Zhura dirundung kepanikan, kepalanya berdenyut dilanda pusing yang teramat. Ia kelimpungan mengendalikan kudanya saat ada warga yang kebetulan melintas dengan raut kebingungan. Untuk menghindari perhatian, gadis bermata hijau itu segera berpacu ke dalam tikungan. Dengan sebelah tangan yang setia mencengkram tali kendali, Zhura merogoh tas kecil di pinggangnya. Ia meraih satu benda bulat dari sana, lalu dilemparkannya pada pengejarnya di belakang.Whussh!Asap hitam menguar menutupi jalan. Orang-orang Shar itu pontang-panting, mereka mengibaskan tangannya menghalau asap dari jalur mereka. Zhura memanfaatkan kesempatan untuk melesat ke luar perdesaan dan lari dari jangkauan. Memang membuat heboh, tapi cara itu berhasil membuat orang-orang Shar kehilangan jejak atas keberadaannya.Zhura tersenyum bangga, "Jangan harap bisa menangkapku dengan mudah!"Gadis itu kembali mengikuti jalur petanya, kini ia berkuda di padang rumput luas. Waktu berjalan lambat, ia menikmati kesendiriannya bersama
"Lepaskan!"Sepuluh orang bertudung mengelilinginya dengan sorot tajam. Zhura mengeratkan genggaman tangan pada petanya saat salah satu dari mereka berusaha merebutnya."Kubilang lepaskan itu!" seru Zhura mempertahankan petanya dengan kedua tangan.Suara melengking tiba-tiba terdengar begitu keras menggema di hutan. Dengan suhu udara yang turun puluhan derajat celcius, angin seketika bertiup luar biasa kencang hampir mengelupaskan kulit. Zhura yang sudah diambang batas kesadaran, terkesiap melihat cahaya putih berpendar dari arah belakang. Dari balik cakrawala senja, terbang seekor burung raksasa putih dengan bulu yang menguarkan cahaya kebiruan dari ekornya."Azhara?" gumam Zhura tak bisa mengalihkan pandangan.Suara lengkingan makhluk itu terdengar lagi dan kali ini disertai dengan semburan api biru yang membinasakan apapun yang dikenainya. Orang-orang bertudung sontak saja menggencarkan serangan ke arah burung raksasa itu. Ada beberapa dari mereka yang kabur, tapi sisanya teguh mel
Uhuk!Zhura melonjak, dia mengeluarkan semua air dari dalam paru-parunya dengan terus terbatuk. Beberapa saat kemudian udara menjadi lebih ringan untuk dihirup. Kedua tangan naik mengusap matanya yang terasa perih. Saat keadaannya membaik, gadis itu menoleh pada sosok di sisinya yang terlihat sama kacaunya. Pemuda itu tidak bergerak, sejak tadi yang ia lakukan hanya duduk dengan tubuh membungkuk. Wajahnya pucat, air membasahi sekujur tubuhnya yang memucat."Azhara?" panggilnya.Mendengar panggilan itu, Azhara mendongak. Dia terdiam sebelum kemudian menampilkan raut marah saat menggapai tangan Zhura."Ayo, kembali!" ajaknya dengan marah."Apa?! Aku tidak ingin kembai!" jawab Zhura melepaskan tangannya. Mereka berdua ada di sisi sungai, teronggok lunglai setelah baru saja terseret arus deras. Sebelumnya Zhura terjatuh ke sungai di bawah jembatan."Hal bodoh apa yang sebenarnya ingin kau lakukan?! Kau tidak tahu seberapa cemasnya aku, hah?!" tanya Azhara lalu terbatuk kecil.Zhura terpak
Pagi datang membawa kesejukan yang sebenarnya masih menyisakan hawa dingin. Maklum matahari masih belum lama naik. Zhura tampak membawa air yang ia ambil dari kaki bukit, dengan langkah hati-hati ia memegang wadah tersebut agar tidak tumpah. Semalam dan beberapa hari terakhir ia tidak tidur, jadi tubuhnya sedikit lemas. Meskipun demikian, ia mencoba untuk bersemangat setidaknya sampai Azhara kembali pulih."Aaakh!"Saat dia berjalan kembali ke tendanya, Zhura mendengar suara teriakan. Suara itu kecil, sepertinya milik anak kecil."Apa yang terjadi?" Gusar mulai hinggap, Zhura terdiam di tempatnya."Tolong aku!" Suara teriakan itu terdengar lagi, kali ini Zhura memutuskan untuk menuju ke sumber suara. Di atas tebing, ia melihat seorang anak kecil berlari. Di belakangnya ada banyak makhluk menyerupai serigala yang mengejarnya. Jelas sekali bahwa makhluk-makhluk itu berniat memangsanya. Ini gawat, Zhura tidak boleh diam saja membiarkan anak kecil itu dimakan. Dia harus melakukan sesuat
Mereka berdua bergabung bersama orang-orang itu. Beberapa saat berjalan, sampailah mereka semua pada tempat yang sangat luas. Zhura melongo, tampak padang rumput membentang dengan banyak yurt berbahan kulit didirikan. Yurt tersebut dibangun berjejer membentuk pemukiman penduduk yang sangat rapi. Zhura melihat ke sekitar. Jika dilihat lebih baik, situasi tempat ini mirip seperti perkemahan luar biasa besar yang berisi ratusan peserta.Angin siang bertiup, desirannya mengibarkan kanopi di depan tenda-tenda besar. Para pemukim yang melihat parade itu membuat raut penasaran. Lain halnya dengan anak-anak kecil di penjuru perkemahan yang memilih acuh dan asyik bermain kejar-kejaran. Ketika orang-orang di belakang menyingkir, pria tua pemimpin membawa Azhara dan Zhura pada yurt berwarna putih. Di depan pintu yurt tersebut, ada seorang wanita tua tersenyum ramah."Selamat datang." Dia menyambut Zhura dan Azhara, lalu membawa mereka semua ke dalam. Nenek tua itu menyilakan duduk pada karpet be
"Kau sungguh pembohong yang handal."Zhura menutup bibir Azhara dengan tangannya. Setelah memastikan Nenek Manira dan Kakek Maral benar-benar keluar dari yurt itu, dia pun segera menarik dirinya dari hadapan Azhara."Jangan bicara keras-keras, bagaimana kalau mereka mendengarnya?" sembur gadis itu. Zhura sudah menceritakan sebuah kisah melankolis di mana selain tidak punya tempat tinggal, dia juga mempunyai kakak yang penyakitan. Kalau Nenek Manira dan Kakek Maral mendengar ucapan Azhara, bisa-bisa mereka akan meragukan Zhura."Hei," panggil Azhara yang hampir tenggelam dalam lautan emosi, "kau sungguh tak ingin kembali?"Karena Azhara menanyakannya, sekarang Zhura jadi memikirkannya. "Jika kau khawatir aku akan kabur, maka tidak. Jangan khawatir, karena aku tetaplah gadis suci. Kau sudah tahu, 'kan? Aku pergi untuk mendapatkan penawar racun. Tidak sepertimu, perjalananku sejauh ini mempunyai tujuan yang jelas. Jadi, jangan coba-coba mempengaruhiku. Dengan atau tanpa petanya, aku akan
Suara hewan-hewan malam terdengar jelas di tengah keheningan. Azhara berdiri bak patung di tengah ruangan yurt, menatap kosong ke udara. Dia masih bergeming di sana, setidaknya sejak Nenek Manira dan Kakek Maral mengantarkan mereka ke tenda ini. Raut enggan terpampang jelas di wajahnya yang pucat. Sepertinya pemuda itu masih belum menerima keputusan Zhura untuk singgah di sini.Di tempatnya, Zhura masih menggotong barang-barangnya ke sana sini. Setelah semua barangnya tertata rapi, ia mulai sibuk menggelar karpet tidur di lantai. Bahan karpet yang tebal membuat gadis itu kesulitan, bahan tebal tentu saja memiliki berat yang besar. Namun, dengan usaha ekstra akhirnya dia berhasil mengaturnya menjadi alas tidur. Dengan tambahan selimut hangat dan bantal bulunya, kini tempat tidur yang sempurna pun tercipta."Sampai kapan kau mau berdiri di sana?" Ia berbalik, menatap pemuda perak itu seraya mendelik. Zhura sadar kekakuan di antara mereka tidak boleh dibiarkan lebih lama. Dengan letih ia
"Seorang gadis muda memberikan uang padaku, dia menitipkan kuda ini dan memintaku menjaganya.""Apa kau ingat wajahnya?" tanya Inara memastikan."Aku ingat dia bermata hijau dengan rambut cokelat kemerahan, ada gelang Arbutus di tangan kanannya, " jawab pria elf di depannya dengan raut berpikir. "Benar, dia Zhura!" Sebelumnya Inara dan Valea membatalkan pelarian mereka dan memutuskan untuk mencari Zhura. Namun, mereka begitu heran saat melihat kuda Valea yang dibawa Zhura ada di tempat penitipan hewan. Bukankah ia bilang ingin menemui Azhara? Tapi sepertinya gadis itu memutuskan untuk melakukan perjalanan lain dengan kudanya sendiri. Sebenarnya ke mana dia pergi?"Apa dia mengatakan sesuatu tentang pergi ke suatu tempat?" tanya Valea mendesak."Tidak."Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Inara mengembuskan napasnya yang menjadi berat. Tak adanya hawa yang bisa ia rasakan dari Zhura m menandakan bahwa temannya itu sudah pergi jauh. Saat mereka sibuk berpikir, para prajurit istana le
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun