"Jika kau ingin dihargai, maka kau harus bisa menghargai orang lain." [Ray. R. R.]
______
Sinar mentari pagi mulai mengintip malu-malu di balik tirai kamar seorang anak remaja laki-laki yang masih setia bergelut dengan selimut tebal nan hangatnya.
Saking nyamannya bergelut dengan selimut, dia bahkan tidak menyadari ketukan pintu kamarnya yang awalnya diketuk dengan pelan berubah menjadi terbukanya pintu dengan lebar.
"Tuan muda, bangun!"
Mendengar suara berisik serta goncangan di tubuhnya membuat Ray mau tak mau membuka matanya yang masih berat.
Ray melihat seorang wanita berbaju kemeja rapi dengan logo psikiater membuat Ray mendengus kesal. Pasalnya, wanita itu sangat cerewet dan menyebalkan.
Mariam, psikiater pribadi Ray yang sudah mengurus Ray selama 10 tahun ini. Umurnya sudah tidak muda lagi yakni 35 tahun tapi tentu saja cantiknya tidak memudar.
"Bangun Tuan muda, ini sudah pagi!" seru Mariam.
Bukannya menjawab, Ray malah memilih mengambil creepy doll yang berada di sampingnya.
Ray tersenyum sembari mengelus kepala creppy doll tersebut sembari bergumam, "Good morning, Rey."
Tentu saja hanya dirinya yang dapat mendengar gumamnya sendiri. Setelah puas menatap creppy dollnya, Ray beranjak dari king size miliknya dan pergi masuk ke dalam kamar mandi, tak lupa pula creppy doll yang selalu setia menemaninya kemana pun dan kapan saja.
Melihat hal itu Mariam hanya bisa mendengus kesal dan menggelengkan kepalanya pusing. Pasalnya, Ray selalu mengacuhkannya seolah-olah dirinya tidak hadir di sampingnya.
Itu sudah biasa bagi Mariam, makanan sehari-harinya. Mengurus seorang Tuan muda dari keluarga terpandang yang memiliki penyakit jiwa cukup membuatnya merasa ikutan gila juga.
Tentu saja karena Ray selalu mengacuhkannya, jangankan berbicara bahkan menatapnya saja tidak pernah. Padahal sudah 10 tahun lamanya dirinya mengurus Ray dari Ray berumur 5 tahun.
Setelah mengatur kesabarannya, Mariam segera membersihkan dan merapikan kamar Ray yang tentu saja lebih besar dari pada kamar apartemennya.
Ceklek.
Pintu kamar mandi terbuka dan nampaklah Ray dengan balutan handuk dipinggangnya, jangan lupa creppy doll dipelukannya menatap datar ke arah Mariam.
"Bajunya sudah saya siapkan, Tuan muda."
Pandangan Ray beralih di atas tempat tidur menampilkan kemeja putih serta celana hitam pendek yang dipilih oleh Mariam, psikiaternya.
"Hn."
Sekali lagi, Mariam hanya bisa mendenguskan napasnya kesal karena Ray selalu membalas ucapannya dengan bergumam tapi hey lihatlah dia bahkan bergumam sambil tersenyum.
Mariam beranjak pergi meninggalkan Ray seorang diri yang saat ini sedang memakai pakaiannya. Mata tajamnya terus melihat ke arah kaca besar yang menampilkan dirinya di sana tanpa berkedip sedikit pun sehingga matanya memerah.
Setelah selesai memakai pakaiannya, pandangan elang Ray beralih menatap creppy doll yang duduk manis di atas tempat tidur miliknya.
"Berhenti menatapku seperti itu Rey, itu menjijikan." ujar Ray sembari berkacak pinggang menatap lurus ke arah creppy doll yang dinamainya Rey.
"Tentu saja aku selalu menatapmu karena aku benci kepadamu, pecundang!" balas Rey.
Ray membelalakkan kedua bola matanya tak percaya mendengar ejekan Rey. Pecundang? Ya, Rey selalu mengatainya pecundang. Ray akui itu karena Ray selalu menghindar dari kehidupan sosial.
"Jaga ucapanmu sialan!" geram Ray.
Karena kesal, dengan cepat Ray meraih Rey dan memeluknya dengan sangat erat. "Aku hancurkan kau Rey jadi jangan macam-macam denganku."
Tiba-tiba pelukan Ray melonggar beralih memeluk Rey dengan pelukan hangatnya.
"Tidak jadi. Karena kau satu-satunya keluarga yang menerimaku." lirih Ray.
Setelah puas berpelukan dengan creepy dollnya alias Rey, Ray pergi keluar kamar menuju meja makan dimana seluruh keluarga besar Robertson berkumpul. Tentu saja Rey selalu setia berada di dalam pelukan Ray.
Dari atas tangga, Ray dapat melihat suasana hangat di meja makan membuatnya ingin segera pergi ke sana tapi setibanya di meja makan suasana mendadak berubah menjadi dingin membuat wajah datar kembali terlukis di wajah putih pucat Ray.
"Kamu sudah bangun? Kemari, duduklah."
Rey melihat kakak, Roy menarik kursi di sampingnya mempersilahkankan dirinya untuk duduk di sebelahnya.
Tak menghiraukan tatapan tajam dari Ibunya, Nisa. Ray duduk di sebelah Roy dan kembali menikmati acara sarapan keluarga Robertson.
Baru saja sampai disuapan ketiga, telinga Ray mendengar ucapan yang berhasil membuat kepalanya mendidih.
"Ray, kau seharusnya belajar untuk berinteraksi dengan orang lain. Jangan sendirian terus. Itu tidak baik." ujar Wilda, Neneknya.
"Biarkan saja dia seperti itu. Dia akan sendirian selamanya." timpal Nisa sembari menatap sinis ke arah Ray.
"Ibu, sudahlah."
Roy melirik ke arah Ray yang menatap lurus ke arah piringnya tapi tangannya tak bergerak sedikit pun untuk menyuapi makanan di dalam mulutnya.
Jujur saja Roy sangat khawatir. Ray hanya mau terbuka kepada dirinya saja. Setiap kali mendengar kalimat yang berhasil menyayat hatinya, Ray akan marah atau lebih parahnya mengamuk di dalam kamar. Adiknya sangat tempramental.
Tiba-tiba Ray beranjak turun dari kursi dan melangkah pergi meninggalkan meja makan. Tapi sebelum itu langkahnya terhenti setelah suara berat berhasil membuat kakinya terpaku.
"Kau harus belajar Ray. Ayah ingin kau mengelola beberapa anak bisnis milik ayah."
Bukannya menjawab, Ray malah kembali melangkahkan kakinya dan menaiki anak tangga dengan cepat.
Melihat hal itu membuat Roy semakin khawatir saja. Dengan cepat, Roy memerintah Mariam dengan gerakan matanya untuk mengikuti Ray.
"Kau terlalu memanjakannya Bryan." ujar Nisa.
Bryan, kepala keluarga Robertson itu hanya bisa menghembuskan napasnya dengan kasar dan pergi meninggalkan meja makan.
"Ibu, berhentilah untuk-"
"Apa? Kau sama saja seperti ayahmu. Terlalu memanjakan anak itu, cih." potong Nisa.
Satu persatu mulai dari Bryan, Nisa, Wilda pergi meninggalkan meja makan dan tinggalah Roy sendirian yang masih memikirkan keadaan Ray, adiknya.
Ray merupakan adik satu-satunya yang dimilikinya, tentu saja Roy sangat menyayanginya ya walaupun terkadang Ray selalu memgacuhkannya tapi setidaknya dirinyalah yang selalu menjadi tempat sandaran Roy.
Roy tersenyum kecut saat mengingat betapa lemahnya dirinya. Roy selalu membiarkan Ray dicaci maki Ibunya sendiri. Setiap kali dirinya ingin melawan, dirinya selalu kalah oleh Ibunya sendiri.
Ray selalu mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja tapi Roy tidak yakin itu. Roy selalu merasa dirinya menjadi kakak yang gagal.
"Tidak apa-apa. Aku harus berjuang lebih baik lagi." gumam Roy menyemangati dirinya.
Baru saja Roy ingin melangkah pergi menuju kamar adiknya untuk menghiburnya, tiba-tiba suara dering ponsel membuat langkahnya terhenti.
Roy meraih ponselnya dan melihat nama "Daniel", seketarisnya tertera di layar ponsel.
"Halo?" sapa Roy setelah menekan ikon hijau untuk mengangkat panggilan.
"Halo Tuan. Terjadi masalah di kantor. Beberapa investor menarik saham mereka dan -"
"Aku segera ke sana!" potong Roy.
Sekilas Roy menoleh ke arah pintu kamar Ray dan menghembuskan napasnya kasar karena sekali lagi dirinya merasa menjadi kakak yang gagal.
Dengan cepat Roy pergi meninggalkan manshion Robertson.
Dari lantai dua tepatnya di balkon kamarnya, Ray menatap kepergian mobil mewah milik kakaknya yang semakin menjauh.
"Kakak ternyata sangat sibuk ya." gumam Ray yang tentu saja dapat didengar oleh Mariam yang selalu setia berdiri di belakangnya.
"Tuan muda Roy sangat pekerja keras. Dia -"
"Apakah kau menyindirku?" tanya Ray yang berhasil membuat Mariam gelagapan.
"Tidak, maksud saya -"
"Lupakan."
Ray melangkah menuju king size miliknya dan berbaring dengan creepy doll di sebelahnya.
"Mariam." panggil Ray membuat Mariam menoleh ke arah dirinya.
"Iya. Ada apa Tuan muda?" tanya Mariam.
Lama Ray terdiam sampai pada akhirnya Ray berhasil mengeluarkan kalimat yang tersangkut ditenggorokannya.
"Kalau aku pergi ke dunia luar. Apakah aku akan baik-baik saja?"
Mariam terdiam setelah mendengar kalimat yang sama setiap kali Ray dalam keadaan suasana hati yang buruk.
Sejujurnya, Mariam bingung bagaimana menjawabnya. Secara psikologis itu tidak memungkinkan mengingat emosi Ray yang sangat tempramental di balik wajahnya yang datar dan tenang.
"Kenapa kau terdiam? Sudah bosan menjadi psikiaterku?" tanya Ray memecah keheningan.
Mariam berdehem sebelum menjawab pertanyaan Ray. "Saya rasa bisa Tuan muda asalkan Tuan muda bisa menjaga emosi dan Rey."
Ray tidak menjawab, dirinya memilih untuk mengamati creepy doll di sebelahnya dan mengusap wajahnya dengan lembut.
"Entahlah Mariam. Aku merasa, Rey adalah sosok yang baik walaupun kalian mengatakannya jiwa yang jahat." lirih Ray.
"Saya mengerti Tuan muda secara Tuan muda Rey selalu berada disamping Anda setiap kali Anda merasa kesepian." jawab Mariam dengan mantap.
Ray menganggukkan kepalanya membenarkan apa yang dikatakan oleh Mariam.
Tiba-tiba cairan bening keluar dari ujung mata Ray dan mengalir dengan mulus melewati pipi putih pucat Ray.
Setiap kali mengingat perlakuan Ibunya membuat Ray merasakan sedih teramat dalam. Ray tidak tau kenapa ibunya bersikap seperti itu. Ray hanya menginginkan pelukan hangat dan kasih sayang dari Ibunya, apakah sesulit itu memberikannya?
Oh, Ray baru ingat. Terakhir kali dirinya merasakan pelukan hangat dari Ibunya saat Ibunya mengetahui kalau dirinya gila. Ya, gila. Begitulah kata orang disekitarnya mengatakan dirinya.
Tidak hanya itu, perlahan-lahan perhatian kecil dari Ayahnya dan Neneknya menghilang tapi tidak dengan Roy. Kakaknya itu semakin hari semakin banyak menaruh perhatian kepada Ray membuat Ray keluar dari kegelapannya sendiri dan beralih di pelukan hangat Roy.
Sejak kedatangan Mariam membuat hari-hari Ray sedikit bersinar pasalnya wanita berumur 35 tahun itu sangat cerewet. Sifat keibuannya membuat Ray merasakan memiliki Ibu kedua.
Ah, kenapa tiba-tiba Ray mengingat hal konyol seperti ini. Dengan kasar Ray menghapus air matanya dan duduk menatap ke arah Mariam.
"Mariam, besok aku ingin jalan-jalan. Temani aku ya." ujar Ray dengan senyum hangat yang terukir di bibir tipisnya.
Melihat hal itu membuat Mariam melongo tak percaya tapi dengan cepat Mariam mengubah ekspresinya dan membalas senyuman Ray yang sangat jarang terlihat itu.
"Dengan senang hati, Tuan muda." balas Mariam.
Setelah mendapat persetujuan dari Mariam, Ray menyuruh Mariam meninggalkannya sendiri di dalam kamar.
Meninggalkan Ray seorang diri dan...creepy dollnya, Rey.
"Apakah keputusanku sudah benar?"
"Entahlah. Aku tidak peduli." balas Rey.
Ray menoleh kearah Rey menampilkan raut wajah tidak suka. "Kau seharusnya mendukungku." geram Ray.
"Aku akan mendukungmu kalau kau bersedia memberikan tubuhmu kepadaku."
Ray berdecak kesal melempar Rey sehingga creepy doll itu terlempar ke arah rak buku membuat beberapa buku kesayangan Ray jatuh berserakan dilantai.
"Peduli amat setan." umpat Ray sembari merebahkan tubuhnya memunggungi Rey.
Baru saja Ray memejamkan kedua matanya tiba-tiba Ray merasakan pergerakan di belakangnya membuat Ray refleks berbalik melihat siapa pelakunya.
Rey.
Creepy doll itu duduk di belakang punggung Ray membuat Ray tersenyum penuh kemenangan. "Aku tau, kau membutuhkanku."
Mata creepy doll itu berkedip menandakan dirinya mengaku mengalah. Begitulah kebiasaan Rey harus menyerah kepada Ray yang dominan lebih nyata ketimbang dirinya.
"Jika kau tidak tau apa yang aku pikirkan. Berhentilah menebak, bodoh!" [Rey R. R.] ______ Sesuai janjinya kepada Mariam, hari ini Ray memutuskan untuk jalan-jalan. Ya walaupun tidak lama tapi Ray harus berusaha sebaik mungkin agar dirinya tidak dianggap boneka lagi oleh keluarga Robertson. Ray berdecak kesal, hampir 30 menit dirinya menunggu di gerbang manshion tapi batang hidung Mariam tidak juga muncul membuat Ray semakin kesal. "Dimana perawan tua itu." geram Ray. Karena lelah menunggu, Ray memutuskan untuk berjalan sendirian keluar manshion. Tidak begitu buruk tapi cukup membuat kaki Ray gemetaran. Pasalnya banyak pasang mata yang menatap aneh ke arahnya. Apanya yang salah? Dengan cepat Ray memeriksa keadaan dirinya. Baik-baik saja malahan terlihat sangat tampan. Ray mengacuhkan semua pasang mata yang melihatnya dan mem
"Menangislah kalau itu bisa membuatmu kembali tenang." [Mariam]______Melihat sesuatu yang terjadi kepada Ray, dengan cepat Mariam meraih tubuh Ray dan memeluknya dengan erat."Tenangkan dirimu Tuan muda. Tenang!" bujuk Mariam.Ray terus bergumam mengatakan semua ini tidak mungkin terjadi. Bagaimana bisa?Ray menoleh kebelakang melihat Ibunya yang dipeluk erat oleh Ayahnya. Ray berusaha bangkit dengan bantuan Mariam berjalan menuju Nisa, Ibunya.Creepy doll yang tergeletak di lantai tak dihiraukannya. Yang terpenting saat ini adalah Ray harus mencari tau kebenarannya."Mah." panggil Ray.Bukannya sahutan lembut atau pelukan hangat, yang Ray dapatkan adalah tatapan penuh amarah serta kebencian dari mata Nisa."Ini semua salah kamu! Kamu pembawa sial di keluarga ini!"Tubuh Ray seket
"Belajarlah untuk berinteraksi dengan dunia luar. Keluar dari dunia gelap yang kau buat itu dan kembalilah melihat indahnya sinar matahari." [Bryan R. R.]______Sudah dua tahun lamanya semenjak putra tunggal keluarga Robertson meninggal, dan sudah dua tahun itulah Ray mempertahankan wajah datarnya.Bukan hanya wajahnya saja, sifatnya juga semakin dingin membuat Mariam kesulitan untuk mendekatinya.Wajah tampannya terlihat sangat jelas di balik wajah datarnya. Kulitnya sudah tidak pucat seperti dulu.Keberadaannya? Tentu saja Ray sudah tidak peduli. Kalau dulu dirinya berusaha mencari perhatian kepada Nisa dan Bryan, sekarang sudah tidak lagi.Bahkan hanya untuk makan bersama saja Ray merasa enggan. Jangankan untuk makan bersama, menatap wajah mereka saja Ray tidak betah.Sekarang umur Ray sudah menginjak 17 tahun. Umur dimana anak
"Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya." [Ray R. R.]______Ray turun dari mobil, meninggalkan mobil yang didalamnya terdapat sopir pribadinya yang ditugaskan Bryan untuk menjaga Ray.Baru saja Ray melangkah masuk ke dalam gerbang, tiba-tiba Ray merasakan kedua kakinya bergetar hebat.Pasalnya sekolah yang dilihatnya sangat ramai. Dengan perasaan cemas, Ray memeluk creepy doll dengan erat."Kau pasti bisa Ray." gumam Ray. "Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya."Ray berjalan menelusuri sekolah yang katanya sekolah terbaik di Amerika. Ray akui itu, selain bangunan yang terbilang sangat terbaik, lapangannya juga sangat besar. Terdapat taman di sebelah lapangan basket, dan ada air mancur di tengah-tengah taman.Baiklah, lumayan. Ray terus berjalan mencari ruangan guru, tak men
"Aku akan menguasai dunia dan menjadi nomor satu." [Rey R. R.]______Jam pelajaran telah usai, saatnya seluruh siswa pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi tidak untuk Ray.Sebelum pulang, Ray memutuskan untuk pergi ke apartemen Mariam. Jujur saja Ray rindu kepada Mariam tapi Ray terlalu gengsi untuk mengakuinya jadi Ray memutuskan untuk beralasan mengembalikan tempat bekal kepada Mariam.Lama Ray menunggu lift membuatnya mengeluh. Ray tidak tau apa yang terjadi. Ray menoleh ke arah tangga, ah rasanya Ray terlalu malas untuk menaiki tangga. Jadi, Ray memutuskan untuk menunggu saja.Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pintu lift terbuka. Baru saja Ray ingin masuk, tiba-tiba ada seseorang dari dalam lift keluar tergesa-gesa sehingga menabrak bahu Ray."Akhh Shit!" umpatnya kepada Ray.Ray menatap heran ke arah pria itu, merasa tid
"Kau hanya perlu sedikit berusaha lagi. Mereka pasti akan menyukaimu." [Mariam]_____"Hai kamu, yang bawa boneka!"Mendengar suara ganjil yang berasal dari belakang, dengan cepat Ray dan David membalikkan badan dan melihat siapa orang ganjil itu.Seorang siswi berdiri di belakang keduanya dengan tatapan mengejek berhasil membuat Ray geram. Ray memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Lebih baik dari pada Vibi Kudanil di kelasnya.Rambut panjang hitam yang diuraikan, make up natural, serta postur tubuh yang terbilang ideal. Tapi satu yang sangat mencolok adalah gadis itu menggunakan tas berwarna pink dengan gambar kuda pony di depannya."Ppfftttt!"Ray berusaha mati-matian menahan tawanya sehingga Ray terpaksa berhenti setelah mendapatkan tatapan tajam dari pemiliknya."Apa yang lucu?" tanyanya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kalau kau pulang sendiri itu tidak baik karena kau anak gadis, nanti kau diculik. Ini sudah malam." [Ray R. R.]______Wahana bianglala memutar menampilkan pemandangan kota malam dari atas membuat Ray semakin kagum.Melihat hal itu membuat Vara menahan senyumnya, melihat ekspresi Ray sangat menggemaskan."Ray." panggil Vara."Hm."Ray saat ini masih fokus melihat ke arah luar jendela tak memperhatikan Vara yang sedari tadi melihatnya."Leher kamu engak sakit kalau -""Apa?" tanya Ray.Ray membalikkan tubuhnya menghadap tubuh Vara sehingga lagi dan lagi keduanya berhadapan. Ray merasa suara Vara terlalu kecil, karena itu dia berbalik.Sedangkan Vara merasa meleleh sebentar lagi. Suasana romantis seperti dinovel yang sering dia bac
"Kalau berani jangan main keroyokan." [Kay]______"Manis sekali? Umur berapa kamu dek?""Ahaha!"Mereka tertawa terbahak-bahak sembari memainkan rambut lebat Ray tapi dibalas Ray dengan wajah datarnya."Kenapa dek? Marah ya?""Jangan marah ya nanti maminya datang."Mereka semakin menjadi mengejek Ray membuat Ray merasa risih. Rasa cemas dan takutnya sekarang sudah sedikit berkurang akibat rasa bangganya yang terus mendarah daging dari kemarin.Salah satu dari mereka hendak mengambil paksa creepy doll Ray kalau saja tidak ditahan oleh Key.Kay dan Key datang mendorong beberapa siswa agar menjauhi Ray, "Kalau berani jangan main keroyokan." ujar Kay."Anak mami itu kalian, buktinya berani sama satu orang. Cih." ejek Key."Kenapa ini? Aku keting
"Tolong, aku tidak ingin menjadi boneka pertunjukanmu." [Ray R. R.]_______Ray memasang wajah datarnya merasa bosan dengan keempat pria di depannya. Penampilannya tentu saja menyeramkan layaknya preman tapi mereka terus berdebat layaknya anak kecil.Dilihatnya creepy dollnya yang masih duduk manis di atas tanah dekat tepi danau. Ray menganggukkan kepalanya membiarkan jiwa jahatnya beraksi malam ini.Saat keempat pria yang masih asik berdebat itu seketika berhenti berdebat saat manik mata mereka tak sengaja melihat bayangan serta perubahan yang terjadi kepada boneka yang sangat aneh menurut mereka.Creepy doll milik Ray bergerak perlahan dan mulai membesar dengan gerakan patah-patah serta wujud yang semakin menyeramkan.Sontak keempat pria itu menjerit ketakutan dan berlari terbirit-birit sembari berteriak meminta pertolongan.Sedan
"Untuk apa aku takut? Bahkan saat seluruh dunia membenciku sekali pun, aku tetap tidak akan peduli." [Ray R. R.]_________Hari sudah mulai gelap, tapi tak membuat Vara berhenti untuk berpikir. Kakinya yang mulai penat karena sedari tadi mondar mandir seperti setrika pun tak dihiraukannya.Saat ini yang sedang Vara pikirkan adalah Ray. Hei tentu saja. Sebagai seorang kekasih, tentu saja Vara merasa sangat khawatir apa lagi pagi tadi Vara menamparnya. Vara yakin, Ray pasti sangat marah kepadanya padahal Ray hanya bermaksud untuk menciumnya saja.Itu sesuatu yang sering terjadi kepada sepasang kekasih bukan? Tapi masalahnya yang sedang Vara pikirkan adalah Ray sangat keterlaluan. Saat Vara sudah menerima ciuman kasarnya, Ray malah meremas salah satu gundukan kembarnya dan hal itulah yang membuat Vara marah. Jadi Vara tidak bersalah bukan?Ah entahlah. Vara meremas ram
"Dasar kau ini. Aku hanya bercanda, kenapa kau marah sekali? Ini bukan dirimu." [Rey R. R.]_______"Kau harus berhati-hati Ray. Jangan sampai dia membuka ponselmu dan menemukan percakapanmu dengan Mios." Ujar Rey.Seketika wajah Ray menjadi dingin setelah mendengar apa yang Rey katakan, "Dia tidak akan bisa membuka ponselku. Kalau pun bisa, aku tidak akan melepaskannya."Mendengar apa yang Ray katakan membuat senyuman Rey terukir lebar seketika. Melihat senyuman lebar Rey membuat Ray ikut tersenyum dengan lebar."Ada apa dengan senyumanmu itu? Apa kau merencanakan sesuatu?" Tanya Ray.Yang ditanya hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Melihat Rey yang tertawa, Ray sudah bisa menduga kalau jiwa jahatnya itu memiliki rencana jahat. Oleh karena itu Ray harus berhati-hati kedepannya."Jangan seperti itu Ray. Aku tidak merencanakan rencana
"Jangan melihatku seperti itu. Kalau kau ingin tertawa, silahkan." [Ray R. R.]______Dan saat itu juga...Vara terbangun dari tidurnya dan langsung terduduk. Napasnya tak beraturan seperti orang sehabis lari marathon.Wajahnya terlihat sangat pucat dengan peluh yang membanjiri wajahnya yang putih. Vara masih terdiam, berusaha untuk mencerna apa yang terjadi barusan.Sinar mentari yang sangat menyilaukan pun tak mampu membuat Vara tersadar bahwa saat ini sudah pagi.Dengan terburu-buru Vara menyentuh tangannya dan memeriksanya dengan teliti. Tak hanya itu saja, Vara bahkan menyentuh wajah dan anggota tubuhnya yang lainnya. Ternyata masih utuh, batinnya.Perlahan Vara menyentuh dadanya yang jantungnya tak berhenti berdegum kencang. Kesadaran Vara belum pulih sepenuhnya, karena itulah Vara masih terdiam membisu.Vara
"Ternyata benar. Aku hanya menjadi mainan mereka sedari awal." [Ray R. R.]_______Dan disaat itulah Vara kembali tersadar dan yakin dengan pendengarannya, karena setelah melumat bibirnya Ray kembali menyatakan perasaannya."I love you, Vara."Vara masih membeku, berusaha mencerna apa yang dikatakan Ray tadi. Perlahan senyuman terukir di bibirnya yang bengkak membuat Ray yakin kalau Vara menerimanya.Dan benar tebakan Ray, Vara akhirnya mencium Ray kembali dan kali ini Vara yang memulainya terlebih dahulu.Ciuman yang diberikan Vara adalah sebagai jawaban kalau Vara menerima untuk menjadi kekasih Ray.Pangutan keduanya lepas, Ray menatap Vara dengan tatapan sayu. Perlahan Vara memajukan wajahnya sembari berbisik, "I love you too, Ray."***
Hallo pembaca setia Ray. Selamat pagi, siang, sore, malam, kapan pun kalian baca ini lah:v Maaf ya author lama update sampai ada yang nanya-nanya lagi, "Kak up nya kapan?", " Kak jangan lama-lama dong.", "Kak langsung double up ya." Hehe maaf ya, nilai author ada yang kosong jadi harus author perbaiki dulu eakkk ya kan, namanya juga author masih pelajar, agak ribet. Tapi kalau semuanya udah kelar, author bakalan rajin update kok. Author bakalan kasi ending terindah untuk kalian, jadi tenang aja. Author ngk bakalan ngegantungin cerita tapi untuk sekarang bersabar aja ya. Tetap tungguin kelanjutan perjalanan Ray ya, jangan sampai ketinggalan:)) By Dedek Chanā„
"Jangan seperti itu lagi. Apa kau tau? Kau membuatku sedih." [Elvara Viandra]________Sedangkan Vara hanya bisa tersenyum malu-malu dan menundukkan kepalanya karena merasa kedua pipinya terasa panas."Ayo kita makan, aku sudah lapar. Aku juga tidak sabar ingin mencicipi masakan calon menantuku." Ujar Bryan memecah keheningan.Setelah selesai makan, Ray mengantar Vara pulang kembali ke kostannya. Hanya keheningan yang menyelimuti keduanya di dalam mobil sampailah saat Vara turun, Vara masih engan untuk mengucapkan terima kasih kepada Ray."Sampai jumpa." Ujar Ray.Vara mendonggakkan kepalanya. Vara dapat melihat semburat rona merah di kedua pipi Ray membuat Vara tersenyum. "Terima kasih. Maaf sudah merepotkanmu." Balas Vara."Seharusnya aku yang mengatakan itu."Setelah mengatakannya, Ray menjalankan mobilnya pergi meninggalkan Vara yang masih bingung, tidak mengerti dengan apa yang Ray katakan.
"Lihatlah, aku malah berharap. Apa dia senang membuatku seperti itu?" [Elvara Viandra]______Vara mengernyitkan dahinya bingung, "Aku harus pulang, ini sudah malam Ray. Kalau aku tidak pulang, aku harus tidur dimana?" Tanya Vara."Tidurlah bersamaku.""Apa?!"Kedua mata Vara terbelalak tak percaya setelah mendengar apa yang Ray katakan. Dan yang lebih parahnya lagi, Ray mengatakannya dengan wajah tak berdosanya."Tidak! Kenapa aku harus tidur denganmu? Aku bisa pulang sendiri, kau tidak perlu khawatir." Tolak Vara.Ray meremas sedikit pergelangan tangan Vara membuat empunya meringis kesakitan. "Jangan salah faham. Ini sudah larut, tidak ada taksi yang lewat. Sopirku sedang cuti, aku juga tidak bisa mengantarmu. Dan sekarang Ayahku pasti sudah tidur. Lebih baik kau tidur di sini saja."Vara terdiam, berusaha menyima
"Jangan mendengar apa yang orang lain katakan padamu Ray. Ketahuilah, mereka hanya iri kepadamu." [Rey R. R.] ________ Rey berdiri disana, di air kolam yang memantulkan sinar bulan. Tersenyum hangat ke arahnya serta lambaian tangan menyapanya. Ray terpaku melihat Rey yang berdiri sembari tersenyum ke arahnya. "Hai Ray, apa kau merindukanku?" Tanya Rey. Perlahan Ray menganggukkan kepalanya dengan raut wajah yang berubah menjadi sendu. Sendu yang mengisyaratkan kalau dirinya sedih karena berpisah dari Rey. Rey hanya tersenyum melihat respon yang diberikan Ray. "Aku tau apa yang terjadi belakangan ini. Kau pasti sangat lelah." Lagi dan lagi Ray hanya bisa menganggukkan kepalanya, membenarkan apa yang Rey katakan. "Kemana saja kau selama ini? Apa kau tau? Aku sangat kesepian. Aku merasa seperti menjadi orang yang bodoh dan tak berdaya tanpamu." L