"Dia dikirim ke sana dan tidak pernah kembali ke sini. Entah apa sekarang ia masih hidup atau tidak. Menyadari bahwa dia tidak akan pulang ke sini, kadang-kadang membuatku marah. Tidak tahukah mereka bahwa gadis-gadis juga punya perasaan, kehidupan, impian dan juga orang-orang yang menunggu kepulangan mereka di rumah?"Azhara menunduk, wajahnya tersembunyi di balik selendang hitam di kepalanya. Zhura yang tidak mempunyai rencana untuk mendengarkan kenyataan sedemikan rupa, tak dapat berkata apa-apa."Tapi, itu sudah berlalu, semuanya sudah terjadi. Aku pun bisa tenang untuk enam belas tahun ke depan sebelum pemilihan gadis lagi. Aku penasaran dengan gadis-gadis yang terpilih di periode ini, mereka pasti sedang sangat ketakutan karena pemberangkatan yang semakin mendekat," tambah Yara.Azhara yang mendengar itu mendongak, melirik ke arah di mana kira-kira Zhura berada."Takut atau tidak, itu belum pasti. Yang jelas mereka pasti berjuang dengan sekuat tenaga, bagaimana pun itu adalah ti
Mereka berjalan beriringan menuju ke pemukiman. Sebenarnya jaraknya tidak jauh, tapi jalanan yang terjal membuat mereka harus mengeluarkan tenaganya dua kali lipat untuk melewatinya. Azhara tidak mengatakan apapun dan bungkam saat Yara yang digendongnya tak berhenti berbicara. Di belakang, Zhura tampak kepayahan. Sesekali gadis itu berhenti untuk membenarkan posisi dua keranjang di punggungnya. Angin yang sejuk menerpa tak lagi terasa karena seluruh perasaannya kini panas.Keadaan ramai menyambut mereka di padang rumput. Orang-orang sudah menata yurt mereka dengan indah, sementara sisanya ada menyiapkan berbagai kebutuhan untuk perayaan."Bibi, ini sayurannya. Kakak Lailla yang memanennya. Dia benar-benar bersemangat!" ungkap Yara menunjuk dua keranjang berisikan sayur-mayur, menarik turunkan alisnya pada Zhura."Wah, terima kasih, Nak. Kau sangat baik!" Ibu-ibu di bagian dapur tampak tersenyum ramah dan hangat."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Yara juga sangat bersemangat."
Zhura sedang sibuk menggambar ulang peta yang diambil oleh orang-orang Shar menggunakan sisa-sisa ingatannya. Meskipun tidak rapi, tapi asalkan ia paham cara membaca jalur-jalurnya, maka itu sudah cukup. Ketika ia hampir menyelesaikan petanya, Yara tiba-tiba datang dan memaksa Zhura menggulung kembali kertasnya."Kakak Vi!" Yara membungkuk kelelahan, menunjuk ke luar tenda seraya terengah-engah. Bibirnya yang kecil terbuka lebar meraup udara ke dalam paru-parunya. Zhura bangkit dan berlari ke luar. Segera setelah itu, ia terpana. Tidak disangka, banyak sekali orang yang memenuhi penjuru padang, sepertinya perayaan sudah dimulai. Pantas saja ia terus mendengar suara bising sejak tadi."Tunggu dulu, aku belum selesai menjelaskan!" Yara menyusul dengan tertatih. "Kakak Vi ikut pertandingan pacu kuda! Dia ada di sana!""Apa? Bagaimana bisa dia melakukannya?" Zhura mengambil tangan Yara dan mengajaknya berlari. Yara yang tak siap akan tarikan hampir terjungkal."Gila, kau seperti singa! La
Inara turun dari kereta kuda yang membawanya dan dua tabib lain dari istana. Dengan pakaian khas seperti halnya tabib-tabib lain, dia terlihat sangat percaya diri dengan penyamarannya. Nyatanya, ini adalah kali pertama ia menyusup, tentu saja ia masih awam soal aksi seperti ini. Jelas ada keraguan di hatinya, tapi gadis elf itu memiliki lebih banyak keyakinan untuk mengungkapkan kebenaran. Terlebih lagi, semua ini ia lakukan demi Zhura. Jika dalangnya belum ditemukan, maka keamanan temannya itu masih terancam."Ini ruangan Anda." Seorang pelayan mengantarkan Inara ke ruang istirahat. Masing-masing tabib punya satu ruangan."Terima kasih."Setelah membantunya menata barang-barang, pelayan itu undur diri. Inara mempunyai jadwal memeriksa tiga jam lagi, jadi dia masih mempunyai waktu luang. Meskipun begitu, dia tidak bisa menggunakan kesempatan itu untuk bersantai. Seperti yang diperintahkan Tabib Ma, ia harus melaporkan semua hal yang bisa ia temukan di paviliun ini. Gadis elf itu memba
Malam perayaan dilaksanakan, orang-orang Wiyyam serentak keluar dari tenda dan berkumpul beratapkan langit. Sebagian perlombaan baru selesai saat matahari tenggelam, tapi keseruan masih terus berlanjut. Di penjuru pemukiman ini, anak-anak kecil masih saja sibuk kejar-kejaran penuh canda tawa. Api unggun besar pun dinyalakan di tengah padang sebagai penghangat. Meskipun dengan penerangan seadanya itu, acara berjalan begitu meriah.Banyak makanan, permainan, dan pertunjukan membuat padang rumput ini terlihat seperti pasar malam. Kini, Zhura sedang berkumpul bersama orang-orang mengelilingi api unggun. Tepat di sisi kanannya, ada Azhara yang duduk menyembunyikan wajah. Mereka semua bercakap-cakap riang, duduk melingkar seraya berbagi cerita. Cahaya dari nyala api di tengah membuat semua orang menjadi merah."Apa ini?" Zhura mencium minuman di gelasnya, terasa hangat dengan aroma kelapa."Jangan khawatir, itu bukan anggur." Kakek Maral menjawabnya, "Ini adalah minuman khas suku Wiyyam. Na
Inara berada di kamar dengan nuansa kayu. Ada aroma harum yang memenuhi ruang kamar itu, sepertinya itu berasal dari bunga-bunga yang diletakkan sebagai hiasan di beberapa sudut. Sekarang adalah jadwal bagi pemeriksaan kondisi Raja Amarhaz. Inara sengaja datang lebih awal, dengan itu ia dapat melihat pelayan-pelayan itu membantu mempersiapkan raja setelah mandi. Terkesan tidak baik, tapi seperti itulah caranya agar ia bisa melihat tubuh pria tua itu, tentu dengan batasan beberapa bagian tertentu.Dari balik tirai tranparan, mata elf itu menelusuri bagian demi bagian dari tubuh Raja Amarhaz. Ia mengembuskan napas lega saat tidak menemukan lambang bunga di sana. Itu berarti dia bukan dalangnya. Kini, Inara merasa tenang. Setelah pelayan itu menyilakan dirinya masuk, ia pun datang. Wajahnya tertutup kain, jadi ia identitas dirinya aman. Raja Amarhaz duduk di ranjang dengan lemah, wajahnya masih pucat dan dingin bahkan meski ia selalu mandi air hangat.Inara meminta izin untuk memeriksa k
"Jadi, itulah alasannya kenapa La dipaksa berpura-pura menjadi laki-laki?"Yara yang tengah memunguti sampah terlonjak mendengar perkataan Zhura. "Kakak Lailla sudah tahu?!""Ya, La sendiri yang mengatakannya."Alis Yara turun, seakan-akan ada kanopi besar di atasnya, dia tampak mengeruh. "Kakek Maral dan Nenek Manira sebenarnya adalah orang baik, mereka hanya tidak mempunyai pilihan. Dengan cara menyembunyikan identitas La, anak itu akan aman. Mereka pikir cara itu akan berhasil, atau setidaknya untuk sekarang.Gadis elf itu lanjut menutup karungnya lalu berjalan ke tempat dikumpulkannya semua sampah di sisi bukit untuk dikubur oleh para pria. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, Yara dan Zhura duduk di atas bukit menatap pemandangan alam. Di mata hijau Zhura, seluruh wilayah di bawah seperti butiran pasir, begitu kecil seakan dapat ia genggam dengan satu tangan."Kakak Lailla, aku sungguh ingin melihat dunia di mana gadis-gadis hidup bebas." Yara membuka pernyataan itu dengan nada s
Azhara mencengkram dadanya yang berdenyut hebat. Rasa sakit dan panas menyebar membuat tubuhnya kejang. Ada bunyi debum redam saat ia tak kuasa menahan pijakan kaki, dan jatuh pada karpet di bawahnya. Segalanya berdentum seiring paru-parunya yang berusaha mengambil napas. Kuku-kuku jarinya yang memutih pun patah seakan itu terlalu rapuh."Argh." Perutnya nyeri bak diperas, sesuatu keluar dari bibirnya. Tangan Azhara naik menengadah darah yang mengalir seperti tak terbendung itu. Sungai jernih mengalir di matanya yang putih sempurna saat senyum miring justru tercipta pada bibir. Meskipun ia tidak bisa melihat, tapi ia tahu seberapa buruk keadaannya. Jarum di dalam jantungnya semakin ganas, menggerogotinya, perlahan tapi pasti dia akan mati.Dambaan yang ia simpan, menambah satu alasan mengapa tubuhnya sekarat. Ia telah merasakan ini sejak jarum itu ia masukkan ke sana, tapi kini rasa sakit datang ratusan kali lebih kuat. Penderitaan ini tidak akan hilang kecuali jarumnya hilang. Namun,