Pasar buah diadakan di dekat kantor Walikota sejak dua hari lalu, Jena dan Drew ikut sibuk membantu memanen buah-buahan dari perkebunan. Membawa dengan cara diangkut menggunakan truk kecil khusus buah-buahan. Drew dan Jena begitu menikmati kebersamaan mereka, bahkan Billy dan tunangannya juga ikut memanen. Kebun seluas tiga hektar itu sangat subur ditumbuhi pohon buah. Dahan-dahan pohon yang tidak terlalu tinggi, juga memudahkan siapa pun yang ingin memetik buah tanpa harus susah payah menaiki tangga yang tinggi.
Drew menghampiri Jena, kedua orang tuanya, Billy dan tunangannya di halaman depan rumah, semua sudah bersiap berangkat ke pasar buah itu. Dengan menggunakan kemeja kotak-kotak warna biru dan hitam, celana jeans dengan dedikit robekan di kedua lutut, sepatu berbahan kulit mahal dengan sol tebal berwarna cokelat, membuat Drew tampak sederhana tapi tetap gagah dan tampan. Jena mengenakan baju berkerah warna biru langit, seragam dengan semua anggota kelua
Kepindahan Jena tidak diketahui kedua orang tuanya yang menganut pemahanan jika seseorang tinggal bersama dengan kekasihnya itu tidak baik, lebih baik menikah dahulu. Apalagi, banyak yang tau siapa keluarga Jena. Ia kali ini harus berbohong, menyeberang batas pembatas keluarganya untuk hati dan dirinya sendiri. Drew membantu Jena berkemas, tak banyak barang yang wanita itu miliki, raut wajah Drew begitu bahagia, hari-harinya sudah terbayangkan akan begitu lengkap dengan adanya wanita itu setiap hari disisinya, ia bahkan mengabaikan soal perjanjian yang dibuat bersama beberapa rekan-rekannya. “Sudah semua?” tanya Drew. Jena mengangguk. Mereka berjalan menuruni tangga, mobil Drew sudah terparkir di depan apartemen Jena, wanita itu pamit kepada beberapa penghuni yang ia kenal. Mereka turut bahagia karena Jena memiliki seseorang yang spesial, seperti Drew yang mereka lihat memiliki predik
Hari pertama Jena bekerja di restoran Pie, dijalani Jena dengan begitu bersemang, bukan urusan dapur, kali ini ia sebagai pelayan. Gajinya cukup untuk pegangan hidupnya, apalagi sekarang tinggal bersama Drew, tak mungkin juga Drew membuatnya kelaparan. Uang gajinya akan ia kirim untuk mencicil hutang kepada keluarganya, akan tetap begitu hingga hutang lunas.“Selamat datang di Danny’s Pie--” Jena berhenti menyapa. “Maden?” ujar Jena. Maden tampak terkejut bisa bertemu Jena di restoran itu, karena hampir setiap hari ia membeli pie dan kopi untuk sarapan.“Hai, Jen…” sapanya. Jena mengangguk, ia mengeluarkan catatan untuk pesanan pelanggan. “Kau baru di sini?” tanya Maden. Jena mengangguk. “Kenapa berhenti bekerja di tempat …, kekasihmu itu?” li
Apa yang dipikirkan Jena? Ia sendiri tak paham, hanya mencoba mengikuti naluri dan perasaan di hatinya saja. Ia larut dengan semua yang ada pada diri Drew, hingga menyerahkan apa yang ia jaga seumur hidupnya ini, sedangkan Drew, di pemain yang mahir melakukan, justru akan memberikan Jena kesan yang tak akan bisa ia lupakan seumur hidupnya.Jena pasrah, membiarkan Drew mulai mencumbui dirinya, hanya jemari tangan dan desahan pelan yang ia lakukan saat bibir Drew menghisap leher kanan dan kirinya bergantian, tak peduli apa akan membuat bekas tanda atau tidak. Jena hanya ingin pengalaman pertamanya ini ia lukan bersama pria yang ia cintai dan membuatnya tenggelam ke dalam diri seorang Drew.“Katakan padaku, jika memang aku harus berhenti Jena, aku tidak mau kau menyesal. Tolong bilang sekarang, jika tidak, aku tidak ak
"Morning," suara serak itu terdengar di telinga Jena yang sedang berdiri di depan kompor. Ia sedang membuat sarapan pagi dan bekal yang akan ia bawa sebagai menu makan siangnya di tempat kerja. Bosan dan malas juga jika ia harus makan siang di luar tempat kerja."Kamu nggak mau ikut aku ke pertemuan itu, Babe?" bisik Drew yang sudah rapi dengan kemeja lengan pendek pres body warna putih, dan celana jeans. Ia juga terus menciumi leher dan bahu Jena yang mulus juga wangi."Aku harus masuk kerja, Drew, kau saja ya," lalu Jena mengecup singkat bibir kekasihnya itu. Dua tangan kekar Drew memeluk leher Jena dan membalas dengan ciuman hangat dan lama di pipi kanannya."Baiklah, nanti aku jemput ya, aku juga ada rapat dengan staf di resto, karena jika kontrak dengan brand ternama itu aku dapat dan kontrak sebagai juri di acara lomba masak itu juga menjadi milikku, maka aku tidak mungkin mengelola resto
Dengan santai, Drew mengendari mobil sedan mewahnya untuk menjemput kekasihnya, Jenna. Ia tersenyum saat membayangkan malam panas dnegan kekasihnya itu. Ia bisa bernapas lega karena sudah memenangkan taruhan itu dan rekan seprofesi lainnya mengakui kekalahan mereka. Restoran pie itu masih tampak ramai, namun karena shift Jenna sudah berakhir, ia bisa pulang dijam lima sore. Tampak dari kejauhan sosok wanita itu, rambut panjangnya beterbangan tertiup angin. Senyum merekah di wajah Drew saat tiba di parkiran. Ia memarkirkan mobilnya, kemudian mematikan mesin dan segera keluar dari mobil itu.Jenna berlari ke arah Drew dengan cepat, senyum cantik juga terukir di wajah wanita itu. "Hey..." Jenna segera memeluk leher Drew yang memberikan ciuman begitu lama di puncak kepala Jenna."I miss you," bisik Drew sembari mengangkat tubuh Jenna yang tertawa kecil."Aku juga merindukanmu, pria besar," ledek Jenna. Drew terkekeh, ia melepaskan pelukan
Jena merasa gugup saat tiba hari di mana ia akan berkunjung dan menghabiskan akhir pekan bersama keluarga kekasihnya itu, sedangkan Drew, sudah tampak siap untuk segera berangkat. Jena menghela napas sembari menatap kekasihnya itu."Jantungku berdebar, Drew, apa kau yakin keluargaku akan menerimaku?" Jena menunjukan wajah sendu yang menggemaskan bagi Drew. Pria itu mendekat dan mencium lembut bibir Jena."Jelas, mereka sudah menyukaimu sejak awal, Sayangku. Ayo lekas, kita hanya punya waktu sampai besok sore, karena hari minggu siang aku ada siaran langsung penjurian acara itu.""Ya, baiklah. Kau menyetir sendiri?" Jena menyambar tas miliknya."He-em," jawab Drew sembari memeluk mesra wanitanya itu."Drew!" pekik Jena saat tangan nakal kekasihnya itu menelusup masuk ke pakaiannya, mengusap perut ratanya sembari bibirnya tak henti menciumi leher jena yang terekspos karena ia menguncir tinggi rambutnya."Sssttss..
Suara kocokan alat pengocok bertemu dengan adonan dan mangkuk besar transparan itu terdengar Jenna dari dalam kamarnya hingga membuat ia segera beranjak setelah setelah berpakaian. Sambil bersandar di ambang pintu kamar, ia menatap Drew yang sedang sibuk di meja dapur. Jenna melangkah mendekati meja dapur, Drew melirik sekilas lalu menyunggingkan senyumnya."Pindahkan saja kemejaku ke dalam lemarimu, Jen, lebih pantas jika kau yang memakainya," ledek Drew. Ya, Jenna memakai kemeja Drew setelah ia mandi. Ia berkolah jika pakaiannya masih di laundry. Jelas memang, pakaian Jenna tak sebanyak milik Drew, apalagi rata-rata hanya kaos dan jeans."Morning, Babe," sapa Jena sambil mencium sekilas bibir kekasihnya itu lalu duduk di kursi tinggi yang membuat mereka berhadapan."Morning, sweet heart," balas Drew sembari terus mengocok adonan putih telur dengan gula secara bertahap hingga cukup kaku, atau saat mangkuk besar itu di balik, adonan tidak tumpa
Lampu-lampu studio sudah begitu menerangi seluruh area tempat shooting berlangsung. Meja peserta lengkap dengan peralatan memasak, bak cuci dan berbagai bahan yang sedang di eksekusi peserta tampak meramaikan studio itu. Aroma bumbu masakan yang tercium juga semakin menambah proses shooting ajang lomba memasak itu semakin penuh semangat bagi juri penonton yang terdiri dari 20 orang selain juri tetap, termasuk Drew dan Camile.Camile berjalan menghampiri beberapa peserta yang menurutnya, masakan menarik, tapi kemudian ia mundur kembali karena takut terciprat minyak. Drew tak peduli, walau Camile berusaha mendekat ke dirinya seolah berlindung dari hawa panas kompor. Kekasih Jena itu mendekat ke salah satu peserta yang mengolah hati sapi, ia tertarik karena bahan itu termasuk yang sulit diolah beberapa peserta yang tampak kebingungan. Namun peserta pria yang berusia tiga puluhan itu tampak percaya diri."Kau masak untuk dijadikan apa?" tanya Drew saat be
Satu tahun berlalu, Jena dan Drew begitu sibuk mengelola bisnis mereka, tetapi tak melupakan urusan keluarga, hal itu tetap menjadi prioritas utamanya. Restoran mahal yang dibangun Drew dengan mengusung nama Phil's Steak house by Drew and Jena, perlahan menarik banyak orang untuk menikmati kelezatan masakan Drew, walaupun Drew hanya sesekali terjun langsung ke dapur, ia tak ingin begitu menonjol, takut jika akan memancing kaum hawa yang akan terkesima melihatnya beraksi di dapur. Ia tak mau kehidupan pribadinya juga kembali tersorot media.Lain dengan Jena yang toko kue dan pastrynya tak pernah sepi, Nina bahkan dipercayakan sebagai manajer toko. Jena sendiri lebih senang berada di dapur untuk membuat makanannya.Ayah Mark, bekerja dan mengelola steak dengan konsep merakyat, jangkauan masyarakat sekitar dan perkantoran ya
Pahit, perih, kecewa, seolah menjadi kata yang mampu mengungkapkan masa lalu keduanya. Jelas sepele, hanya salah paham, tetapi bagi beberapa manusia, hak itu tetaplah menjadi momok perkara besar dari hal sepele.Dengan perut besarnya, Jena menatap interior toko kue dan pastry miliknya. Bernuansa putih dan merah muda. Drew yang duduk di kursi tinggi itu ikut menatap kagum sembari mengusap pinggang Jena yang katanya pegal. Memasuki kehamilan 39 minggu sudah membuatnya semakin lelah dan pegal sana sini.Kecupan Drew mendarat di lengan Jena yang kali itu memakai pakaian hamil lengan buntung. Mengekspos lengan putihnya, lalu tangannya mengusap perut Jena yang begitu keras."Jena, aku pikir oven ini cukup, kita akan mempekerjakan dua karyawan saja, kan?" ucap ibu
Jena dan Drew sudah merapikan kamar mereka yang di tambah dengan lemari pakaian anak, dan juga hiasan lainnya. Keduanya tampak puas dengan hasil yang mereka kerjakan berdua."Apa kau tahu, Jen, aku merasa hidupku jauh berbeda semenjak akan menjadi seorang Ayah, malaikat kecil di dalam sini sungguh membuatku bertekuk lutut," ucap Drew sembari mengusap perut isrinya dengan posisi ia duduk di kursi sedangkan Jena berdiri di samping lemari pakaian bayi."Kadang, kita memang harus menerjang badai untuk bisa melihat lautan tenang yang luas, dengan sinar matahari yang terang. Aku hanya berharap, dirimu jangan mengulangi kesalahan yang sama, karena akan berimbas ke keluarga kita.Aku kecewa padamu, karena kamu tidak mempercayai kata-kataku, wanita yang kau cintai,
Victor memberi tahu arah rumah teman sekolahnya. Mereka bertiga kini menuju ke rumah tersebut."Vic, kau yakin itu rumahnya?" tanya Drew meyakinkan lagi sebelum menepikan mobil."Iya, itu. Dan kau lihat, temanku dan dua adiknya sedang duduk di teras, temanku selalu berusaha terlihat tegar." Lanjut Victor."Siapa nama temanku, aku lupa?" Kini Jena bertanya."Mark. Dia anak berprestasi di sekolah, Kak, aku terkejut saat mengetahui kondisi keluarganya." Victor melepaskan sabuk pengaman, ia dan kedua kakaknya bersiap turun."Vic, jangan kau bawa turun dulu yang tadi kita beli, nanti saja." Perintah Drew, Victor paham.
Jena berdecak sebal ke Drew, pria itu dengan seenaknya membuat daftar kebutuhan belanja perlengkapan bayi. Jena bahkan terkejut saat melihat jumlah yang harus mereka bayar."Drew, kau pikir anakmu membutuhkan semua ini? Jangan berlebihan." Jena mencoret beberapa barang yang ditulis suaminya, dan hampir semuanya mainan. "Philippe butuh pakaian, popok, selimut, itu yang utama, bukan ini. Kau gila," keluh Jena. Drew lalu meregangkan otot-otot tubuhnya, ia bersandar pada kursi meja makan, menatap Jena yang mencatat ulang barang belanjaan.Hari itu mereka memutuskan mulai membeli perlengkapan bayi, usia kandungan Jena memang masih enam bulan, mereka melakukan itu karena akan mulai memikirkan membangun usaha, takut terlalu fokus lalu mendadak lupa untuk menyiapkan hal terpenting lainnya.
Drew sudah beranjak lebih dulu ke atas ranjang, ia merasa nyaman bisa tidur di kasur yang luar biasa empuk. Jena menatap suaminya dari pantulan cermin, ia masih sibuk mengoleskan lotion untuk perutnya. Drew memiringkan badan, menatap pemandangan itu sembari tersenyum. Ia mengagumi istrinya melebihi apa pun."Apa yang kau lihat?" tanya Jena judes. Drew terkekeh."Tidak ada," jawabnya namun diakhiri senyuman. Jena mendengkus, ia berjalan mendekat ke arah ranjang, lalu duduk bersila di atasnya."Kau mau apa, Drew?" Jena menatap suaminya itu."Aku mencintaimu, Jena," ucap Drew setelahnya ia mengulum senyum. Jena diam, ia merebahkan dirinya, memiringkan tubuhnya ke kiri."Aku membencimu," balas Jena.&
Victor duduk menemani Jena yang lelah karena sudah satu jam berkeliling toko furniture untuk membeli barang kebutuhan mereka. Drew akhirnya berjalan sendiri, ia menuju ke area kitchen set dan peralatan dapur. Jena duduk bersandar, di dalam perutnya, Philipe juga begitu aktif, sepertinya ia senang dengan apa yang ayahnya lakukan.“Kak, suamimu sungguh kaya raya? Bagaimana bisa kau membencinya begitu besar, dia bahkan memilih semua dengan perhitungan matang.” Toleh Victor menatap Jena.“Aku tidak membencinya, hanya kecewa dan kesal,” sanggah ibu hamil itu. Victor terkekeh.“Sungguh? Sejak kapan kau menarik kata ‘membenci’ menjadi ‘hanya kecewa’, bahkan aku sering mendengar kau ucapkan itu saat kita masih menyewa kamar yang kecil itu.“Ck. Diamlah kau, Vic. Ayo, temani aku melihat sofa ruang TV, aku ingin yang nyaman, akan ku buat dia menghabiskan banyak uang untukku.” Jena beranjak lagi, Vict
“Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya, Jena, kita harus pindah. Apartemen ini terlalu kecil untuk kita tinggali.” Tegas Drew saat ia baru saja menunjukkan beberapa apartemen lain yang bisa ia sewa. Jena tak mau jika Drew membelinya – walau suaminya jelas mampu – tetapi itu tak membuat Jena senang. Pria itu sudah memberi kejutan dengan mengajaknya menikah begitu cepat, maka, kali ini Jena juga akan memberikan kejutan dengan tidak akan mudah menuruti kemauan Drew.“Tidak. Kau saja jika mau pindah ke sana. Aku masih betah di sini, atau, cari yang lebih murah biaya sewanya. Aku bukan selebritas, dan daerah ini jauh dari sekolah Victor.” Tolak Jena.“Aku akan membelikan Victor mobil,” ujar Drew lagi.“Kau…, mulai lagi menjadi sombong dan arogan dengan menunjukkan siapa dirimu.” Jena melipat kedua tangan di depan dada, ia terkekeh sinis. Keduanya sedang duduk di kedai es krim. Ibu hamil itu lelah
Drew sudah berdiri di sisi kiri pendeta dengan sedikit berjarak. Ia menatap Jena dengan air mata sudah mengembeng di pelupuk. Ia tak menyangka harinya tiba untuk mensakralkan apa yang sempat tertunda, tetapi, tidak dengan Jena yang menatap dingin dan judes ke pria yang akan menjadi suaminya. Perut buncit Jena membuat fokus Drew berpindah ke sana, ia semakin haru, Jena semakin mencebik kesal dengan bola mata menatap jengah ke pria itu.“Kau cantik, sayang,” bisik Andy Thomson saat melepaskan tangan putrinya untuk diserahkan ke Andrew Sebastian.“Terima kasih, Ayah. Mm.. apa aku bisa kabur sekarang?” bisiknya. Andy tertawa kecil, ia mencium kedua pipi putrinya. Jena menatap ke arah Drew, perasaannya campur aduk, ia sendiri bingung harus memilih yang mana. Semua abu-abu.“Kamu cantik,” lirih Drew. Jena kali ini benar-benar jengah. Ia tersenyum masam. Acara pemberkatan dimulai, keduanya sudah mengikrarkan janji s