"Kalian tak pernah tahu seberapa sakitnya ia menahan tangis melalui senyum yang ditunjukan di depan kalian, la menyukai hal lain selain yang kalian suka, apa itu sebuah kesalahan? Kenapa keinginannya dilarang, jika kalian memang bermaksud untuk membahagiakannya? Untuk alasan masa depan yang lebih cerah? Atau, alasan menjaga nama baik keluarga? Anak seperti itu hanya mampu menyembunyikan rasa sakit dari dalam hati tanpa tahu cara mengungkapkannya. Tak hanya takut, tapi mereka sangat menyayangi kalian."Pertahanan Salsha lenyap seketika. Gadis itu sontak menitikkan air mata saat mendengar penuturan Tiffany itu. Suara serak dan rasa kesesakan yang selama ini tersembunyi, seketika keluar, ikut menangis seiringan dengan getaran tubuhnya. Ini kali pertama Salsha menangis di depan orang tuanya selama ia beranjak dewasa."Para orang tua juga acap kali berbuat kasar, menendang, menginjak, menampar, bahkan memukul dengan alat yang menurut kalian dapat membuatnya jera. Tapi, apa kalian pernah be
PLAK!Perkataan Zea sontak terhenti saat sebuah tamparan melayang ke pipinya. Pedas? Sangat! Mengingat suara tepukan itu bahkan terdengar nyaring. Sudah pasti, pipi putih Zea tampak memerah. Tubuh gadis berambut sebahu itu pun bergetar hebat, ini kali pertama ada orang yang berani memukulnya."Ada apa?" tanya Tiffany. Aneh,kali ini suaranya benar-benar sangat bergetar. Kedua tangannya semakin mengepal hebat. Zea menatapnya dengan wajah beruraian air mata. la masih tak percaya Tiffany berani menamparnya."Kau gila? Kau berani menamparku, huh?""Kenapa aku tak berani? Kau bahkan berani menginjak lipstikku.""Huh? Apa kau tak takut---""Tidak! Aku sama sekali tak takut padamu atau siapa pun. Menjijikkan!" Tiffany tersenyum sinis membuat Zea sontak mengepal."Gadis malang! Kenapa? Kau iri padaku, huh? Kau harus pergi ke psikiater sekarang juga. Kau memiliki gangguan jiwa! Kau sakit!""Apa katamu?""Seseorang yang waras tak akan pernah berpikir melakukan hal keji seperti ini. Kau sangat me
Vina! Gadis berambut ikal ini berdiri di depan ruang kerja David seakan tengah menunggu seseorang. Kekasihnya? Sepertinya tidak, mengingat Vina sangat mengetahui bahwa kekasihnya itu tak akan datang sepagi ini ke kantor. Gadis itu menatap jarum jam di tangannya, berharap seseorang yang tengah ia tunggu segera terlihat. Dan, doanya terkabul. Gadis dengan pita menghiasi rambutnya itu pun muncul, berjalan dengan senyuman tanpa dosa. Setelah berhasil memerankan pembicara dengan sempurna, ditambah kejadian di ruang hias membuat namanya semakin populer di kantor ini; Zea Anastasia."Apa yang kau lakukan?" tanya Zea saat Vina mencengkeram lengannya."Aku benar-benar tak habis pikir, kau masih dapat menunjukkan wajah licikmu itu di kantor ini dengan tenang. Kenapa kau begitu jahat?""Apa yang kau katakan? Aku tidak mengerti apa maksudmu?""Ah-maksudku? Ini--" Vina sentak mendorong Zea hingga terjatuh, membuat semua orang yang telah datang menatap ke arah mereka."Kau pikir apa yang kau lakuka
Tiffany berjalan menyusuri lorong kantor dengan banyak bisikan dari orang-orang. Apa ini tentang kejadian di ruang hias itu? Tiffany menghela napas. Menurutnya, mungkin sudah nasibnya menjadi bahan gunjingan orang-orang ini."Apa yang terjadi? Kenapa semua sepertinya ramai sekali?"Salsha menoleh menatap Tiffany yang baru saja meletakkan tas kerjanya ke atas meja. la yakin, ada sesuatu telah terjadi tanpa sepengetahuannya. Lihat saja, tatapan semua orang di sini begitu berbeda mengarah padanya."Ah, apa ini mungkin karena acara kemarin?" Lagi-lagi, Tiffany bertanya, membuat Salsha menatap Vina, lalu menghela napas panjang."Zea Anastasia! Semua orang sudah mengetahui semua rahasia gadis itu. Tentang tak ada penyakit asma yang ia derita, tentang sikapnya padamu, dan juga tentang kepura-puraannya yang membuat semua orang malah berbalik membencinya.""Huh?""Maafkan aku, Tiffany. Aku benar-benar tak tahan akan sikapnya. Dia begitu jahat padamu. Sewaktu kalian bertengkar dan kau mengataka
Dengan keadaan kedua kaki ditekuk dan jari yang melingkar bergetar di kedua kakinya, Zea layaknya seseorang yang tengah membutuhkan sebuah rangkulan dan belaian untuk menyemangatinya. Detik demi detik, air mata itu menetes tanpa dapat ia tahan. Ia tak tahu cara menghentikan rasa sakit di hatinya ini? Luka itu merobek, menimbulkan rasa perih yang tak ada obatnya."Aku tidak salah... aku tidak salah!" Zea terus mengucapkan kata itu."Mereka yang jahat, bukan aku! Seharusnya mereka yang saat ini menangis, bukan aku! Kenapa? Lalu, kenapa aku sekarang? jika, kau memang ada maka kau tidak adil, Tuhan! Kenapa aku hidup dengan cara seperti ini? Kenapa orang-orang di sana tak sepertiku? Yang tak mengetahui siapa orang tuanya, yang tak mengetahui apa yang harus kulakukan, yang tak memiliki siapa pun yang mencintainya? Kenapa aku dilahirkan? Apa sebagai pelengkap untuk kebahagiaan orang lain? Lalu, kapan giliranku? Aku juga ingin bahagia seperti mereka yang tersenyum dan tertawa dengan alaminya,
Ceklek!Pintu itu terbuka, menampilkan sosok wanita dengan pakaian seksi seperti biasa, tengah duduk di atas meja seraya mencondongkan tubuhnya ke arah seorang pria yang duduk di kursi itu dengan canggung. Sungguh, ia tak berniat untuk bertengkar dengan ibunya. Tubuhnya benar-benar lelah. la ingin istirahat."Kau pulang?" Tiffany menghentikan kedua kakinya, tatkala mendengar lontaran pertanyaan itu. Tanpa ingin berpaling ke arah sumber suara, Tiffany kembali berjalan seakan tak mendengar apa pun."Kau tak ingin menemuinya, Sayang? Sejak tadi kekasihmu ini menunggumu." Kalimat pencegahan dari Sara ini sukses membuat kedua kakinya terhenti. Dengan cepat, kepalanya menoleh ke arah pria yang dimaksud."Kau- kenapa kau kemari?""Kenapa dia kemari? Pertanyaan macam apa itu, Tiffany? Seharusnya, aku yang bertanya padamu kenapa kau pulang dengan darah di bajumu? Apa yang terjadi?""Itu bukan urusanmu!" umpat Tiffany pedas. David yang telah berdiri dari tempat duduknya itu hanya terdiam. Raut
PLAK!Tamparan itu melayang dengan cepat di pipi Tiffany yang saat jni berdiri diam. Tak hanya Tiffany yang terkejut, tetapi juga David. Tubuh Sara gemetar. Dapat ditangkap dengan jelas bagaimana air matanya itu mengalir tanpa permisi."Tutup mulutmu dan pergilah ke kamar!" serak Sara tanpa menoleh ke arah Tiffany yang masih mematung di tempat dengan ke pipi yang memanas."Kau tahu seberapa aku menyayangimu, Bu? Tidak terhitung! Aku bahkan rela meminta Ayah untuk pindah kemari. Apa kau ingin tahu alasannya? Karena aku ingin bersamamu. Aku takut kau sendiri di sini. Aku ingin menemanimu, melayanimu semampu yang kubisa. Tapi, apa yang kau perbuat padaku? Aku melakukan ini karena aku takut kehilanganmu, Tapi kenapa--" Tiffany menutup bibirnya cepat, berharap tangis ini tak bersuara. Namun sayang, gagal.Tubuh Sara berbalik membelakangi Tiffany seraya menahan laju air matanya, Kedua bibirnya tampak sekali bergetar hebat."Aku lelah, Bu. Aku benar-benar lelah terus seperti ini. Tolong, kem
Kau ingin tahu apa alasanku datang kemari? Apa tujuanku menerimamu? Jawabannya sederhana, karena kaulah yang dapat membantuku membebaskan kedua orang tuaku. Semua hal yang mubutuhkan selama ini, menyangkut dirimu yang juga harus aku lindungi, seperti aku melindungi kedua orang tuaku.""Ibuku tertangkap, Tiffany. Beliau di penjara...."Entah mengapa, kalimat David tadi malam membuatnya tak dapat tidur. Pikirannya melayang, memikirkan maksud dari ucapan pria itu. Dia yang dapat membantu pembebasan orang tuaya? Bagaimana bisa? Tiffany sama sekali tak pernah merasa ada hubungan apa pun dengan Bali, terutama keluarganya. Bahkan, ia belum pernah pergi ke daerah itu. Hal ini begitu rumit, bahkan membuat kepalanya terasa ingin pecah. la yakin, tak hanya dirinya yang kini merasa begitu, tetapi juga David. Pria itu tentu berada dalam guncangan yang besar. Mengingat, sang ibu yang selama ini ia lindungi mati-matian, kini tertangkap."Kau menginap di sini?" Ucapan parau itu terdengar. Tiffany yan