"Dia menyudutkan dirimu, apa kau punya sangkalan? Tidakkah kau ingin membela diri?"Bagi Zhura suara Carmina sudah terdengar seperti gong yang dipukul berulang kali, dan itu baru bergema saat Tuan Minra mengajukan pertanyaan tersebut.Azhara keluar dari perenungannya, ia berjalan ke sisi Zhura. "Mohon Ayahanda untuk menyelidiki ini sekali lagi. Aku yakin hal yang dituduhkan kepadanya adalah kesalahpahaman. Gadis ini selalu berperangai baik dan mematuhi peraturan. Dia tidak mungkin melakukan tindakan ini," jelasnya pada Raja Amarhaz."Situasi istana sedang kacau, banyak hal terjadi di luar kendali. Aku akan menganggap ini sebagai bentuk kelalaianmu sebagai gurunya. Semuanya bisa kembali seperti semula hanya jika Lailla mengakui bahwa ia tidak memiliki obsesi itu." Raja Amarhaz mengambil jalan tengah.Carmina tidak puas dengan jawabannya, ia lantas kembali berujar, "Kenapa Yang Mulia Azhara sangat yakin kalau Lailla tidak bersalah? Padahal semua bukti mengarah padanya. Apakah jangan-jan
"Karena kau adalah gadis suci, ada perundingan untuk meringankan hukuman." Azhara menunjukkan gulungan kecoklatan yang berisi perjanjian antara guru dan murid yang pernah Zhura serahkan. "Jika kau bersedia, aku akan membantu menghapus seluruh perasaanmu. Dengan syarat kau berjanji tidak akan membuat kesalahan yang sama."Zhura yang berdiri di tempat eksekusi lekas mengeluarkan tawa kering. Di sekeliling gadis itu terdapat sekat berkilauan yang membatasinya untuk keluar. Ia terkurung di dalam mantra pembatas. "Kenapa kita harus berunding? Bukankah sejak awal aku tidak bersalah? Hanya karena aku mengakui perasaanku, kalian jadi menjadikanku kambing hitam!"Para saksi seperti Raja Amarhaz hingga para tetua terlihat tak menyangka dengan jawaban gadis itu."Segala bentuk ancaman harus dimusnahkan," ujar pemuda perak itu getir. "Kau sudah melanggar hukum dengan menyakiti rekanmu karena kedengkian, tidak ada alasan bagiku untuk membela kemungkaran.""Hei, Azhara. Satu-satunya yang kulakukan
Sebelah lengan Azhara berpegangan pada pilar seiring langkahnya masuk ke paviliun. Kesendirian harusnya membuat suasana tentram, tapi yang ia rasakan hanya keheningan yang mencekam. Tempat ini memuakkan, terutama karena tak ada sosok yang menyapanya seperti biasa. Pemuda perak itu berdiri di halaman belakang, menatap benda putih yang tergeletak di sudut rerumputan. Itu adalah layangan yang pernah ia terbangkan bersama gadis itu.Bayangan Zhura datang di kepalanya, saat itu juga suaranya yang lembut terdengar, "Guru, kau tidak pernah berdoa karena kau tidak boleh menginginkan sesuatu. Tapi, di hatimu pasti ada ruang yang tersisa untuk berharap, 'kan? Layangan ini akan terbang dan menyampaikan harapan yang tidak bisa kau katakan kepada Tuhan."Azhara meraih layangan itu, matanya bergerak ke bagian di mana ia menuliskan harapannya. Sepertinya ini sia-sia, karena pada akhirnya ia tetap melihat air mata itu mengalir. Perasaannya hancur saat memutuskan hubungan mereka, tapi Azhara tidak pun
Angin berembus menghanyutkan, Azhara menyadari dia sedang berada di atas awan. Tubuhnya yang terbungkus jubah putih diterpakan sinar mentari sore kemerahan. Bukankah ia harusnya sedang tidur? Kenapa sekarang ia ada di sini? Pemuda itu menoleh ke kiri, seorang gadis bermata hijau tampak berdiri merasakan kesejukan. Senyum manis terpancar di wajahnya yang bersinar. Ketika melihatnya lebih lama, Azhara merasakan damba yang bergejolak.Ada tawa yang pecah ketika gadis itu beralih menatap Azhara. "Guru sangat baik, Lailla sangat senang," ujarnya penuh riang."Kau ada di sini?" Azhara mengamati sosok di sampingnya, rasanya sudah lama sejak ia melihat mata yang dipenuhi cahaya itu menatapnya.Zhura mengusap sebelah telinganya yang memerah, tersipu. "Ini adalah hari yang terindah di sembilan belas tahun hidupku. Terbang dan berdiri di atas awan bersamamu terasa sangat menyenangkan. Saking senangnya, aku hampir mengira jika ini adalah mimpi. Sepertinya aku mungkin akan mengingat ini selamanya.
Dipenuhi keringat dingin pemuda perak itu terperanjat bangun dari tidur. Ia terduduk, mengusap dadanya yang berdenyut. Udara begitu menggigit, kandelir di atas bergoyang karena angin berembus kencang. Suara kelenteng pun terdengar dari lonceng angin yang tergantung di sisi ranjangnya, begitu tenang menembus malam.Pemuda itu terenyuh.'Ini disebut lonceng angin. Salah satu penyebab mimpi buruk adalah udara dingin. Letakkan benda ini di sisi tempat tidur, ini akan bergoyang saat udara bertiup lebih kencang. Begitu kerang-kerang ini bersentuhan, akan terdengar bunyi relaksasi. Suara itu akan menemani tidurmu sehingga kau tidak akan bermimpi buruk. Mulai sekarang kau bisa tidur nyenyak.' Suara itu terdengar di relungnya.Senyum pahit terlukiskan di bibir Azhara yang mengering. Entah saat sadar atau tidur, ia tidak bisa melepaskan diri dari bayangan Zhura. Nestapa Azhara semakin menggeliat saat teringat bahwa dirinya adalah orang yang melukai gadis itu. Meskipun pemuda itu sudah membulatk
Inara menyerahkan mangkuk berisi obat pada gadis di hadapannya."Ayo, minumlah selagi hangat," ujarnya.Kedua tangan Zhura memegang mangkuk itu dengan hati-hati. Dia tersenyum kecil, tapi matanya sayu. Diminumnya obat itu perlahan, kernyitan muncul di keningnya karena merasakan pahit yang teramat.Valea melihatnya, lantas berujar, "Tabib Ma yang membuatnya. Itu bisa mengembalikan stamina dan meringankan rasa sakitmu. Jadi, abaikan rasanya dan minum saja."Matahari bersinar terang, tapi tubuhnya tidak merasa hangat. Entah bagaimana, Zhura tidak bisa merasakan bugar bahkan setelah ia menandaskan obatnya. Ditatap wajah-wajah temannya, "Sampaikan terima kasihku pada Tabib Ma, aku terlalu sering merepotkannya.""Tentu saja," jawab Inara meraih mangkuk Zhura dan berjalan menuju nakas. Saat ia membungkuk untuk meletakkan mangkuk di nampan, sesuatu terjatuh dari sakunya. Itu adalah gulungan untuk bimbingan guru dan murid yang diberikan oleh Pak Dima."Apa itu?" Zhura memperbaiki posisi dudukn
"Padahal ada banyak hal yang ingin kuberitahu padanya. Tidak kusangka Yang Mulia bisa terkulai lemah seperti itu. Seperti apa hubungan di antara mereka? Kenapa dia rela berkorban tanpa memikirkan nyawanya seperti ini?"Ramia membuat raut permohonan. "Tolong rahasiakan ini dari siapa pun. Jika ada orang lain yang mengetahui perasaan tuan yang sebenarnya, saya takut mereka berdua akan dalam bahaya.""Tenang saja," jawab Pak Dima. "Aku tidak akan mengatakan apapun."Ramia bernapas lega mendengarnya."Karena Yang Mulia sedang sakit, aku akan menyampaikan ini padamu. Pertama, ini adalah informasi rahasia, jadi kau pun harus menjaganya.""Saya mengerti."Pak Dima mengeluarkan berkas-berkas yang ia bawa di kotak kayu. "Ini adalah data anggota Shar yang dikirimkan oleh Tusk. Dia sudah berangkat ke sana kemarin dan sukses menyusup. Kemungkinan ia akan berada di sana dalam beberapa hari untuk mendapatkan lebih banyak informasi.""Informasi apa saja yang ia dapatkan?" tanya Ramia."Lihatlah, ini
Zhura berusaha memotong gelang Arbutus di tangannya dengan pedang yang pernah diberikan Ibu Suri. Bahan pedangnya yang keras terasa sangat menyakitkan untuk dipegang. Belum lagi bilahnya yang tajam kian menggores kulit lengannya hingga terluka. Ia tahu gelang itu hanya bisa dilepaskan oleh orang yang memasangnya. Namun, gadis itu tetap gigih untuk melepaskan benda pemberian Azhara itu dari sana. Inara yang berniat mengantarkan sarapan terkejut saat melihat temannya bersimpuh tergenang darah. Segera gadis elf itu berlari dan menghalaunya."Apa yang kau lakukan?!" tanya Inara saat melihat sebelah tangan Zhura terluka parah"Kembalikan padaku!" Zhura berusaha mengambil kembali pedangnya."Tidak!" Inara membuangnya menjauh. Melihatnya, Zhura lekas terisak menundukkan kepala. Suara tangisannya lirih tapi bahunya bergetar seakan ia merasakan penderitaan yang luar biasa besar. "Aku takut. Tak peduli seberapa keras aku mengabaikannya, dia terus datang. Dia ada di mana-mana bahkan saat aku ti
Langkah kaki menapaki satu demi satu langkah. Aroma kayu-kayuan yang samar tercium saat ia akhirnya sampai di tempat penuh pepohonan itu. Suara hewan-hewan malam lebih nyenyat karena beberapa di antaranya berhibernasi. Malam yang dingin menjadi sepi yang menghanyutkan. Seperti kunang-kunang yang terbang untuk melihat cahaya sendiri di kepingan salju, Zhura melawan segala macam kegundahan demi memastikan sendiri jawaban atas kebingungannya.Dan di sinilah ia sekarang, terpaku. Tepat seperti ingatannya, ada rumah kayu di hutan. Rumah ini kembali untuknya, atau ia yang kembali untuk rumah itu? Sesaat Zhura menarik napas panjang lalu mulai mengetuk pintunya. Tak ada seorang pun yang merespon, tapi daun pintunya terbuka sendiri. Angin bertiup dari dalam, memadamkan lenteranya. Saat itu juga ingatan kejadian-kejadian aneh kembali menyerangnya. Ditinggalkan lenteranya, mengikuti suara di kepalanya yang mengajaknya masuk lebih dalam."Ra ...?"Satu langkahnya memasuki ruangan terasa bak dentu
Tengah malam saat Zhura masih saja termenung di kamarnya. Ia terus terngiang-ngiang perkataan ibunya mengenai dunia lain yang kakeknya percayai. Lalu, sosok bermata violet yang mendatangi ibunya. Zhura yakin pernah bertemu dengannya. Tapi, kapan? Diraihnya buku tua di atas ranjang, ia membuka halaman demi halaman. Berbagai gambar dan kalimat ditampilkan di dalamnya dengan pudar. Tintanya tergerus waktu, menipis semakin tak terlihat.Gadis itu mengernyitkan kening saat melihat gambar dua ekor naga yang digambarkan kakeknya. Tak lama ia terperangah saat bayangan pertempuran besar terkilas di dinding kamarnya. Ia bergegas keluar, menapaki tangga dan berakhir di halaman rumahnya. Bulan tidak tampak, salju terlalu serakah menghujani malam. Ditatapnya gelang di sebelah tangannya, Zhura yang begitu frustasi lantas berusaha melepaskan paksa benda itu.Tapi, gagal. Gelang itu tak bisa terlepas. Kepasrahan menerjangnya, ia kelelahan menerka apa yang terjadi pada dirinya. Zhura jatuh terbaring d
Beberapa hari terakhir berjalan dengan begitu melelahkan. Banyak orang mendatanginya untuk bertanya tentang keadaannya. Entah hanya untuk memenuhi rasa penasaran atau sampai dimuat di surat kabar. Kepergian Zhura yang sebenarnya hanya semalam menggegerkan seluruh warga. Mereka mulai memikirkan spekulasi yang tak berdasar seperti adanya penyihir jahat yang bersembunyi di hutan atau kemungkinan adanya kekuatan misterius yang melingkupi tempat itu. Zhura bahkan terlalu lelah untuk menjelaskan bahwa tak ada apapun yang terjadi, tapi pada kesempatan itu tak ada orang yang mendengarnya. Orang-orang itu malah semakin meningkatkan ketakutan mereka terhadap hutan tersebut. Sedikit demi sedikit rumor hutan itu menyebar, membuat tak seorang pun yang berani mendekat atau memasukinya. Satu bulan kemudian, kehebohan sudah mereda, tetap saja kawasan hutan itu nihil dari lalu lalang.Libur akhir tahun tiba, hari-hari yang ramai di desa menjadi semakin ramai. Berbagai festival dan perayaan diadakan d
Aroma kayu-kayuan yang segar merisak penciumannya. Gelugutnya dingin membaur dari permukaan tempatnya terbaring. Satu dua embun menetes di wajahnya yang pucat. Pada saat matahari terbit lebih tinggi, mengantarkan kilau hangat yang membuatnya terjaga. Mata hijaunya beralih dari pohon satu ke pohon lain, ia berada di hutan. Tubuhnya segera terperanjat bangkit. Disingkirkannya salju yang menutupi sekujur tubuh seraya menatap ke sekeliling."Kenapa aku tidur di sini?"Gadis itu terlihat kebingungan, seakan-akan ia tak ingat dengan apa saja yang sudah ia lalui. Pada saat ia sibuk mencari tahu situasinya, suara langkah kaki terdengar mendekat."Hei, dia ada di sini!" Seorang yang ia kenali sebagai tetangganya mendekat, ia berteriak memanggil teman-temannya. Orang itu memperhatikan penampilan Zhura yang acak-acakan, lalu menanyainya banyak pertanyaan mengenai keadaannya. Tak lama kemudian orang-orang lain datang. Mereka tergopoh-gopoh mendekat dengan wajah lega."Zhura!" Seorang wanita paruh
"Tunggu!"Arlia berbalik saat ia mendengar seseorang menyerukan namanya. Gadis itu terlonjak saat melihat Ramia mendekat dengan napas tersengal-sengal. Sepertinya ia baru saja berlari mengejarnya sampai di dermaga."Kenapa sangat mendadak? Anda benar-benar harus pergi?" tanya Ramia gusar. Di balik jubahnya, pemuda itu masih menggunakan baju tidur. Ia belum bersiap saat mendengar kabar kepergian Arlia dari Inara. Dengan keadaan seadanya, ia melajukan kudanya mengejar Arlia yang hampir saja berangkat."Aku akan pergi ... sangat jauh," ujar Arlia.Keramaian yang ada di sekitarnya tiba-tiba senyap, seluruh perhatian pemuda itu terpusat pada bagaimana Arlia kini menatapnya dengan berkaca-kaca. Sisi yang selalu disembunyikannya rapat-rapat, ini pertama kalinya Ramia melihat betapa rapuhnya sosok itu."Kau pasti sudah tahu kalau keputusannya sudah dibuat. Yang Mulia Raja memberikan keringanan hukuman karena kontribusi ayahku pada bidang pemerintahan sebelumnya. Penyesuaian sudah disetujui ol
Keesokan harinya, orang-orang berkumpul di balai. Pagi yang hangat mengalirkan arus sendu di wajah mereka. Setelah sekian kegiatan penghormatan, kini saat untuk Zhura pergi tiba. Tepat di tengah-tengah ada pintu portal yang dibukakan oleh sepuluh orang. Mereka berdiri berhadapan di sisi jalan, di mana Zhura akan melangkah memasuki portal itu. Dipeluknya teman-teman dengan erat tanda perpisahan. Zhura menarik sudut bibirnya untuk memberikan ketenangan pada setiap pribadi yang muram."Jaga dirimu baik-baik," ujar Valea."Jangan pernah lupakan kami, ya?" Inara membuat raut sedih.Melihat tingkah temannya itu, Zhura pun menahan gelak. "Jangan khawatir. Aku pasti akan baik-baik saja dan akan selalu mengingat kalian semua.""Awas saja kalau kau ingkar janji." Valea membuat gerakan memotong leher.Tawa pecah dari bibir Zhura, ia berpindah pada Arlia. Mereka tersenyum satu sama lain sebelum kemudian berpelukan. Gadis itu terlihat lebih terbuka dan hangat, itu perkembangan yang baik.Melepaska
Malam perayaan dilaksanakan penuh suka cita. Spemua orang di seluruh dataran kini berdiri di bawah langit malam yang bertabur bintang. Para gadis berkumpul di tempat luas bersama ribuan orang lain. Mereka semua kini tampil selayaknya sosok anggun dengan pemerah bibir. Semua penerangan pun dimatikan, hanya ada cahaya yang berasal dari lentera masing-masing. Dengan tinta yang harum, mereka menuliskan doa pada lentera, berharap kedamaian dan kemakmuran tercurah pada dunia baru.Beberapa saat kemudian, arahan dikeluarkan. Lentera-lentera mulai diterbangkan, detik itu juga malam menjadi berkepingan emas. Zhura pun ingin menerbangkan lentera miliknya. Tapi ia hampir putus asa menuliskan tinta di lenteranya hingga itu menjadi kusut. Maklum, permukaannya mudah robek jadi ia kesulitan. Pada saat atensinya terfokus pada kegiatannya, Azhara datang. Zhura sontak terkesiap kikuk berhadapan dengan pemuda itu.Melihat gelagat istrinya, menciptakan kerutan di kening Azhara. Menyadari kecanggungannya
"Ibu, berapa orang yang kau ajak ke sini?!"Kegiatan dilanjutkan dengan ramah tamah dan jamuan. Masyarakat berkumpul menjadi satu di halaman kuil yang luas. Maklum, tamu yang datang tidak hanya dari Silvermist, melainkan dari seluruh Firmest. Valea duduk di tempat jamuan bersama sanak keluarganya yang juga hadir. Dengan tinta biru di kening yang terlihat mencolok di keramaian, gadis merah itu tampak anggun terbalut gaun putihnya. Meskipun begitu, wajah bulatnya justru terlihat sangar karena melihat apa yang dilakukan keluarganya. "Ibu tidak mungkin meninggalkan mereka di desa dan pergi hajatan meriah sendiri. Jadi kita ajak saja semua orang," jelas Shawarya abai, ia tak mengindahkan kekesalan putrinya dan malah sibuk mengurusi hidangan untuk semua keluarganya.Ayah Valea yang duduk di sisi istrinya pun mengangguk. "Benar, kita hendak mengajak seluruh desa tapi tumpangan terbatas, jadi kami hanya bisa membawa sedikit saudara."Valea memperhatikan satu per satu sanak saudaranya. Termas
Dersik angin bertiup mengibaskan kain-kain berumbai yang dipasang menghiasi seluruh kota. Papan-papan bertuliskan ucapan selamat dipajang di setiap kediaman tanda suka cita pemiliknya. Kuil Halyziar yang menjadi tempat dilangsungkannya upacara, kini tampak memukau dengan dekorasi serta karpet besar nan tebal tergelar di ruangannya.Berbaris di kanan dan kiri altar, ratusan orang memenuhi tempat itu. Keluarga kerajaan, gadis suci, dan sisanya tamu undangan baik dari dalam atau pun luar Silvermist. Bukan hanya pakaian putih mereka yang seragam, sudah jelas tatapan mereka pun tertuju ke satu arah. Setiap sudut bibir kini menyajikan senyum sehangat mentari.Sepasang mempelai itu kini berjalan membelah kekaguman para tamu. Sinar matahari memaparkan kehangatan, tapi sedikit kegugupan justru yang membuatnya menggigil. Mengenakan jubah merah khas pengantin, Azhara dan Zhura berjalan beriringan. Bunga-bunga harum ditaburkan oleh dayang seiring langkah mereka. Sesekali kaki Zhura menginjak ujun