Home / Romansa / The Ex Brother 2 / 7. Si Bocah Diculik

Share

7. Si Bocah Diculik

Author: Dwi Sartika Juni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Olivia Finley

Bocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.

“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.

Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.

Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.

Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.

“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.

Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!

Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meninggalkannya dengan langkah pelan dan hanya bermaksud untuk memprovokasi bocah sepuluh tahun itu bicara atau apa pun selain meraung seperti ini.

Langkah kakiku semakin berat walau kutahu—oh, sial! Bocah ini benar-benar mengujiku.

Lihat dia!

Masih dalam posisi berbaring di tanah, dia memeluk satu kakiku dan membiarkan tubuh kecilnya itu ikut terseret setiap kali aku melangkah.

Aku berhenti dengan rencana bodohku. Sekarang aku termagu dengan tatapan menunduk ke tanah, ke tubuhnya.

“Berhenti menangis dan berguling di tanah, Anak baik. Jika kau menurutiku, maka aku akan membantumu. Aku berjanji.”

Dia masih menangis, walau kutahu sekarang volumenya sudah semakin turun dan akhirnya benar-benar menghilang dalam sepersekian detik. Yah, setidaknya telingaku selamat. Terlebih harga diriku. Walau aku tahu, dia sengaja melakukannya.

Aku tidak yakin dia pengemis atau anak jalanan. Karena di Halbur, meski tempat ini hanyalah kota  kecil di sebuah negara bagian, angka pencuri dan gelandangan bahkan penduduk yang kekurangan sangatlah kecil.

Jadi aku mulai berpikir, dia mungkin memang benar-benar kehilangan orang tuanya saat sedang pergi bersama mereka atau justru hal lain yang aku tidak tahu.

Sekarang aku berjongkok menyetarakan tinggi kami. Dia sedang menyerut ingus saat aku mulai bertanya tentang hal paling mendasar menurutku.

“Apa kau bersedia kubawa ke kantor polisi?”

“Untuk apa? Aku bukan penjahat!” Suaranya melengking. Benar-benar menyakitkan telinga.

“Polisi akan membantu kita menemukan pamanmu.” Walau sejujurnya aku sama sekali tidak yakin. Yang benar saja. Aku enggan berurusan dengan Polisi. Terlebih di Halbur, aku sengaja menghindari masalah.

Ingat, aku hidup dengan identitas orang lain. Jati diri palsu!

“Aku tidak mau!”

Jujur saja. Aku setuju denganmu, bocah.

“Lalu bagaimana aku bisa mengantarkan kau ke tempat pamanmu?” Setelah kulihat lebih lama, bocah ini tampan rupawan yang tertutup dengan rambut berantakan dan pakaian usang. Dan hebat, dia tidak mengenakan alas kaki.

“Akan kupikirkan nanti. Sekarang belikan aku makanan.” Dia bicara dengan ciri khas orang dewasa awal tiga puluhan.

Benar-benar!

“Apa yang ingin kau makan, Tuan muda?” Kusengajakan merendahkan suaraku, tapi tidak harga diriku. Meski dia seorang anak kecil, aku enggan tampak lemah di depannya.

“Kenapa kau memanggilku seperti itu? Memangnya kau tahu siapa aku?” Dia tampak panik. Melihat ke kiri dan kanan kami yang mulai sepi, nyaris malam akan segera tiba.

“Tidak, bocah. Aku sungguh tidak tahu siapa kau dan aku juga tidak peduli tentang hal itu. Cepat katakan, apa yang ingin kau makan?” Sekarang sepertinya aku tidak perlu cemas untuk menunjukkan karakter asliku pada bocah sok dewasa ini. Lagipula, jangan berbohong di depan anak-anak. Mereka akan meniru perbuatanmu. Baik atau buruk.

“Cokelat dan susu.” Dia memegangi lengan kemeja panjangku alih-alih menggenggam tanganku.

“Ini sudah hampir tiba jam makan malam. Memangnya kau cukup hanya dengan itu saja?”

“Biasanya aku malah tidak makan.” Dia memperlihatkan senyum dengan barisan gigi yang rapi untuk anak seusianya. Aku yakin dia tidak memiliki tampang pengemis, ini wajah bintang. Tapi apa maksudnya dengan biasanya dia tidak makan? Apa dia sebegitu sulit menjalani hidup bersama keluarganya hingga makan tiga kali sehari pun tidak mampu diberikan oleh ayah dan ibunya?

Kutatap dia yang kini justru mengayun-ayunkan lenganku maju mundur tanpa meminta izin terlebih dulu padaku. Bocah ini selain malang, dia juga menyebalkan!

“Apa pekerjaan ayah dan ibumu?”

“Lihat. Itu minimarketnya, bukan?” Dia menunjuk minimarket diseberang kami. “Ayo, cepat!”

Entah dia benar-benar pintar mengalihkan atau benar-benar kelaparan, jika dia adik atau keponakanku sudah pasti kupukul kepalanya.

Kami menyeberangi jalan dan masuk ke minimarket, lalu terpisah. Bocah itu memang tidak mau mendengarkanku. Dia sudah melesat ke bagian rak cokelat dan lemari pendingin, sementara aku harus membeli popok lansia untuk neneknya Hyra.

Kedua mataku masih memantaunya dalam jarak sepuluh meter. Kulihat dia begitu bersemangat memilih cokelat dan mengamatinya. Jadi kutinggalkan pemandangan itu dan coba mencari popok lansia yang biasa dipakai oleh para orang tua nyaris pikun.

Hei, mana aku tahu popok lansia dengan merk apa yang biasa digunakan oleh neneknya Hyra. Menoleh sekilas untuk melihat si bocah, dia sudah tidak ada di sana.

Dasar bocah nakal! Ke mana perginya dia sekarang?

Tanpa pilihan, aku menarik satu popok lansia dalam kemasan besar. Mulai mengelilingi setiap rak makanan dan tidak menemukannya di mana pun.

Apa dia sudah keluar lebih dulu? Mana mungkin, tapi bisa jadi.

Setelah membayar untuk popok lansia, aku bergegas mendorong pintu. Mengamati seluruh sudut mencari—

“Kakak!”

Aku terkejut dan mulai melihat ke sana kemari. Bocah itu memang bertujuan menguji kesabaranku.

“Kakak! Tolong aku!”

Kulihat dia berada di dalam mini van dengan pintu yang akan segera ditutup oleh seseorang yang tidak kukenal, wajahnya tidak terlihat karena dia mengenakan topi dan berpaling dari arah aku memandangnya.

“Hei, berhenti!” Tanpa sadar kedua kakiku bergerak untuk berlari mengejar mini van yang sudah melaju menjauhiku.

Mustahil mengejar!

Tubuhku gemetar hebat. Sudah sejak dua tahun aku tidak lagi merasakan sensasi seperti ini.

Jantungku nyaris meledak dengan telinga yang berdengung. Terengah, aku berusaha tetap memandang ke arah mana mobil itu bergerak.

Taksi melintas dan kuanggap itu sebagai keberuntunganku.

“Pak, tolong kejar mini van putih di depan! Cepat!” Aku sudah meneriaki sopir taksi yang kuyakini kebingungan mendapat penumpang sepertiku di malam sial ini.

Taksi melaju kencang sesuai keinginanku. Beruntung entah kebetulan, taksi ini berhasil mengejar hingga jarak kami kini hanya terpisah sekitar sepuluh meter dari mini van.

“Lalu bagaimana, Nona?” Sopir taksi bertanya setelah sejak tadi fokus mengejar mobil si penculik.

“Tolong ikuti saja, Pak.”

Mini van berbelok ke salah satu jalanan kecil yang kurasa, aku tidak pernah memasuki area ini saat mengantar pakaian pelanggan. Paling jauh, pelangganku berada dipinggiran pusat kota Halbur. Sepertinya, ini masih berada di tengah-tengah kota.

“Jangan terlalu dekat, Pak.” Kuberitahu dia saat rasanya jarak kami terlihat mencurigakan.

Mini van berhenti. Aku segera meminta sopir menghentikan taksi dipinggir semak. Bisa kulihat pintu mini van terbuka. Si bocah meronta dalam gendongan seorang pria besar. Mereka berjumlah empat orang termasuk dengan yang menggendong si bocah.

Mereka sudah berjalan memasuki sebuah gerbang, meninggalkan mini van dipinggir jalan.

Di depanku ada sebuah mansion klasik yang megah dan mewah. Serba keemasan. Mereka masuk ke sana.

Aku membayar ongkos taksi dan melebihkannya untuk si sopir. Memintanya untuk segera pergi. Aku lupa mengatakan padanya untuk jangan melaporkan hal ini ke Polisi.

Mengusap kedua tangan yang basah oleh keringat, aku menarik napas dan menghembuskannya, perlahan. Sekarang saatnya mengucapkan selamat tinggal pada hidup tenang yang kujalani selama dua tahun terakhir ini.

Bersambung.

Related chapters

  • The Ex Brother 2   8. Malang Bagiku

    Olivia FinleySi bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.

  • The Ex Brother 2   9. Tunggu Aku!

    Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.

  • The Ex Brother 2   10. Brady White

    Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O

  • The Ex Brother 2   11. Sambil Menatap Langit Malam

    Olivia FinleyEntah dari mana aku menyimpulkan itu sebagai namanya, yang jelas aku bisa berlari keluar ruangan ini sekarang. Si pelayan yang berdiri di ambang pintu, tercengang menatapku tanpa bisa melakukan apa pun selain menerima jari tengahku yang teracung untuknya.Sembari tertawa puas dalam hati, aku coba mengingat di mana ruangan mirip tempat rapat itu dan berhasil menemukannya dengan cepat. Aku sudah melompat keluar jendela ketika suara bocah itu memanggilku.“Kakak? Kenapa Kakak ada di sini?” Dia berdiri didekat jendela, sementara aku sudah di luar.Aku tersenyum sekilas padanya. “Aku mencemaskanmu. Kupikir tadi kau diculik, ternyata dia pamanmu kan?”Si bocah mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. “Sebenarnya, aku tidak menyukai paman Brady. Aku memintamu mengantarkanku ke tempat paman Jonathan.” Dia beralasan.Aku melihat melewati kepala mungilnya. Belum ada tanda-tand

  • The Ex Brother 2   12. Peringatan!

    Olivia Finley “Jika kau sudah selesai, sebaiknya segera antarkan aku pulang. Aku juga tidak keberatan andai kau meminjamiku ponselmu agar aku bisa memesan taksi.” Mengalihkan haus dan lapar, sebaiknya aku mendesaknya untuk membiarkanku pergi. “Aku belum selesai.” Dia mendorong piring kosongnya ke kanan, dan menarik piring berisi hidangan penutup. “Tidak perlu memanggil taksi. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” “Oke. Kutunggu lima menit lagi. Jika kau inggar, aku akan pulang sendiri tanpa perlu bantuanmu lagi.” Aku mengancam dengan rasa cemas yang bersarang di dalam diriku. Bagaimana jika dia benar-benar tidak akan mengantarkanku pulang? Aku hanya cemas karena ini terlalu larut untuk seorang wanita berada di rumah pria. Sekuatnya diriku, tetap akan kalah dari seorang pria. Kecuali aku itu seorang pahlawan wanita super. Ah, tidak tidak. Berpikirlah positif, ZeeZee! “Ayo, pulang.” Di

  • The Ex Brother 2   13. Karena Dia Mencintaiku

    Rhys Dimitri OxleySelesai. Masalahnya selesai tidak dengan mudah. Aku harus menggertak dengan mengacungkan pistol ke wajah satu persatu orang yang kulihat di ruangan itu, karena ternyata mereka lebih gigih dari yang kukira. Segigih Audrey Mika Dawson. Mereka cocok menjalin kerjasama.“Rhys!”Si jalang ini muncul dari mana? Apa salah satu dari mereka menghubungi dia dan memberitahu bahwa aku sudah berhasil membatalkan rencana mereka?“Rhys, tunggu.” Audrey menyentuh lenganku, aku menepisnya.“Bicara dari situ.” Aku memperingatkan, mundur, dan membuat jarak nyata.“Kau sungguh egois. Kenapa membatalkan apa yang akan kami kerjakan?”“Kau kesulitan keuangan?” Kuhina dia dengan tatapan mengasihani. “Jika kau membutuhkannya, beritahu pada Lucas. Orang yang setiap hari mengusirmu kala kau mengusikku itu, sudah bersedia menanganimu lebih jauh lagi mulai sekarang.

  • The Ex Brother 2   14. Sebuah Ikatan

    Olivia FinleyBeruntung sekali Rhys tidak menyadari ketakutanku. Ketakutan saat melarikan diri dari rumah sakit dan membuat Brady White terlempar dari ranjang.Aku begitu takut kemarin. Brady nyaris melepas pakaianku, memaksaku bercinta dengannya—tidak, bukan. Kupikir itu gertakan, karena dia jelas tahu aku begitu benci disentuh olehnya.Kemarin, lebih mengerikan dari yang pernah Luigi lakukan padaku. Begitu takut, perasaan yang belum pernah hadir sejak pertama kali aku mengenal Brady, seketika muncul.Aku lupa bagaimana detailnya karena terlalu panik. Yang jelas kuingat, aku menendang dan meninjunya begitu kuat hingga selang infus terlepas dan aku melompat dari ranjang.Melarikan diri dan beruntung tidak dikejar. Aku bersembunyi di rumah seharian, menutup penatu dengan pemberitahuan pada para pelanggan melalui telepon mengenai alasan aku libur satu hari.Rhys datang dan aku masih dalam mode panik.

  • The Ex Brother 2   15. Jangan Menunggu Lebih Lama

    Rhys Dimitri Oxley Aku mengikuti ZeeZee keluar kamar tanpa sepengetahuan wanitaku itu. Dia terburu menggeser pintu berbingkai kaca penatunya. Tempat ini sedikit tua. Jujur saja, aku benci melihatnya harus tinggal di rumah seperti ini. Bukan karena ‘tua’-nya, tapi sistem keamanannya yang rentan kejahatan untuk seorang wanita yang tinggal sendirian di rumah seluas ini. Bisa kudengar ZeeZee meminta maaf berulang kali pada seorang pria yang mungkin seusia denganku atau sedikit lebih tua jika menilai dari rambut dan jambangnya yang memutih. Pria itu datang bersama seorang bocah—pasti anaknya—yang terus memandangku tanpa berkedip. Aku yakin bukan karena ketampananku, tapi itu tatapan penasaran. Wajah premanku terlihat jelas, ya? Aku tergelak di dalam hati. Semenit setelah ZeeZee menyerahkan pakaian yang menyebar harum lembut ke mana-mana pada pria itu, dia berbalik untuk merasa canggung padaku. “Kenapa?” Aku menyambutn

Latest chapter

  • The Ex Brother 2   71. Happy Ending?

    Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida

  • The Ex Brother 2   70. Bukan Cinta Yang Sempurna

    Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b

  • The Ex Brother 2   69. Jatuh Cinta Padanya

    Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me

  • The Ex Brother 2   68. Akhiri

    Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu

  • The Ex Brother 2   67. Bukan Lagi Teman

    Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani

  • The Ex Brother 2   66. Ayo, Menikah!

    Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat

  • The Ex Brother 2   65. Brady dan Diana

    Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah

  • The Ex Brother 2   64. Tidak Mengenalku

    Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b

  • The Ex Brother 2   63. Cinta Tanpa Sentuhan

    Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu

DMCA.com Protection Status