"... Putus tetap saja menyekat perasaan kita tak bisa normal seperti biasanya ..."
~ Ara ~
Aku langsung menuju dapur dan membuka lemari paling atas, dimana mie instan biasanya ku simpan.
"Spageti, pasta atau mie instan?"
"Yang paling simpel dan cepat"
"Indomi? Ramen? Bihun? Laksa?"
"Indomi dong. Tapi apapun buatanmu pasti ku makan"
"Bagaimana klo ditambah cabe?"
"Tetap akan ku makan mie-nya bukan cabenya"
"Klo aku menyuruhmu makan cabenya juga. Kau tetap akan makan?"
"Ya, meskipun sedikit. Karena itu permintaan mu"
"Okay. Kau bisa duduk dan menunggu"
Aku menyalakan kompor dan Aru melepas tas slempangnya, menuruti perintah ku. Tapi kemudian aku mengingat sesuatu. Aku memintanya untuk mengambilkan ponselku agar aku bisa memastikan satu hal darinya.
"Kau bisa mengambilkan ponselku?"
"Dimana?"
"Balkoni" <
"... Hati manusia tidak di desain untuk selamanya kuat ..." ~ Aru ~ Aku mencuci mangkok ku saat Ara sedang ke kamar mandi, katanya mau sekalian gosok gigi. Lalu aku membaca pesan balasan dari Zein yang datangnya sangat terlambat. "Mate, ARE YOU F***KING KIDDING ME?" balasan pertamanya, "Kendalikan dirimu foolish. Kau sudah putus dengannya!" tambanya Zein. "Don't get mad dude" balasku, "Kau kemana saja tadi? Baru sekarang membalasku. TOO LATE NOW! Aku sudah terlanjur memperbaikinya" "WTF?" makkinya kesal, "Kau lupa time difference? Ini tengah malam di Sydney" "Yah, kurasa aku lupa tentang itu. Siapa juga yang tahu klo kau sedang di Sydney? Aku kira kemarin Shanghai bukan Sydney" "Panjang ceritanya. Lagian ini bukan ceritaku, ini tentang ceritamu. Jadi kembali kemas
"... Hubungan ini bukan tentang tanggal ataupun angka, tapi ini tentang rasa ... " ~ Ara ~ Aku menghubungi Aru, segera setelah semua urusan pekerjaan ku ditempat ini selesai. Berharap, semoga aku tidak terlambat menghubunginya atau setidaknya, aku berharap Jika dia belum pergi terlalu jauh dari tempatnya mengajar gitar. "Haloo. Aru, kau masih di Pungol?" "Yah, baru akan pulang. Kenapa?" "Bisa kita bertemu? Aku ingin mengajak mu untuk makan bersama. Kau punya waktukan?" "Ara aa... aku..." Mendengarnya ragu, aku jadi tahu dia pasti berusaha mencari alasan untuk menolak ajakanku karena isi dalam dompetnya, atau mungkin karena akal sehatnya sudah kembali waras lagi. Jadi dia mulai mengatur jaraknya kembali denganku. Walau bagaimanapun, status putus masih memberikan jarak kuat dalam rasional kami masing-masing agar tidak terlalu dekat.Itu sepe
"... Aku tidak bisa mengatasi perasaanku karena itu, terbukalah jalan keluarnya ... "~ Masih Ara ~Aru tersenyum bahagia.Aku tetap suka semua perbincangan kita di meja makan yang selalu hangat seperti ini.Aku bahkan masih bisa merasakan Aru menatapku dengan mesra. Keceriaannya kembali lagi seperti biasanya.Kurasa kata putus sudah mulai mengabur dan tak menjadi beban lagi bagi kita berdua.Pembicaraan diatara kami mulai hidup lagi hanya karena kami menepis semua jarak dari pahitnya kata putus itu."Apa menurutmu begitu? Aku menularan pikiran tuaku padamu?" tanyanya dengan dahi berkerut."Tentu tidak bukan?! Pikiran kita hanya berkembang menjadi lebih dewasa. Kita membijak bersama karena banyak peristiwa dalam hidup kita Ara, bukan karena aku menularkan pikiran tuaku padamu ...." sangkalnya."Kita belum setua orang tua kita, Ra!"
"... Aku hanya bisa menyukainya tanpa bisa memilikinya ... "~ Aru ~Ara memintaku bertahan sedikit lebih lama disini dan seperti biasa magnetnya tidak bisa semudah itu bisa ku lepas walau semua ikatan cinta diantara kami sudah kami lepas. Aku luluh dan menerima tawarannya untuk bertahan sedikit lebih lama didekatnya."So, kau mau menonton frojen?""Itu lagi?" aku menggeleng."Lalu apa yang harus kita lakukan?""Entahlah. Aku juga tidak tahu. Mungkin kau bisa membuat sebuah permainan""Kau lebih pintar soal itu Aru. Kau tahu aku tidak suka game. Aku ke kamar dulu untuk ganti baju okay?""Boleh aku ikut?""HECK NAH ARU" pelototkuu tajam."Aku hanya bercanda"Ara tersenyum dan meninggalkanku.Aku berjalan menuju dapur. Membuka kulkas untuk mengambil minum, tapi aku berubah pikiran karena perasaanku masih saja meras
"... Cinta menali kita dalam bentuk dan ikatan yang unik ... "~ Masih Aru ~"💔""Kau tahu rasanya patah hati?""Hug me plz! Aku perlu zona nyamanku"Aku mengetikkan kalimat balasanku."I would love to hug you but we're in distance. Virtual hug okay? 🏇 ""Mmm, rasanya patah hati itu... tidak nyaman. Sukar tidur. Dan masih saja memikirkannya""Lalu apa bedanya dengan jatuh cinta?""Oopss, aku lupa menekan satu hal. 😁 Bedanya? Yang satu memikirkannya karena merasa sedih dan yang satunya karena merasa berbunga-bunga" aku menyambung penjelasan yang kurang lengkap."Kau...? 👉👈 ""And YESS. Aku putus darinya"" 😱 I'm sorry Quin. Hatiku juga patah mendengarnya""Nohh. Don't, Aru! You should be happy to hear it.&nb
"... Kau akan membayar bantuan ini ... " ~ Ara ~ "Mbak, kau masih lama pulangnya?" aku membaca pesan yang baru saja Andre kirim. Adik ku sudah berada di kota ini sejak dua hari yang lalu, Arnold yang mengantar dan langsung pulang esok harinya. Aru tidak tahu soal itu. Aku sengaja menyembunyikan berita ini darinya, karena tidak ingin kami saling bermusuhan lagi. Bahkan aku juga belum memberitahukan padanya jika adikku sudah berada di Condo. Aku hanya takut jika saja mereka bertemu, lalu akan ada banyak rahasia yang terbuka. Jadi untuk cari amannya aku tidak memberitahu Aru. "Iya masih. Ini masih jam 10 woe!" balsku pada Andre. "Aku pulangnya nanti sore. Kenapa?" "Oh, tidak apa-apa" Memang kedekatan ku dengan Aru terbangun kembali, meski kami tidak lagi bertemu setiap hari karena kesibukan masing-masing dan terlebih karena setiap kali aku meminta agar di
"... Satu-satunya yang tidak bisa ku curi adalah takdir ... " ~ Aru ~ Aku bisa saja masuk tanpa menekan bell seharusnya, tapi aku tidak melakukan itu karena aku menghargai privasi tamu. "Oh man, aku sudah tidak tinggal lagi disini. Kenapa juga aku masih terus saja menganggap jika ini tempat tinggalku. SIAL! Perasaan itu masih tak mudah pergi dariku rupanya" Andre membuka pintu, melihat ku dengan wajah senang. "Mas Aru" "Hai bro" aku memperlihatkan kantong karton yang berisi makanan, "Pesan antar makanan datang" aku melucu, Andre senang. "Kok tahu aku disini, Mas?" "Kakak mu mengirimiku kesini. Katanya kau bertingkah seperti bayi, dan aku harus menjewermu dengan keras" "Dasar Tia kurang ajar" gerutunya. "Jadi kau tidak mau aku disini? Oke, aku pulang" "Ehh, engak Mas... bukan begitu" "Klo begitu jaga ucapanmu. Walau b
"... Kau harusnya mengobati lukamu, bukan menahan luka baru ... "~ Masih Aru ~"Apa yang membuatmu menilai aku harus meninggalkan Ara waktu itu? Apa yang membuatmu berpikiran jika Ara lebih pantas hidup bersamanya daripada bersamaku?"Tasya tidak langsung menjawabnya. Dia mengamatiku lebih dulu, seperti tengah menimbang keraguannya."Pertanyaan mu semakin berat, Aru. Kau sadar itu? Kau yakin kau bisa mengatasi apa yang akan ku jawab untukmu? Ada baiknya kau tidak tahu apa-apa bukan?""Ini tentang masa depan orang yang kusayangi, Sya. Aku harus tahu siapa pria yang akan menggantikan ku kelak""Kau terlalu mencintai Ara, dan itu menjadi kelemahan untukmu. Kau sadar itukan?"Aku tahu itu. Aku juga awalnya merasa aku memiliki cangkang batok kura-kura yang kuat tapi nyatanya ini cangkang telur yang mudah retak. Aku kira, aku memiliki hati yang kurasa kuat tapi ternyata sangat
~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil
"... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere
"... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m
"... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U
"... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k
"... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen
"... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.
"... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende
"... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda