"Wulan, minggu ini ujian selesai?" Lintang bertanya pada adiknya yang sedang serius belajar. "Iya, Kak. Lalu libur, tunggu lulusan." Wulan melihat kakaknya sekilas lalu balik memelototi buku di tangannya. "Sudah besar adikku. Bukan anak kecil lagi." Lintang memencet hidung Wulan. "Aauhhh! Sakit, Kak ..." Wulan kaget juga, refleks mengusuk hidungnya. "Ga terasa kamu segede ini sekarang." Lintang memandang Wulan yang makin mirip ibu mereka. "Kakak kenapa, sih?" Wulan mengangkat mukanya, heran dengan kakaknya. "Ga apa-apa. Seneng aja lihat kamu uda remaja." Lintang tersenyum. "Kalau kayak gini Kakak tuh, kelakuan kayak ibu-ibu. Bukan kayak kakak aku," tandas Wulan. Lintang terkikik. Wulan benar juga. "Ya uda, lanjut saja belajarnya." Lintang mengusap kepala Wulan dan keluar kamar. Lintang duduk di ruang tengah. Dia membuka laptop dan mulai cek tugas untuk akhir semester yang sudah di depan mata. Senangnya kuliah tata boga, tidak banyak ujian teori. Lebih banyak praktek dan semua
Minggu sore. Sekitar jam 4, Lintang sampai di rumah Listy. Seperti yang lalu, dia pergi sendiri dengan motor. David ingin mengantar tapi mendadak ada telepon dari rumah sakit. Saat Lintang sampai, rupanya Listy memang menunggu Lintang. Dia duduk di ruang tamu. Listy tersenyum. "Terima kasih ya, kamu mau aku repotkan." "Tidak, Kak. Kebetulan waktunya bisa." Lintang meletakkan pesanan di meja. "Kak Hesty ga kelihatan?" "Dia ada job. MC acara pernikahan. Duduklah, Lin, aku masih ingin ngobrol sama kamu," kata Listy. "Eh ... aku ..." Rasa tidak nyaman dengan cepat merayap di dada Lintang. "Kamu ga buru-buru ada acara, kan?" Listy membujuk.
"Bim, Syifa ga jadi datang. Dia chat aku, mendadak ada urusan." Lintang keluar lagi tidak berapa lama."Ooh, baiklah. Aku ke rumahnya saja." Bimo berdiri. Dia melangkah mendekati Lintang. "Maaf soal tadi." Bimo masih merasa tidak enak dengan yang dia lakukan."Aku juga minta maaf, Bim." Lintang berkata lirih.Bimo pergi. Lintang masuk dalam rumah. Rumah memang sepi. Hero lagi pulang. Jadi dia mengajak Diana, Tio, dan Wulan jalan-jalan.Lintang masuk ke kamarnya. Hatinya masih bingung dan sedih. Kata-kata Listy bergantian memenuhi kepalanya. Seperti siaran ulang yang diputar berkali-kali."Aku membutuhkan David. Lepaskan dia untukku ...""Aahhh ..." Lintang mengacak rambutnya. Dia
Motor Bimo masuk ke halaman rumah yang cukup besar. Rumah itu banyak tanaman di depannya. Terasa sejuk dan adem masuk ke sana. Bimo turun dari motor dan mengetuk pintu lewat pintu samping. Di sana Syifa sedang duduk di ruang makan. "Syifa ..." panggil Bimo. "Hai ..." balas Syifa datar. Bukan, dingin. Bimo masuk. Dia duduk di depan Syifa. "Kenapa kamu ga bisa aku kontak? Kamu marah?" tanya Bimo. "Kamu mau makan?" Syifa tidak menjawab. "Ibu masak pangsit yang enak. Isinya ikan, beda sama biasanya." "Syifa ..." Bimo menarik lengan Syifa. Syifa menepis tangan Bimo. "Kalau ga mau ga apa-
"Apa yang terjadi padamu?" David menarik tangan Lintang menggenggamnya dengan lembut. David masih menatap lurus pada Lintang."Aku tidak bisa menikah dengan Kakak karena satu dan lain hal." Tatapan Lintang terlihat dia mengatakan itu dengan serius.David terdiam. Kenapa gadis imut ini tiba-tiba bicara seperti ini? Seketika David ingat mimpinya."Alin," ujarnya pelan. "Aku pernah gagal dan batal menikah. Malu, sedih, kacau. Aku berusaha tegar, tapi di dalam sangat rapuh. Dan perlu waktu panjang untuk bisa pulih. Untuk bisa yakin, aku akan menemukan orang yang tepat untuk benar-benar menerima aku."Lintang memandang David. Hatinya bergelut lagi mendengar itu. Ya, David pernah terluka. Karena Listy. Apakah Lintang yang akan melukai pria baik ini juga? Tapi, jika di dalam ha
"Aku dan Bimo jadi penerima tamu, kan? Aku seneng banget. Sekalian bisa mencoba keserasian waktu di-makeup lengkap." Syifa bersemangat membayangkannya. Lintang tersenyum. Dia berusaha menampilkan ekspresi yang wajar, sedang hatinya begitu carut marut. Syifa terus berceloteh tentang bayangannya saat hari istimewa sahabatnya itu. "Taaarrraaa ... makanan datang." Bimo balik dengan pelayan yang mengantar pesanan mereka. Pelayan itu meletakkan makanan mereka. Segera mereka memulai makan siang. Kali ini Lintang mengalihkan pembicaraan kepada hubungan Syifa dan Bimo. Dia tidak mau bicara lagi tentang pernikahannya. Kegelisahan terus memburu Lintang. "Liburan ga ada acara spesial nih, berdua?" Lintang kembali bertanya.
Hesty menatap mata kakaknya. Memang ada pandangan gamang di sana. Dia gelisah."Kak, yang terjadi padamu sudah berlalu. Tapi Kakak masih punya hari esok. Beri kesempatan Mas Mito mengenal Kakak. Lalu Kakak akan tahu apa sungguh dia sayang Kakak atau hanya kagum semata," ucap Hesty."Aku takut dia tidak akan melihat aku lagi setelah tahu kenyataan yang terjadi." Listy mendesah."Jangan menilai jika belum tahu seperti apa dia. Mas Mito orang yang sangat baik. Dia ingin melakukan yang paling baik untuk semua pelanggannya. Aku yakin dia juga akan begitu dengan orang yang dia sayang." Hesty berusaha meyakinkan kakaknya."Kamu yakin?" Listy memandang adiknya."Ya Kak. Coba Kakak lihat dia. Kak Dave sudah menemukan kebahagiaan hidup
Lintang menangis lagi. Wulan, adiknya yang masih belia itu bisa melihat semua dengan jelas. Apa yang dia katakan semua benar."Listy ... dia memilih pergi melepas pria sebaik Kak Dave. Karena dia egois. Sekarang, dia sadar, tidak ada yang sebaik Kak Dave, karena itu dia ingin kembali. Dia egois. Bukan karena dia tak berdaya. Dia punya kesempatan sangat lebar untuk memeluk Kak Dave selamanya, tapi dia tinggalkan."Lagi-lagi yang Wulan katakan benar."Kamu sama bodohnya seperti Listy, kalau kamu lepaskan Kak Dave. Kalau iya, Kak Dave masih ada sayang sama Listy, aku, jika aku kamu, aku akan buat Kak Dave jatuh cinta padaku. Aku akan buat dia bahagia. Dan Kak Dave tidak akan kehilangan kasih sayang setelah semua yang dia berikan untukku."Lintang tertegun. Ternyata Wulan ya
'Family is the best thing you could ever wish for. They are there for you, during the ups and downs and love you, no matter what' - Anynomous.Membaca kalimat singkat di atas, tentang sebuah keluarga, sangatlah tepat. Setiap kita berasal dari sebuah keluarga. Apapun dan bagaimanapun, mereka bagian hidup kita yang tidak akan pernah hilang. Banyak hal kita belajar pertama kali dari keluarga, dari orang tua kita dan saudara-saudara kita.Memang, tidak sedikit waktu kita kecewa, marah, dan tidak puas dengan mereka yang Tuhan ijinkan menjadi keluarga kita. Kita merasa yang terjadi sangat melukai dan tidak seharusnya. Namun, keluarga adalah keluarga. Mereka orang-orang yang berarti untuk kita bertumbuh, menjadi kuat dan tangguh, justru melalui banyak konflik yang kita hadapi bersama keluarga.'No family is perfect. We argue, we fight, we even stop talking to each other at times, but in the end, family is family' - Anonymous.Jika masih ada keluarga yang kita mi
Lintang menidurkan Kendra di ranjangnya. Masih dia usap-usap lembut rambutnya, memastikan putranya memang telah terlelap. Lintang mengecup keningnya, lalu dia selimuti hingga di bagian dada. Lintang tersenyum, melihat anak lelakinya yang lucu, bertumbuh penuh semangat, dan tampan menggemaskan. "Tidur nyenyak, Sayang. Mama dan papa akan selalu menjagamu. Bertumbuhlah sehat, kuat, dan jadi laki-laki tangguh dan baik hati," bisik Lintang. Dia tinggalkan Kendra dan berpindah ke kamar sebelah. Kamar Kinanti. Gadis cantik itu berbaring sambil memejamkan mata. Saat Lintang mendekat, dia tahu Kinanti belum benar-benar tidur. Bola matanya masih bergerak-gerak. Lintang mengusap keningnya lembut. Kinanti justru membuka matanya. "Tidurlah, Sayang ..." ucap Lintang lirih. Dia duduk di sisi ranjang. "Cerita dulu, Ma." Dengan mata sayu karena mengantuk Kinanti berkata. "Hm? Mau dibacain? Cerita yang mana, Sayang?" tanya Lintang. "Queen Esther," jawab
Acara ultah selesai. Senyum dan tawa ceria terdengar lagi dari anak-anak itu. Beberapa saat berikutnya, Kinanti dengan riang berlari kecil menghampiri mama dan papanya. Dia membawa bingkisan besar, bukan satu, tapi tiga. "Lihat, Ma, Pa!" Dia tunjukkan apa yang dia bawa. Dia letakkan di meja di depan Lintang dan David. "Wah, dapat tiga?" David tersenyum lebar. Dia pandangi putrinya yang terlihat begitu gembira. "Ini buat aku, ini buat adik Ken. Yang ini ..." Kinanti menunjukkan bungkusan dengan kertas kado biru yang cantik. "... aku dapat hadiah ini, karena gaun aku paling unik." Mata gadis itu tertuju pada Lintang. "Ma ... maaf, aku tadi marah-marah sama Mama. Ternyata gaun pilihan Mama paling oke." Lintang dan David tersenyum mendengar kata-kata putri mereka. Kinanti mendekat pada Lintang dan memeluk mamanya kuat. Rasa hangat menjalar di hatinya. Dia menyesal sebelum pergi harus ribut dulu dengan sang ibu. "Aku sayang Mama. Aku ga mau
"Ga mau! Aku mau yang merah! Masa pakai biru lagi?!" Gadis kecil dengan mata bulat bening itu cemberut. Bibirnya manyun, sementara kepalanya menggeleng keras membuat rambut ekor kudanya bergerak bebas dan lucu."Sayang ... mana bisa pakai yang merah? Dress code-nya warna biru," ucap wanita cantik dengan rambut hitam tebal di depannya. Dia berusaha sabar menghadapi gadis kecil yang ngotot dengan gaun pilihannya."Tapi, birunya itu lagi. Bosan aku, Ma." Gadis kecil itu masih saja kesal pada mamanya. Dia cemberut dengan alis berkerut hampir menyatu.Mamanya sudah tidak sabar, karena tidak berapa lama mereka harus segera berangkat atau akan terlambat."Terserah, Kinan mau pakai atau Mama ga akan mengantar pergi." Hilang akal, ancaman pun muncul."Ah, jangan! Iya, aku mau pakai." Dengan wajah masih cemberut, akhirnya gadis kecil itu mengalah.Dari arah pintu muncul seorang pria tampan, memandang pada kedua makhluk cantik yang bersiteg
Mito tersenyum. "Masuk bulan keempat. Dikerjain beneran aku. Harus ekstra sabar.""Hee ... hee..." David terkekeh."Kenapa?" Mito mengerutkan keningnya. Kok David ngakak gitu?"Nasib kita sama. Ternyata bukan cuma Lintang yang aneh-aneh." David menggeleng-geleng."Lintang juga hamil?" Mito memastikan."Masuk bulan kedua. Manja banget. Suka ngambek," jawab David."Listy ngambek nggak, dikit-dikit nangis. Ga enak di hatinya dikit, nangis. Minta apa ga cepat dapat, nangis," kata Mito.Lintang yang sudah balik dari toko mendengar percakapan dua calon bapak muda itu. Dia senyum sendiri, tapi merasa kasihan juga pada mereka.
Melihat ekspresi Lintang David ingin tertawa, tapi dia tahan. Takut saja kalau Lintang makin ngambek. "Jangan sensi, becanda ini." David mengambil sendok. "Mau suap? Doa dulu." Lintang menundukkan kepala, mengucapkan doa sebelum dia mulai makan. "Udah? Ayo, makan." Dan mulai David menyuap Lintang. Ternyata cuma telor ceplok dia lahap sekali. "Pintar ... dikit lagi abis." David tersenyum. "Tapi Kak Dave ga makan. Sini, aku yang suap." Lintang mengambil sendok di tangan David, menyuapi David gantian. "Hm, aku enak juga masak telor ini," ucap David dengan mulut penuh. "Abisin deh, aku minum aja. Udah makannya." Lintang minum seteng
"Tidak.Tapi, kamu tenang saja, Lin. Posisi kamu sangat kuat. Bayu tak akan bisa melakukan apa-apa padamu," sahut Ridwan. "Ya, Pak. Aku paham," ucap Lintang, berusaha menenangkan dirinya. "Jika ada apa-apa, jangan sungkan hubungi aku, kapan saja," sambung Ridwan. "Tentu, Pak." kata Lintang. "Trimakasih, sudah mau saya repotkan." "It is okay." ujar Ridwan. Dan telpon selesai. Lintang menutup telpon. Dia menggigit bibirnya. Dia berharap Bayu akan mengurungkan niatnya datang. Atau dia begitu sibuk dan ga sempat mampir ke rumah ini. ***** "Terima kasih banyak, Mbak. Pesanannya kami antar besok langsung ke alamat ini." Senyum ramah Lintang mengembang. Dua pelanggan yang datang tersenyum pu
"Ayah ..." Lintang melongok di depan kantor ayahnya. "Kalian, masuklah." Farid meletakkan pena yang dipegangnya. Dia memandang anak dan menantunya yang berjalan masuk ke ruang kerjanya. "Ayah ..." Lintang memandang ayahnya. Farid sudah bisa menduga sebenarnya yang Lintang akan katakan. "Aku ... eh ... ayah akan jadi kakek." Lintang tersenyum. Farid pun melebarkan bibirnya. Dia tersenyum senang. "Ayah benar kan, Dave?" "Ya. Ayah benar." David tersenyum. "Ayah sudah tahu?" ujar Lintang, menatap ayahnya yang masih tersenyum senang. "Melihat kamu jadi aneh-aneh. Mirip ibumu saat mengandung kamu," kata Farid.
David mengambil sepiring nasi goreng dan telur, lalu dia bawa ke depan. Lintang balik duduk di ruang tengah, di sofa yang sama. Lintang duduk bersandar pada punggung sofa. "Sayang, sarapan dulu," ujar David. Dia sodorkan piring di depan Lintang. "Ga mau. Eneg, Kak." Lagi-lagi jawaban ketus. "Alin, ini kamu sendiri yang masak," bujuk David. "Ga mau," sahut Lintang, dia bersedekap sambil mengerutkan kedua keningnya karena kesal. "Terus mau sarapan apa?" Agak gusar, David mencoba sabar. "Bubur sumsum," kata Lintang. Dia melirik pada David yang bingung dengan sikap Lintang. "Bubur sumsum?" David menjawab heran. "Iya, beliin." Lintang cemberut. "Jangan pakai ngambek, Alin. Aku ga enak sama ayah. Dipikir aku jahat sama kamu," sahut David. Lintang berdiri dan naik ke kamar. "Emang." David makin bingung. Dia bawa balik piring ke dapur. Ada Wulan juga sekarang di sana. "Dia ga mau?" tanya Farid. "Pingin bubur sumsum katanya," jawab David. Dia letakkan piring di tengah meja. "Sini