"Maksudnya, apa boleh saya menjadi papamu?" tanya Vincent sekali lagi, tanpa beralih memandang bocah kecil di depannya dengan penuh kasih sayang. Putaran jam seakan melambat, saat Vincent menunggu Zico menjawab. Sementara itu, Beyonce yang wajahnya memucat pun menelan salivanya dengan kasar, perasaannya campur aduk. Sangat berharap Zico tidak salah bicara. Di saat situasinya yang dirasa tak memungkinkan, jika dia sendirilah yang langsung menentang. Beyonce pun tak tega menyakiti hati Zico, di sisi lain Beyonce juga merasa rikuh pada Mila. 'Ya Tuhan, kenapa semua menjadi serumit ini? Apa yang harus aku lakukan sekarang? Arkh! Pak Vincent itu serius apa bercanda sih?' Beyonce mengusap wajahnya dengan frustasi, lalu meremas rambutnya dengan perasaan kalut. Dia tak tahu jika tengah diperhatikan oleh Mila dan Vincent diam–diam. Zico tersenyum, menoleh pada Beyonce. "Tanya saja pada mama, Coach. Kami hanya hidup berdua selama ini, kebahagiaan mamaku adalah kebahagiaanku juga," katanya d
“Saya Beyonce Linch, pemilik Zilinch Vegetables,” ucap Beyonce memperkenalkan diri dengan tersenyum ramah.William tersadar dari lamunan, segera menjabat tangan kedua wanita itu. “Ah, iya. Saya William Hayeth. Silakan duduk, Nyonya Bey dan Nona Agatha.” Dia mengarahkannya ke sebuah meja yang telah disiapkan."Terima kasih, Tuan William," balas Beyonce dan Agatha yang kemudian duduk. Beyonce memerhatikan keadaan Restoran Marthen yang baru pertama kali dikunjunginya ini. Tampak luar biasa mewah dan tak pernah sepi pengunjung. Pelayanannya juga tergolong cepat dan ramah. Jadi wajar saja banyak pengunjung betah, meski harga makanan di sini cukup mahal. Namun, jika sesuai dengan kualitas mereka tak akan mempermasalahkan."Bagaimana perjalanan Nyonya ke sini? Apakah semuanya lancar?" Sekadar basa–basi, William bertanya sambil menunggu Aldrich yang masih di jalan. "Kami tak mengalami kendala, Tuan William. Perjalanan kami lancar," jawab Beyonce. "Syukurlah." William lega. Pelayan tampa
"Lepaskan tanganku!" Beyonce berusaha keras melawan namun Aldrich tak membiarkannya lolos. Pria itu tak peduli, meski sekarang dia dan Beyonce menjadi pusat perhatian pengunjung restoran seolah bertengkar. Tekadnya yang kuat ingin memperbaiki kesalahan di masa lalu, membuat Aldrich rela kembali dianggap egois. "Tidak akan, Bey. Beri aku kesempatan bicara dulu, baru aku akan melepaskanmu."Beyonce menggertakkan giginya dengan menatap tajam Aldrich. "Dari dulu kau tak pernah berubah. Tetap saja keras kepala dan jahat! Aku tidak mau bicara padamu ya, tidak! Jangan memaksaku!" Telinga Aldrich ditulikan, justru kemudian dia menarik tangan Beyonce menjauh dari meja semula ke tempat lain. "Agatha, kenapa kau diam saja. Cepat tolong aku!" teriak Beyonce.Melihat itu, Agatha yang sejak tadi dihalangi William mendekati Beyonce. Mulai panik dan berontak. "Eh, Tuan Jonas sialan. Cepat lepaskan Nyonya Bey! Mau kau bawa ke mana dia?" Sayangnya Agatha tak berhasil menghentikan Aldrich, karena
Seolah ada sinyal khusus jika Aldrich didekatnya. Beyonce yang masih trauma langsung menyingkir. Aldrich yang memutar kunci, melirik Beyonce diam–diam dengan miris. Dia mendesahkan napas berat saat mantan sahabat sekaligus wanita yang pernah disakitinya itu tampak ketakutan dan menjauhinya. Sungguh ironi, Aldrich bagaikan predator membahayakan.Padahal dulunya, mereka berdua dekat sekali. Semuanya dibagi, termasuk masalah pribadi yang sering dikeluhkan oleh Beyonce. Aldrich menjadi pendengar setia dan memberinya solusi, kini malah menjadi sumber masalah itu sendiri. Tak ayal, penyesalan acap kali menghinggapi Aldrich beberapa tahun belakangan dan hidupnya selalu dihantui perasaan bersalah. Gara–gara menuruti nafsunya persahabatannya menjadi hancur. "Keluarlah dari ruanganku, Bey. Tenang saja, aku tak akan mencegahmu lagi," suruh Aldrich dengan tersenyum getir. Bukan tanpa alasan saat Beyonce melewatinya begitu saja, seolah Aldrich hanya angin. 'Sampai kapanpun hanya kau satu–sa
“Di mana kurir yang mengantar bunga ini tadi Agatha?" "Sudah pergi Nyonya—" "Pergi secepat itu tanpa mengatakan siapa pengirim bunganya? Harusnya kau tak asal menerima Agatha, barangkali isinya bom." Wajah Agatha berangsur pucat memikirkan buket mawar merah itu yang diletakkan begitu saja oleh Beyonce di meja. Setelah dia tak menemukan pengirimnya di setiap celah bunga itu. Beyonce merasa diteror, Agatha ketakutan membayangkan buket mawar itu seandainya benar terdapat bom. "Nyoya Bey, maafkan saya," ucap Agatha menyesal. "Hmm. Lain kali jangan gegabah. Paham?" Beyonce melirik Agatha sebentar kemudian bangun dari duduk. Meski dengan langkah sempoyongan dan kepalanya agak pusing. Dia berjalan menuju ke luar ruko. Namun, Beyonce tak melihat siapapun kecuali pegawainya yang menyapa. Agatha yang menyusul tak lama setelahnya, ikut mencari kurir misterius tadi. "Dia sudah pergi dengan membawa motornya sejak lima menit yang lalu, Nyonya Bey," kata pegawainya saat ditanya Beyonce. "Oh
Resiko dipecat sungguh mengerikan setelah lama bekerja dengan Aldrich, meskipun tahu hanya gertakan. William yang tak ingin mengecewakan Aldrich segera melakukan tugasnya. "Siap Tuan Al. Saya akan mengatur penerbangan Anda ke Estado detik ini juga.""Kau memang bisa diandalkan, Willy." Aldrich mengangguk, tanpa menampilkan ekspresi.Dia gelisah ketika jiwa raganya tak sepenuhnya terpatri di ruang fitness. Namun melayang ke Estado, dengan perasaan tergesa ingin bertemu Zico dan Beyonce. Satu tujuan, satu keyakinan berbalut harapan pasti. Kedatangan Aldrich tak sia–sia. Apa yang disimpannya dalam benak terwujud kalau Zico adalah darah dagingnya. ****Tiba di bandara setempat, hari sudah larut. Aldrich terpaksa menginap di hotel yang tak berada jauh dari lokasi ruko Zilinch Vegetables. "Kau harus menyelidiki latar belakang Zico, Willy! Jangan sampai Beyonce tahu rencana kita," pesan Aldrich saat makan malam bersama William di restoran. Perutnya harus diisi setelah teringat sejak s
"Huaaa, Mama ... aku mau pulang!" Zico menangis sambil mengucek matanya. Bocah kecil itu bersembunyi di balik pohon. Bak main petak umpet, dia menyandarkan wajahnya di sana dengan waspada. "Lama–lama ngeri juga, ke mana semua orang pagi begini, sih? Kenapa tak ada yang lewat? Terus, kalau ada penculik bagaimana?" keluh Zico mulai takut, di sana sepi sekali. Pikirannya mengelana, apa dia bukan tersesat di alam manusia tapi di alam lain? "Huaaa!"Bocah itu kembali menangis, Aldrich yang sudah di belakangnya ragu menyapa. Dia takut anak kecil ini semakin ketakutan. Tapi tangisan Zico lucu, terdengar seperti tikus terjepit. Aldrich tak kuasa menahan tawa. Kasihan, lalu dia pun menepuk halus punggung Zico. "Adik kecil."Tubuh Zico tergemap. Napasnya ditahan, matanya membulat sempurna ketika bulu kuduknya berdiri. "Ih, kok hawanya mulai seram? Kata nenek Gema, jika ada yang memanggil sekali itu jangan dijawab. Siapa tahu itu hantu?" gerutu Zico bergidik. 'Hantu? Jadi, aku dikira han
"Wah! Apakah mobil model batman itu milik Paman Al?" Zico takjub memandangi mobil bugatti warna hitam mengkilat, yang berhenti tepat di depannya. "Ya, mobil ini milikku." Aldrich tersenyum sambil mencium pipi Zico. Bocah itu tak menolak atau berontak, pasrah saja dicium. "Kita akan menaikinya ke restoran.""Sungguh?" Zico seakan tak percaya, matanya mengerjap–ngerjap."Why not?" kekeh Aldrich menurunkan bocah itu karena meminta. Kakinya berlarian mendekati jenis Bugatti LA Voiture Noire itu dengan mulut terbuka dan mengelus body nya penuh kagum. Seketika dia tersentak, mendapati William keluar dari sana. "Paman Al bohong, ya. Ternyata mobilnya milik Pak William!" Zico bertolak pinggang dengan bibir manyun, agaknya kesal merasa dibohongi. "Eh, mana benar? Itu mobilku, William hanya—""Kata nenek Gema, bohong itu dosa! Dosa hidupnya sengsara!" Zico ingat betul petuah Gema yang menasehatinya seperti pendeta. Panjang ... sekali. Sampai anak bandel itu sering menutup telinga dan kabur