Rhys Dimitri Oxley
Aku mengikuti ZeeZee keluar kamar tanpa sepengetahuan wanitaku itu. Dia terburu menggeser pintu berbingkai kaca penatunya.
Tempat ini sedikit tua. Jujur saja, aku benci melihatnya harus tinggal di rumah seperti ini.
Bukan karena ‘tua’-nya, tapi sistem keamanannya yang rentan kejahatan untuk seorang wanita yang tinggal sendirian di rumah seluas ini.
Bisa kudengar ZeeZee meminta maaf berulang kali pada seorang pria yang mungkin seusia denganku atau sedikit lebih tua jika menilai dari rambut dan jambangnya yang memutih.
Pria itu datang bersama seorang bocah—pasti anaknya—yang terus memandangku tanpa berkedip. Aku yakin bukan karena ketampananku, tapi itu tatapan penasaran.
Wajah premanku terlihat jelas, ya? Aku tergelak di dalam hati. Semenit setelah ZeeZee menyerahkan pakaian yang menyebar harum lembut ke mana-mana pada pria itu, dia berbalik untuk merasa canggung padaku.
“Kenapa?” Aku menyambutn
Olivia Finley Bukan mimpi. Sekejap saja, Rhys mewujudkan perkataannya padaku. Menikah. Hal itu akan segera terlaksana pagi ini, jam sembilan dua puluh satu menit. Berarti tersisa waktu lima belas menit lagi bagiku untuk berbincang mengenai banyak hal mendadak terjadi dalam hidupku, bersama Eri dan Hyra. Mereka berdua hadir. Entah bagaimana, Rhys melakukannya. Aku tidak sempat bertanya karena terlalu antusias dan merasa sangat terkejut. Kupikir, ini akan terjadi pekan depan paling cepat dan bulan depan paling lambat. Nyatanya, hanya berselang dua hari saja dari niat yang dibicarakan, semua telah siap di depan mata. Aku hanya perlu memilih gaun tanpa kerumitan sesuai keinginanku dan beberapa aksesoris pelengkap lainnya. Rhys, kau benar-benar luar biasa! Eri yang terbang dari Yellowrin, Hyra yang tiba-tiba muncul dengan tiga gaun dihadapanku, dan Luigi bersama tunangannya—Kimmy—turut hadir me
Olivia FinleyNyaris meludahinya lagi seperti yang pernah kulakukan sebelumnya, kali ini aku menahan diri hanya degan meremas gaun di sisi tubuhku. “Dalam mimpimu, Brady White!”Brady tertawa nyaring. Wajah tampannya terlihat seperti Iblis dengan kedua tanduk tumpul di kepalanya.Rasa kesalku mencapai ubun-ubun. Berusaha menendangnya lagi, kali ini tidak berhasil karena dia seperti selalu lebih cepat dariku.Bukan karena dia seorang pria. Bukan.“Berhenti menendang, Olive. Kau tidak boleh bersikap kasar seperti kakak-kakakmu.” Brady mengusap-ngusap telapak kakiku dengan lembut.Kuakui, itu menyenangkan dan menenangkan. Tapi tidak sama sekali jika dia yang melakukannya, kecuali saat ini Rhys yang bersamaku. Melakukannya untukku.“Jangan sentuh aku, Berengsek!” Menarik kakiku darinya, dia malah membuat kedua kakiku berada di atas pangkuannya.“Berhenti keras kepala dan
Rhys Dimitri Oxley“Bos, sebaiknya kau tidak bergerak dulu.”“Tidak apa. Aku tidak tenang karena Olive belum ditemukan.” Suaraku serak bukan karena banyak menangis, tapi akibat dari berteriak dan mengumpat beberapa orang yang menyerangku sekaligus di acara pernikahan kami.Gas air mata tidak sepenuhnya melumpuhkanku. Aku bisa menang dan tahu di mana Olive dibawa pergi, andai salah satu dari mereka tidak melukai kepalaku dari belakang dengan botol kaca dan memukul kakiku menggunakan balok.Kecurangan menjadi hal yang biasa.Tanpa melepas perban dan diikuti Jonathan keluar ruangan, kulihat Luigi dan Osen Murald mondar-mandir di lobi klinik.“Ada berita baru?” Aku bertanya pada keduanya, tapi hanya Osen yang peduli.“Belum ada, Rhys.” Dia menggeleng dengan wajah pucat.Sekarang rasanya aku ingin menebas kepala siapa saja yang kulihat.Aku lengah, pada
Olivia FinleyKediaman Brady White tidak lagi sama atau mungkin dia memiliki banyak tempat tinggal.Tetap saja aku curiga. Seseorang yang paling mencurigakan di antara yang sangat bisa dicurigai, hanya Brady White si bajingan seorang.Ini hari kedua aku di sini. Berjalan sibuk di antara suara sandal kamar yang sebenarnya tidak kubutuhkan, tapi sengaja kukenakan untuk menimbulkan kekacauan saat aku berjalan mencari keberadaan Brady di rumahnya yang tidak terlalu luas ini.Dia ada di ruang kerjanya. Sedang fokus menatap layar laptop. Aku masuk tanpa basa-basi, tapi menjaga jarak seaman mungkin darinya.“Kau menipuku!”Matanya langsung terangkat hanya untuk memperhatikan diriku yang melepaskan sandal kamar dan memegangi keduanya di kiri kanan genggamanku.“Turunkan sandal itu, Olive. Aku tidak sedang melakukan kesalahan apa—”“Kau menipuku.” Suaraku serentak keluar deng
Olivia FinleyKata Ivory Wilmer—wanita yang menyelamatkanku—sungai Dirty tempat aku ditemukan memang menghubungkan beberapa sungai panjang lain di kota sekitarnya.“Jadi ... kau tidak sengaja terjatuh ke sungai dan terbawa arus hingga sampai ke sini?”Aku mengangguk. Mengarang setengah cerita palsu. Hanya pada bagian pesta pernikahan dan penculikan terhadapku oleh si berengsek Brady White.“Siapa tadi namamu?” Pria yang dikenalkan Ivory sebabai kakak laki-lakinya—Sky Wilmer—mengernyit padaku. Dia baru saja muncul beberapa menit yang lalu di sini.“Olivia Finley.”Dia mengangguk. Sepertinya sulit mempercayai ceritaku.“Tidak ada tanda pengenal dan tidak ada petunjuk apa pun mengenai identitasmu. Itu sebabnya kami tidak tahu harus menghubungi siapa.” Sky mengangkat bahu. Gelengannya menandakan dia kebingungan.“Ya. Saat kejadian itu
Olivia FinleyTubuhku menegang ketika sosoknya muncul, tepat dibelakang Sky.Merapat ke pintu, aku melotot padanya.“Mau apa kau, Brady?”“Membawamu kembali pulang, Olive.”“Ini rumahku.”“Bukan lagi rumahmu, Sayang.”Aku tidak akan mempercayai perkataan apa pun yang keluar dari mulut si berengsek itu.Saat kucari di bagian kumpulan pot-pot bunga berukuran kecil, di mana terakhir kali kusimpan kunci rumahku, tidak kutemukan apa pun.Tidak akan putus asa—meski rasanya aku pasti kalah—cepat tubuhku tegak kembali. Mengetuk pintu dengan kalut. Berharap tidak ada yang sudi tinggal di rumahku ini, selama diriku pergi.“Sebentar!” Suara seorang wanita tua terdengar dari dalam.Pintu terbuka. Tubuh kurus, sedikit membungkuk dengan kacamata bulat berkabut milik nyonya Hudson, yang selalu kukenali.Dia salah satu pelangganku, tapi selalu mendapatkan keringanan setengah harga, terkadang gratis dariku. Itu karena dia harus bekerja keras di usia tuanya, tanpa keluarga.Nyonya Hudson tinggal seorang
Rhys Dimitri OxleyKuabaikan segala hal bahkan yang terpenting, hanya untuk terburu-buru kembali ke Yellowrin pekan lalu.“Tuan, keadaan masih sama seperti kemarin. Aman terkendali. Tidak ada tanda-tanda penyusup yang mendekati makam.” Lucas bicara dengan sangat hati-hati padaku.“Karena aku sudah di sini, sudah pasti mereka tidak bernyali menunjukkan pertanda apalagi wajah mereka di depanku.”Lucas berdiam diri di sisiku. Bukan karena mendengarkan ucapanku, tapi sibuk melakukan sesuatu di ponselnya.“Berita tentang makam mendiang tuan David dan nyonya Tessa yang dibongkar orang tidak dikenal, sudah berhasil ditarik sejak hari pertama diterbitkan. Tapi di beberapa media yang terlanjur disebar ke pihak yang tidak bertanggung jawab, terpaksa menempuh jalur hukum kita, Tuan.”Kutatap Lucas dengan tajam. “Siapa yang mengurus itu semua?”“Tuan Leon, Tuan.”Bagus sekali akhirnya bocah itu bersedia melakukan sesuatu tanpa harus menunggu perintah dariku.Hukum kita. Itu artinya, mati.“Pastik
Olivia FinleySelalu ada pilihan.Aku memilih melawan Brady dengan caraku.Mengikuti keinginannya. Membiarkan dia menempel terus di mana pun aku berada.Sampai akhirnya kuputuskan untuk tidak mendatangi Rhys, karena pria itu pasti marah besar jika tahu aku pulang ke Yellowrin bersama Brady.Jangan lagi ada kesalahpahaman.Aku tidak ingin ceroboh. Tidak bisa berpikir dangkal.“Tidak bisakah kita berteman saja?” Ini pertanyaan yang kuajukan setelah dua hari diikuti tanpa henti oleh Brady.Bahkan aku tinggal di salah satu rumah mewah miliknya. Catat. Hanya tinggal sendirian. Kami sepakat untuk hal yang satu itu. Maksudku, dia kupaksa sepakat atau aku akan membuatnya lelah dengan penolakanku.“Teman?” Dia berhenti mengiris roti di atas piring. Sarapan yang penuh lagak. Dia memang senang bertingkah. Itu wajar. Seorang Brady White memang pria kaya raya.“Ya, teman.”“Teman seperti apa yang kau maksud?”“Hanya teman. Teman layaknya teman. Memangnya kau tidak punya teman?”Brady si berengsek
Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida
Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b
Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me
Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu
Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu