Masih sambil mengunyah kue, Mito menjawab pertanyaan Listy. "Kami dari desa yang sama.” "Oohh, jadi sudah lama kenal dia?" Listy makin penasaran. "Lumayan. Tapi ga kenal-kenal banget." Mito mengambil gelas air mineral di meja. "Aku minum dulu." "Apa dia ..." "Ayo, Mas. Aku sudah siap." Hesty muncul dengan kostum keren. Mau jadi MC pernikahan kali ini. Pertanyaan Listy urung tersampaikan. Ah, padahal kesempatan baik. "Wah, keren banget ... cantik, Nona!" Mito tersenyum lebar. "Adiknya Kak Listy, model ternama kita." Hesty ikut tersenyum lebar. Matanya melirik ke kakaknya. Listy tersenyum kecut dengan candaan itu. Setiap ingat dia pernah jadi model, rasa perih menyelinap di hati Listy. "Lha, emang iya. Masih sering gambar kamu dipasang di mana-mana." sahut Mito, seolah bisa membaca rasa tidak nyaman Listy. Mito berdiri, bersiap pergi. "Aku sudah pensiun," tukas Listy. Dia tegas mengatakannya. Dia mau Hesty tahu Listy tidak suka dengan candaannya. "Listy, thanks kuenya. Lain ka
Selalu muncul getaran di hati Lintang saat menikmati momen begini, apalagi tangan kuat David menggenggam jemarinya. “Kak, apa aku bisa jadi istri yang baik buat Kak Dave nanti?" Lintang menatap David. Ada sedikit rasa takut di sudut hatinya. Sekalipun mereka sudah bersama lebih dari dua tahun tetap saja akan beda jika sudah menikah nanti. "Kamu takut?" David melihat bening mata cantik Lintang. "Iya, sedikit," jujur, Lintang berkata. "Aku juga belum pernah jadi suami." David tersenyum. "Kita akan masuk pernikahan sama-sama sebagai orang yang ga tahu bagaimana nanti. Asalkan kita saling terbuka seperti sekarang, saling percaya, kita pasti bisa menjalani semuanya." Hati Lintang meletup. Karena tatapan David yang selalu membuat dadanya tak tenang. Tapi juga karena makin dekat hari pernikahan rasanya makin tegang. "Ternyata mau nikah ribet ya, Kak. Banyak yang diurus. Ga sesimpel yang aku lihat di fillm." Lintang menarik tangan kanannya, merapikan rambutnya ke belakang telinga. "Ten
"Lintang, aku terus terang saja, cukup terkejut setelah tahu hubungan kamu dengan Dave. Karena, ya … kamu begitu muda. Aku yakin kamu juga tahu kalau aku dulu pernah pacaran dengan Dave, bahkan mau menikah." Pembicaraan dimulai. Jantung Lintang mulai bereaksi. Ini kenapa tiba-tiba Listy begini? Ada yang menggelitik perut Lintang, membuat tak nyaman. "Ya, aku tidak berpikir panjang, sampai akhirnya kami berpisah," lanjut Listy. "Aku sangat kenal Dave. Aku hanya ingin memastikan dia memilih kamu karena dia sungguh sayang kamu. Dan juga ... aku yakin dengan kamu dia akan bahagia." Mata Lintang tak berkedip. "Ini apa maksud Listy berkata begini?" batinnya. "Kamu cantik dan baik. Aku senang. David mungkin tidak salah pilih. Setelah sekian lama denganku, ga mudah ya ... bisa beralih hati, tapi ..." "Hai!!! Aku pulang!!!" Listy dan Lintang menoleh ke pintu. Ada Hesty di sana. Di belakang Hesty, Mito mengikuti. Lintang menyapa Hesty sambil tersenyum. "Lintang antar kue lagi? Mau dong!"
Lintang masuk dalam rumah. Masih terngiang semua yang Listy katakan tadi. Lintang sedikit merasa heran. Kenapa dia harus melakukan itu? Apa dia merasa Lintang bukan orang yang tepat buat David? Apa dia benar-benar memikirkan kebahagiaan David? Tapi kenapa dia dulu lebih memilih kebahagiaan dirinya? Lintang berjalan pelan masuk ke rumah, melepas sepatu di depan pintu. Lalu dia berjalan ke ruang tengah, duduk dan termenung di sana. "Lintang?" Diana menatap Lintang. Gadis itu bahkan tidak menyadari Diana duduk di depannya membaca sebuah majalah. *"Aku sangat kenal Dave. Aku hanya ingin memastikan dia memilih kamu karena dia sungguh sayang kamu. Dan juga ... aku yakin dengan kamu dia akan bahagia." "Kamu cantik dan baik. Aku senang ... David mungkin tidak salah pilih, setelah sekian lama denganku, ga mudah ya ... bisa beralih hati, tapi ..."* Kata-kata Listy masih terus saja bertalu-talu, beredar-edar di kepala Lintang. Dia masih menatap lurus ke lantai, seperti sedang tidak ada di
"Wulan, minggu ini ujian selesai?" Lintang bertanya pada adiknya yang sedang serius belajar. "Iya, Kak. Lalu libur, tunggu lulusan." Wulan melihat kakaknya sekilas lalu balik memelototi buku di tangannya. "Sudah besar adikku. Bukan anak kecil lagi." Lintang memencet hidung Wulan. "Aauhhh! Sakit, Kak ..." Wulan kaget juga, refleks mengusuk hidungnya. "Ga terasa kamu segede ini sekarang." Lintang memandang Wulan yang makin mirip ibu mereka. "Kakak kenapa, sih?" Wulan mengangkat mukanya, heran dengan kakaknya. "Ga apa-apa. Seneng aja lihat kamu uda remaja." Lintang tersenyum. "Kalau kayak gini Kakak tuh, kelakuan kayak ibu-ibu. Bukan kayak kakak aku," tandas Wulan. Lintang terkikik. Wulan benar juga. "Ya uda, lanjut saja belajarnya." Lintang mengusap kepala Wulan dan keluar kamar. Lintang duduk di ruang tengah. Dia membuka laptop dan mulai cek tugas untuk akhir semester yang sudah di depan mata. Senangnya kuliah tata boga, tidak banyak ujian teori. Lebih banyak praktek dan semua
Minggu sore. Sekitar jam 4, Lintang sampai di rumah Listy. Seperti yang lalu, dia pergi sendiri dengan motor. David ingin mengantar tapi mendadak ada telepon dari rumah sakit. Saat Lintang sampai, rupanya Listy memang menunggu Lintang. Dia duduk di ruang tamu. Listy tersenyum. "Terima kasih ya, kamu mau aku repotkan." "Tidak, Kak. Kebetulan waktunya bisa." Lintang meletakkan pesanan di meja. "Kak Hesty ga kelihatan?" "Dia ada job. MC acara pernikahan. Duduklah, Lin, aku masih ingin ngobrol sama kamu," kata Listy. "Eh ... aku ..." Rasa tidak nyaman dengan cepat merayap di dada Lintang. "Kamu ga buru-buru ada acara, kan?" Listy membujuk.
"Bim, Syifa ga jadi datang. Dia chat aku, mendadak ada urusan." Lintang keluar lagi tidak berapa lama."Ooh, baiklah. Aku ke rumahnya saja." Bimo berdiri. Dia melangkah mendekati Lintang. "Maaf soal tadi." Bimo masih merasa tidak enak dengan yang dia lakukan."Aku juga minta maaf, Bim." Lintang berkata lirih.Bimo pergi. Lintang masuk dalam rumah. Rumah memang sepi. Hero lagi pulang. Jadi dia mengajak Diana, Tio, dan Wulan jalan-jalan.Lintang masuk ke kamarnya. Hatinya masih bingung dan sedih. Kata-kata Listy bergantian memenuhi kepalanya. Seperti siaran ulang yang diputar berkali-kali."Aku membutuhkan David. Lepaskan dia untukku ...""Aahhh ..." Lintang mengacak rambutnya. Dia
Motor Bimo masuk ke halaman rumah yang cukup besar. Rumah itu banyak tanaman di depannya. Terasa sejuk dan adem masuk ke sana. Bimo turun dari motor dan mengetuk pintu lewat pintu samping. Di sana Syifa sedang duduk di ruang makan. "Syifa ..." panggil Bimo. "Hai ..." balas Syifa datar. Bukan, dingin. Bimo masuk. Dia duduk di depan Syifa. "Kenapa kamu ga bisa aku kontak? Kamu marah?" tanya Bimo. "Kamu mau makan?" Syifa tidak menjawab. "Ibu masak pangsit yang enak. Isinya ikan, beda sama biasanya." "Syifa ..." Bimo menarik lengan Syifa. Syifa menepis tangan Bimo. "Kalau ga mau ga apa-
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini