Inara turun dari kereta kuda yang membawanya dan dua tabib lain dari istana. Dengan pakaian khas seperti halnya tabib-tabib lain, dia terlihat sangat percaya diri dengan penyamarannya. Nyatanya, ini adalah kali pertama ia menyusup, tentu saja ia masih awam soal aksi seperti ini. Jelas ada keraguan di hatinya, tapi gadis elf itu memiliki lebih banyak keyakinan untuk mengungkapkan kebenaran. Terlebih lagi, semua ini ia lakukan demi Zhura. Jika dalangnya belum ditemukan, maka keamanan temannya itu masih terancam."Ini ruangan Anda." Seorang pelayan mengantarkan Inara ke ruang istirahat. Masing-masing tabib punya satu ruangan."Terima kasih."Setelah membantunya menata barang-barang, pelayan itu undur diri. Inara mempunyai jadwal memeriksa tiga jam lagi, jadi dia masih mempunyai waktu luang. Meskipun begitu, dia tidak bisa menggunakan kesempatan itu untuk bersantai. Seperti yang diperintahkan Tabib Ma, ia harus melaporkan semua hal yang bisa ia temukan di paviliun ini. Gadis elf itu memba
Malam perayaan dilaksanakan, orang-orang Wiyyam serentak keluar dari tenda dan berkumpul beratapkan langit. Sebagian perlombaan baru selesai saat matahari tenggelam, tapi keseruan masih terus berlanjut. Di penjuru pemukiman ini, anak-anak kecil masih saja sibuk kejar-kejaran penuh canda tawa. Api unggun besar pun dinyalakan di tengah padang sebagai penghangat. Meskipun dengan penerangan seadanya itu, acara berjalan begitu meriah.Banyak makanan, permainan, dan pertunjukan membuat padang rumput ini terlihat seperti pasar malam. Kini, Zhura sedang berkumpul bersama orang-orang mengelilingi api unggun. Tepat di sisi kanannya, ada Azhara yang duduk menyembunyikan wajah. Mereka semua bercakap-cakap riang, duduk melingkar seraya berbagi cerita. Cahaya dari nyala api di tengah membuat semua orang menjadi merah."Apa ini?" Zhura mencium minuman di gelasnya, terasa hangat dengan aroma kelapa."Jangan khawatir, itu bukan anggur." Kakek Maral menjawabnya, "Ini adalah minuman khas suku Wiyyam. Na
Inara berada di kamar dengan nuansa kayu. Ada aroma harum yang memenuhi ruang kamar itu, sepertinya itu berasal dari bunga-bunga yang diletakkan sebagai hiasan di beberapa sudut. Sekarang adalah jadwal bagi pemeriksaan kondisi Raja Amarhaz. Inara sengaja datang lebih awal, dengan itu ia dapat melihat pelayan-pelayan itu membantu mempersiapkan raja setelah mandi. Terkesan tidak baik, tapi seperti itulah caranya agar ia bisa melihat tubuh pria tua itu, tentu dengan batasan beberapa bagian tertentu.Dari balik tirai tranparan, mata elf itu menelusuri bagian demi bagian dari tubuh Raja Amarhaz. Ia mengembuskan napas lega saat tidak menemukan lambang bunga di sana. Itu berarti dia bukan dalangnya. Kini, Inara merasa tenang. Setelah pelayan itu menyilakan dirinya masuk, ia pun datang. Wajahnya tertutup kain, jadi ia identitas dirinya aman. Raja Amarhaz duduk di ranjang dengan lemah, wajahnya masih pucat dan dingin bahkan meski ia selalu mandi air hangat.Inara meminta izin untuk memeriksa k
"Jadi, itulah alasannya kenapa La dipaksa berpura-pura menjadi laki-laki?"Yara yang tengah memunguti sampah terlonjak mendengar perkataan Zhura. "Kakak Lailla sudah tahu?!""Ya, La sendiri yang mengatakannya."Alis Yara turun, seakan-akan ada kanopi besar di atasnya, dia tampak mengeruh. "Kakek Maral dan Nenek Manira sebenarnya adalah orang baik, mereka hanya tidak mempunyai pilihan. Dengan cara menyembunyikan identitas La, anak itu akan aman. Mereka pikir cara itu akan berhasil, atau setidaknya untuk sekarang.Gadis elf itu lanjut menutup karungnya lalu berjalan ke tempat dikumpulkannya semua sampah di sisi bukit untuk dikubur oleh para pria. Setelah menyelesaikan pekerjaan itu, Yara dan Zhura duduk di atas bukit menatap pemandangan alam. Di mata hijau Zhura, seluruh wilayah di bawah seperti butiran pasir, begitu kecil seakan dapat ia genggam dengan satu tangan."Kakak Lailla, aku sungguh ingin melihat dunia di mana gadis-gadis hidup bebas." Yara membuka pernyataan itu dengan nada s
Azhara mencengkram dadanya yang berdenyut hebat. Rasa sakit dan panas menyebar membuat tubuhnya kejang. Ada bunyi debum redam saat ia tak kuasa menahan pijakan kaki, dan jatuh pada karpet di bawahnya. Segalanya berdentum seiring paru-parunya yang berusaha mengambil napas. Kuku-kuku jarinya yang memutih pun patah seakan itu terlalu rapuh."Argh." Perutnya nyeri bak diperas, sesuatu keluar dari bibirnya. Tangan Azhara naik menengadah darah yang mengalir seperti tak terbendung itu. Sungai jernih mengalir di matanya yang putih sempurna saat senyum miring justru tercipta pada bibir. Meskipun ia tidak bisa melihat, tapi ia tahu seberapa buruk keadaannya. Jarum di dalam jantungnya semakin ganas, menggerogotinya, perlahan tapi pasti dia akan mati.Dambaan yang ia simpan, menambah satu alasan mengapa tubuhnya sekarat. Ia telah merasakan ini sejak jarum itu ia masukkan ke sana, tapi kini rasa sakit datang ratusan kali lebih kuat. Penderitaan ini tidak akan hilang kecuali jarumnya hilang. Namun,
"Aku Asyaralia, panggil saja aku Asya. Jadi, siapa namamu?"Valea mendengkus, melipat kedua tangannya di depan dada. Diliriknya akses jalan keluar di sekelilingnya yang nihil, tertutup rapat. Sial, jadi ia benar-benar sudah tertangkap. "Kuberitahu kau, Asyaralia. Masalah yang sedang aku hadapi bukan masalah sepele. Bukannya aku peduli atau apapun, tapi kau harusnya berpikir dua kali untuk mencampuri urusanku," tegasnya.Valea tidak mau tunduk kepada pemuda itu, bahkan meskipun ia adalah pangeran. Ia mengingat kejadian saat ia tak sengaja jatuh ke kolam di mana pemuda itu tengah mandi di sana. Meskipun dirinya geli setengah mati mengingatnya, tapi dari kejadian itu Valea tahu bahwa Asyaralia tidak berkaitan dengan masalah ini.Pemuda bersurai hitam tersebut mengangguk, satu sisi bibirnya menyimpul semakin tajam. "Maksudmu aku tidak lebih kompeten dari seorang gadis belia sepertimu? Apakah aku tampak seperti pria ringkih yang akan mati jika ditendang?" tanyanya."Jangan bertele-tele!" V
"Maaf bolehkah aku kembali sebentar? Aku merasa sedikit pusing.""Kau sedang sakit, Nak?" Nenek Manira dan ibu-ibu menatapnya khawatir. "Maaf, sudah merepotkanmu. Terima kasih juga atas bantuannya, sekarang kembalilah dan istirahat.""Baiklah." Zhura berbalik, berjalan keluar. Tapi ia dicegat oleh Yara, gadis itu meletakkan semangkuk besar sup hangat di tangan Zhura."Makanlah yang banyak, Kak," katanya.Zhura menerimanya dengan senyum tipis, "Kau yang terbaik. Baiklah, aku kembali dulu." Ia meninggalkan tenda dapur, dan kembali ke yurtnya. Banyak anak-anak kecil yang menyapa Zhura, dengan ramah dia memberikan sapaan balik."Azhara, aku membawa sup hangat. Kau cobalah." Saat sampai di tendanya, ia melihat ke sekeliling ruangan. Gadis bermata hijau itu mengerutkan kening saat tak menemukan Azhara. Ia mulai panik. Diletakkan supnya di atas meja, lalu keluar mencarinya. Namun, di depan tenda, ia terkesiap melihat pemuda itu berjalan dari kejauhan ke arahnya."Darimana saja kau?" tanya Zh
"Jika kesempatan itu benar-benar ada, aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu," timpal Azhara. Tak peduli seberapa kacaunya itu, satu dua cerita kebersamaan mereka yang pernah terlewati masih terpatri jelas di kepalanya. Ia tidak berdusta, dia ingin kembali ke sana. Jika angin adalah monumen bagi para pujangga, maka gadis itu adalah badai yang mengamuk abadi di dalam dirinya."Maukah kau kembali ke sana?" tanyanya.Mendengar pertanyaan itu, Zhura pun berjalan mendekati pemuda itu saat bagian dari hatinya merasa hangat tapi juga dingin. Satu-satunya yang ia inginkan hanyalah pengakuan, dan ia belum mendapatkannya. Meskipun begitu, sedemikian kata yang baru saja dijuruskan, membuatnya yakin kalau Azhara tidak pernah membuangnya."Lalu, apa yang akan kau lakukan jika ternyata suatu saat kau kembali menyakitiku, Azhara?" Dari balik bulu matanya, ia melemparkan tatapan intens.Gemelut ruang kosong yang bercampur rasa sakit meraung gila. Azhara mengembuskan napas berat mencoba untuk
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun