Olivia Finley
Hugo tampak cukup menikmati makan siangnya bersamaku. Setelah memperkenalkan pria tampan sejagat raya ini pada Hyra Lewis, aku dan Hugo pergi mengelilingi taman bunga tidak jauh dari tengah kota Halbur.
Dia banyak bertanya tentang Halbur dan aku menjawab apa yang kutahu.
“Hubungan kalian tampak tidak akur.”
Saat itu juga aku menoleh untuk menatap tajam padanya. “Kenapa itu harus jadi urusanmu?”
Hugo terbahak. Lalu menusuk pipi kananku menggunakan telunjuknya dengan perlahan. “Aku hanya berkomentar. Sama sekali tidak bertujuan untuk mencampuri urusanmu.”
Dengan wajah masam, aku hanya tersenyum kecut. Untuk itu dia memperhatikanku melalui sepasang mata teduhnya.
“Aku mencemaskanmu, ZeeZee.” Nadanya serius, tapi aku tidak tahu itu benar-benar serius atau hanya ucapan di bibir saja.
“Karena pria itu Rhys?”
Hugo mengangguk. “Ya, karena pria itu kakakku. Aku sungguh berharap kau tidak lagi terlibat dengan keluarga Oxley.”
Ini sudah kupikirkan. Mencintai Rhys, siap menanggung semua risiko bersamaan dengan semua kecemasan yang harus kuterima.
Kecemasan? Yap, kecemasan akan kematian diujung nyawa itu sendiri. Kecemasan karena jarak tidak mampu membuatku melihat apa yang dikerjakan Rhys di sana.
Walau sejujurnya saja, meski di Yellowrin pun aku tidak pernah tahu apa yang dikerjakan Rhys dibelakangku.
Ini dua, ah tiga kali lipat lebih menyulitkanku. Kondisi ini membuat diriku merasa tidak berguna dalam hal apa pun yang bisa kuberikan untuk Rhys.
“Kehidupan keluarga Oxley jauh lebih berat sekarang karena Ayah dan Ibu sudah tidak ada. Rhys menjadi pengganti mereka berdua sekaligus. Dia tidak memberi kami kesempatan memikul peran salah satunya. Bukan karena dia tidak mempercayai kami, tapi karena tidak ingin beban berat itu jatuh ke pundak kami.”
Ya, ampun. Ini Hugo Dimitri Oxley? Atau dia sedang memainkan sandiwara dengan maksud tertentu di depanku?
“Kau banyak berubah, Hugo. Apa kau menyadarinya?”
Dia tidak tertawa, tapi hanya menatapku dalam-dalam. “Bukankah itu artinya bagus?”
“Yap. Sungguh sangat luar biasa. Seseorang seperti kalian kini bisa bertingkah seolah kalian peduli satu sama lain.”
“Apa itu bisa jadi bahan pertimbangan?”
Aku berhenti melangkah di antara tanaman perdu yang aku tidak tahu namanya. Meneliti wajah Hugo yang tidak kutemukan satu titik pun bintik hitam. Luar biasa tampan. “Maksudmu?”
“Pertimbangan untuk menjadi pendamping hidupmu, ZeeZee.”
Karena ucapan yang kutunggu bukanlah semacam rayuan penggoda seperti itu keluar dari mulutnya, aku melayangkan tinju candaan ke pundak kirinya sambil menggeram.
“Jangan bercanda. Aku tidak sudi menikahi pria terlalu tampan sepertimu.”
Hugo terbahak-bahak. Dia memegangi perutnya dan kurasa itu tawa yang alami. Aku senang melihatnya tertawa karena sering kali, pria ini tertawa beringas dari pada tawa tergelak seperti saat ini.
Apa kota Halbur memberinya banyak kenyamanan di waktu singkatnya ini?
“Ah, rahangku sakit karena terlalu keras tertawa.” Dia berhenti sekarang. Kembali tegak berdiri di sisiku. “Olive atau ZeeZee atau siapa pun itu, kau tetap seseorang yang kuanggap istimewa.”
Karena dia tersenyum dengan sangat manis dan lembut, aku membalasnya dan berharap ini juga jadi senyum terbaikku.
“Aku masih Adikmu?”
“Hmm ... entahlah.” Dia menaikkan satu bahunya sekilas. “Aku akan pergi sekarang. Rhys bisa membunuhku jika tidak kembali bersama rombongan anak buahku yang lain.”
Begitulah akhir pertemuan singkatku dengan Hugo. Kami berpisah di depan gerbang taman dan saling membalas pelukan.
Tidak apa. Aku masih menganggapnya sebagai kakakku.
Enam menit setelahnya, sebuah mobil hitam mengkilap membawa Hugo pergi. Sekarang aku ingin kembali ke kafe Astrid karena Hyra masih di sana, tapi gadis itu sudah menghubungiku lebih dulu.
“Ada apa?”
“Bisa tolong belikan popok lansia untuk nenekku?” Hyra bertanya dengan setengah berbisik.
“Kenapa kita tidak pergi bersama saja?” Aku bersandar di gerbang. Menunggunya di sini jauh lebih baik daripada harus kembali ke Oase Cafe. Lagipula perutku sudah kenyang.
“Osen Murald baru saja mencegahku pergi. Dia memintaku menyuguhkan kopi susu hasil kreasiku minggu lalu untuk para tamu pentingnya yang akan tiba tujuh menit lagi.”
Hah, baiklah. Aku akan menggantikannya membeli popok lansia.
“Baiklah.”
“Terima kasih, Olive. Akan kuambil ke penatumu. Sebaiknya kau tidak kembali ke sini. Astrid dan Osen baru saja bertengkar hebat di dapur.”
Aku ingin bertanya apa hubungannya mereka yang bertengkar dengan aku yang sebaiknya tidak kembali ke sana?
Tapi Hyra Lewis yang senang menggantung ucapannya itu sudah menutup teleponnya secara sepihak.
Baiklah. Aku juga tidak peduli selama itu tidak menggangguku.
Sepertinya butuh enam menit berjalan kaki untuk sampai ke minimarket terbesar yang paling lengkap di tengah kota Halbur.
Jadi selama berjalan, aku terus memperhatikan senja yang mulai tampak di atas langit.
Jika tidak mengembalikan sepasang mataku ke jalanan yang kupijaki, mungkin aku sudah menendang seorang bocah delapan tahun dipinggir jalan.
“Hei, sedang apa kau di sini?” Aku berhenti tepat di depannya yang duduk bersila di tanah. Pakaiannya lusuh. Kupikir aku bisa berjongkok di sisinya dan mengajaknya bicara.
Dia menatapku dengan tatapan sendu. Hatiku berdebar nyeri melihatnya. “Ada apa? Kenapa kau di sini?”
Dia tidak menjawabku. Aku bingung karena jarang berinteraksi dengan anak kecil. Di lingkunganku, aku yang hidup sebagai bungsu. Tidak memiliki adik dan tidak bisa memperlakukan anak kecil di sekitarku, karena kelima kakakku selain Rhys belum ada yang menikah. Dan tentu saja Rhys juga belum menikah!
Atau bisa saja mereka tidak pernah membawa anak mereka yang dirahasiakan dariku, ke kediaman Oxley.
Dan selama dua tahun aku di sini, tidak ada tetangga sekitarku yang memiliki putra atau putri kecil di rumah mereka. Kecuali beberapa remaja usil dan ramah yang saat melewatiku dipekarangan, mereka akan menyapaku seadanya.
“Kau butuh bantuan?” Pertanyaan ini seperti magnet untuknya. Aku merasa begitu karena dia langsung tertarik, mengangguk dan menatapku dengan serius. “Katakan padaku apa yang bisa kubantu, Adik kecil?”
Dia menatapku dengan raut wajah kesal, sepertinya.
“Aku bukan Adik kecil. Umurku sudah sepuluh tahun!” Dia membentakku.
Oh, tebakanku salah! Dia memiliki usia yang dua tahun lebih tua dari tubuhnya yang terbilang kecil.
Meski jarang melihat anak seusianya, aku cukup tahu bahwa perbedaan usia anak delapan dan sepuluh tahun itu pasti terletak di tinggi badannya.
Dia memiliki—
“Katamu kau akan membantuku. Kenapa diam saja?”
Ah, ya. Bocah pintar. Suaranya ketus. Apa anak jalanan selalu punya bakat untuk menjadi mafia seperti keenam kakakku itu? Beruntungnya, para Oxley kecil itu pasti memiliki masa kecil yang menyenangkan dan terjamin.
“Oke. Katakan apa yang bisa kubantu?” Sikap ramahku muncul. Walau ini hanya perkataan setengah hati yang sering kuucapkan saat bertemu para pelanggan tuaku ketika mereka singgah ke penatu milikku.
Dia melirikku sekilas. Seolah ada yang sedang dipastikan olehnya. Anak ini kenapa? Aku sedikit bingung menghadapinya.
“Antarkan aku ke rumah pamanku.”
“Oke. Kau ingat alamatnya?”
Dia menggeleng. “Jika aku mengingatnya aku tidak akan duduk di sini.”
Ah, ya benar. Bocah pintar. Jadi bagaimana aku akan mengantarkan anak ini ke rumah pamannya jika dia sendiri tidak mengingat alamatnya?
“Jadi kau tersesat ya?” Aku berbasi-basi karena sudah tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya di situasi seperti ini.
Dia menatapku sambil berdecak. Tiba-tiba berbaring, lalu berguling di tanah dan mulai menangis dengan keras.
Bersambung.
Olivia FinleyBocah ini benar-benar mengacau. Dia berguling-guling di tanah yang berkerikil hingga tubuhnya yang tidak terlindung kaus juga celana usangnya, tergores di sana sini.“Hei, berhenti berguling!” Aku sudah membentak karena tidak tahan melihat ulahnya yang disengaja. Semua mata mengawasiku seolah aku bukan ibu yang becus menjaga seorang bocah.Dia bukan anakku! Aku terlalu muda untuk anak seusia bocah ini.Ingin sekali aku berteriak marah pada setiap orang yang melirik tajam ke arahku.Dia bukan bocah enam tahun, tapi sepuluh tahun! Dia cukup pintar untuk sekedar mengingat jalan menuju rumahnya. Terutama bersandiwara seperti sekarang ini.“Bawa aku ke tempat pamanku!” Teriakan dan tangisnya semakin menjadi-jadi.Aku kehilangan kesabaran walau dua puluh lima menit belum berlalu dan aku masih bertahan. Hebat!Setelah menghembuskan napas kasar, aku sengaja berbalik meni
Olivia FinleySi bocah nyatanya menjerit-jerit minta dilepaskan sembari meronta. Aku memang tidak bisa melihatnya, tapi telingaku mendengar dengan jelas bagaimana berisiknya si bocah coba melepaskan diri.Mansion ini sepi tanpa penjaga. Membuatku curiga bahwa memungkinkan sekali jika ini hanyalah jebakan. Tapi untuk apa? Siapa yang ingin dijebak?Perlahan sembari melihat ke kiri dan kanan, aku berjalan cepat dengan kedua ujung kaki berjinjit.Sekarang aku sudah masuk melalui sebuah jendela besar rendah tanpa jeruji atau penghalang apa pun. Seolah jendela ini bisa digunakan sebagai pintu untuk masuk ke mansion ini. Menggunakan jalur lain, selain pintu depan.Daripada mansion, tempat ini lebih mirip seperti rumah tua yang ukurannya cukup besar dengan halaman yang tidak kalah luasnya.Aku berjalan hati-hati. Melihat sekeliling dan kuyakin ruangan ini pasti digunakan untuk acara pertemuan atau rapat bahkan mungkin hal lainnya.
Rhys Dimitri Oxley“Apa ini?” Aku tegak berdiri saat Audrey Mika Dawson menghadangku di loby hotel tempat aku akan menghadiri pertemuan dengan salah satu rekan bisnis legalku.“Kenangan terakhir kakakku untukmu.” Dia tersenyum manis, menyodorkan sebuah kotak berukuran sedang padaku.“Siapa yang memintamu melakukan ini?” Kutatap tajam dia dengan tujuan agar mulai detik ini, berhenti mengikutiku di setiap dia memiliki kesempatan sekecil apa pun itu.Audrey Mika yang sangat tidak mirip dengan mantan kekasih lamaku yang sudah tiada itu, tersenyum sinis.“Tentu saja aku melakukan apa yang tidak pernah sempat dia lakukan untukmu, Rhys. Untuk semua rasa sakit yang dia terima darimu.”“Kau ingin balas dendam?”“Itu rahasia.”“Bagus. Coba saja.” Aku berjalan melewatinya. Sudah ada Lucas yang akan mengatasi Audrey untukku.
Olivia FinleyAku selamat? Tidak juga.Dia hanya mendorongku masuk ke kamar dan membiarkan aku sendirian di sini. Tanpa bisa melawan. Bodohnya kau, ZeeZee!Kamar yang benar-benar sempit. Ini jelas kamar pelayan! Tidak ada celah untukku kabur. Sekarang apa? Tidur? Tidak, aku tidak bisa tidur di saat seperti ini. Walau aku justru merasa lelah dan mengantuk.Sial sekali memang. Ponselku kehabisan daya baterai saat kucoba memeriksanya sedetik lalu.Benar-benar sialan! Kutendang pintu berulang kali. Aku hanya cemas akan—“Ada apa, Olive?” Pintu terbuka sedikit. Hanya menampilkan setengah tubuh pria berengsek itu.“Katamu, kita akan bicara. Ayo, bicara sekarang. Aku tidak bisa menunggu sampai pagi. Aku harus pulang. Pekerjaanku banyak.” Aku melotot padanya. Kupegangi pundakku yang jadi pusat perhatiannya. Kemeja yang kukenakan dirobek olehnya di bagian pundak kananku.“O
Olivia FinleyEntah dari mana aku menyimpulkan itu sebagai namanya, yang jelas aku bisa berlari keluar ruangan ini sekarang. Si pelayan yang berdiri di ambang pintu, tercengang menatapku tanpa bisa melakukan apa pun selain menerima jari tengahku yang teracung untuknya.Sembari tertawa puas dalam hati, aku coba mengingat di mana ruangan mirip tempat rapat itu dan berhasil menemukannya dengan cepat. Aku sudah melompat keluar jendela ketika suara bocah itu memanggilku.“Kakak? Kenapa Kakak ada di sini?” Dia berdiri didekat jendela, sementara aku sudah di luar.Aku tersenyum sekilas padanya. “Aku mencemaskanmu. Kupikir tadi kau diculik, ternyata dia pamanmu kan?”Si bocah mengangguk, tapi wajahnya menyiratkan sesuatu. “Sebenarnya, aku tidak menyukai paman Brady. Aku memintamu mengantarkanku ke tempat paman Jonathan.” Dia beralasan.Aku melihat melewati kepala mungilnya. Belum ada tanda-tand
Olivia Finley “Jika kau sudah selesai, sebaiknya segera antarkan aku pulang. Aku juga tidak keberatan andai kau meminjamiku ponselmu agar aku bisa memesan taksi.” Mengalihkan haus dan lapar, sebaiknya aku mendesaknya untuk membiarkanku pergi. “Aku belum selesai.” Dia mendorong piring kosongnya ke kanan, dan menarik piring berisi hidangan penutup. “Tidak perlu memanggil taksi. Aku yang akan mengantarkanmu pulang.” “Oke. Kutunggu lima menit lagi. Jika kau inggar, aku akan pulang sendiri tanpa perlu bantuanmu lagi.” Aku mengancam dengan rasa cemas yang bersarang di dalam diriku. Bagaimana jika dia benar-benar tidak akan mengantarkanku pulang? Aku hanya cemas karena ini terlalu larut untuk seorang wanita berada di rumah pria. Sekuatnya diriku, tetap akan kalah dari seorang pria. Kecuali aku itu seorang pahlawan wanita super. Ah, tidak tidak. Berpikirlah positif, ZeeZee! “Ayo, pulang.” Di
Rhys Dimitri OxleySelesai. Masalahnya selesai tidak dengan mudah. Aku harus menggertak dengan mengacungkan pistol ke wajah satu persatu orang yang kulihat di ruangan itu, karena ternyata mereka lebih gigih dari yang kukira. Segigih Audrey Mika Dawson. Mereka cocok menjalin kerjasama.“Rhys!”Si jalang ini muncul dari mana? Apa salah satu dari mereka menghubungi dia dan memberitahu bahwa aku sudah berhasil membatalkan rencana mereka?“Rhys, tunggu.” Audrey menyentuh lenganku, aku menepisnya.“Bicara dari situ.” Aku memperingatkan, mundur, dan membuat jarak nyata.“Kau sungguh egois. Kenapa membatalkan apa yang akan kami kerjakan?”“Kau kesulitan keuangan?” Kuhina dia dengan tatapan mengasihani. “Jika kau membutuhkannya, beritahu pada Lucas. Orang yang setiap hari mengusirmu kala kau mengusikku itu, sudah bersedia menanganimu lebih jauh lagi mulai sekarang.
Olivia FinleyBeruntung sekali Rhys tidak menyadari ketakutanku. Ketakutan saat melarikan diri dari rumah sakit dan membuat Brady White terlempar dari ranjang.Aku begitu takut kemarin. Brady nyaris melepas pakaianku, memaksaku bercinta dengannya—tidak, bukan. Kupikir itu gertakan, karena dia jelas tahu aku begitu benci disentuh olehnya.Kemarin, lebih mengerikan dari yang pernah Luigi lakukan padaku. Begitu takut, perasaan yang belum pernah hadir sejak pertama kali aku mengenal Brady, seketika muncul.Aku lupa bagaimana detailnya karena terlalu panik. Yang jelas kuingat, aku menendang dan meninjunya begitu kuat hingga selang infus terlepas dan aku melompat dari ranjang.Melarikan diri dan beruntung tidak dikejar. Aku bersembunyi di rumah seharian, menutup penatu dengan pemberitahuan pada para pelanggan melalui telepon mengenai alasan aku libur satu hari.Rhys datang dan aku masih dalam mode panik.
Olivia FinleyPenata rias sedang menyentuh pipiku, ketika dia mengaduh karena melupakan alat makeup-nya yang entah apa penyebutannya tadi.“Aku akan segera kembali,” katanya.“Okay.” Sambil tersenyum, kutatap lekat gambaran diriku di cermin. Gaun pengantin baru akan kukenakan setelah riasan wajahku selesai.Aku terlonjak saat di menit pertama seseorang muncul di belakangku. Brady!“Kenapa kau—”“Aku cuma ingin bicara sebentar. Tidak akan ada yang tahu. Tenang saja.” Kedua tangannya berada di pundakku, menekan sedikit kuat agar aku tetap di sana dan tentu memaksaku untuk tidak memberontak.Brady membungkuk, menatapku dari pantulan cermin, begitu pun sebaliknya. Kami saling tatap. Bedanya, aku melihatnya penuh rasa benci. Tidak perlu berpikir berulang kali, tapi rasa benci ini tetap akan berakhir dengan kebencian pula.Salahku memang. Andai aku segera kembali ke pelukan Rhys, pulang ke Yellowrin sebelum bertemu Brady, pastinya hal mengerikan seperti ini, tidak mungkin terjadi. Kami tida
Rhys Dimitri OxleyAku akan pura-pura tidak tahu kalau ZeeZee bertemu Diana dan wanita sialan itu mengungkap fakta yang terjadi di antara kami berdua.Bergeming, ketika ZeeZee canggung padaku saat malam ini kami ada di kamar yang sama untuk membahas pernikahan besok.“Masih belum terlambat jika kau tidak siap kita menikah besok,” kataku lagi. Menjurus ke arah pembatalan pernikahan, karena kupikir, dia pasti kecewa, marah, sakit hati dan entah apalagi yang dirasakannya saat mendengar kebenaran itu.Dia malah tersenyum, meraih tanganku dan dibawa ke dalam pelukannya. “Sudah terlalu lama kita seperti ini, Rhys. Hubungan kita seakan jalan di tempat.”Aku terlalu takut untuk mengakui kesalahanku. Sangat pecundang, karena tidak berani mengakui kalau akhirnya aku tergoda oleh Diana yang menerobos paksa pertahananku.“Mungkin saja kau butuh waktu lagi, Sayang.” Bisa jadi dia berubah pikiran karena kesalahan besar yang telah kulakukan.Senyum ZeeZee menghancurkanku. Aku merasa semakin sangat b
Olivia FinleyPercuma menyesal. Tidak akan ada gunanya. Apa yang kami lakukan telah terjadi.Aku di sini karena mencari tahu kebenaran untukku, sekaligus kesalahan Rhys padaku. Sebaliknya, dia memiliki kebenaran untuk dirinya sendiri dan kesalahanku padanya.Impas? Sungguh?Pesan Rhys yang menanyakan tentang keberadaanku, kuabaikan. Meski begitu, semenit kemudian kubalas dengan mengatakan bahwa aku perlu memilih pakaian dalam baru untuk malam pertama kami.Aku tidak peduli pada balasan selanjutnya, karena wanita itu sudah terlihat dari pintu kaca tembus pandang, sedang mendorong pintu pintu dan masuk.Mungkin wanita itu sudah memantauku dari luar, karena dia langsung tahu di mana aku duduk menunggunya. Dia menatapku sejenak sebelum akhirnya menghela napas dan mendatangiku yang berusaha tidak cemas, tetap waras.“Nona Olivia?”“Ya. Silakan duduk, ibunya William.” Oh, aku sengaja.Namun aku harus kecewa, karena dia tidak terkejut sama sekali. Malahan tersenyum. Pasti karena dia sudah me
Olivia FinleyAku hanya harus percaya. Andai bisa, tapi rupanya itu sulit.Begini. Selagi acara pernikahan kami masih sedang diurus, aku pun ingin sibuk. Melakukan sesuatu, apa saja. Dan yang terpikir adalah pergi mendatangi Osen Murald. Kata Lucas, pria itu di sini. Entah untuk kepentingan apa, tapi kurasa ada hubungannya dengan Luigi.Aku ... butuh bantuan.Karena sekembali Rhys dari luar mengantarkan Brady, kekasihku itu tidak bicara sama sekali soal kucing-kucing yang akan Brady titipkan padanya.Tapi Rhys justru berharap kami bisa bercinta tanpa pembicaraan.“ZeeZee, aku ingin ada di dalam dirimu. Tapi kuminta untuk tidak mengajakku terlibat obrolan apa pun. Kita harus menikmati percintaan ini dengan hanya saling menatap satu sama lain. Apa kau keberatan?”“Tidak.”Itulah jawabanku kemarin. Aku setuju. Kami hanya menyuarakan kenikmatan, menyebut nama satu sama lain, mendesah penuh minat, dan bibir yang terus sibuk. Sibuk, tapi bukan untuk mengobrol.Kami merasai penyatuan yang lu
Rhys Dimitri Oxley“Siapa?” ZeeZee menatap tajam pada Brady, bukan padaku.“Kucing-kucingku.” Brady tersenyum, pura-pura canggung sepertinya.“Kucing? Kau menitipkan kucing pada Rhys?” ejek ZeeZee. Tujuannya mungkin karena dia ingin mendesak Brady untuk punya jawaban lain, sehingga memiliki banyak alasan membenci pria itu.Andai aku pun bisa seperti ZeeZee, mungkin dengan bebas aku lebih dari mampu untuk mengekspresikan rasa benciku pada Brady White yang saat ini, setelah kulakukan penyelidikan lebih jauh, patut kucurigai hingga sampai ke persentase delapan puluh persen.Ludwig yang menyelidiki. Melarangku meminta bantuan Lucas.“Ya, kucing.” Brady tertawa pelan. Sikapnya pada ZeeZee seharusnya kucurigai sejak awal.“Kenapa, Sayang?” tanyaku sambil tetap berdiri di sini, tidak mendekat pada ZeeZee.ZeeZee menatapku, tatapannya sendu padaku, tidak demikian matanya saat melihat Brady. Dugaanku mungkin ada sesuatu, tapi aku tetaplah pria mengecewakan yang telah melakukan seks dengan wani
Olivia FinleyBrady membawa Eri pergi, entah ke mana, setelah satu kali dua puluh empat jam berada di rumah sakit yang ada di Yellowrin.“Brady lebih berhak karena kini Eri adalah calon istrinya,” kata Rhys, ketika aku protes kenapa dia membiarkan Brady melakukan itu pada sahabatku. Seolah memisahkan kami. Dengan sengaja pula.“Karena aku cuma teman, aku tidak cukup berhak, ya?” Rhys mengecup pelan bibirku selagi mengelus kulit lenganku.“Eri baik-baik saja. Percayalah, Sayang.”Kuembuskan napas tepat di dadanya yang kini menjadi sandaranku. “Katanya, kau ingin membicarakan hal serius denganku. Soal apa itu? Eri?”“Bukan, ZeeZee. Ini soal kita.”Spontan aku mendongak dan menatapnya dari bawah sini, namun rasanya kurang tepat. Keluar dari sandaran dekapannya setengah tidak rela, kutatap dia lekat-lekat.Sepertinya sudah sangat lama aku tidak diajak bicara seserius ini dengan pria terkasihku.“Kita? Kita kenapa?”Helaan napas Rhys membuatku tegang. Seperti ada sesuatu yang malah membuat
Rhys Dimitri OxleyYang kutemukan adalah kepanikan. Para pelayan rumah masih di sini, karena membantu menyelesaikan semua sisa dari acara pertunangan Brady dan Eri.Merekalah yang panik dan ketakutan.“Ada apa ini?”Bukan aku yang bertanya, tapi Hugo. Bahkan Leon dan Adorjan juga ada di sana.“Tu-tuan tamu, oh maksudku, tuan Brady dan tunangannya terjatuh dari lantai tiga.”“Kalian melihat langsung saat mereka terjatuh?” tanyaku sambil mendekat. Semua mata mendadak mengarah padaku. “Tidak, Tuan Rhys. Kami sedang di dapur saat kejadian berlangsung. Jeritan nona Eri mengejutkan kami. Saat kami keluar rumah, keduanya sudah ada di atas mobil tuan Leon dalam keadaan tidak sadarkan diri dan berdarah-darah.” Salah satu dari keempat pelayan memberi keterangan.“Bagaimana sekarang?” Leon bertanya padaku.Kenapa bertanya? Harusnya mereka bergerak untuk mengatasi hal ini atau setidaknya memastikan keadaan kedua orang itu.Karena memang sudah jadi kesepakatan antara kami dan para pekerja di rumah
Olivia Finley“Aku tidur di sini, ya?” Eri menggulung gaunnya menjadi buntalan, setengah telanjang di atas ranjangku. Hanya bra dan celana dalam. “Lakukan sesukamu, Nona cengeng.” Beranjak untuk berganti pakaian, pintu kamarku diketuk.Rhys!Pasti dia!Aku berlari ke arah ranjang, menarik selimut dan mengancam Eri dengan suara pelan. “Itu Rhys, jadi tutupi tubuhmu, Nona!”Eri terkikik, menutupi tubuh bahkan bersembunyi dibalik selimut.Pintu terbuka, bukan Rhys yang berdiri dihadapanku, tapi Brady.“Olive, a—”“Eri, calon suamimu datang!” Aku menyela dengan menyeru. Tujuanku tentu saja agar Brady tidak bertindak seperti saat sebelumnya dia datang ke kamarku.“Hah? Brady!” Suara Eri terdengar riang, bahkan lompatannya dari atas ranjang ke lantai bisa terdengar. Oh—“Hei, Eri! Pakai selimutmu!” Panik, aku melotot padanya, tapi wanita itu santai saja berlarian kecil menghampiri kami di pintu.“Meski tampilannya begitu, aku tidak tertarik.” Brady menatapku.“Apa?” Eri menyela. Langsung b
Olivia FinleyOh, si paling tampan di keluarga Oxley. Hugo.“Apa kabarmu, ZeeZee terkasih?” Dekat-dekat hanya untuk mengecup puncak kepalaku.Hei, hei. Dia satu tingkat lebih berani dari saat terakhir kali kami bertemu. Kudorong wajahnya yang ingin merapat padaku.“Hugo, hentikan.”“Rhys sedang memberi kata sambutan. Jadi dia tidak akan melihat kita,” bisik Hugo.Tinju seriusku mendarat di perutnya. “Berhenti bercanda, Hugo. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.”Hugo tampak jelas berpura-pura tuli karena dia langsung beralih pada Eri yang sedang cekikikan melihat interaksi kami berdua.“Nona Eri yang cantik jelita, langsung pergi ke sisi calon tunanganmu sekarang. Rhys itu tidak pernah memberi sambutan panjang lebar.” Hugo dengan gaya pria sejati, membungkuk mempersilakan Eri seolah dia pengawal sang tuan putri.Terkikik geli, Eri menurutinya daripada aku yang sudah melotot dan tidak bisa menggapai tangannya sebab dia berlari pergi meninggalkan kami.“Wajahmu tampak tidak rela,” tu