Share

53. KENA MENTAL

Author: Wika Cahaya
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

"... Satu-satunya yang tidak bisa ku curi adalah takdir ... "

~ Aru ~

Aku bisa saja masuk tanpa menekan bell seharusnya, tapi aku tidak melakukan itu karena aku menghargai privasi tamu.

"Oh man, aku sudah tidak tinggal lagi disini. Kenapa juga aku masih terus saja menganggap jika ini tempat tinggalku. SIAL! Perasaan itu masih tak mudah pergi dariku rupanya"

Andre membuka pintu, melihat ku dengan wajah senang.

"Mas Aru"

"Hai bro" aku memperlihatkan kantong karton yang berisi makanan,

"Pesan antar makanan datang" aku melucu, Andre senang.

"Kok tahu aku disini, Mas?"

"Kakak mu mengirimiku kesini. Katanya kau bertingkah seperti bayi, dan aku harus menjewermu dengan keras"

"Dasar Tia kurang ajar" gerutunya.

"Jadi kau tidak mau aku disini? Oke, aku pulang"

"Ehh, engak Mas... bukan begitu"

"Klo begitu jaga ucapanmu. Walau bagaimanapun dia kakak mu satu-satunya di dunia ini. Sayangi dia dengan benar, bocah. Jangan terus membuatnya pusing dan jadi cepet menua"

"Haha... kau bisa saja, Mas"

"Cuci tangan mu dan makanlah"

Andre menurut. Dia memang anak penurut sebenarnya, entah kenapa Ara tidak bisa akur dengannya.

"Kau ingin menghabiskan liburan mu kemana saja disini?"

"Kemanapun, asal tidak terkurung dalam rumah sendirian. Membosankan"

"Klo begitu kau bisa jalan ke bawah, ada taman, juga kolam renang. Keluar dari gedung ini, lalu jalan 10 menit kearah kanan kau akan menenukan swalayan. Kenapa harus memilih mengurung diri disini sendirian?"

"Mas kau kan tahu, aku punya masalah dengan bahasa disini. Bahasa Inggis ku tidak cukup baik, itulah kenapa aku tidak pergi kemana-mana"

"Gunakan saja bahasa Indonesia. Sedikit-sedikit ada juga yanng paham. Tapi bukannya kini kau makin berani, huh?" dahinya jadi berkerut karena sulit memahami kalimatku.

"Kau berani kesini sendiri, mana mungkin turun kelantai bawah saja kau tidak berani? Jangan buat kemajuanmu jadi sebuah kemunduran lagi dong!"

"Tidak. Aku belum memiliki kemajuan apapun. Aku masih penakut. Dan lagi, aku tidak kesini seorang diri. Ada Mas Arnold mengantarku kesini kemarin"

"Ar-no?" nyeri rasanya mengetahui hal semacam itu.

"Maksud Mas Aru, Mas Arnold kan?"

"Tunangannya Ara?"

"Dan sekaligus calon suaminya, dong! Namanya bukan Ar-noh tapi Arnold. Kau mengenalnya juga, Mas?"

CALON SUAM-MI?? kata satu itu membuatku jadi kena mental.

Aku tidak mengira jika hubungan mereka menjadi semakin seserius ini. Aku malah sibuk berharap agar mereka segera putus, setiap harinya. Bukan semakin serius seperti ini.

JADI HUBUNGAN MEREKA SUDAH NAIK SATU LEVEL MENUJU KESERIUSANKAH?

OH, YA TUHAN. MENGAPA DIDEKAT KELUARGA ARA HATIKU TERUS SAJA MERASA SAKIT.

"Mas?"

"Hah? Oh ya, tentu aku tahu siapa dia. Jadi dia yang mengantar sampai sini?"

"Ya, Ibu yang menyuruhnya"

"Sekalipun Ibumu tidak menyuruhnya dia pasti otomatis mau!" gerutuku pelan, "Lalu dimana dia sekarang?"

"Sudah pulang. Dia menginap semalam, lalu jalan bersama melihat-lihat kota di pagi harinya, baru siangnya dia pulang"

Seluruh aliran darahku terasa mendidih kini. Badanku memancarkan aura panas. Aku merasa kena mental dengan kalimat jujur Andre yang sederhana.

Jadi beberapa hari aku menghindari temu dengannya, dia jadi semakin berani seperti ini.

Ara, mengapa kau begitu brengsek?!!!

Calm down Aru! Kau lupa sudah putus? Dan ini bukan lagi hunianmu. Jadi kau tak harusnya mendidih begini.

"We're done Aru. We're done!" bisik sebuah suara dari dalam diriku.

"Kau bilang kau lapar. Makanlah!"

"Tapi setelah ini kau akan mengajak ku jalan, bukan?"

"Kau mau kemana?"

"Cari pacar mungkin?"

"Kau belum punya?"

"Kayak Mas Aru punya ajah" sindirnya.

Sial, itu juga menyodok hatiku. Terlebih hubungan dekat ku dengan Ara juga tak punya wajah kejelasan. Kita bukan pacar, bukan juga musuh. Teman juga bukan.

"Kau meremehkan ku, bocah?"

"Jangan MEMANGGILKU BOCAH LAGI. Aku sudah mimpi basah, tau!"

"WAOUH. Jadi kau sudah baliqh, huh?"

"Mmm, ya tentu. Secantik siapa pacarmu, Mas?" aihnya berbicara.

"Secantik bidadari dengan sayap hitam. Dan perhatiannya...? Perhatiannya juga seperti emak-emak. Peluknya...? Bahkan sehangat selimut berbulu domba"

Andre terkikik.

"Kau sedang memuji atau sebaliknya sih? Lucu banget kau ini Mas!"

"Mumpung dia ngak dengar!" lirihku.

"Ku harap itu bukan Tia"

"Dan KENAPA ITU harus DIA?" sinisku balik menghajar.

"Aku tak ingin kau patah hati. Dia sdah dimiliki. Dan kau tak pernah terlihat bersama orang lain selain dengan dia. Maksudku, aku belum pernah melihat pacarmu. Kau bisa tunjukkan fotonya?"

"Kau LUCU! KAU pikir pacarku ARTIS? Harus ku PAMERKAN semua orang?!"

"Ku harap itu buka kebohongan dan sangkalan mu belaka!"

"KAU PIKIR AKU ini penjahat yang suka bohong sana - bohong sini, heh? Lagi pula apa untungnya aku berbohong padamu? ITU TIDAK akan MEMBUATKU KAYA JUGA! Sudahlah. Aku ke kamar kecil dulu" Aku beralih pergi.

"Tidak adik, tidak juga kakaknya, sama saja pandai memberikan luka" gerutuku lirih memasuki kamar mandi.

Aku membasuhkan air ke mukaku dengan kesal untuk mengusir berat dari dalam diriku.

Jadi apa ini semua jawab dari tanya raguku? Apa ini rahasia yang Ara bagi dengan Tasya? Ini jugakah yang coba dia jelaskan padaku waktu itu?

"Tinggalkan Ara atau lukamu akan semakin parah, Aru!" kalimat Tasya terdengar lagi di kepalaku.

Inikah isyarat yang coba Tasya jelaskan jika aku tak bisa mencuri takdirnya?

Percakapan dihari yang kacau waktu itu dengan Tasya kembali mengulang lagi dalam kilas balik pikiranku.

.....

"Boleh aku tahu sesuatu tentang Arnold?"

Seketika wajah santai Tasya berubah jadi serius. Dan akupun terbawa serius.

"Kau mengenal kita semua dengan baik. Jadi aku berharap dengan bertanya objektif padamu tentangnya, itu akan memberikan pencerahan baru bagiku dalam memandang dan mensikapi kesulitan yang kuhadapi ini"

"I hope so" jawab Tasya.

"Sya, apa dia berasal dari keluarga yang baik?" aku mengawali tanya pertamaku.

"Ya. Semua keluarganya bersih. Tak ada yang pernah masuk perjara atau terkena kasus buruk. Keluarganya terkenal taat beribadah. Mereka rajin ke Gereja. Itu yang ku tahu"

Sekalipun silsilah keluargaku juga baik dan bersih, tak seorangpun dari kami yang pernah masuk penjara juga. Tapi aku masih merasa kalah. Karena tempat dan cara ibadah kami berbeda. Ara tak bisa memenangkan aku untuk hal ini. Dan aku tahu itu sejak awal.

"Lalu apa lebihnya dia dariku, Sya?"

Tasya menyeringai ringan sejenak.

"Dia mapan, sopan, dan punya iman yang sama dengan Ara. Kkau tidak, Ru!"

Benar. Itulah kenapa hubungan ini terasa begitu sulit dipertahankan. Itulah kenapa benteng ini begitu sulit dijebol. Itulah kenapa, aku tak punya dukungan dari siapapun. Termasuk dari Zein, juga Tasya.

"Andai kata kau harus menilai dari sudutmu memandang..." aku merasa berat, jadi mengambil jeda sejenak. 

"Apa yang memberatkan Ara memilih dia dari pada memilihku?"  

Ini pertanyaan yang cukup sulit untuk diterima dengan lapang seharusnya. Ini tidak mudah, jadi aku menguatkan mental menerimanya.

Tasya melepas pikiran beratnya dari pertanyaan itu dan menjawab tanyaku. 

"Kau tahu. Kau pasti tahu jawabnya Aru. Kurasa kau ragu membenarkannya, jadi kau bertanya ulang padaku. Jelas sekali jika itu karena keluarga Ara. Semua yang memberatkan pilihannya untuk memilihmu adalah keluarganya. Rasa patuh Ara pada orang tuanya dan sikap baktinya pada Papa-Mamanya adalah hal yang tidak bisa iya tentang serta-merta, walaupun Ara juga memikirkan perasaan mu tapi dominasi kuasa orang tuanya akan dirinya lebih besar daripada kuasa akan cintanya padamu"

Embun mataku mulai datang lagi, memeningkan kepala. Yah, aku tak bisa mengalahkan mereka. Mereka adalah cinta pertama Ara yang sesungguhnya, yang tak bisa diganti dengan cinta-cinta dari yang lainnya. 

"Kau baik?" Tasya mulai menyadari kegetiranku makin berat dan dalam. 

Aku mengangguk.

"Tidak apa-apa"

Setelah menarik udara dari rongga hidungku dan menegarkan kembali perasaanku. Aku melanjutkannya lagi. 

"Menurut mu adakah hal yang tak bisa ku curi dari Arno? Apa yang tak bisa ku curi darinya?"

Tasya tersenyum masam sebelum menjawabku. Entah itu senyum karena  iba padaku atau karena tegelitik geli.

"Kau bukan pencuri Aru. Apa yang ingin kau curi? Kau bukan pencuri, Ru!"

"Lalu apa itu Ar-noh?" potongku sewot.

Tasya malah tertawa lepas medengar sindiran itu kutujukan pada Arnold. 

"Meski aku tidak berada diposisimu saat ini. Dan tidak pula memiliki perasaan yang serumit seperti perasaan mu. Tapi kurasa aku bisa memahami tuduhan mu itu, jika dia yang mencuri Ara darimu. Yah, jika saja itu aku, tentu aku pasti tak bisa tinggal diam tanpa membuat kekacauan juga"

Tasya menjeda, mengamatiku sejenak.

"Tapi kau bukanlah aku, Ru. Kau masih menahan diri untuk tetap memikirkan perasaan Ara. Kau takut dia terluka dengan semua tindakan berontakmu, jadi kau memilih diam menahan semua amarahmu sendiri daripada harus menunjukkan semua marahmu ke Ara"

Dia melepas tatapannya dariku.

"Cinta akhirnya mengajarkan mu akan kontradiksi, bukan?" tatapannya kembali beradu padaku.

"Kau harus melemah, disaat sebenarnya kau justru punya kekuatan ekstra besar untuk marah. Dan kau harus menjadi sangat kuat, justru disaat seluruh kekuatan mu menjadi sangat runtuh"

"Jangan mengasihani ku. Sekalipun itu benar. Kau hanya harus menjawab tanyaku dengan benar. Bukan merasa kasihan padaku!"

"Aru... Aru.... Ku harap kau juga bisa setegas ini pada Ara, tidak hanya padaku saja. Jadi kau tak akan terlalu tersakiti oleh sikap plin--plannya" Tasya memprotes, sekaligus memperingati.

"But well... untuk pertanyaan mu tadi. Satu-satunya bagian yang tidak bisa kau curi dari dunia ini adalah takdir hidup seseorang dan waktu, Aru! Seberapa berkuasanya kau, seberapa hebatnya dirimu. Kau tetap tak akan pernah bisa mencuri waktu dan takdir seseorang ketika sudah dipertemukan dalam keserasian"

Aku lemah. Menjadi sangat lemah mendengarnya. Tasya benar. Ada hal yang selama ini aku lupakan, aku tak bisa mencuri takdir dan waktu yang bukan milikku. Termasuk takdir siapa pasanganku kelak, siapa pasangan Ara kelak, dan kapan waktu kita akan menemukan takdir kita masing-masing.

Nyeri dan perasaan berat ini timbul dan berkembang lagi menyesaki dadaku, menyesaki pikiranku, menyesakkan ku. Tapi aku tak bisa berhenti. Aku masih punya banyak pertanyaan lagi untuk diajukan, untuk memenuhi rasa penasaranku yang belum selesai. 

Aku meng-ganda-kan lagi ketegaranku. Bersiap dengan pertanyaan berat ku selanjutnya.

"Sya, beritahu aku..."

Perasaan berat ini menggangguku. Aku sejenak mengukur kekuatan diriku.

'Apa aku siap mengutarakan tanya ini?' 'Apa aku siap mendengar jawabnya?' 'Tapi aku harus bertanya padanya, kan?'

Aku menguatkan diri. Memberanikan diri menghadapi semuanya.

"Apa?"

"Apa yang membuatmu menilai, aku harus meninggalkan Ara waktu itu?"

"Apa yang membuatmu berpikir jika.... Jika Ara lebih pantas hidup bersamanya daripada bersamaku?"

Aku hanya harus bersiap,  jika saja...

Mungkin aku akan kena mental lagi menerima jawabnya.

.....

Related chapters

  • The Gray Silhouette of Love   54. TEKANAN MENTAL

    "... Kau harusnya mengobati lukamu, bukan menahan luka baru ... "~ Masih Aru ~"Apa yang membuatmu menilai aku harus meninggalkan Ara waktu itu? Apa yang membuatmu berpikiran jika Ara lebih pantas hidup bersamanya daripada bersamaku?"Tasya tidak langsung menjawabnya. Dia mengamatiku lebih dulu, seperti tengah menimbang keraguannya."Pertanyaan mu semakin berat, Aru. Kau sadar itu? Kau yakin kau bisa mengatasi apa yang akan ku jawab untukmu? Ada baiknya kau tidak tahu apa-apa bukan?""Ini tentang masa depan orang yang kusayangi, Sya. Aku harus tahu siapa pria yang akan menggantikan ku kelak""Kau terlalu mencintai Ara, dan itu menjadi kelemahan untukmu. Kau sadar itukan?"Aku tahu itu. Aku juga awalnya merasa aku memiliki cangkang batok kura-kura yang kuat tapi nyatanya ini cangkang telur yang mudah retak. Aku kira, aku memiliki hati yang kurasa kuat tapi ternyata sangat

  • The Gray Silhouette of Love   55. BELONG WITH ME

    "... Apa sebenarnya hubungan kita ini ... " ~ Ara ~ Aku pulang, tapi rumah sepi. Aku menge-chat Aru tapi tak ada balasan, jadi aku menge-chat Andre. Dia bilang sedang di pecinan, aku menyuruh agar mereka segera pulang karena aku sudah membeli makan untuk bertiga dan aku juga meminta Andre mengatakan pada Aru untuk membelikan boba favoritku sekalian. Baru itu dia membalasku. "Boba ditempat biasanya? Tutup" Aru memberitahuku. "Apa aja deh. Yang penting es" "Ya" "Cepat pulang. Miss you" Tapi dia tidak membalasku. Mungkin dia sedang sibuk. Lima menit, sepuluh menit, dua puluh menit berlalu dan dia tidak membalas pesanku. Dia hanya melihatnya saja tanpa membalasnya. Apa dia tidak merasakan hal sama? Tadi pagi dia malah yang menggodaku dan mengatakan aku harus cepat pulang. Kenapa kini rasanya dia mengabaikanku sih? Apa Andre bicara sesuatu padanya tentang Arnold? Ti

  • The Gray Silhouette of Love   56. CEMBURU

    "... Aku bahagia jika kau bahagia karena aku ... "~ Aru ~"Dre...""Ayah Ibumu semuanya sehat?" bukan itu sepenuhnya yang ingin ku tanyakan."Ya. Mereka baik" Andre menjawab biasa sambil menyiapkan piring."Syukurlah. Apa mereka membicarakan sebuah rahasia? Kenapa harus pindah ke kamarnya" pancingku dengan mengeluh seperti bocah."Ya, kurasa itu soal nasehat atau pernikahan""PERNIKAHAN, huh?"Kenapa kabar buruk itu tak kunjung berhenti mengusik hariku. Ahh, mungkin aku hanya salah paham. Semua masih belum jelas. Itu belum tentu Ara. Aku harus tetap menguasai diriku dari shock dan sakit."Siapa yang akan menikah?""Mas, kau sungguh tidak tahu?" Andre melihatku tanda tanya, "Apa dia merahasiakan itu darimu?" godanya mencandaiku."Ara? Yah, kurasa dia memang sangat menyukai rahasia dan kejutan" jawabku sambil menahan lara.

  • The Gray Silhouette of Love   57. PESIMIS

    "... Bersamamu adalah ketidak mungkinan takdir yang kupaksakan..."~ Aru ~"Kau harusnya belajar dari persaanku"Tapi belakangan ini kau tidak mau lagi mendengarku, Ra. Padahal akulah yang paling dekat dan paling paham dengan perasaan cemburu itu. Semua itu tidak mudah dihadapi, rasa getirnya juga tak mudah disimpan seorang diri. Selalu ada jejaknya di wajah kita, sekalipun kita sudah berusaha menyembunyikannya."Lihat saja nanti, Ra. Kau tak akan bisa menyangkal lagi, jika cemburu juga bisa merusak diri" gumamku melepas kesal.Aku mengemas barangku, merasa tak lagi di butuhkan. Dan sialnya lagi aku merasa seperti orang yang terbuang.Begitu mudah disingkirkan. Begitu mudah ditinggalkan. Begitu mudah ditendang dan dilupakan."Mas, mau kemana?" tanya Andre."Pulang""Kirain nginep""Tidak. Aku pulang oke""Aku panggilin

  • The Gray Silhouette of Love   58. SWITCH POSITION

    "... Single mah bebas .... "~ Aru ~Aku melawan rasa malasku untuk terus berada diatas ranjang, mengingat akan kedatangan Quin hari ini. Rasa malas itu disebabkan oleh luka semalam yang belum sepenuhnya pulih.Informasi mengejutkan perihal pernikahan itu masih mempengaruhi mood ku. Aku jadi tak tenang, aku tak enak tidur karena terlalu over thinking, dan rasanya apapun yang ku lakukan jadi tidak mengasyikkan lagi. Seperti, aku harus bersiap menerima kekalahan totalku dari memperebutkan Ara.Aku melirik juga ponselku yang terus saja bergetar dari tadi, tapi aku sengaja acuh menjawabnya. Aku tahu itu pasti dari Ara, tidak ada yang lain. Dia jadi begitu intens mengirimiku pesan saat aku acuh menjawabnya. Aku sedang tidak berselera menanggapinya.Aku hanya ingin menjaga hatiku dan kontrol dalam diriku mengingat kami tidak lagi bersama, dan Quin akan datang sebentar lagi. Luka ini tak

  • The Gray Silhouette of Love   59. PEMANASAN HATI

    "... Masihkah hatimu terluka jika aku dekat perempuan lain .... "~ Masih Aru ~Aku lansung membawa Quin ketempat Ara. Tidak sabar ingin segera memulai permainan yang sudah terskenario di kepalaku.Tidak-tidak- tidak. Tidak ada detail sekenarionya seperti apa. Aku hanya ingin Ara juga bisa menilik dari sudutku berdiri dengan banyak ketegaran selama ini. Aku ingin dia memahami kacaunya perasaan cemburuku, aku juga ingin dia bisa memahami betapa tidak mudahnya menahan semua itu seorang diri.Semoga akhirnya dia memahami semua sikap gegabahku yang ku ciptakan saat aku dikepung rasa cemburu hingga melakukan hal ceroboh yang dia anggap itu bodoh. Karena nyatanya semua itu bukanlah hal yang mudah untuk dikendalikan dalam hati dan pikiran yang kacau. Semoga akhirnya dia memahaminya walaupun hanya sedikit. Meski hanya sedikit.Ara menyambut kedatangan Quin dengan hangat. Mereka su

  • The Gray Silhouette of Love   60. INTENTIONAL

    "... Aku ditempatnya bukan lagi cinta .... " ~ Masih Aru ~ Masihkah hatinya terluka jika aku dekat dengan perempuan lain? Masihkah hatinya terbakar jika aku dirayu-rayu orang lain? Dan aku akan mengetahuinya sebentar lagi, saat api ini mulai menyulut di hatinya. "Uhh, ada yang kangen-kangenan dan bikin iri aja nih" sela Andre menimpali, "Kapan kita akan brangkat?" "Sekarang?" Quin melirik meminta persetujuan dan pendapatku. "Kau tidak lelah?" Quin menggeleng. "Bagus. Aku juga sudah mulai bosan hanya terkurung disini. Kalau begitu sebaiknya kita bersiap. Aku akan ke kamar dan bersiap" Andre bersemangat, tak ingin mengulur waktu lagi. "Kurasa, aku juga akan melakukan hal yang sama. Aku dulua ya, Ra" Kembali kami terlinggal berdua saja. "Jadi kau merencanakan pergi naik motor BONCENGAN dengannya? Kenapa? Agar kalian bisa

  • The Gray Silhouette of Love   61. KESADARAN

    "... Apa terbang dengan dalih menghibur sahabat yang patah hati adalah tindakan teman baik ... "~ Ara ~Aku mengantongi kembali ponselku, setelah telp Arnold selesai.Aku menghempas nafas penuh beban yang menyesaki ku. Terlebih saat ingat Quin terus saja mengatakan hal-hal yang bernada merayu pada Aru. Kedekatan mereka, percakapan mereka selalu memicu keruh dalam suasana hatiku, dan aku tetap tidak bisa bertindak lebih jauh untuk menyelamatkan diriku dari rasa getir yang menikam itu, selain hanya menyembunyikannya secara pribadi dalam ruang diamku.Aku menatap hampa sejenak pada ruang terbuka yang biasanya ramai diisi puluhan manusia tapi kini mendadak sunyi seperti ruang dalam diriku juga. Lantas pikiranku serasa dicuri oleh waktu yang sudah berlalu beberapa menit lalu, membeku dalam pikiranku."Kau bisa istirahat disini. Klo kau butuh baju kau bisa mengambil dari lemariku" aku men

Latest chapter

  • The Gray Silhouette of Love   131. CLOSURE

    ~ Ara ~ . . . ... Sepasang sesal ... Menepikanmu yang kurasa sanggupMeniadakanmu yang kurasa mampu Tapi bayangmu tak pernah jauh dari heningkuDan seluruh heningku tak pernah sepi darimu Jangan menyerah Karena kau masih memikatkuDan hatiku masih terpaut dekat denganmuSekalipun kau tak tahu itu benarSekalipun tak ku ucapkan dengan benar Kau tahu aku hanya berlagakKau tahu aku selalu malu berbicara cintaJadi bisakah sekali lagi kau menunggukuKuharap hatimu tak berubah padaku Sekalipun kini hanya berat yang tertinggal Dan benteng kuatku telah menemui lapukan terlemahnya berupa sesal. . . - Guilty on tuesdays - " Lyn Wen " . . I hope one day you'll come backAnd at least say hiWipe off the tears on my faceAnd give us a try, Cause I can tellYou're done with this leaving hell yeah...I can tellYou're done with what I do To keep me away from youTo keep me away from you, Every good moment has passedYou're still not hereCrying alone in my car seems to famil

  • The Gray Silhouette of Love   130. AKHIR KISAH

    "... Aku tak perlu berkorban lagi untukmu, karena kau telah bahagia ..." ~ Aru ~ . . Pernah aku terpenjara dalam jerat cinta, yang membawa arusku jadi seru dan semu, tapi aku jatuh juga dari ketinggian mencinta kedalam ulu hara, dalam perangkapnya kasih menjadi siksa. Karena itu, setelah badai tikai itu, aku memilih menutup diri. Memberinya kemerdekaan dalam hilangku. Dan kutangani sisa luka, konsekuensi dari berani mencintainya, sendiri. Tak kubiarkan orang tahu atas luka patah hatiku. Kusembunyikan kepatahan itu dari sekelilingku. Karena aku tak ingin membebankan perasaan luka yang kuterima pada orang lain, dan itulah kebijakanku. Meski itu tak mudah, aku berhasil membuatnya terlihat begitu. Serupa seperti tak berlinang air mata. Serupa hatiku tak retak karena terluka. Padahal diam-diam akupun menangis dalam sembunyiku. Di kamar mandi, atau dibilik kamar redup lampu. Lantas pura-pura tidur saat ada yang mendekat. Sebab aku tak punya alasan benar, menunjukkan pedihku pada mere

  • The Gray Silhouette of Love   129. PILIHAN vs TAKDIR

    "... Biarkan hatimu menuntun maunya, tapi ijinkan takdir yang memutuskan jawabnya ... " ~ Ara ~ . . "Ara, aku bertemu dia. Kami bicara. Tentu aku melihat apa yang tak bisa kau lihat darinya, Ra" "ARU TAK BAIK, RA." "TIDAK. Dia harus baik-baik saja. Harus!" "Yah, tampaknya memang begitu" "Tampaknya?" "Mau menggeser sedikit saja persepsimu akan kebencian Aru padamu itu?" "Tak yakin!" "Bagaimana jika kepergiannya itu bukanlah atas dasar kebenciannnya? Mungkin saja itu sesuatu yang lain" "TIDAK. Itu harus benci. HARUS!" "Dan bagaimana jika yang kau lihat benci itu, mungkin, sebenarnya hanya bentuk lain dari luka? Mungkin itupun bentuk dari defensif Aru dalam melindungi hatinya. Bukan benci" "Kenapa begitu?" "Aru bisa saja menjadi brengsek waktu itu. Dia bisa merusak pernikahanmu sebelum takdir melakukannya. Tapi alih-alih begitu, dia malah memilih mundur. Menarik semua kedekatannya darimu tanpa menciptakan kegaduhan, Ra. Jadi Apa tindakan itu mencerminkan kebencian?" Aku m

  • The Gray Silhouette of Love   128. FATE

    "... Takdir memaksa kita mengerti dan menerima keadaan tak baik kita, meski kita tak ingin... " ~ Ara ~ . . - THE WEDDING - Aku baru selesai dirias dan Tasya masuk. "Woooh.. who's this gurl? So gorgeous!" "Thank you" Aku senang menerima pujian itu. Meski hatiku juga merasakan getir gelisah yang lain. "Bagaimana rasanya jadi mempelai?" "Nervous, I guess?" "Kurasa akupun akan begitu saat diposisiimu. Wajar, Ra. Itu gerogi yang baik" "Kuharap begitu. Tapi lebih dari itu. Aku sangat bahagia. Akhhirnya Sya... Akhirnya!" "Umh, I'm so happy for you too" Sudut mata kami mengeluarkan embun haru. Tasya lalu memelukku. "Okay-okay, ini hari bahagiamu dan aku tak ingin riasanmu rusak karena kebahagiaan ini" Kami menghapusnya. "U

  • The Gray Silhouette of Love   127. RUMPANG

    "... Kau mungkin bahagia, tapi benarkah itu kebahagian yang ingin kau jalani ... "~ Ara ~.."Tasya?""Surprise!"Dia memelukku."Katamu besok?""Tidak jadi. Aku mempercepat segalanya""Masuklah!""So, how's your life Ara?""Seperti yang bisa kau lihat. Baik!""Kau menjawab persis seperti seseorang" gumamnya, "Kau sedang sibuk?""Tidak""Apa yang akan kita lakukan hari ini?""No shopping, karena kau pasti masih jetlag. And I'm not about going anywhere. Jadi kurasa kita hanya perlu disini saja""Good girl. Kau sangat memahamiku!""O-ya, kau jadi ketempat Zein?""Ya""Dia mengusirmu?""Tidak. Dia berubah menyenangkan""Uh, impresif. Kalian membicarakanku?""Sedikit. Oh, iya, kau mau minum apa?""Tak perlu repot. Aku bukan tamu istimewa""Aku k

  • The Gray Silhouette of Love   126. SELESAI

    "... Cinta itu telah berakhir ..."~ Aru ~.."Berjuang lebih keras, Aru!""Kau kira kenapa aku bertahan dalam sengsara itu jika bukan untuk berjuang?""Sudah Tasya! Aku mencoba segala yang kubisa. Dari memprovokasi cemburunya, memperbaiki emosiku, hingga bersikap manis padanya untuk mendapatkan lagi hatinya. Tapi Arnold yang selalu menang. Kau hanya tak tahu usahaku itu!"Dia termenung."Aku berupaya hingga tak punya cara lain lagi selain menyudahi keegoisanku untuk memilikinya seorang diri.""Huhf..." helanya."Aku pasti jadi psycho jika diposisimu. Kau harusnya gunakan emosi kesalmu itu untuk memukuli seseorang. Jangan diam saja dan malah lari!"Aku terhibur mendengarnya.Apa dia tak tahu aku memukul Ara waktu itu?"Kau pernah punya pikiran jahat? Seperti psycho?""Mungkin""Sungguh? SESAIKO APA?""Mungkin karen

  • The Gray Silhouette of Love   125. PSYCHO

    "... Rasanya aku ingin membunuhnya saat melihatnya pamer bahagia, sedang aku menahan nyilu dan cemburu ..." ~ Aru ~ . . Aku terdampar dalam sebuah kemegahan asing dalam duniaku. Tapi ini bukan ilusi. Aku duduk merenung, menikmati nyaman yang belum pernah kunikmati begini sebelumnya. Membahagiakan. Aku menghirup aroma cappucinoku, sebelum mengecap bagaimana rasanya. Dan benar rasanya istimewa, seperti harganya yang bisa membuat dilema kepala orang biasa. Tapi disinilah aku kini, mengagumi soreku yang biasanya tak selalu indah. Tapi kini berubah begitu menawan dalam sekedip. Aku menyesap lagi gelas kopiku, sambil menunggu dengan santai seseorang yang telah membuat janji temu denganku. Dudukku mulai menyila, tapi bosan masih jauh dari pikiranku. Meskipun kini aku terkurung di lantai 122, diketinggian ratusan meter, dalam atmosfer megah restauran kelas dunia, di Burj Khalifa.

  • The Gray Silhouette of Love   124. JALAN KELUAR

    "... Itu pilihan, ingin menjadikannya ujian dalam cinta atau takdir dalam cintamu... "~ Ara ~ . . Kenapa aku sendiri masih terus ragu dengan apa yang Zein tuturkan barusan. "Ara, kau masih mencintainya, kan?" "Entah Zein!" "Apa kau tahu, ragu adalah bagian dari iya yang belum disetujui lewat kata""Yang kutahu, aku tidak kesini untuk membahas hal seperti itu" "Benarkah? Apa kau pikir hanya dengan modus mengembalikan ini, aku lantas percaya? Tidak Ara. Aku tak sebodoh itu!""Kau terlalu berlebihan Zein""Menyangkalnya membuat hatimu lebih baik?""Zein, Aru membenciku!""Maksudku dia masih membenciku, kan?" aku mencari defensif lain."Ya, benar. Dia membencimu hingga tak ingin lagi melihatmu. Hingga ingin menguburmu. Hingga ingin menghilang darimu. Dan itu benar, dia membencimu"Hatiku terluka mende

  • The Gray Silhouette of Love   123. CLARITY

    "... Mengapa orang lain bisa melihat cintaku dengan jelas, tapi aku tidak ... "~ Ara ~ . . Ada banyak hal yang ingin kusampaikan saat berada dalam masa perenungan lalu. Karena kehilangan Aru membuatku tak seimbangan. Tapi setiap kali menatap wajah penuh lukanya, akupun kehilangan cara untuk membela diri dari kekacauan yang kubuat sendiri. Kalimatku lenyap, bibirku terbungkam. Aku tak bisa menyanggah kalimat penuh lukanya karenaku. Dan karena itu, yang terlintas hanya perasaan sesalku, jadi alih-alih membela diri, aku lebih ingin meminta maaf.Tapi Aru selalu tak ingin mendengarnya. Dia tak ingin mendengarnya, seberapapun aku merasa bersalah padanya.Tapi menyumpahiku gagal menikah adalah hal yang paling tak bisa kuterima. Dan itu sangat melukai hati terdalamku.Begitulah aku menyerah pada akhirnya. Karena mungkin dengan membiarkannya pergi, itu menghinda

DMCA.com Protection Status