berjalan mendekat dan merangkul leher ayahnya, lalu berganti memeluk ibunya.“Ada apa? Mimpinya indah sepertinya?” tanya ibu. Jena mengambil gelas dan ia isi dengan kopi yang sudah berada di teko alat mesin pembuat kopi otomatis lalu menambah sedikit gula diet bubuk.“Apa aku terlihat bahagia, Dad .. Mom?” lirik Jena. Kedua orang tua mereka saling melirik dan tersenyum. Jena duduk, melihat meja makan sudah berisi banyak makanan, roti gandum dengan selai jeruk hasil panen buah perkebunan, sudah menjadi ciri khas keluarga Jena. Matahari sudah meninggi, jam di dinding juga sudah menunjukan pukul Sembilan pagi. Kedua mata Jena bahkan mencari sosok kekasih hatinya.“Jika kau mencari
Pasar buah diadakan di dekat kantor Walikota sejak dua hari lalu, Jena dan Drew ikut sibuk membantu memanen buah-buahan dari perkebunan. Membawa dengan cara diangkut menggunakan truk kecil khusus buah-buahan. Drew dan Jena begitu menikmati kebersamaan mereka, bahkan Billy dan tunangannya juga ikut memanen. Kebun seluas tiga hektar itu sangat subur ditumbuhi pohon buah. Dahan-dahan pohon yang tidak terlalu tinggi, juga memudahkan siapa pun yang ingin memetik buah tanpa harus susah payah menaiki tangga yang tinggi. Drew menghampiri Jena, kedua orang tuanya, Billy dan tunangannya di halaman depan rumah, semua sudah bersiap berangkat ke pasar buah itu. Dengan menggunakan kemeja kotak-kotak warna biru dan hitam, celana jeans dengan dedikit robekan di kedua lutut, sepatu berbahan kulit mahal dengan sol tebal berwarna cokelat, membuat Drew tampak sederhana tapi tetap gagah dan tampan. Jena mengenakan baju berkerah warna biru langit, seragam dengan semua anggota kelua
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s