Pagi hari mendung, tabuhan gong istana bergema beberapa kali memekakkan telinga. Langkah kaki Zhura terhenti begitu ia melihat wajah-wajah bermuka muram. Mereka berseliweran di seluruh penjuru istana dengan pandangan ke bawah. Pada tubuh mereka melekat pakaian hitam seolah-olah menandakan adanya duka cita atas meninggalnya seseorang. Seseorang yang berjalan terburu-buru tanpa sengaja menyenggol punggungnya, karena itu dia hampir saja tersungkur. Beruntung tubuh Zhura bergerak lebih cepat daripada pikirannya sehingga sigap memperoleh keseimbangan.Keheranan yang tak terbendung memaksanya mencari penjelasan. Ia menghentikan seorang pelayan yang lewat di dekatnya. "Apa terjadi sesuatu?" tanyanya.Pelayan berpakaian hitam itu menatap Zhura dengan alis terangkat, matanya lebar terkejut. Dia seperti terperangah sebelum kemudian berlalu menjauh seperti orang ketakutan. Zhura mengerutkan kening. Ada masalah apa dengan pelayan itu? Belum juga ia berpikir lebih lanjut, suara langkah kaki berger
"Bangun! Hei, interogasimu akan dimulai!"Tubuh Zhura tiba-tiba ditarik bangun dan dikekang begitu saja oleh tali. Kesadarannya belum sepenuhnya kembali, gadis itu dengan bingung menatap orang-orang berpakaian prajurit yang tengah mengikat kedua tangannya ke belakang. Cahaya kejinggaan jatuh menyoroti matanya dari celah ventilasi udara, serangan pening tiba-tiba menyerangnya."Kepalaku sakit.""Tidak ada alasan. Cepat ikut kami!" serunya menyeret Zhura keluar dari jeruji besi itu. Beberapa prajurit lain sudah menunggu kedatangan mereka di depan pintu, lantas ikut menggiringnya ke tempat interogasi.Tajam dan mengintimidasi, banyak pasang mata memberikan sorot serupa. Wajarnya tidak ada orang yang menatap seorang pembunuh dengan kelembutan. Maklum, hanya itu yang bisa Zhura katakan untuk menguatkan dirinya sendiri. Menyadari tidak adanya kesempatan yang bisa ia gunakan untuk membela diri, gadis itu memilih menurunkan pandangan. Ia terlalu lelah, staminanya habis untuk bersinergi dengan
"Namaku Zhura. Aku datang dari dunia yang sangat jauh dari rumah yang kalian sebut Firmest."Gadis itu menahan napas, menjatuhkan pandangan pada karpet hijau di bawah. Ia bersiap menerima respon orang-orang setelah mendengar ceritanya. Tentu saja, banyak reaksi berbeda ia terima dari orang-orang. Beberapa dari mereka menampilkan wajah terkejut dengan mulut terbuka lebar, tapi ada juga yang tertawa seolah baru saja mendengar lelucon terlucu sepanjang hidupnya."Tidak bisa disebut kesengajaan, kehadiranku di dunia ini justru berawal dari kecelakaan. Aku berasal dari desa kecil, di sebuah wilayah di bumi. Kalian boleh percaya, boleh juga tidak. Aku hanya bercerita sesuai dengan fakta. Jauh di sisi lain ada peradaban manusia yang menjadi tempat asalku."Zhura melanjutkan, "Di duniaku, aku hanyalah seorang gadis biasa. Pada suatu malam, aku mengantar pesanan di hutan desa, setelah mengantar roti itu ke rumah pemesan ternyata ada barang yang tertinggal di amplop pembayarannya. Jadi aku memu
Zhura tak ingin bertatap muka dengan Azhara, jadi ia mengalihkan pandangannya. "Hanya karena beberapa hal, kalian semua menuduh kami sebagai pembunuh raja?""Dengan data dan informasi yang bocor kepada kalian adalah satu bukti lain. Jika kalian tidak memiliki suatu niat tersembunyi, kalian tidak akan mengorek sedemikian rahasia yang disembunyikan istana!" Ruvas membahas mengenai informasi perekrutan prajurit baru dan identitasa anggotanya yang pernah didapat Tabib Ma dari ruangan Pak Dima.Azhara menatap gadis di sisinya, ia yakin bahwa Zhura mendapatkan informasi itu untuk alasan yang baik.Ruvas berdehem. "Dan lagi, barang-barang sebelumnya yang sudah kau akui sebagai milikmu, juga pernyataan gadis-gadis suci yang mengatakan kau bertindak mencurigakan menjadi poin penting. Kau mungkin bisa berdalih dengan cerita asal-usul karanganmu, tapi barang-barang bukti ini mengatakan kalian mempunyai persekutuan!""Kami memang berkerja sama! Tapi persekutuan kami bertujuan untuk mengungkapkan
Paman Ruvaz heran, "Kenapa kau bertingkah seperti seorang penyidik sekarang?" Meskipun terlihat tidak terima dengan sikap Zhura, ia tampak membawa sesuatu ke tempat interogasi. Beberapa menit kemudian, sebuah kursi santai berwarna kuning empuk berada tepat di depannya."Lihat! Sebelumnya tidak ada robekan di kursinya. Kemarin raja duduk di sofa itu, dan saya tidak melihat ada bagian sofa yang rusak." Tabib Ma menunjuk sandaran kursi tersebut. Semua orang di sekeliling balai mulai menampakan raut serius, turut menatap sofa kuning itu."Berapa kedalaman dan panjang robekannya?" tanya Zhura."Kedalaman robekannya sepuluh sentimeter dengan panjang sisi robekannya tiga sentimeter. Dilihat dari bentuknya yang lurus dan sempit, sepertinya itu dihasilkan oleh tancapan senjata tajam."Zhura menatap robekan itu cermat-cermat, "Robekannya juga rapi, pasti dihasilkan oleh satu tusukan saja. Sepertinya senjata pelaku sempat meleset saat mengincar dada raja."Elf penginterogasi di depannya terkesia
"Jadi, kalian selamat dan berhasil mendapat penawar racun daghainnya. Lalu Ramia? Ke mana dia?"Ucapan Paman Ruvaz lekas mengingatkan Zhura tentang pemuda elf itu. Sudah lama semenjak ia bertemu dengannya. Tabib Ma berkata pemuda itu menyusup ke markas Shar. Membayangkan bagaimana keadaannya dan apa saja yang ia lalui membuatnya khawatir.Paman Ruvaz beralih ke pembahasan lain, dia menunjuk bubuk kebiruan yang sebelumnya ditemukan di tempat kejadian meninggalnya raja. "Sudahlah, bagaimana dengan bubuk kebiruan itu? Bubuk itu ditemukan di lantai dekat dengan tubuh Yang Mulia Raja Amarhaz."Paman Ruvaz meraih mangkuk putih dari meja, lalu mendekatkan pada mereka. Tabib Ma tercenung menyadari adanya ketidakberesan pemandangan yang ia tangkap dari mangkuk itu. "Apakah mangkuknya memang basah seperti itu?" tanya elf tua tersebut menatap air yang menetes dari permukaan mangkuk, jatuh ke telapak tangan elf penginterogasi."Tidak, sepertinya tadi kering." Ruvas tampak heran, ia menatap seoran
Arlia lekas beranjak pada Zhura. Dengan pandangan yang nyalang penuh amarah, ia berujar, "Tarik ucapanmu! Kau tidak sadar sudah bicara pada siapa?! Aku tidak menyangka kau secerdik ini, Zhura! Kau baru saja menuduh ayahku sebagai seorang pembunuh raja!""Arlia, tahan kemarahanmu. Aku paham jika mereka semua mencurigaiku. Aku adalah orang yang dekat dengan Yang Mulia Raja Amarhaz, aku juga yang selalu berada di sisinya setiap waktu, jadi mereka mungkin berpikir aku orang yang paling banyak memiliki kesempatan untuk membunuhnya. Tapi tidak apa-apa, semuanya masih bisa diluruskan," ujar Tuan Minra turut menengahi.Di tempatnya, Tabib Ma keheranan melihat Tusk. Bukankah pria itu harusnya ada bersama Ramia? Dari informasi yang ia dapatkan, dia harusnya pergi ke markas Shar. Kenapa sekarang ia justru berada di sisi Tuan Minra sementara Ramia entah ke mana."Maaf, saya tidak bermaksud membuat Anda tidak nyaman, tapi bolehkah saya menanyakan sesuatu? Apa penyebab kaki Anda terluka?" Zhura men
Tuan Minra tertawa, "Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku pemilik perkamennya?"Zhura menunduk, menatap bagaimana ujung tongkat kayu Taun Minra yang terketuk-ketuk cepat pada lantai balai. Ia pikir pria tua elf itu merasa gentar, terlihat dari bagaimana ada kedutan samar di ujung senyumannya. Zhura menghidu aroma harum yang terus merasuki penciumannya.Keningnya mengernyit dalam, saat menyadari bahwa harum rosmarin itu bukan berasal dari pria tua di depannya. Sepertinya ia pernah mencium aroma tersebut dulu. Diedarkan pandangan ke sekitar, menatap satu per satu orang berbaju hitam yang berdiri di sekeliling balai. Ranzak terlihat memperhatikan Zhura, mau tak mau gadis itu harus menyembunyikan gelagatnya."Kau bisa melihat ada label yang tercetak di pojok perkamen ini. Dan kita semua tahu betul, bahwa bentuk lambang ini adalah label milikmu Tuan Minra, kau tidak bisa mengelaknya!" jawab Ramia menunjuk lambang di pojok perkamen. Semua pasang mata melebar, menaikkan alis dengan tatapan te
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun