Aisha Mahmood memarkir mobilnya di tempat parkir khusus direksi perusahaan Hoetomo. Ia lalu menuju arah lift dan menaiki benda yang akan mengarah langsung ke ruangan kerjanya tersebut.
Lift pun berhenti di lantai puncak.
Aisha memasuki ruangannya dan menyeduh teh herbal seperti biasanya. Hal itu sudah menjadi ritual pagi baginya.
Saat ia melakukan tegukan pertamanya, Aisha mendengar suara di ruangan sebelah. Ruangan yang biasa dipakai Rais Hoetomo.
Aisha mengetuk pintu.
“Ya, masuklah.” Kata suara dari dalam.
“Kukira aku yang datang paling pagi.” Kata Aisha sambil memasuki ruangan.
Ia mendapati Rais Hoetomo sedang mengakses televisi internet berukuran layar bioskop di ruangan tersebut.
“Aku langsung ke sini tadi malam, jadi bisa dibilang, aku tidak benar-benar datang.” Jawab Rais.
“Ledakan di pinggiran kota tadi malam itu, kau?”
“Ya, dan aku sedang memastikan ba
Sebuah rumah bercat dinding putih di suburban Washington DC terlihat begitu asri. Pekarangannya sangat terawat dan dihiasi bunga-bunga dengan beragam warna. Rumputnya pun dipotong dengan sangat rapi.Cuaca pagi yang cerah membuat Abdul Aziz, penghuni rumah itu, semakin ceria. Ia sedang bersiap untuk berangkat ke kantornya di Capitol Hill. Ia dijadwalkan untuk menghadiri rapat bersama sejumlah anggota senat.Silvester Morran, saingan utamanya, juga akan ada di sana.“Jangan lupa makan siang.” Janna, istri Abdul Aziz, mengingatkan suaminya.“Jangan khawatir.” Abdul Aziz tersenyum.“Hari ini akan pulang larut?”“Kuharap tidak. Tapi memang hari ini akan padat.”“Semua baik-baik saja?”“Kuharap demikian. Doakan aku ya.”“Selalu.”Mereka saling tersenyum.“Kita yang memegang takdir kita sendiri.” Kata Abdul Az
Abdul Aziz mencapai Capitol Hill dalam waktu kurang dari setengah jam. Beberapa orang telah menyambutnya di sana.“Pagi, Senator.” Sapa mereka.“Selamat pagi, semoga hari ini menjadi hari yang baik.” Abdul Aziz membalas sapaan mereka.Ia tidak mampir ke ruang kerjanya, dan langsung menuju ruang rapat.“Kami sudah menunggu Anda.” Kata Morran melihat Abdul Aziz masuk.“Selamat pagi juga, Senator Morran.” Abdul Aziz tersenyum dan melihat ke arah arlojinya. “Sesuai janji, saya justru datang lima menit dari jadual.”“Tentunya kita tidak ingin membuang waktu Detektif Geller di sini.” Morran melirik orang lain di ruang rapat.Detektif Mal Geller, orang kepolisian NYPD yang diundang khusus untuk rapat terbatas dengan senator pagi ini, mengangguk ke arah Abdul Aziz.“Baik, kalau begitu kita harus segera mulai.” Kata Abdul Aziz sambil mengambil salah satu
“Mayor Izmaylov, senang bertemu dengan Anda.” Sapa Abdul Aziz.Rapat terbatas baru saja selesai. Ia memang memiliki janji dengan Andrea Izmaylov pagi ini.“Senator.” Andrea menyapa balik.“Saya yakin Anda sudah mendengar kejadian semalam.” Abdul Aziz mempersilakan Andrea memasuki ruangan kerjanya.“Benar. Saya juga mendapat informasi bahwa Anda mengikuti rapat terbatas tentang hal itu pagi ini?”“Begitulah. Tapi yang mereka, kepolisian, kirim adalah detektif yang bukan ahlinya.”“Maksud Anda?”“Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan rapat, karena kurang produktif. Apalagi nara sumber yang ada bukan orang yang tepat. Ia detektif baru yang belum pernah menangani kasus seperti ini sama sekali. Jika bukan ahlinya yang menangani, bersiaplah untuk hancur.”Andrea tersenyum.“Anda tahu kenapa kita bertemu di sini, di Washington, pagi ini?
Aisha Mahmood baru saja menyelesaikan rapat yang dipimpinnya bersama anggota direksi Hoetomo yang lain. Siang nanti ia dijadwalkan bertemu dengan para pimpinan anak perusahaan. Baru menjelang malam, Aisha akan melaporkan hasil pertemuannya kepada Rais Hoetomo.Rais, di luar dugaan Aisha, justru menjadi orang yang sangat penting di dalam karirnya. Ia tidak pernah menyangka akan ditempatkan di posisi paling tinggi pada salah satu perusahaan yang menempati Fortune 500.Bahkan ia tidak pernah bertemu Rais sebelumnya. Aisha hanya pernah mendengar nama laki-laki itu. Baginya ketika itu, Rais hanya tokoh dalam cerita.Ketika Rais Hoetomo mendatanginya beberapa tahun silam, yang Aisha menyangka bahwa orang ini hanya anak kaya biasa yang hendak mencari “mainan”. Ternyata dugaannya salah besar.Aisha memang mengetahui bahwa Rais adalah orang jenius. Namun ia belum pernah menyaksikannya hingga saat itu. Justru Rais banyak melontarkan kritik saat mereka b
Islamic Center of Washington adalah sebuah fenomena baru. Di sini adalah tempat berkumpul dan bersosialisasi untuk umat Muslim di Washington, bahkan seluruh Amerika. Sebenarnya tidak hanya Muslim, tapi siapa pun bebas memasuki tempat ini.Tapi yang menjadi fenomena utama bukan itu, melainkan kenyataan bahwa tempat ini membagikan makan malam gratis kepada siapa pun yang datang pada saat pengajian.Rais Hoetomo adalah salah satu donaturnya.Malam ini, Abdul Aziz dan Janna datang ke pengajian yang diadakan di Islamic Center of Washington. Mereka memang mendatangi tempat ini secara rutin, terutama sejak Abdul Aziz menjadi senator.“Aku tidak pernah bosan mendatangi tempat ini.” kata Abdul Aziz.“Ya, aku juga.” Jawab Janna.“Di sini aku tidak merasa berbeda dengan yang lain.”Janna tersenyum.Lalu mereka berdua mendapati seseorang yang datang bersama perempuan berambut cokelat.“Assal
Abdul Aziz memang telah menjadi harapan baru bagi umat Muslim, terutama di Amerika. Ia menjadi senator Muslim pertama di Amerika Serikat. Gebrakan-gebrakannya untuk melawan terorisme sangat menjadi sorotan.Terlebih lagi dengan identitasnya sebagai seorang Muslim.Abdul Aziz banyak menjadi aktor utama dalam lahirnya undang-undang anti terorisme. Justru di saat pandangan dunia sedang skeptis terhadap Islam, seorang Muslim berada di garis depan dalam memerangi stigma negatif tersebut.Latar belakangnya adalah keluarga menengah ke atas. Abdul Aziz lahir di keluarga pedagang. Ayahnya seorang pemilik supermarket yang memiliki sejumlah cabang. Abdul Aziz sendiri memiliki dua adik perempuan.Mereka sekeluarga hidup berkecukupan. Walaupun demikian, Abdul Aziz telah diajari untuk hidup mandiri sejak remaja. Ia diberi kepercayaan menjaga salah satu cabang supermarket ayahnya. Setiap pekan, ia harus melaporkan hasil penjualan dan mendapat pemotongan upah untuk mengg
Waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Abdul Aziz baru saja keluar dari gedung Capitol Hill untuk menuju mobilnya. Hari yang padat telah ia lalui kali ini, seperti halnya hari-hari lainnya.Ia memasuki lahan parkir untuk mulai mengendarai mobilnya. Yang tidak ia sadari adalah sebuah sosok dari balik kegelapan sedang mengamatinya.Sosok itu berada di puncak atap Capitol Hill dan sedang mengarahkan pengintai mikroskopiknya ke arah Abdul Aziz. Dengan alatnya tersebut, ia mengunci telepon genggam Abdul Aziz dengan sinyal yang tidak akan mempengaruhi sinyal telepon Abdul Aziz sama sekali.Namun sejak saat itu, apa pun yang dilakukan Abdul Aziz dapat didengar olehnya.Abdul Aziz menjalankan mobilnya dan pergi meninggalkan Capitol Hill untuk pulang.Sosok gelap di puncak Capitoll Hill itu terbang menuju arah berlawanan.
Tidak ada hal aneh yang ditemukan Rais dari kehidupan Abdul Aziz. Pengintai yang telah ditempatkannya malam itu telah merekam semua lini kehidupan Abdul Aziz.Rais mendapati Abdul Aziz adalah orang yang lurus. Ia merupakan orang yang sangat peduli kepada keluarganya.Satu pekan sudah Rais mengintai Abdul Aziz dan keluarganya. Tidak ada riak berarti dalam kehidupan mereka. Abdul Aziz selalu makan malam bersama keluarganya. Setelah itu, mereka bercengkerama, menonton televisi, atau bermain Playstation bersama.Ia juga menemani putrinya hingga gadis kecil itu terlelap. Lalu Abdul Aziz sendiri pergi ke kamar tidur bersama istrinya.Di pagi hari, Abdul Aziz bangun bersama istrinya untuk salat subuh. Tidak lupa, mereka juga membangunkan Aida dan membiasakannya untuk ikut salat.Kemudian tiba waktu sarapan. Selang satu hari, Abdul Aziz berbagi giliran membuat sarapan dengan Janna. Jika hari ini Janna yang memasak, maka esoknya adalah giliran Abdul Aziz. R